Komplek River Villa.
Pukul tujuh tiga puluh malam, beberapa orang mulai terlihat memenuhii ruang tamu.Tuan Prabujaya menyapa para tamu dengan hangat dari atas kursi roda. Seorang pengawal tampak menemani dan mengawasi dengan kewaspadaan.Untuk beberapa saat perhatian mereka teralihkan saat melihat seorang pemuda yang terlihat asing hadir di sana.Hanya segelintir orang yang mengenalinya dan memandangnya penuh takjub saat Erlangga berbaur.Ia mengambil segelas sampanye dari pelayan dan berjalan ke arah sekumpulan wanita muda yang tersenyum cerah ke arahnya."Apa kita saling kenal? Wajah kamu sepertinya tidak asing untukku." Seorang wanita berambut panjang keemasan menyapanya. Matanya menyala penuh antusias.Bibir kemerahan Er melengkung, giginya yang putih berbaris rapi. "Oh, benarkah? Mungkin kita memang pernah bertemu di suatu tempat," sahut Er mencoba menggodanya hingga membuat wajah sang gadis merona kemerahan."Siapa namamu?" Seorang gadis mulai merasa tertarik padanya."R," katanya lalu melanjutkan, "Itu adalah panggilan inisialku. Mungkin kalian bisa mengingat sesuatu dengan itu." Er lalu menyesap minumannya.Gadis-gadis itu saling melempar pandang.Hingga seorang gadis lain membuka mulutnya dan berkata, "Apa mungkin kamu pernah tinggal di luar negri sebelumnya? Karena kamu benar-benar mengingatkanku pada seseorang."Er mengangguk sambil tersenyum lebar."Apa kau mengenalnya, Sylvia?"Gadis itu langsung mengangguk kuat. Dia tampak begitu girang jika tebakannya memang terbukti benar."Wow ... aku tak menyangka bisa melihatmu langsung, Tuan R. Ini luar biasa, kamu jauh lebih tampan dari gambar di majalah mode." Wajah Sylvia merona, dia tersenyum lebar.Wajah Er ikut memerah. Ia tertawa pelan hingga membuat nilai ketampanannya meningkat di depan mereka."Kenalkan, aku Sylvia. Dan ayahku adalah pimpinan majalah mode di negeri ini," terangnya penuh kebanggaan. "Dan ini teman-temanku, Viona dan Diana. Asal kamu tahu, Viona adalah kekasih Rangga Aditya, putra tunggal Tuan Prabujaya."Jantung Er tiba-tiba berdetak kencang.Putra tunggal Prabujaya? Rangga Aditya?Lalu siapa dirinya? Siapa Olivia, mamanya?Berapa banyak lagi rahasia tentang sosok ayahnya ini yang dia tidak ketahui? Siapa ayahnya sebenarnya?Segenap pertanyaan itu berputar di dalam otaknya. Semuanya terlihat tak berujung baginya.Rasanya dia seakan terjatuh dalam jurang yang gelap dan dingin.Belum sempat Er menimpali percakapan itu, suara Prabujaya terdengar menggema memimpin para tetamu untuk memasuki ruang jamuan makan malam.***Erlangga melempar bola matanya memandang Prabujaya tajam sambil bergumam, "Apa lagi sekarang? Apakah ini saatnya?" Tubuh Erlangga menegang.Prabujaya menyeka mulutnya dengan serbet lalu berusaha berdiri dibantu oleh Daniel yang selalu setia di sisinya."Terima kasih karena kalian sudah bersedia hadir di tempat ini. Hari ini adalah hari besar karena malam ini saya ingin mengumumkan hal penting bagi kalian semua," ucap Prabujaya membuka pembicaraan.Semua orang mendengarkan, menunggu hal penting yang akan mereka dengar dari salah satu pengusaha besar itu, termasuk Rangga yang duduk di sampingnya.Prabujaya memandang tamunya lalu kembali berbicara, "Hari ini saya mengumumkan bahwa putra yang saya kasihi, Erlangga Pamungkas, kini telah kembali ke rumah ini."Mendadak seisi ruangan berubah jadi dengungan, semua orang terkejut mendengar kabar yang begitu menggemparkan.Semua orang memandang ayah dan anak itu bergantian."Erlangga Pamungkas? Apa Tuan Prabujaya sedang bercanda?" bisik salah seorang tamu."Sejak kapan seorang Prabujaya memiliki anak lain selain Rangga Aditya?" timpal yang lain."Entahlah, aku pikir mungkin dia sedang bermimpi. Mungkin pikirannya sedang terganggu." Seorang tamu lain berkata sinis. "Mungkin saja dia sedang berbohong.""Siapa dia? Apa kita mengenalnya?""Apa anak itu putra dari wanita simpanannya? Wah ... ini adalah kabar luar biasa," kata yang lain.Ekspresi Rangga berubah drastis. Wajahnya memerah karena marah dan malu sekaligus.Ia memandang sekeliling, menebak sosok Erlangga di antara orang-orang yang berkumpul.Sementara Erlangga tetap bertahan untuk tetap diam, menyaksikan drama yang sedang berlangsung di depannya seperti yang telah diingatkan oleh Daniel sebelumnya.Daniel melihat Erlangga yang tampak begitu tenang di kursinya. Segaris senyum tipis tergantung di wajahnya.Rumah besar kediaman Prabujaya Pamungkas kembali sepi. Para tamu telah pergi satu per satu meninggalkan Komplek River Villa.Prabujaya sedang duduk berhadapan dengan Rangga di ruang tamu di atas kursi rodanya.Sementara Erlangga telah kembali ke kamarnya tanpa disadari oleh siapapun."Apa Papa sudah gila? Untuk apa Papa berbicara seperti itu?" Rangga berkata dengan suara keras."Apa Papa tahu, ucapan Papa itu akan mempengaruhi nama baik perusahaan. Itu akan sangat merugikan kita." Rangga meledak marah, masih tak habis pikir.Prabujaya begitu tenang, sama sekali tidak terpengaruh."Kenapa? Apa yang kamu khawatirkan? Apa kamu takut dia akan mengambil alih posisimu? Mungkin dia memang lebih baik dari mu," sindir Prabujaya skeptis.Prabujaya mendorong kursi rodanya meninggalkan ruang tamu tepat sebelum Rangga kembali membuka mulutnya.Daniel segera membawa Prabujaya ke lantai atas untuk beristirahat.Ia meninggalkannya berbaring di atas ranjang lalu kembali ke ruang tamu."Apa kau tahu tentang hal ini, Paman Daniel?" tanya Rangga sambil menuang anggur bagi mereka.Daniel berdehem pelan lantas duduk di depannya.Ia memutar anggur di dalam gelasnya menghirup aromanya lalu menyesapnya sedikit."Tentu saja.""Sialan! Kenapa kau tidak pernah mengatakannya padaku? Apa kau ingin bermain-main denganku?""Haha ... kenapa? Apa kau takut?"Rangga balik tertawa. Ia tidak ingin orang lain menebak isi hatinya.Muka masamnya sudah cukup menjelaskan perasaannya saat ini."Kau tahu kenapa anggur ini mahal?" tanya Rangga sambil memandang gelasnya.Daniel menatapnya. Dia berusaha menangkap maksud dari ucapannya. Namun, akhirnya dia menyerah.Daniel memilih untuk tetap diam dan mendengarkan isi hati anak tuannya.Garis lengkung tipis muncul di bibir Rangga, ia lantas berkata, "Itu karena kualitasnya, tahun dan tempat pembuatannya, serta nama yang melekat padanya bukanlah sembarangan."Rangga lalu kembali melanjutkan, "Anggur ini sama denganku. Aku memiliki kualitas terbaik karena aku adalah generasi Prabujaya, memiliki nama baik dan sudah ditempa selama bertahun-tahun dalam industri ini. Dan semua orang sudah mengakuinya, jadi untuk apa aku takut? Kita bahkan tidak pernah tahu siapa dia dan apa yang dikerjakannya selama ini. Benarkan?""Tentu saja. Itu sebabnya anda tidak perlu khawatir tentang hal
Rangga memarkirkan mobilnya dan masuk ke dalam rumah tanpa bersuara.Rangga mengabaikan ibunya saat berusaha untuk memeluknya ketika menyambut kepulangannya di ruang tamu.Laki-laki itu melewati Liana yang membeku dan langsung naik ke lantai dua."Sialan!" Rangga membanting pintu kamarnya sambil mengumpat, sedetik kemudian tubuhnya jatuh di atas kasur.Wajahnya kusut dengan mata merah padam, dia terlihat sangat kacau.Mata Rangga menatap lurus lampu kristal yang menggantung di langit-langit kamar."Boleh Mama masuk?" Sebuah suara terdengar dari luar bersamaan dengan suara ketukan di pintu kamar."Masuk aja, pintunya tidak terkunci." Rangga menyahut acuh tak acuh.Pintu terbuka dan Liana masuk dengan perlahan lalu kembali menutup pintu.Wanita itu duduk di tepi ranjang sambil memperhatikan putranya yang terlihat marah. "Ada apa denganmu? Kenapa kamu mengacuhkan Mama tadi?" Mendengar suara Liana begitu lembut di telinga membuat Rangga mera
"Berengsek! Ternyata wanita itu punya anak. Kenapa tidak ku habisi saja mereka berdua saat itu." Liana mengamuk di mobilnya hingga memukuli stir berulang kali hingga tangannya memerah.Dia mengusap wajahnya frustasi hingga riasan di wajahnya rusak.Liana merasa begitu bodoh karena telah membiarkan Olivia melahirkan anaknya saat itu.Dia bahkan tidak pernah tahu jika mantan sekretaris suaminya itu telah hamil dan memiliki anak.Liana tidak menyangka jika ancamannya pada Olivia saat itu malah membuat Prabujaya dapat menemukan mereka.Dan kini, suaminya dengan terang-terangan mengakui anak wanita itu sebagai anak kandungnya.Liana mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang."Halo," ucap Liana saat panggilan itu telah tersambung."Ya, Nyonya ...." Suara seorang pria terdengar dari ujung telpon."Temukan Olivia sekarang juga! Dulu aku sudah menganggapnya enteng sampai dia berani menginjakku sekarang. Dia bahkan berani mengirim anaknya pada suamiku.
Pak Hasan berdehem pelan sambil menggelengkan kepalanya.Pria tua itu menatap istrinya. Dia membuka mulutnya setelah Bu Hasan mengangguk pelan."Masih belum. Entah apa yang terjadi, tapi jalan untuk menemukan pelakunya berujung buntu. Mereka kehilangan jejak setiap kali hampir berhasil memecahkan kasusnya," kata Pak Hasan dengan rasa menyesal.Sedetik kemudian dia kembali bicara, "Sayangnya ... kasus itu sudah ditutup sepuluh tahun yang lalu sejak mereka tidak mendengar kabar darimu."Suami istri itu berbincang tentang banyak hal selama kepergian Erlangga dari kota mereka.Hingga hari beranjak sore, Erlangga memutuskan untuk kembali.Mobil sedan itu bergerak meninggalkan kediaman Pak Hasan saat matahari telah terbenam.Mereka memutuskan untuk pulang ke komplek River Villa sebelum Prabujaya menyadari kepergian mereka siang ini.Erlangga sudah memutuskan untuk membuka kembali kasus kematian Olivia Putri. Namun, dirinya harus mendapatkan bukti kuat sebelum mengajukannya kepada pihak ber
Suara ketukan di pintu kamar membuat Erlangga terjaga.Erlangga melirik jam dinding, sudah pukul sepuluh malam dan dia baru akan terlelap setelah lelah seharian.Erlangga bangkit dan meraih knop pintu. Dia tertegun untuk sesaat, mulutnya nyaris jatuh saat menyaksikan seseorang sedang berdiri di depan kamarnya."Papa?" Kening Erlangga berkerut saat sadar sedang berhadapan dengannya.Ia meraih tubuh Prabujaya dan menuntunnya masuk ke dalam kamar lalu memeriksa kedua kaki Prabujaya yang terlihat lemah saat beberapa jam yang lalu."Apa yang Papa lakukan di sini? Sejak kapan Papa bisa berjalan?" Keterkejutan Erlangga belum sepenuhnya hilang.Prabujaya tersenyum tipis lalu membuka mulutnya dan berkata, "Sudah, sudah ... jangan tegang seperti itu, Er. Papa hanya ingin melihatmu dan mengobtol denganmu."Mata obsidian Erlangga mengunci wajah Prabujaya.Namun, dengan sangat cepat tatapan mata Erlangga kembali teralih pada sepasang kaki yang terlihat kokoh itu.Kaki itu terlihat sehat dan sepert
Empat puluh menit sejak panggilan itu, mobil sedan hitam milik Erlangga tiba di pelataran depan sebuah gedung.Ia berjalan masuk dengan aura hangat di wajahnya bersama dua pengawal setianya sementara supir menunggu di mobil.Erlangga mengetuk pintu hingga sebuah sahutan terdengar dari dalam ruangan."Selamat pagi, maaf saya terlambat dihari pertama bekerja," ucapnya salah tingkah lalu menarik kursi dan duduk di depannya.Bu Maya segera menggelengkan kepalanya dan berkata, "Enggak, enggak perlu! Jangan meminta maaf pada saya, saya yang seharusnya meminta maaf karena tiba-tiba menelpon anda seperti tadi. Saya seharusnya memberitahu anda kemarin malam, saya minta maaf."Erlangga berdehem pelan, ucapan wanita itu meredakan sedikit rasa bersalah di hatinya.Situasinya benar-benar membuatnya gugup hingga membuatnya pergi dengan perut kosong.Erlangga berpikir untuk segera menyelesaikan tugasnya lalu kemudian pergi mengisi perutnya."Baiklah, tidak apa-apa. Kalau begitu, sebaiknya kita lakuk
"Kamu memang benar-benar tampan. Pantas saja mereka bersikeras untuk bekerja sama denganmu." Sebuah pujian terlontar dari mulut Sylvia saat dirinya memandangi wajah Erlangga tanpa rasa puas.Dia menutupi kedua pipinya yang merona merah dengan tangannya saat Erlangga membalasnya dengan senyuman."Apa kamu sudah memiliki kekasih, Tuan Er?" tanya Sylvia gugup.Namun, Erlangga tetap terlihat tenang dan tidak merasa terganggu dengan perkataannya.Erlangga menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, saya belum memikirkannya."Bibir Sylvia yang kemerahan terbuka lebar, dia berpikir memiliki kesempatan untuk mendekatinya dan mungkin menjadi kekasihnya."Benarkah? Kamu lelaki normal 'kan? Apa kamu tidak berpikir untuk dekat dengan seseorang?" pancing Sylvia. Dia berharap Erlangga mengerti maksud ucapannya."Hei, tentu saja aku lelaki normal. Mungkin aku bisa mempertimbangkannya, tetapi nanti setelah aku sukses."Ya, tentu saja setelah dirinya berhasil memecahkan teka-teki menyangkut dirinya dan kel
Di dalam restoran, Erlangga berjalan di sisi Sylvia hingga di pintu depan.Er tersenyum hangat pada gadis itu setelah memutuskan untuk berkendara dengan mobilnya sendiri.Er membuka pintu belakang dan mempersilahkan Sylvia masuk ke dalam mobilnya."Apa besok kamu akan datang ke kantor?" Sylvia bertanya melalui jendela mobil yang terbuka lebar saat Er akan berbalik pergi.Er menggeleng lalu menjawab, "Aku rasa tidak. Tidak hingga Bu Maya memintaku untuk datang ke sana. Ada apa?""Oh ...." Nada suara Sylvia terdengar kecewa.Dia ingin bertanya lebih banyak lagi padanya, tetapi Sylvia mengurungkan niatnya.Dia tidak ingin terlihat murahan di mata lelaki itu, dia takut membuat Erlangga tidak suka padanya.Melihat perubahan di wajah Sylvia, Erlangga tahu jika gadis itu merasa kecewa, tetapi dia harus bisa menahan dirinya dan tidak bertanya lagi.Erlangga harus bisa mendekati gadis itu dengan caranya sendiri agar Sylvia tidak menaruh curiga padanya."Jika tidak ada masalah lagi, aku permisi
"Apa kau sudah dapatkan apa yang aku perintahkan padamu?" Prabujaya bertanya tanpa menoleh. Pria paruh baya itu terus berjalan menuju meja kerjanya.Asistennya, Daniel, mengikutinya dan berhenti tepat di depan meja kerja Prabujaya."Putri Ilham Samudera datang untuk mendengar hasil putusan pengadilan. Saya tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahui kabar itu, tapi seseorang pasti telah memberi gadis itu informasi. Dan saya yakin ini adalah ulah Tuan Muda Erlangga," jawab Daniel tegas."Apa kau telah memeriksanya dengan jelas?" Ada tekanan di dalam suara Prabujaya."Tentu saja, Tuan. Saya bisa memastikan semua itu benar," jawab Daniel tegas. "Tapi ada hal yang lebih penting yang harus saya sampaikan. Ini mungkin sedikit mengejutkan, tapi anda harus mengetahuinya." Daniel berusaha memperjelas situasinya."Hal penting apa?" Raut wajah Prabujaya langsung berubah. Matanya menyipit tajam."Ternyata Tuan Muda telah beberapa kali bertemu dengan putri Ilham Samudera dan berusaha untuk mendekat
Pukul tujuh tiga puluh pagi, Komplek River Villa.Erlangga terlihat turun dari kamarnya dengan pakaian rapi. Senyum di wajahnya mengembang, membuatnya terlihat menawan pagi ini.Hari ini sudah diputuskan bahwa Erlangga akan kembali ke perusahaan, melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Tetapi haris ditinggalkan dengan setumpuk alasan yang cukup masuk akal.Er sudah bertekad untuk melupakan semua yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir. Namun, bukan berarti dia telah melupakan obsesinya untuk mendapatkan Viona. Gadis itu tetaplah menjadi maskot kemenangannya."Selamat pagi semuanya." Er menyapa semua orang di ruang makan. Wajahnya sangat cerah pagi ini, membuat Prabujaya berdehem pelan karenanya.Nyonya Helen yang berdiri tak jauh dari Prabujaya juga menatapnya heran penuh curiga. Rasanya sangat aneh dan sulit untuk dipercaya bahwa anak asuhnya akan berubah hanya dalam satu malam. Seakan-akan tidak pernah ada yang terjadi kepadanya."Ehem ... sepertin
"Bukankah Erlangga pergi ke persidangan hari ini? Untuk apa gadis itu mencarinya? Sejak kapan mereka dekat? Apa kau mengetahui sesuatu?"Nyonya Helen tidak berharap Prabujaya akan bertanya tentang hal itu padanyaMeski pria tua itu memaksanya untuk bicara, Nyonya Helen juga tidak tahu harus menjawab apa padanya."Saya juga tidak tahu, Tuan. Nona Viona hanya mengatakan ingin bicara dengan Tuan Muda. Tapi dia tidak menjelaskan alasannya. Bahkan saat saya memintanya pulang, dia menolaknya.""Apa mereka sudah bertemu tadi? Apa yang mereka bicarakan?""Maaf, Tuan ... saya tidak mendengarnya karena saat itu Tuan Muda minta untuk dibuatkan minuman hangat. Dan saat saya kembali, Nona Viona sudah pergi."Suara helaan napas panjang terdengar dari mulut pria tua itu.Prabujaya tidak percaya sepenuhnya pada wanita itu, tetapi dia juga tidak dapat memaksanya untuk bicara sekarang."Apa Elangga ada di kamarnya?"Wanita itu mengangguk. "Ya, Tuan. Tuan Muda ada di kamarnya."Prabuajaya berdiri. Dia me
"Tuan Muda, boleh saya masuk?"Suara panggilan Nyonya Helen bergema diikuti oleh suara ketukan di pintu kamar Erlangga. Namun, tidak ada jawaban.Wanita paruh baya itu mendorong pintu kamarnya dengan lembut lalu masuk ke dalam kamar dengan hati-hati.Saat ini, Erlangga baru saja keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Cuaca dingin ditambah suhu kamarnya yang dingin sama sekali tidak berpengaruh padanya.Dia mengeringkan rambutnya kemudian melempar handuk berwarna putih itu dengan asal di atas ranjang. Dan ketika Erlangga berbalik, dia terkesiap ketika melihat Nyonya Helen sedang berdiri menatapnya. Kehadiran Nyonya Helen di kamarnya membuat jantungnya berdegup kencang."Kapan ibu masuk? Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?" "Saya sudah mengetuk tapi tidak ada jawaban. Karena khawatir, saya masuk untuk memeriksa," jawab Nyonya Helen.Er mengusap dadanya seraya menyentak napasnya kuat."Ada apa?" tanya Erlangga kesal."Saya hanya ingin bertanya untuk memastikan sesuatu. Apa and
"Apa kau melihat gadis tadi? Bukankah itu Viona, tunangan Rangga?" tanya Prabujaya. "Kenapa dia lari terburu-buru?"Daniel langsung menoleh ke belakang dan melihat gadis yang dimaksud oleh Prabujaya sedang berlari keluar rumah sambil menangis.Dia langsung mengenali gadis itu sebagai putri dari Ilham Samudera dan Delia."Itu memang Nona Viona, putri dari Tuan Ilham. Tapi untuk apa dia datang ke sini?" ucap Daniel. Dia mencoba menebak-nebak apa yang baru saja terjadi ketika mereka sedang tidak berada di rumah.Prabujaya menoleh pada asistennya sambil berkata, "Itu adalah tugas untukmu. Cari tahu apa yang terjadi pada gadis itu!""Baik, Tuan," jawab Daniel.Tanpa membuang waktu, Daniel segera meninggalkan rumah itu. Dia segera masuk ke dalam mobil dan mulai mengejar Viona yang telah berada cukup jauh di depan.Hujan lebat tak membatasi gadis itu untuk mengemudikan mobilnya. Suasana hatinya yang buruk telah menyulapnya menjadi raja jalanan secara mendadak.Viona dengan sengaja menyeret d
Ada apa? Untuk apa Ibu Helen menelponmu?""Ada wanita yang datang ke rumah mencari anda?""Wanita? Siapa?" Sepasang alis hitam milik Erlangga tertarik ketika keningnya berkerut."Entahlah, saya juga tidak tahu. Nyonya Helen tidak mengatakan apapun tadi."Erlangga memutar matanya, menebak-nebak sosok wanita yang sedang menunggu kedatangannya.Sejauh ini, Er hanya mengenal dua orang wanita saja sejak dirinya kembali ke negaranya."Sylvia? Tidak mungkin! Dia sama sekali belum mengetahui siapa aku sebenarnya. Bagaimana mungkin dia tahu aku tinggal di sana?" Erlangga berbicara pada dirinya sendiri."Apa mungkin wanita itu adalah Nona Viona?" celetuk Alex dari kursi depan.Pikiran Erlangga langsung teralihkan.Ketika mendengar Alex menyebut nama gadis itu, Erlangga teringat kembali pada percakapan antara dirinya dan Viona sehari sebelumnya.Er tidak menyangka, hati gadis itu akan tergerak karena perkataannya."Ayo, buruan! Kita harus tiba lebih dulu dari mereka. Aku tidak ingin Papa bertemu
"Siapa?""Pak Hamdan. Apa anda mengenalnya, Pak?" Pak Hasan balik bertanya. Matanya menelusuri setiap perubahan raut di wajah Alex ketika keningnya mulai berkerut."Pak Hamdan? Tentu saja saya kenal dengannya. Dia adalah orang yang telah membantu Tuan Muda kami, tanpa dia mungkin kasus ini akan tetap tersimpan rapat-rapat. Tidak perduli meskipun kami memiliki banyak bukti untuk membuat mereka mendekam di penjara, tanpa bantuannya semua akan sia-sia." Alex berbicara dengan suara rendah untuk menghindari orang yang ingin mencuri dengar.Dia lantas menghembuskan napasnya kuat ke udara, sementara pikirannya melayang membayangkan saat-saat dimana dirinya melakukan banyak hal bersama tuannya untuk mendapatkan semua bukti yang mereka miliki sekarang."Akhirnya ... Tuan Muda Erlangga bisa lebih tenang menjalani hidupnya sekarang," ucap Alex dengan perasaan lega."Syukurlah. Tidak disangka Erlangga mampu melewati semuanya dengan sabar ya, Pak. Jika saja Olivia masih hidup, dia pasti akan sanga
Kemunculan keluarga Pak Hasan bersama beberapa warga desa berhasil mencuri perhatian beberapa pencari berita yang telah menunggu di depan pintu ruang sidang.Rombongan warga desa itu terlihat turun dari sebuah mobil keluaran lama dan berdiri menunggu di depan pintu untuk dipersilahkan masuk.Akan tetapi, tak seorang pun dari wartawan itu bergerak untuk mengejar mereka karena berpikir bahwa keluarga Pak Hasan hanyalah warga biasa seperti yang lainnya.Hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh Pak Hasan. Laki-laki itu dan istrinya pelan-pelan berpisah dari rombongan untuk mencari Erlangga."Permisi, Pak. Kapan sidangnya akan dimulai, ya?"Pak Hasan mendekati seorang petugas berseragam coklat yang baru saja keluar dari sebuah ruangan di samping ruang sidang untuk bertanya padanya."Mungkim sekitar satu jam lagi," jawab petugas itu.Saat dia akan pergi, Pak Hasan menahannya dan kembali bertanya padanya."Tunggu, Pak. Apa Erlangga sudah tiba di sini?""Erlangga? Maaf, Pak ... saya tidak kenal.
Daniel mencoba mengabaikan wajah sendu Vionaà sebelum suasana di ruangan itu terkena imbasnya.Dengan suara tegas, Daniel kembali bertanya pada gadis itu. "Bisa beri tahu saya lebih detail apa yang dia katakan pada anda, Nona?"Mata VIona melebar.Entah mengapa Viona merasa bahwa asisten Tuan Prabujaya tidak mempercayai ucapannya.Karena itu, Viona melempar ponselnya dengan kesal di atas meja."Kau bisa baca sepuasnya!"ucap gadis itu lantang, kemudian berlalu dari ruangan itu untuk bersembunyi di kamarnya yang tenang.Semua orang di ruangan itu tercengang dengan aksi Viona yang tiba-tiba.Mereka menatap kepergiannya hingga tubuh Viona perlahan menjauh dan menghilang dari pandangan."Saya minta maaf, Tuan Ilham. Saya harus lakukan ini demi kebaikan Nona Viona." Daniel segera mencari alasan sebelum kedua orang tua gadis itu mulai menyalahkannya."Jangan diambil hati. Putriku sangat sensitif akhir-akhir ini. Lakukan saja apa yang harus kau lakukan."Daniel mengangguk.Dengan perasaan be