Mala membuka mata ketika sayup-sayup mendengar suara sirene polisi di kejauhan. Dia terdiam beberapa lama, berusaha mengumpulkan ingatan. Sejurus kemudian air mukanya berubah murung. Teringat kembali dengan permasalahan besar yang kini sedang dialaminya.
Dia duduk perlahan dan melihat alarm. Rupanya dia terlelap cukup lama, sekarang sudah pukul dua dini hari–dan perutnya mulai bersuara minta diisi. Namun Mala tak segera turun dari tempat tidur, tapi menajamkan telinga–sebagaimana kebiasaannya saat masih bersama ayahnya.
Waspada adalah sikap yang menjadi aturan ayahnya. Sikap yang semenjak dia bersama Gamma perlahan menghilang–apalagi dengan adanya Vicky yang selalu siap sedia melindungi–sejak dia dan Gamma belum menikah. Lelaki itu benar-benar pengawal yang sempurna.
Samar-samar telinga Mala menangkap suara langkah perlahan melintas di dekat jendela. Dia bergerak turun dan mendekati jendela sembari menajamkan pendengaran. Dan dia tidak salah! Suara seseorang berjalan mengendap-endap, berusaha untuk tidak terdengar langkahnya.
Mala perlahan membuka lemari pakaiannya. Mengambil celana jeans, semprotan merica dan jacket. Tak lupa sebuah dompet kulit yang diselipkan di bawah baju. Dompet yang tak pernah dia buka sebelumnya–karena merasa tak akan pernah membutuhkannya. Ayahnya yang menyelipkan di bawah bantal, tapi Mala memindahkannya ke lemari.
Setelah mengganti pakaiannya dengan celana jeans dan memakai jaket, Mala membuka dompet kulit di tangannya. Dia sedikit tertegun mendapati isi di dalamnya sebuah pistol mungil, sebuah ponsel dan kartu ATM. Dalam kondisi genting, Mala tahu bagaimana cara memakai pistol.
“Thanks, Dad,” gumam Mala dalam hati. Dia lalu memasukkan dompet kulit itu ke saku dalam jaket, lalu berjalan keluar kamar.
Saat membuka pintu perlahan sembari menajamkan telinga, dia melihat kelebatan bayangan hitam melintas di ruang makan. Sontak Mala membungkuk.
Seseorang sudah masuk ke dalam rumahnya!
Perlahan Mala merangkak menuju ke dapur. Dilihatnya, pintu dapur sudah terbuka sedikit–daun pintunya bergeser keluar dari kusen. Langkah kaki yang didengarnya tadi ternyata tidak salah. Dia berniat masuk rumah melalui pintu dapur–dan sudah berhasil. Entah bagaimana caranya, yang jelas Mala sama sekali tidak mendengar suara pintu dirusak.
Satu-satunya cara untuk mengamankan dirinya saat ini, bukan di dalam rumah. Dia harus keluar rumah sebelum bayangan orang yang melintas dalam rumahnya tadi memergokinya. Apapun bisa terjadi saat ini.
Mala beringsut pelan. Tinggal satu meter lagi ketika tangannya hendak meraih daun pintu dapur, tiba-tiba seseorang menangkapnya dari belakang.
Mala meronta, tapi penyergapnya lebih kuat. Dia membekap mulut Mala dan mengangkat tubuhnya. Mala mengeluarkan segenap tenaganya untuk melepaskan diri. Namun sebuah bisikan di telinganya membuatnya meredakan gerakan tangan dan kakinya.
“Mala Hopkins, sebaiknya kita tidak berisik. Atau mereka akan menemukan kita.”
Mala tentu saja tidak percaya begitu saja. Dia menendang kaki penyergapnya, dan mereka berdua terjungkang bersamaan. Mengetahui penyergapnya terjatuh, Mala bergegas merangkak menjauh, namun dia sekali lagi kalah cepat.
Kakinya dicengkram kuat oleh penyergapnya. Mala sontak membalik badan, meraba dompet kulit di saku jaketnya. Sialnya adalah, kenapa dia tidak mengeluarkan pistol mini itu dari dompet. Dalam kondisi genting seperti ini, apa yang harus dilakukannya.
“Mala, ini aku–notaris Tuan Moreano!” seru penyergapnya tertahan.
Dalam keremangan lampu yang berasal dari luar dapur, Mala mengenali lelaki yang sedang menahan kakinya untuk tidak bergerak menjauhinya.
Dia notaris yang membacakan surat wasiat Lowkey Moreano.
“Ada yang harus kusampaikan padamu. Please …”
Mala beringsut pelan dan notaris itu menarik napas lega melihat Mala mau bekerja sama dengannya–meski dengan tatapan curiga.
“Ini tentang surat wasiat.”
“Aku tidak percaya padamu. Kenapa kau menyusup seperti kriminal?”
Notaris itu menggeleng. Dia tampak sangat lelah. Sepertinya bukan karena berusaha menangkap Mala, tapi dia berkeringat dan tampak lusuh. Setelah pembacaan surat wasiat itu, apa yang sebenarnya yang telah terjadi?
“Jeff yang menyuruhku.”
“Dad? Kau boleh berbohong semaumu, tapi aku tidak akan percaya,” tukas Mala. Perlahan dia bangkit dan berdiri. Masih dengan sikap waspada.
“Surat wasiat itu memang benar untuk kamu, Mala. Bahkan Moreano semula akan memberikan semuanya padamu. Tapi, aku mengingatkannya soal Gamma. Gamma …”
Notaris merendahkan suaranya, dan memberi kode pada Mala untuk menunduk. “Ada orang di luar.”
“Pasti komplotanmu,” sergah Mala berbisik–meski mau tak mau dia menuruti notaris di depannya. Bisa jadi langkah yang terdengar di luar jendela kamarnya bukan langkah si notaris. Tapi orang lain.
“Aku tidak punya komplotan. Aku tidak bekerja untuk siapapun.”
“Lalu, siapa kamu?”
“Rayyes. Mungkin kau belum tahu, kalau kami bertiga bersahabat sejak lama.”
Mala mengernyit kening. Bersahabat? Tidak hanya Moreano dan Hopkins? Tapi kenapa selama ini Mala tidak pernah tahu lelaki yang mengaku sahabat ini. Sepertinya lelaki yang mengaku bernama Rayyes ini berusaha mencari posisi aman bagi dirinya. Dia saja sebagai istri Gamma dan pewaris utama Moreano–mendapat perlakuan yang tidak seharusnya dia terima. Apalagi seorang notaris yang bisa jadi tidak dipercaya sama sekali oleh Gamma.
Mala mendecih, lalu bangkit berdiri. Menuju pintu dapur dan membukanya. “Sebaiknya kau keluar, atau aku akan memanggil polisi.”
Rayyes sontak berdiri. “Mala, dengarkan aku. Kau dan Moreano …”
Tidak ada suara tembakan yang cukup keras. Hanya suara tembakan yang teredam–dan menyebabkan Rayyes tiba-tiba terkapar.
Mala memekik terkejut. Rayyes mendelik dan menggelepar sejenak, lalu terdiam. Di kening Rayyes tiba-tiba terdapat lobang hitam. Perlahan-lahan, cairan pekat kental mengalir dari balik kepalanya.
***
Mala benar-benar tidak bisa mengingat jalan mana yang harus dilaluinya menuju kantor polisi. Dia mendengar teriakan Vicky sayup-sayup–memanggil-manggil menanyakan keadaannya. Mala hanya memeluk badan di dalam tong sampah–berharap Vicky tidak menemukannya.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” jeritnya dalam hati.
Notaris itu dibunuh tepat di hadapannya. Dan alarm bahaya dalam diri Mala menyuruhnya untuk segera meninggalkan rumah. Rumahnya bukan lagi tempat yang aman baginya. Dia harus menuju Kantor Polisi, setidaknya mereka adalah aparat negara yang harus melindungi warganya.
Dan Jeff Hopkins ada di sana. Mala sudah tak sabar kembali dalam pelukan ayahnya yang hangat dan nyaman. Satu-satunya manusia di dunia ini yang akan melindunginya hingga titik darah penghabisan.
Persetan dengan Gamma. Lelaki itu kini bukan suaminya lagi sejak dia melemparkan koper ke arahnya.
“Apa Vicky yang membunuh notaris Rayyes?” batin Mala. Dia tidak bisa berpikir jernih sekarang.
Terdengar beberapa langkah berlari dan mendekati tong sampah tempat Mala bersembunyi.
“Kau menemukannya?” tanya seseorang. Suara Vicky terdengar terengah.
“Tidak ada di mana-mana Bos. Aku yakin dia tidak naik kendaraan apapun. Mungkin dia menyelinap di salah satu rumah.”
“Kita harus menemukan dan melindungi Mala,” ujar Vicky. “Dia dalam bahaya besar. Temukan dia, kalau perlu gedor setiap rumah. Dan, ingat! Gamma hanya tahu kalau Mala baik-baik saja.”
“Oke Bos!”
Langkah-langkah kembali saling menjauh. Mala memejam mata. Apa benar Vicky akan melindunginya? Bahkan dari Gamma?
“Pergilah dari Nashville, sayang. Please …”Jeff menggenggam jemari putri semata wayangnya dari balik jeruji besi. Jemari itu begitu dingin dan gemetar. Jeff tak kuasa membendung air mata–padahal dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak meneteskan air mata di hadapan Mala.“Aku tidak akan meninggalkan Ayah!” bisik Mala gemetar. Dadanya bergemuruh, antara marah, duka dan putus asa.“Kau tidak akan sanggup melawan Moreano dan anak buahnya. Apalagi mereka sekarang di bawah kendali Gamma. Pergilah sayang, Papa tidak ingin melihat kamu menderita.”Mala menggeleng kuat. Memasukkan tangan ke dalam jeruji hingga bisa merengkuh badan gempal ayahnya yang terlihat kurus hanya dalam beberapa hari saja. Dia tidak akan mening
Seumur hidup Mala, dia tak pernah bermimpi akan meninggalkan Nashville untuk selamanya, kecuali kematian yang membawa pergi. Namun ketika menoleh ke belakang menatap pucuk Bellsouth Building–bangunan tertinggi di Nashville–jiwanya seakan lepas melayang tak tentu arah.“Jika bersamaku, tidak boleh ada air mata.”Uncle Jimmy memang bukan orang yang hangat. Namun Mala memahami kenapa kalimat itu menjadi kesepakatan antara mereka berdua saat Mala duduk di belakang Uncle Jimmy.Harley Davidson paman yang tak pernah disayanginya itu meraung kencang ketika mereka memasuki batas kota Nashville. Tak ada lagi yang membuatnya harus bertahan di kota kelahirannya. Baik itu Gamma Moreano–lelaki yang padanya sudah Mala serahkan segenap hati dan raganya. Juga Jeff Hopkins sang ayah tercinta yang
Mala tidak tahu kenapa pondok di tepi danau ini dinamai Pearl House. Mungkin karena di malam hari, dia seperti mutiara dalam kegelapan. Benderang dibandingkan sekelilingnya. Sampai dengan radius satu kilometer, tidak ada satu pun rumah. Tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika Mala masih kecil.Yang jelas, papan nama bertuliskan Pearl House menempel di dindingnya yang berdebu.Jeff Hopkins tinggal di Pearl House sejak menikah dengan mendiang Ibu Mala. Hingga Mala lahir dan bersekolah, mereka masih tinggal di sana. Namun kemudian memutuskan untuk pindah ke Tennessee setelah Jeff mendapat tawaran di Kantor Polisi Nashville.Menjadi polisi di kota kecil memang sudah dijalaninya sejak sebelum menikah. Demi pendidikan Mala yang kerap tidak masuk sekolah karena menempuh jarak terlalu jauh–membuat keluarga Hopk
Jeff Hopkins duduk tepekur di sudut sel. Sebagai pensiunan polisi, seharusnya dia mengistirahatkan badan dan isi kepalanya–tidak lagi memikirkan kasus-kasus yang sudah membuat rambutnya memutih.Namun nasibnya kini adalah, dia harus memikirkan kasusnya sendiri.“Apa yang kau rencanakan, Lowkey?”Jeff mendesah panjang. Dia yakin Lowkey punya rencana besar sebelum kematiannya, kalau tidak, dia tidak akan membuat janji untuk bertemu di malam nahas itu. Saat Mala dan Gamma berbulan madu, saat tidak ada satu pun pengawal di dalam rumah.Lowkey mengadakan pesta kebun kecil-kecilan untuk pengawalnya–tanpa memperingati apapun. Dia memang sering mengadakan acara seperti itu untuk beberapa teman dekatnya. Semua sedang menikmati minuman ketika pelayan
Sepanjang Vicky menjadi pengawal pribadi Gamma, baru kali ini dia melihat lelaki itu begitu kacau. Meski baju mahal dan makanan lezat mengelilinginya, tapi ternyata kehilangan seorang wanita membuat semuanya tidak berarti. Ditambah kini beban perusahaan Moreano ada padanya. Beberapa dewan direksi yang berusaha menghadap untuk memberikan laporan, harus menerima nasib malang karena dilempar botol minuman atau perabot. Bahkan, ada salah seorang sopir yang terpaksa masuk rumah sakit karena luka di kepala karena dilempar vas. “Bila kau terus-terusan seperti ini, aku akan berhenti dan mencari kerja di tempat lain.” Vicky sebenarnya hanya menggertak–dia tidak akan melakukan hal itu karena bagaimanapun juga, dia sudah terikat dengan keluarga Moreano. Bahkan bisa dikatakan, dia sudah sangat mengenal keluarga ini dari A sampai Z. Sampai ke lobang-lobang semut di
“Kau tidak selincah dulu lagi dengan perut gendutmu, Jim.”Jimmy meraba perut gendutnya. “Kalian yang membuatku seperti ini.”Temannya yang lebih muda dan berbadan atletis hanya mencibir. “Kau memang seharusnya sudah istirahat, atau besi di kakimu akan mencuat lagi seperti dulu. Salah sendiri, kenapa istirahat kau artikan dengan minum dan duduk manis di kandangmu itu.”Jimmy mendengus. “Besi di kakiku sudah lama berkarat, jadi sebaiknya dibilas dengan alkohol.”Jimmy menarik celananya hingga setinggi lutut. Terlihat bekas luka jahitan memanjang, pintu masuk besi panjang penunjang langkahnya. Sejak besi bersemayam di dalam kakinya, dia tidak lagi berada di jalanan, dan itu membuatnya depresi.
Detektif Taylor baru saja tiba di rumah Gamma. Dilihatnya lelaki itu berdiri di balkon, menatap jauh ke depan. Mungkin dia sedang menanti istrinya kembali–yang tentu saja itu mustahil. Detektif Taylor sudah mendapatkan laporan tentang Mala yang sudah meninggalkan Nashville pasca peristiwa pembunuhan di rumah ayahnya. Membuat semakin menguatkan dugaan bahwa Mala terlibat dalam pembunuhan Notaris Rayyes.Vicky mengantar Detektif Taylor menemui Gamma di balkon. Sebelumnya dia berpesan, kondisi emosi Gamma sedang tidak baik. Pemakaman Lowkey Moreano akan digelar dua hari lagi setelah proses otopsi selesai. Vicky sudah mempersiapkan semuanya–tinggal Gamma yang tampak kurang siap.“Kuharap anda membawa kabar baik buat Gamma Moreano,” ucap Vicky sebelum mereka menaiki anak tangga. “Perusahaan Moreano harus segera dipikirkan kelanjutannya.
“Kurasa kau sudah tahu apa yang sedang terjadi di luar sana, Jeff Hopkins.”Vicky menatap mertua majikannya dengan tatapan penuh tuduhan, namun yang ditatap tidak merespon apapun. Hanya duduk tenang menikmati salad yang dibawa oleh Vicky. “Kau bahkan tidak takut keracunan lagi seperti saat di Kantor Polisi.”Jeff menghentikan suapan, melirik Vicky tanpa ekspresi, lalu melanjutkan santapannya. Jarang-jarang dia bisa menikmati salad buah di dalam penjara. Apalagi dikirim oleh menantu yang menjebloskannya ke penjara. Entah apa yang ada dalam pikiran si menantu, tapi setidaknya dia telah berbuat baik dengan mengirim salad tanpa selai kacang.“Setidaknya, tidak ada yang meracuniku di dalam penjara dengan keamanan maksimum seperti saat ini.” Jeff tersenyum sembari mengunyah.
Dengan dalih kasih sayang pada keponakan semata wayang dari sepupunya, Bibi Laela bersedia mengumpulkan data seakurat mungkin. Data yang tak pernah terpikir oleh Gamma sebelumnya. Yaitu daftar selingkuhan Papanya. Dan yang membuat jantung Gamma menjengit nyeri ketika Bibi Laela menyampaikan bahwa Papanya sudah terbiasa melakukan itu sejak Mama masih hidup. Bahkan di tahun pertama pernikahan mereka. “Entahlah, apakah mendiang Mamamu mengetahui atau tidak kelakuan suaminya. Yang jelas, dia wanita yang sangat setia. Percayalah padaku soal itu. Kami sama-sama wanita, jadi aku bisa melihat betapa dia selalu berusaha untuk menjadi ibu yang baik. Tapi, Lowkey … ah, laki-laki kukira di mana-mana sama saja. Dia begitu manis di rumah, tapi menjadi liar begitu melangkah keluar pintu rumah.” Gamma tidak hendak merespon apapun. Bagaimanapun juga, dia sangat menghormati Papa yang sudah membesarkannya. Di matanya selama Mama masih hidup, mereka berdua adalah orang tua yang hangat dan sangat menya
"Nyonya Laela menelpon, Tuan."Gamma yang sedang menghadap televisi, menerima telepon yang dihulurkan oleh pelayanannya. Sepasang matanya tidak beralih dari televisi yang sedang menayangkan ulasan kematian Papanya. Dua jam lagi, pemakaman Lowkey Moerano akan dilaksanakan. Semua televisi, radio dan media lainnya sibuk memberitakan kembali kasus pembunuhan Moreano–bahkan lebih menghebohkan dari berita saat kematian di hari pertamanya. Karena kali ini disertai berbagai ulasan dan kemungkinan siapa pembunuh Moreano yang sebenarnya.Vicky mengabarkan, kalau Jeff Hopkins kini ditempatkan di penjara isolasi, guna menghindarkannya dari serangan tahanan lain di Riverbend. Hal yang cukup menenangkan Gamma–karena yakin bisa mempertahankan Hopkins tetap hidup hingga penyelidikan tuntas dan menyeret mantan Kepala Polisi sekaligus mantan mertuanya itu ke pengadil
Detektif Taylor menemukan bukti bahwa Mala terlibat dalam pembunuhan Notaris Rayyes. Bukti yang cukup mengejutkan bagi Gamma."Katakan, kenapa kau bisa menyebutkan Mala terlibat?" Gamma tampak gusar. Antara marah, kecewa dan tidak percaya. Perkara wasiat dan warisan yang ditangani Notaris Rayyes saja sudah membuatnya murka, ditambah bukti bahwa Mala terlibat pembunuhan Rayyes. Semakin menguatkan dugaan Gamma bahwa Mala memang sudah membuat skenario sedemikian rapi dan terencana. Bahkan mungkin sebelum mereka menikah."Kami menemukan pistol berperedam yang digunakan untuk membunuh Rayyes. Tidak jauh dari rumah Jeff Hopkins.""Siapapun bisa melakukannya," tukas Vicky. "Hanya pembunuh bodoh yang membuang senjatanya di dekat lokasi perkara."Gamma terdiam. Vicky benar. "Bisa kukatakan, bila Mala merencanakan semuanya sejak awal, dia tidak akan sebodoh itu. Tapi, bila Rayyes mati, maka sudah tertutup pintu untuk membuktikan kebenaran surat wasiat Papa."Detektif Taylor mengamati sekilas du
“Kurasa kau sudah tahu apa yang sedang terjadi di luar sana, Jeff Hopkins.”Vicky menatap mertua majikannya dengan tatapan penuh tuduhan, namun yang ditatap tidak merespon apapun. Hanya duduk tenang menikmati salad yang dibawa oleh Vicky. “Kau bahkan tidak takut keracunan lagi seperti saat di Kantor Polisi.”Jeff menghentikan suapan, melirik Vicky tanpa ekspresi, lalu melanjutkan santapannya. Jarang-jarang dia bisa menikmati salad buah di dalam penjara. Apalagi dikirim oleh menantu yang menjebloskannya ke penjara. Entah apa yang ada dalam pikiran si menantu, tapi setidaknya dia telah berbuat baik dengan mengirim salad tanpa selai kacang.“Setidaknya, tidak ada yang meracuniku di dalam penjara dengan keamanan maksimum seperti saat ini.” Jeff tersenyum sembari mengunyah.
Detektif Taylor baru saja tiba di rumah Gamma. Dilihatnya lelaki itu berdiri di balkon, menatap jauh ke depan. Mungkin dia sedang menanti istrinya kembali–yang tentu saja itu mustahil. Detektif Taylor sudah mendapatkan laporan tentang Mala yang sudah meninggalkan Nashville pasca peristiwa pembunuhan di rumah ayahnya. Membuat semakin menguatkan dugaan bahwa Mala terlibat dalam pembunuhan Notaris Rayyes.Vicky mengantar Detektif Taylor menemui Gamma di balkon. Sebelumnya dia berpesan, kondisi emosi Gamma sedang tidak baik. Pemakaman Lowkey Moreano akan digelar dua hari lagi setelah proses otopsi selesai. Vicky sudah mempersiapkan semuanya–tinggal Gamma yang tampak kurang siap.“Kuharap anda membawa kabar baik buat Gamma Moreano,” ucap Vicky sebelum mereka menaiki anak tangga. “Perusahaan Moreano harus segera dipikirkan kelanjutannya.
“Kau tidak selincah dulu lagi dengan perut gendutmu, Jim.”Jimmy meraba perut gendutnya. “Kalian yang membuatku seperti ini.”Temannya yang lebih muda dan berbadan atletis hanya mencibir. “Kau memang seharusnya sudah istirahat, atau besi di kakimu akan mencuat lagi seperti dulu. Salah sendiri, kenapa istirahat kau artikan dengan minum dan duduk manis di kandangmu itu.”Jimmy mendengus. “Besi di kakiku sudah lama berkarat, jadi sebaiknya dibilas dengan alkohol.”Jimmy menarik celananya hingga setinggi lutut. Terlihat bekas luka jahitan memanjang, pintu masuk besi panjang penunjang langkahnya. Sejak besi bersemayam di dalam kakinya, dia tidak lagi berada di jalanan, dan itu membuatnya depresi.
Sepanjang Vicky menjadi pengawal pribadi Gamma, baru kali ini dia melihat lelaki itu begitu kacau. Meski baju mahal dan makanan lezat mengelilinginya, tapi ternyata kehilangan seorang wanita membuat semuanya tidak berarti. Ditambah kini beban perusahaan Moreano ada padanya. Beberapa dewan direksi yang berusaha menghadap untuk memberikan laporan, harus menerima nasib malang karena dilempar botol minuman atau perabot. Bahkan, ada salah seorang sopir yang terpaksa masuk rumah sakit karena luka di kepala karena dilempar vas. “Bila kau terus-terusan seperti ini, aku akan berhenti dan mencari kerja di tempat lain.” Vicky sebenarnya hanya menggertak–dia tidak akan melakukan hal itu karena bagaimanapun juga, dia sudah terikat dengan keluarga Moreano. Bahkan bisa dikatakan, dia sudah sangat mengenal keluarga ini dari A sampai Z. Sampai ke lobang-lobang semut di
Jeff Hopkins duduk tepekur di sudut sel. Sebagai pensiunan polisi, seharusnya dia mengistirahatkan badan dan isi kepalanya–tidak lagi memikirkan kasus-kasus yang sudah membuat rambutnya memutih.Namun nasibnya kini adalah, dia harus memikirkan kasusnya sendiri.“Apa yang kau rencanakan, Lowkey?”Jeff mendesah panjang. Dia yakin Lowkey punya rencana besar sebelum kematiannya, kalau tidak, dia tidak akan membuat janji untuk bertemu di malam nahas itu. Saat Mala dan Gamma berbulan madu, saat tidak ada satu pun pengawal di dalam rumah.Lowkey mengadakan pesta kebun kecil-kecilan untuk pengawalnya–tanpa memperingati apapun. Dia memang sering mengadakan acara seperti itu untuk beberapa teman dekatnya. Semua sedang menikmati minuman ketika pelayan
Mala tidak tahu kenapa pondok di tepi danau ini dinamai Pearl House. Mungkin karena di malam hari, dia seperti mutiara dalam kegelapan. Benderang dibandingkan sekelilingnya. Sampai dengan radius satu kilometer, tidak ada satu pun rumah. Tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika Mala masih kecil.Yang jelas, papan nama bertuliskan Pearl House menempel di dindingnya yang berdebu.Jeff Hopkins tinggal di Pearl House sejak menikah dengan mendiang Ibu Mala. Hingga Mala lahir dan bersekolah, mereka masih tinggal di sana. Namun kemudian memutuskan untuk pindah ke Tennessee setelah Jeff mendapat tawaran di Kantor Polisi Nashville.Menjadi polisi di kota kecil memang sudah dijalaninya sejak sebelum menikah. Demi pendidikan Mala yang kerap tidak masuk sekolah karena menempuh jarak terlalu jauh–membuat keluarga Hopk