Denging di telinganya perlahan-lahan menghilang sewaktu sayup-sayup Dina mendengar suara Leonardo. Dia menajamkan telinga seraya mencoba menaikkan tubuhnya. Lututnya bergetar dan dia jatuh terduduk kembali.
“PAPA!”
Pikiran Dina tidak dapat mencerna pemilik suara tersebut. Matanya setengah terbuka dan menutup secara berganti-gantian sewaktu dia merasakan sentuhan tangan di bahunya. Lalu tangan yang sama itu mengangkatnya.
“Dia bisa pingsan!”
“Hm, too bad. Mati lebih baik buatnya.”
Level kesadaran Dina seketika meningkat mendengar ancaman kematian tersebut. Dia memaksakan diri membuka mata dan mendapati mata gelap Leonardo memandanginya. Tak dapat dia pastikan apa arti tatapan itu; apakah kekhawatiran atau kekecewaan? Pasti yang terakhir, ujarnya dalam hati.
Leonardo menopangnya dan menuntunnya ke kursi terdekat di ruang makan tempat mereka berada saat ini. Dia melengkungkan badan mencoba mengalirka
Semuanya terjadi begitu cepat. Dari tempat duduknya, Dina memperhatikan orang-orang hilir mudik melakukan entah apa. Ralat, sebenarnya dia tahu tujuan mereka mondar-mandir di depannya. Hanya saja, Dina enggan untuk menerima kenyataan kalau ini semua demi acara pengumuman pertunangannya dengan Leonardo Armadjati.Dina menarik napas panjang dan mengeluarkannya perlahan-lahan. Sepertinya baru kemarin dia dibawa paksa ke rumah ini, disiksa sedemikian rupa, dan terpenjara sebagai tawanan.“Hey, you can’t wear those!”Dina menoleh. Olivia. Sewaktu mendengar titah Pak Hidayat, gadis itulah yang pertama kali merasa gembira. Dina pikir itu karena Olivia dapat memulihkan citranya sebagai selebriti dunia maya.“Ayo, ikut saya!”Dina bergeming. Sejak menginjakkan kaki di rumah ini, dia harus menuruti perintah semua anggota Keluarga Armadjati, baik ketika menjadi tawanan Bastian maupun sebagai tunangan Leonardo. Sama-sama
Dina mengambil microphone yang disodorkan oleh Pembawa Acara. Tangannya gemetar. Dia berusaha menutupinya dengan tangan yang lain. “Keluarga,” katanya yang lebih mirip dengan suara kambing mengembik.“Maaf, Mbak. Lebih kencang.”Dina menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Ini kali membisikkan kalimat penyemangat kepada diri sendiri. “Apa yang paling berharga dari sebuah pernikahan?” Dina berhenti sejenak dan menikmati perhatian semua orang yang tertuju padanya. “Keluarga,” tegasnya. “Penyatuan dua keluarga. Mas Leo beserta keluarganya dan saya juga dengan Ayah saya.”Dina berdiri mendekati Olivia. “Kalian menyaksikan sendiri ada Mbak Olivia di sini.” Dina beranjak ke arah tempat duduk Pak Hidayat dan Ibu Yasmine serta menyebutkan nama keduanya, “dengan penuh rasa hormat,” katanya menambahkan. “Kalian mungkin bertanya-tanya, where’s my family?
Keluarga Armadjati tidak menunggu waktu lama. Di hari yang sama, mereka sudah mengatur perjalanan untuk menemukan Ayah Dina. Hanya perlu waktu tidak sampai dua jam dari pengumuman pertunangan mereka, sebuah mobil telah terparkir di halaman depan mansion Keluarga Armadjati. Tidak ada anggota keluarga lainnya yang dapat dia lihat. Namun, Dina justru lebih senang demikian. Dia tidak perlu ketakutan dan bersikap ekstra waspada serta terintimidasi dengan kehadiran mereka.Leonardo keluar dari pintu pengemudi. “Lho, tasnya mana? Kita berangkat sekarang.”Dina bukannya tidak tahu kalau mereka akan pergi sore itu. Dia memang tidak mau membawa apapun. Ya, kecuali baju di badannya saat itu karena tidak mungkin dia mengenakan kebaya yang sudah rusak yang dia sendiri sudah tidak ingat di mana dia membuangnya. Kedatangan dia ke rumah ini adalah pemaksaan. Dia tidak sudi mengambil suvenir apapun yang dapat mengingatkannya kepada nasib buruknya selama berada di mansion Ke
Mobil terparkir di samping bak sampah besar. Jika menoleh ke kiri, Dina akan berhadap-hadapan dengan gunungan sampah yang menempel di kaca jendela. Dia masih sibuk mengatur irama jantungnya yang tidak beraturan ketika Leo berkata, “Kamu nggak apa-apa?”Dalam hati, Dina mengutuk perhatian yang diberikan oleh Leo tersebut. Bukannya tidak suka, namun itu membuatnya jadi canggung untuk menentukan sikap; apakah Leo orang baik atau hanya berpura-pura sebagai bagian dari rencana jahat Keluarga Armadjati.“Katanya ada Warung Kelapa di dekat-dekat sini.”Dina mengerutkan dahi. Apa itu nama tempat penyekapannya yang baru? Tidak, tidak boleh terjadi. Dia harus kabur. Sekarang juga. Dina membuka pintu hanya untuk menyadari kalau dia tidak bisa ke mana-mana. Posisi mobil terlalu mepet ke tempat sampah. Dia menoleh ke belakang dan menyadari situasinya sama saja. Dina menutup kembali pintu yang sempat terbuka hanya setengah inci tersebut.&
Dina dan Leonardo diajak masuk oleh Pak Haji ke dalam kontrakannya. Sewaktu dia menempati rumah itu, pintu depan agak susah dibuka. Sekarang, mulus-mulus saja, bukti kalau telah dilakukan renovasi.Rumah itu memiliki ruang tamu dan dapur yang menyatu. Di sebelah kanan, ada kompor dan bak cuci, sedangkan sisi kiri hanya muat oleh satu sofa dua dudukan. Dulu, Dina meletakkan meja belajar di sana. Kalau malam, dia akan melipat meja agar ayahnya dapat membentangkan kasur lipat di lantai. Saat ini, tidak ada perabotan yang tersedia.“Pak Indra teh belum bayar kontrakan. Sepuluh juta,” keluh Pak Haji.Dina menyilangkan tangannya di dada. “Kan bisa nunggu Ayah pulang, Pak.” Jumlah yang disebutkan Pak Haji itu paling-paling akumulasi dari sejak dia diculik dan terpisah dengan ayahnya. Matanya menyorot tajam. “Dari awal ke Bandung lho, kami ngontrak di sini.”“Nah, tadinya saya pikir juga begitu, Neng. Tapi sebulan yang la
Bukan hotel yang dimaksud oleh Leonardo adalah sebuah rumah. Bagian dalamnya tidak seperti rumah kebanyakan karena ruangannya luas-luas. Oleh karena mereka tiba sudah larut, Dina diarahkan langsung ke kamar tidur. Dia tidak menyadari kalau dia begitu lelah sampai Dina jatuh tertidur tanpa mandi dan berganti pakaian.Paginya, barulah dia meneliti sekelilingnya. Ada satu ranjang besi lain di sebelah tempat tidurnya. Tapi, ranjang itu telah rapi dengan selimut yang terlipat di bagian ujungnya. Dia mengingat-ingat siapa yang tidur di sana. Tidak mungkin Leo, harapnya dalam hati seraya refleks menyilangkan tangan menutupi tubuhnya.Dari sebuah pintu masih di dalam kamar, mendadak muncul seorang perempuan yang kelihatannya masih remaja. Dia melihatnya lega karena berarti cewek itulah teman sekamarnya. Dina tahu kalau tadi malam dia sudah berkenalan dengan orang itu. Namun, sekarang dia lupa namanya.“Pagi, Teh. Kalau mau mandi, silakan. Sabun, sampo, dan lainnya
Anak panti sudah asyik dengan mainannya masing-masing. Dina menemani Sasa di kamar bayi dan mereka berdua memberikan botol susu sampai bayi-bayi itu tertidur. Setelah itu, Sasa pamit dengan alasan hendak mengerjakan tugas lain. Gadis itu memang tidak bisa diam.Di pojokan dekat pintu, Dina masih menetap untuk memandangi bayi-bayi. Anak-anak itu terlihat begitu polos dan murni. Jauh dari masalah rumit dunia. Dina iri dengan mereka.“Hei.”Dina menoleh. Dia memberikan kode jari di bibir agar Leo tidak berisik. Setelahnya, dia menutup pintu pelan-pelan.“Makasih ya,” bisik Leo begitu keduanya sudah beranjak ke luar kamar.Tidak sedikitpun dia merasa direpotkan. Dina melambaikan tangan pertanda dia menikmati momen-momen yang dia alami dari pagi tadi. “Menyenangkan, kok.”Ada jeda yang canggung di antara keduanya. Dina sedikit bingung karena laki-laki itu seperti mendatanginya secara khusus. Asumsinya, Leo puny
Mobil yang dikendarai oleh Leonardo kembali melaju di jalan raya. Dina yang sejatinya tidak hapal rute, cukup manggut-manggut ketika mereka melewati gerbang tol Kalihurip Utama.“Lewat tol Trans Jawa lebih cepat,” ujar laki-laki itu sewaktu Dina menatap takjub jalan tol yang lebar. “Sebelum Subuh bisa-bisa sudah sampai.”Dina menghitung dengan jarinya. Sebagai seseorang yang pernah melakukan perjalanan Solo dan Bandung, dia ingat waktu tempuh harusnya lebih dari yang diungkapkan oleh pria itu. “Pernah ke Solo?” tanyanya.“Nggak. Tapi ada GPS, tenang saja.”Ya, tentu saja. Bagaimana mungkin Dina lupa kalau sosok yang di sebelahnya ini adalah anak salah satu keluarga terkaya di Indonesia yang grup perusahaannya sudah menggurita di mana-mana. Tentu saja mobil dengan fitur canggih sudah biasa buat laki-laki itu.“Bisa menyetir?”Dina melihat ke luar jendela. Tidak ada yang tampak selain
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar