Lelaki itu langsung gelagapan melihat cuplikan dalam ponsel. “Tidak! Ini video amatir Sayang, kamu jangan percaya. Siapa yang mengirimnya? Katakan padaku biar aku-” “Tidak penting, kamu tidak perlu tau siapa yang mengirim video itu. Apa kamu masih mengelak?” tanya Dea. Lelaki itu enggan menjawab pertanyaan istrinya, kali ini dia ketahuan telah melakukan pengkhianatan. Video dimana ia bersenggama dengan istri sirinya sampai pada Dea. Jelas ini membuat istri sahnya sakit hati. Kini Kevin tidak bisa mengelak dari semua kenyataannya perbuatan yang telah ia lakukan. “Kita menikah baru setahun Mas, dan kamu mengatakan ingin menghabiskan sisa usiamu bersamaku? Apa kamu tidak sadar diri? Kamu tidak malu mengatakan itu? Aku tak habis pikir,” keluh Dea. “Aku serius mengatakannya De, aku benar-benar ingin menghabiskan sisa usiaku bersamamu.” Dea lagi-lagi hanya bisa menggelengkan kepalanya. “Aku memang bersama Icha, tapi setelah itu aku sadar. Hanya kamu yang aku inginkan, cuma kamu Sayang
“Tidak, jangan seperti ini Dea. Kamu tahu kan, aku sangat mencintaimu,” mohon Kevin. Ia enggan meninggalkan istrinya. “Aku memang salah, berikan satu kesempatan lagi, aku mohon.” Dea membuang mukanya, tak mau menatap wajah suaminya yang terasa menjijikkan. Hatinya terlanjur sakit menerima semua kebohongan itu. Segalanya sudah hancur sekarang. “Pergilah, rumah ini tak sudi diinjak kakimu itu Mas. Bahkan keberadaanmu terasa menjijikkan disini,” usir Dea. “Tidak! Aku tidak akan pergi,” tolak Kevin. Ucapan Dea membuat lelaki itu sakit hati. “Keluar sekarang.” Dea berdiri, dengan langkah tertatih meninggalkan Kevin sendirian di dalam kamar. Perempuan itu sudah sangat muak menghadapi perdebatan ini. Kevin mengikutinya, dari belakang. Ia tak mau pergi dari rumah ini. “Dea!” panggil Kevin pada Dea yang terus berjalan. Tanpa menoleh Dea mengatakan, “Aku akan menelponmu untuk kembali dan mengambil sampahmu dari sini.” Dea
Kevin turun dari sepeda motornya, tak menggubris istrinya ia langsung masuk ke dalam rumah. Kepalanya terasa berdenyut dengan kuat.“Mas... kamu kenapa?” tanya Icha yang langsung bergelantungan di lengan suaminya.“Layani aku sekarang, cepat!” bentak Kevin.Bukannya takut, wanita itu justru tersenyum genit. Ini adalah hal yang sangat ia tunggu-tunggu. Meskipun semalam mereka telah melakukannya, tapi ia tak merasa lelah melayani pria itu berkali-kali dalam sehari.Kevin langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang, sedangkan Icha memulai aksinya dengan begitu lihai.“Lakukan dengan cepat!”Icha menuruti perintah lelaki itu. Hingga Kevin merasakan puncak kenikmatan yang ia inginkan.***Tak hanya perdebatan antara Dea dan Kevin, Levi dan Nina ikut ricuh. Sehabis kedatangan Dea, Levi sibuk membereskan dokumen yang diinginkan adiknya itu hingga ia lupa pesan yang diberikan Dea soal istrinya. Sore
Kini Dea dalam keadaan terpuruk, setelah kepergian Kevin ia hanya bisa menangis di dalam kamar. Mbok Lastri dan Bik Asih bergantian membawakan makanan untuknya.“Mbak Dea makan dulu yuk,” bujuk Bik Asih. Sedari tadi ia menemani Dea, hatinya terenyuh mendengar suara tangis majikannya. Sedangkan Mbok Lastri sudah pulang lebih awal.“Mbakk...” panggil Bik Asih lembut. Tangannya mengusap punggung wanita itu, berharap ini menjadi obat penenang dari rasa sakit yang di derita Dea.Dea mengusap air matanya, bantal yang ia tiduri pun terasa lembab akibat tangisannya.Bik Asih tersenyum melihat Dea yang menyandarkan punggungnya ke dashborad.Dengan sigap ia memberikan sepiring bubur ayam untuk Dea.“Makan dulu Mbak,” ucap Bik Asih dengan menyondorkan sendok.Dengan memakan bubur itu sedikit, lalu memberikannya pada Bik Asih. Kembali merebahkan tubuhnya.“Bik, jangan bilang Mama Papa sama mertua y
Nina menyetir mobil itu dengan gesit.“Cepat Nin!” pinta Kevin. Dia sangat panik.“Sabar Vin, ini aku juga berusaha cepat!” pekik Nina yang ikutan panik. Namun, ketika mobil Nina berjalan lurus melewati gang rumahnya membuat Kevin semakin bingung.“Nin! Bukannya salah arah ya?!” tanya Kevin panik.“Tidak!” jawab Nina. Mobil melaju semakin cepat. Lelaki itu terlihat ling lung, ia hanya pasrah mengikuti perempuan yang sedang mengemudikan mobil yang dia tumpangi.Beberapa menit kemudian mobil itu sudah terparkir di rumah bercat putih.“Ayo masuk!!! Cepat!” ajak Nina yang tergesa-gesa.“Ini rumah siapa? Apa Dea disandera seseorang?” benak Kevin yang overthinking memikirkan banyak kemungkinan yang sedang terjadi.Pria itu segera turun dari mobil, dan melangkahkan kakinya mengikuti Nina. Ketika sampai di ruang tamu, Nina langsung mengunci pintu dan menyimpan kunc
Keadaan benar-benar kacau sekarang, tangan Icha tengah bersimbah darah. “Pa! Panggil dokter ke rumah Pah!” teriak wanita itu. Kevin terpaku melihat pemandangan di depannya. Icha tengah tersungkur dengan pergelangan tangan yang bersimbah darah. Lelaki itu sangat membenci darah. Detak jantungnya berdetak cepat tak terkontrol. Ia perlahan melangkahkan kakinya mundur. Menjauhi tempat itu, dan memilih duduk di atas sofa. Beberapa menit kemudian, Seno datang dengan seorang wanita lengkap kotak P3K di tangannya. Dari pakaiannya wanita itu hanya memakai daster, tapi dia sangat cekatan menutup luka Icha. Ketika semua telah selesai, dan kondisi Icha sudah membaik karena mendapatkan pengobatan dan infus dari dokter itu. Semua orang berkumpul di kamar. “Kevin!” panggil Nina dari dalam kamar. “Cepat sini.” Dengan malas Kevin menghampiri perempuan itu, orangtua Icha menatapnya dengan garang. Sorot kebencian terlihat jelas dari bola mata mereka.
“Apa kau gila!?” pekik Kevin, ia benar-benar tak habis pikir dengan perkataan Icha barusan.“Aku ingin hidup bersamamu Vin, aku cinta kamu,” tutur Icha. Perempuan itu benar-benar mencintai Kevin dengan tulus, dia ingin menghabiskan seumur hidupnya bersama mantan kekasihnya itu.Kevin semakin kesal mendengar jawaban Icha, wajahnya nampak kesal karena kekerasan kepala perempuan itu. Sifat Icha yang tak bisa mengalah membuat masalah semakin rumit. Ditambah sedari tadi kedua orangtua perempuan itu menatap Kevin dengan kejam.“Aku tidak bisa menikahimu, aku memiliki perjanjian pranikah dengan Dea. Bisa-bisa kekayaanku habis dalam sekejap jika dia tau. Kamu ingin hidup susah denganku? Jangan gila Icha,” jelas Kevin panjang lebar.“Kamu masih memiliki cafe Vin, itu kan harta pribadi milikmu. Dea tidak bisa merampasnya, kita bisa hidup dari itu, aku bahkan rela bekerja untuk mencukupi kehidupan kita,” mohon Icha. Pe
Dengan berat hati akhirnya Kevin menjawab, “baiklah. Namun saya meminta beberapa syarat.”“Katakan saja Nak, yang penting kamu mau menikahi Icha.” Seno dengan terbuka menyetujui semua syarat yang akan diajukan calon menantunya itu.“Saya tidak bisa membelikan Icha rumah, kebutuhan sehari-hari juga tidak bisa,” sebut Kevin dengan tegas. Ia tak ingin menjanjikan apapun pada istri barunya ini. Karena Kevin melakukan pernikahan dengan terpaksa.“Tidak masalah, biar semua Bapak tanggung. Nak Kevin cukup nikahin Icha saja,” setuju Seno tanpa komplain.“Bukankah kamu punya cafe!?” teriak Icha tiba-tiba. Perempuan itu menatap mata Kevin dengan tajam, setajam pisau yang ia pegang.“Itu termasuk harta Dea, Cha. Aku tidak bisa memberikannya padamu.” Kevin berusaha menjelaskan, karena memanglah itu kenyataannya. Ketika Dea mengetahui pernikahaan ini, perempuan itu bisa merampas semua kekay
"Perutku sakit banget, Sayang. Seperti kontraksi," jawab Dea dengan suara gemetar.Andre segera memeriksa jam tangannya. "Tapi ini belum waktunya, kan? Masih beberapa minggu lagi!" Namun, melihat ekspresi Dea yang pucat, ia tak berani menunda. "Kita ke rumah sakit sekarang. Tunggu sebentar, aku ambil kunci mobil."Dea mengangguk, meski tubuhnya terus menggeliat karena rasa sakit. Andre kembali dengan mantel dan payung, membantunya bangun dengan hati-hati.Di perjalanan menuju rumah sakit, Dea terus mencengkeram lengan suaminya. Pria itu pun dibuat kalap dengan satu tangan memegang kemudi. "Aduh, Mas sakit banget. Aku nggak kuat," keluhnya.Andre berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak melihat istrinya kesakitan. "Sayang, bertahan ya. Kita sebentar lagi sampai," katanya sambil mempercepat laju mobil.Setibanya di rumah sakit, para perawat langsung membawa Dea ke ruang bersalin. Andre mendampingi dengan wajah penuh kecemasan. Dokter masuk dan memeriksa kondisi Dea dengan ce
“Waalaikumsalam,” jawab Icha cepat-cepat sambil membuka pintu. Berdiri di sana, Kevin dengan setelan kerjanya yang rapi, wajahnya tampak lelah, tetapi ada senyum tipis yang terukir.“Kamu baru pulang?” tanya Icha langsung, nada suaranya sedikit tajam meski ia mencoba menahannya. Evan yang masih dalam gendongannya mulai merengek lagi, membuatnya semakin frustasi.Kevin mengangguk sambil melepas sepatu. “Iya, maaf lama. Ada kerjaan tambahan tadi. Stok baju menumpuk dan harus di display. Ditambah, aku juga menambah manekin sesuai idemu. Aku sudah memasang banyak setelan yang kamu atur.” Ia mendekati mereka, mengusap kepala Evan yang langsung melenguh kecil, tetapi tetap rewel.“Aku hampir gila sendiri di rumah, tahu nggak?” keluh Icha sambil membawa Evan ke ruang tamu. Namun, ada kebahagiaan sendiri karena ide yang sempat ia katakan pada Kevin, sekarang telah teralisasikan. Dia yang dulunya suka shopping dan selalu memakai outfit kece, ternyata bisa merembak ke bisnis toko baju yang mere
Beberapa hari setelah kabar kehamilan itu, Andre dan Dea memutuskan untuk mengundang kedua keluarga mereka untuk makan malam di rumah. Andre telah mengatur semuanya, dari makanan hingga dekorasi sederhana yang akan digunakan untuk menyampaikan kabar gembira tersebut.Dea berdiri di depan cermin, mengenakan gaun longgar yang sengaja dipilih karena ia mulai merasa tak nyaman dengan pakaian yang ketat di perut. Ia menyentuh perutnya yang masih datar dengan perasaan takjub, seolah tak percaya bahwa kehidupan baru tengah tumbuh di dalamnya.“Kamu cantik,” komentar Andre yang muncul dari balik pintu kamar. Ia mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang Dea.“Kamu yakin mereka akan senang?” tanya Dea sambil menatap Andre lewat pantulan cermin.Andre tertawa kecil, mencium kening Dea dengan lembut. “Ayah dan Mama pasti akan sangat senang. Apalagi Oma. Dia sudah lama menunggu kabar seperti ini.”Dea mengangguk, meski hatinya tetap berdebar. Ia masih merasa gugup untuk menyampaikan kabar terse
Setelah hampir dua minggu menikmati bulan madu yang penuh kenangan di Maldives, Dea dan Andre akhirnya kembali ke rumah mereka yang megah. Malam itu, mereka tiba di bandara dengan suasana hati yang lelah tetapi bahagia.“Welcome home, Pak Andre, Bu Dea,” sapa seorang pelayan ketika mereka melangkah masuk ke dalam rumah. Bagi Dea rumah itu terasa lebih besar dari tempat yang selama ini ia tinggali, tetapi kehangatan dari staf yang menyambut mereka membuat Dea merasa nyaman.“Terima kasih,” jawab Andre singkat. Ia menoleh ke arah Dea, yang terlihat sedikit pucat. “Kamu capek? Mau langsung istirahat?”Dea mengangguk sambil tersenyum kecil. “Sepertinya begitu. Perjalanan panjang tadi bikin aku sedikit mual.”Andre mengernyit, menunjukkan kekhawatirannya. “Kamu yakin cuma capek? Jangan-jangan kamu sakit.”Wanita itu hanya tertawa kecil. “Nggak kok, mungkin hanya masuk angin. Besok juga pasti sembuh.”Andre menghela napas, tapi akhirnya mengangguk. “Kalau gitu, ayo naik. Aku bawakan kopermu
Tanpa menunggu lagi, sepasang pengantin yang baru saja melakukan malam pertama segera terbang ke luar negeri."Mas, kita mau ke mana?" tanya Dea. Ia sedari tadi hanya mengekori suaminya. Semua keperluan sudah diatur Andre dan staffnya. Jadi, wanita itu tidak tau mereka akan terbang ke mana. Suaminya pun hanya membalasnya dengan senyuman kecil. "Nanti juga tau," ujar lelaki itu sembari menoel hidung Dea.Namun, jawaban atas rasa penasaran wanita itu langsung terjawab ketika jet yang ia tumpangi landing di salah satu bandara yang ada di Maldives. Dea tak menyangka dan tak terpikirkan akan berada di negara ini. Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan sinar matahari lembut yang menerobos tirai kamar villa di atas laut. Dea membuka mata perlahan, menghirup aroma udara laut yang menyegarkan. Ia merasakan kain lembut selimut yang menyelimuti tubuhnya dan ketenang di sekitarnya.Ketika ia menoleh, Andre sudah duduk di teras luar, hanya memakai kemeja santai berwarna putih dan celana p
Kevin kehilangan kata-kata. Zahra hanya berdiri di tempatnya, matanya kembali berkaca-kaca, tetapi tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun.Icha mengusap air matanya dengan kasar, sambil tetap memeluk Evan. Suaranya gemetar saat ia melanjutkan, “Aku meninggalkan keluargaku demi kamu, Kevin. Aku melawan dan menghadapi dunia sendirian, bahkan saat aku melahirkan anak ini. Apa balasanmu? Kamu bawa perempuan lain masuk ke rumah kita!”“Icha, aku tahu aku salah,” Kevin berkata dengan nada putus asa. “Tapi aku ingin memperbaikinya. Demi Evan. Tolong beri aku kesempatan-”Kata-kata itu seperti palu godam yang menghantam Icha. Tubuhnya terasa lemas, dan ia hanya terpaku. Suaminya hanya memikirkan putra mereka, bukan dirinya. Zahra yang tak sanggup melihat perseteruan mereka, berbalik dan melangkah pergi tanpa berkata apa-apa.Icha menunduk, menatap bayi kecil di pelukannya yang akhirnya berhenti menangis. Ia mengusap lembut kepala Evan sambil berbisik, “Kita pergi dari sini, Nak. Kita tid
Kevin berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Kata-kata Icha tadi seperti pisau yang terus-menerus mengirisnya. Ia ingin mengejar wanita itu, tetapi tubuhnya terasa kaku. Di sebelahnya, Zahra menggenggam tangan di depan dada, matanya berkaca-kaca, penuh rasa bersalah.“Mas, mungkin aku seharusnya tidak datang ke sini,” Zahra berbisik pelan. “Kehadiranku hanya memperburuk keadaan.”Kevin menoleh, pandangannya gelap. “Zahra, ini bukan salahmu. Semua ini salahku. Aku yang mengambil keputusan bodoh, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya.”Sebelum Zahra bisa menjawab, suara pintu yang dibanting terdengar keras dari arah kamar. Icha muncul kembali dengan sebuah koper besar di tangannya. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kevin atau Zahra, ia berjalan cepat menuju pintu depan.“Cha, tunggu!” Kevin akhirnya bergerak, berusaha menghentikan istrinya. Ia memegang lengan Icha, tetapi wanita itu menepisnya dengan kasar.“Jangan sentuh aku, Kevin!” seru Icha dengan air mata yang masih me
Kevin menatap Zahra sejenak. Pikirannya bergemuruh, tetapi bibirnya akhirnya lolos begitu saja mengungkapkan kenyataan yang selama ini dia sembunyikan. "Zahra adalah istriku, Cha. Dia madumu. Kami sudah menikah secara sah baik di mata hukum maupun agama."Pernyataan itu jatuh seperti petir di siang bolong. Icha menatap Kevin dengan mata membelalak, wajahnya memerah karena amarah yang langsung memuncak. Tubuhnya gemetar, hampir tak mampu berdiri.“Apa?!” jerit Icha dengan suara yang pecah. “Kamu bilang dia MADUKU?! Kamu sudah menikah lagi tanpa bilang apa-apa padaku?!”Pria itu menatap Icha selembut mungkin, berusaha menenangkan. Namun, kata-kata yang ia siapkan tak mampu menahan badai yang jelas sudah datang. “Cha, aku bisa jelaskan. Seharusnya bilang dari awal. Tapi-”“JELASKAN APA?!” potong Icha dengan teriakan melengking. “Kamu menikah lagi di belakangku, Kevin! Kamu mengkhianatiku! Kamu membawanya ke sini, dan kamu pikir aku akan menerima begitu saja?!”Zahra yang berdiri di sampi
Di ruang tamu, seorang wanita bergamis duduk dengan tenang. Sosok itu membuat darah Icha mendidih seketika.“Kamu?!” seru Icha dengan nada tinggi, tanpa mencoba menyembunyikan kemarahannya.Zahra, yang mengenakan gamis hitam bangkit perlahan. Meski matanya tampak tenang, tubuhnya sedikit gemetar karena situasi yang ia tahu akan sulit.“Iya, Mbak Icha,” jawab Zahra pelan. “Saya diminta Mas Kevin datang.”"Dasar perempuan gatel! Apa-apaan kamu tiba-tiba nggak pake cadar gitu. Mau menggoda suami saya, ya!" Icha melirik Kevin dengan tatapan penuh emosi. “Mas, kamu tega banget bawa dia ke sini?! ngapain kamu suruh datang ke rumah kita?!”“Cha, tenang dulu. Aku cuma—”“Tenang?!” potong Icha tajam. “Kamu mau aku tenang sementara kamu bawa perempuan ini ke rumah kita?! Aku istrimu, Kevin! Dia itu cuma... cuma-”“Saya cuma apa, Mbak?” Zahra menyela lembut, tetapi nadanya tegas. “Kalau saya hanya dianggap sebagai masalah, saya mohon maaf. Tapi saya di sini untuk menyelesaikan semuanya, biar ng