Bukan hotel yang dimaksud oleh Leonardo adalah sebuah rumah. Bagian dalamnya tidak seperti rumah kebanyakan karena ruangannya luas-luas. Oleh karena mereka tiba sudah larut, Dina diarahkan langsung ke kamar tidur. Dia tidak menyadari kalau dia begitu lelah sampai Dina jatuh tertidur tanpa mandi dan berganti pakaian.
Paginya, barulah dia meneliti sekelilingnya. Ada satu ranjang besi lain di sebelah tempat tidurnya. Tapi, ranjang itu telah rapi dengan selimut yang terlipat di bagian ujungnya. Dia mengingat-ingat siapa yang tidur di sana. Tidak mungkin Leo, harapnya dalam hati seraya refleks menyilangkan tangan menutupi tubuhnya.
Dari sebuah pintu masih di dalam kamar, mendadak muncul seorang perempuan yang kelihatannya masih remaja. Dia melihatnya lega karena berarti cewek itulah teman sekamarnya. Dina tahu kalau tadi malam dia sudah berkenalan dengan orang itu. Namun, sekarang dia lupa namanya.
“Pagi, Teh. Kalau mau mandi, silakan. Sabun, sampo, dan lainnya
Anak panti sudah asyik dengan mainannya masing-masing. Dina menemani Sasa di kamar bayi dan mereka berdua memberikan botol susu sampai bayi-bayi itu tertidur. Setelah itu, Sasa pamit dengan alasan hendak mengerjakan tugas lain. Gadis itu memang tidak bisa diam.Di pojokan dekat pintu, Dina masih menetap untuk memandangi bayi-bayi. Anak-anak itu terlihat begitu polos dan murni. Jauh dari masalah rumit dunia. Dina iri dengan mereka.“Hei.”Dina menoleh. Dia memberikan kode jari di bibir agar Leo tidak berisik. Setelahnya, dia menutup pintu pelan-pelan.“Makasih ya,” bisik Leo begitu keduanya sudah beranjak ke luar kamar.Tidak sedikitpun dia merasa direpotkan. Dina melambaikan tangan pertanda dia menikmati momen-momen yang dia alami dari pagi tadi. “Menyenangkan, kok.”Ada jeda yang canggung di antara keduanya. Dina sedikit bingung karena laki-laki itu seperti mendatanginya secara khusus. Asumsinya, Leo puny
Mobil yang dikendarai oleh Leonardo kembali melaju di jalan raya. Dina yang sejatinya tidak hapal rute, cukup manggut-manggut ketika mereka melewati gerbang tol Kalihurip Utama.“Lewat tol Trans Jawa lebih cepat,” ujar laki-laki itu sewaktu Dina menatap takjub jalan tol yang lebar. “Sebelum Subuh bisa-bisa sudah sampai.”Dina menghitung dengan jarinya. Sebagai seseorang yang pernah melakukan perjalanan Solo dan Bandung, dia ingat waktu tempuh harusnya lebih dari yang diungkapkan oleh pria itu. “Pernah ke Solo?” tanyanya.“Nggak. Tapi ada GPS, tenang saja.”Ya, tentu saja. Bagaimana mungkin Dina lupa kalau sosok yang di sebelahnya ini adalah anak salah satu keluarga terkaya di Indonesia yang grup perusahaannya sudah menggurita di mana-mana. Tentu saja mobil dengan fitur canggih sudah biasa buat laki-laki itu.“Bisa menyetir?”Dina melihat ke luar jendela. Tidak ada yang tampak selain
Sepeninggal Leo dan Dina, sebuah mobil lain memasuki halaman mansion Keluarga Armadjati. Mobil tersebut memutari air mancur dan berhenti tepat di depan Wendy. Pengendaranya turun dari mobil dan mengecup kening perempuan itu.“Ingat pulang juga,” kata Wendy risih dirangkul Bastian. Suaminya itu berbau busuk, entah karena alkohol atau narkoba atau justru kedua-duanya. “Baru mau telepon polisi.” Wendy membuang buka.“You know nothing.” Suami Wendy itu menarik wajahnya lebih dekat, lalu menciumnya secara paksa.Wendy tidak mencoba untuk menghindar. Percuma. Sejak tinggal bersama laki-laki itu, dia sudah mengerti kalau suaminya itu alergi dengan penolakan. Dia membalas ciuman itu seolah-olah menyukainya. Padahal, hatinya menjerit.“Kangen, ya?” Bastian terkekeh setelah melepaskan wajah Wendy. Kemudian, laki-laki itu melangkahkan kaki ke dalam rumah.Rasa yang tersisa di bibirnya adalah pahit dan b
Apakah sebenarnya yang dinamakan dengan kebahagiaan itu? Ambu bilang Bastian adalah jalan tol untuk mendapatkannya. Namun, mengapa kehadiran laki-laki itu tidak berarti apa-apa baginya? Wendy menoleh ke samping kanan dan tersenyum kepada sosok yang sedang mengendarai mobil. Bastian tersenyum balik.“Kedinginan?” tanya pria itu sembari mengecilkan pendingin udara.Wendy menggeleng lalu kembali memandangi jalan raya di depannya. Bastian mengajaknya kencan. Laki-laki itu tidak mengatakan tempatnya, tetapi menyuruhnya mengenakan pakaian yang paling glamor. Oleh sebab itu, Wendy bergaya laksana bintang film Hollywood; gaun tanpa lengan pas badan yang penuh kerlip. Oh ya, dan scarf terlilit di leher yang dia pikir dapat menegaskan kesan Hollywood glam yang dia mau. Rupanya, Bastian mengira dia kedinginan. Wendy melepaskan kain itu.“I wonder how does kissing your neck feels like….”Apa artinya? Bukan, bukan haraf
Wendy dapat merasakan basahnya bibir Bastian yang mendarat di lehernya. Gadis itu memejamkan mata dan tanpa disadari, gadget yang dia pegang terjatuh. Untung bagi Wendy, karena itu menghentikan aksi Bastian.“Well, sebentar lagi gelap. Let’s get inside,” ajak laki-laki itu seraya berdiri.Apa yang Wendy pikirkan dengan menyetujui pergi berlibur di pulau privat berduaan saja dengan Bastian?“Mau makan apa?”Pertanyaan sejuta umat yang biasanya akan dijawab “Terserah” oleh para wanita. Tapi, bukan Wendy. Dia sudah cukup mempelajari seluk-beluk menghadapi lelaki, sehingga dengan tegas berkata, “Seafood Platter?”“Good idea. Dan ikan bakar, setuju?”Pilihan yang bagus. Wendy tersenyum dan menyentuh bahu Bastian singkat untuk menunjukkan kalau dia tidak membenci ataupun menolak pria itu. Dia hanya perlu waktu untuk membuatnya meras
Begitu azan penyeru ajakan Salat Subuh berkumandang, mobil yang dikendarai oleh Leonardo telah memasuki kota Solo. Laki-laki itu melirik penumpang di sebelahnya yang tertidur. Dia tidak tega membangunkan gadis itu. Tapi, di sisi lain Leo tidak mengerti arah jalan ke tujuan mereka, yaitu makam ibu Dina.Leo akhirnya memutuskan untuk memarkirkan mobilnya di sebuah restoran. Tapi, dia tidak segera keluar dari mobil. Ragu-ragu dia meninggalkan gadis itu sendirian. Dia kemudian membuka jendela di samping Dina sedikit saja, demi mencegah keracunan udara. Meskipun sudah melakukan hal itu, Leonardo tetap tidak beranjak dari kendaraan.Mendadak, kaca jendela Leo diketuk oleh seseorang, “Mau makan Pak?” tanya Petugas Parkir.Leonardo bingung. Dia memang kelaparan. Tapi, dia tidak mau meninggalkan Dina sendirian di dalam mobil. Namun, jika dia parkir saja di tempat itu tanpa belanja apa-apa, tidak adil bagi pemilik restoran. Leo sudah memutuskan akan pergi saja
“Patah hati dong kamu,” Bastian berbisik di telinga Wendy. Dia baru sampai di mansion Keluarga Armadjati dan disambut oleh istri tercintanya.Wendy memalingkan muka. Tapi, Bastian masih dapat menikmati kecantikannya yang tiada banding. Bibir wanita itu begitu menggoda untuk segera dikecup. What Bastian wants, Bastian gets. Dia meraup wajah istrinya dan melumat bibir merahnya.Tapi, apa yang dia temukan di wajah menawan itu? Bastian berhenti menciumi istrinya. Dia perhatikan lekat-lekat mata Wendy yang tidak lagi bercahaya. Sungguh jauh berbeda dari sebelumnya ketika mereka baru resmi memadu kasih.***Lorong mansion Keluarga Armadjati penuh dengan tawa. Maklum, Bastian dan Wendy sedang dalam fase jatuh cinta. Bastian sudah menyukai Wendy sejak awal mengenal gadis itu. Tapi, tidak demikian halnya dengan Wendy. Dia memerlukan usaha lebih untuk menaklukkan gadis itu. But it pays off. Lihat, sekarang Wendy bergelayutan di lengann
Bubur ayam pesanan Dina masih tidak disentuh sewaktu Leonardo masuk ke dalam mobil. Dia dapat melihat alis pria itu yang meninggi saat mendapati mangkuk yang masih terisi penuh di lantai mobil. Dina rikuh dan mengangkat bubur tersebut.“Nggak dimakan?”“Eh, nggak lapar.” Dina hanya terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri sehingga lupa waktu. Tahu-tahu, Leo sudah menyelesaikan obrolan di telepon dan kembali.Mendadak, perutnya berbunyi. Dina semakin malu. Untungnya, Leo sepertinya tidak dengar atau cuma tidak ambil pusing. Laki-laki itu mengambil alih mangkuk bubur dan ke luar mobil. Dina mengintip apa yang dilakukan oleh laki-laki itu. Leo mendatangi restoran. Pasti hendak membayar, tebaknya yakin.Benak Dina kembali menerka-nerka siapa gerangan yang menelepon Leo sepagi itu? Kalau sudah punya pacar, mengapa juga laki-laki itu setuju untuk menikah dengannya? Leo itu pewaris utama Keluarga Armadjati. Segala macam kemudahan ada di ge
Dina tidak lagi takut berhadap-hadapan dengan wanita secantik malaikat itu. Dia sudah mendengar semuanya dari Leonardo. Bagaimana Wendy sebenarnya memiliki cita-cita lain sekadar dari menjadi seorang nyonya rumah. Dia bahkan mengagumi upaya Leo agar istri Bastian itu mendapatkan apa yang diinginkan. Awalnya, dia tidak setuju kalau niat baik itu dibalut dengan perjanjian antara Wendy dan Bastian untuk tetap dalam ikatan pernikahan. Namun, dia bisa bilang apa kalau dua-duanya telah setuju. Seperti Leo, dia hanya berharap di tengah-tengah perjanjian itu, cinta antara Wendy dan Bastian akan kembali bertumbuh.“Hai,” sapa Dina.Wendy mengedikkan bahu. Bahkan cara wanita itu bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekeliingnya tampak menakjubkan. Elegan dan membuat orang lain berniat untuk memberikan apa saja yang diminta oleh Wendy.“Nona Wendy ikut makan, ya,” ajaknya santai sambil menata piring baru di meja yang kosong.Tidak
Dari kejauhan, Dina sudah melihat bayangan Leonardo. Senyum di wajah laki-laki itu menerbitkan cahaya benderang di kepalanya. Leonardo setengah berlari menghampirinya. Pria itu langsung mengambil alih kursi roda dari pegawai bandara untuk mendorong ayahnya. Cerminan seorang pria yang bertanggung jawab.“Gimana Bali?” tanya laki-laki itu.“Sepi.” Itu karena tidak ada kehadiran Leonardo di sana. Tapi, tentu saja Dina tidak akan mengungkapkan bagian terakhir dari pikirannya itu terang-terangan. Dia masih malu mengakui perasaannya terhadap laki-laki itu. Ditambah, dia juga tidak ingin Leonardo menggodanya terus-terusan.Mereka telah berada di parkiran mobil. Dengan sigap laki-laki itu membantu mendudukkan Ayah di kursi tengah, sedangkan Dina mengatur tas bawaan mereka di bagasi. Ketika Dina menutup pintu bagasi, Leonardo sedang mengembalikan kursi roda kepada petugas bandara.Dina cukup heran karena tidak menemukan satu orang pengawal
Ditinggal oleh Dina, Leonardo belingsatan. Apa jawaban Dina? Apa dia kelewatan sudah menarik tangan perempuan itu? Apa dia tidak sopan karena terdengar begitu memaksa? Bagaimana kalau Dina menolaknya? Jantungnya berdegup kencang. Biasanya, Leonardo adalah orang yang dapat menerima apa saja: baik ataupun buruk. Tapi kali ini, dia punya asa. Dia ingin harapannya kali ini terkabul. Dia tidak tahu apa yang akan dia lakukan kalau usahanya gagal.Leonardo berjalan mondar-mandir dengan sepatu Dina di tangannya. Sekarang apa? Menunggu gadis itu dan menuntut jawaban darinya? Atau, dia bisa pergi dan keinginannya. Tidak, tidak. Leo tidak siap apabila dia gagal mendapatkan bahagia.“Mas Leo.”Leonardo membalikkan badannya. Dan di sana, pada salah satu anak tangga, ada Dina yang memandanginya. Rambut panjang gadis itu ditata kuncir kuda. Mata besarnya berbinar-binar dan senyumnya merekah sampai ke telinga. Seakan-akan waktu bergerak melambat, Leonardo menikmati
Begitu Leo turun ke lantai bawah, dia tepergok dengan Dina yang sedang mendudukkan ayahnya di kursi di foyer. Di sebelah Ayah, telah tersedia tas dan satu buah koper. Rupanya, gadis itu serius dengan rencana kepindahannya ke Bali. Leo sedikit kesal karena perempuan itu tidak berniat sedikitpun untuk pamit kepadanya.“Uhm, Pak Hidayat ada?” tanya gadis itu.Dengan dagunya, Leonardo memberikan kode kalau ayahnya ada di ruang kerja di lantai atas. Dia menyaksikan Dina yang berjongkok dan pamit kepada Ayah sebelum meneruskan langkah sesuai petunjuk Leo.Leo sudah memerhatikan bahwa sejak bertemu dengan ayahnya kembali, Dina selalu enggan untuk berjauh-jauhan dengan orangtuanya itu. Seolah-olah gadis itu takut akan terjadi apa-apa kepada ayahnya jika dia meleng sebentar saja. Benar-benar sosok yang penyayang.Kata-kata Olivia jadi terngiang-ngiang di telinganya. Satu yang tidak dapat dia enyahkan adalah perihal penyesalan karena kata-kata
Sepeninggal Mbok Surti, Bacon mengambil sebuah amplop dari balik jas belakangnya. Pengawal itu memberikannya kepada Pak Hidayat, bos paling tinggi dalam hierarki Grup Armadjati.“Itu dari pantat kamu?” sindir Pak Hidayat. Mana mungkin dia mau memegang sesuatu yang entah sudah berapa lama mengendap di bokong pengawal itu. “Apa itu?” tanyanya seraya menyembunyikan tangan di punggung, pertanda dia tidak mau menyentuh amplop tersebut.Bacon mengeluarkan isinya yang berupa kertas-kertas dokumen, dia menjejerkan semuanya di atas meja kopi. “Identitas pembunuh bayaran Danny.”“Foto dan kirim ke saya,” perintah Pak Hidayat sedikitpun tidak mau memegang dokumen.Bacon melakukan apa yang dia perintahkan. Sebaik foto-foto itu masuk ke folder pesan di telepon genggamnya, Pak Hidayat mengamati dokumen tersebut. Sayangnya, tidak banyak yang dapat dia telaah dari laporan Bacon tersebut. Pasalnya, ada beberapa kartu tanda p
Pak Hidayat mencoret satu baris dari daftar kegiatan yang harus dia lakukan hari ini. Tahu-tahu, teleponnya mengalunkan notifikasi tanda pesan masuk. Dia membacanya sekilas. Dari sekretarisnya yang menanyakan apakah dia akan datang ke kantor hari ini.Jawabannya adalah tidak, pikir laki-laki itu seraya membalas pesan. Beberapa hari terakhir, dia harus membereskan kekacauan yang terjadi di rumahnya. Pak Hidayat mengecek email. Dia menunggu kabar penting seputar keberadaan istrinya dan Danny. Geram hatinya kalau mengingat-ingat dua makhluk tak berguna itu.Notifikasi pesan terdengar lagi. Every ship needs a captain.Pak Hidayat mengembuskan napas panjang. Dia juga tahu maksud tersembunyi dari pesan yang dikirimkan oleh sekretarisnya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Keluarganya lebih membutuhkan perhatiannya saat ini. Pak Hidayat tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti yang sudah-sudah dengan mengabaikan mereka. Terlebih sewaktu anak-anaknya telah b
Olivia mencari-cari Mbok Surti ke seluruh penjuru rumah. Beginilah susahnya memiliki tempat tinggal yang memiliki banyak ruangan. Ditambah, asisten senior Keluarga Armadjati itu tidak dibekali dengan lonceng atau telepon genggam yang membuatnya dapat dihubungi kapan saja.Gadis Kaukasia itu akhirnya menemukan Mbok Surti sedang membereskan debu-debu di atas lemari dan rak Olivia.“Mbok Surti, biarkan saja. Bukannya ada cleaning service yang datang setiap hari?”“Tapi Mbak Olivia bangunnya siang terus. Jadi mereka keburu pulang.”Olivia terkekeh ringan. Ya, tidak salah apa yang dikatakan oleh pesuruh itu. Beginilah nikmatnya menjadi seorang influencer. Bekerja sesuai waktu yang dia tentukan sendiri. Tidak ada kewajiban harus hadir di kantor sebelum jam tertentu.“Papi manggil Mbok. Di ruang kerjanya.”Mbok Surti buru-buru meletakkan kemoceng yang dipegangnya. Wanita tua itu mengelap tangann
“Ini maksudnya apa, ya?” tanya Leo mengandalkan jawaban dari adik tirinya.“The restaurant that I’ve told you about.”“Tapi Bali?”“Becky yang mengusulkan. Bagus juga, sih. Secara marketing, lebih gampang memasarkannya. Bisa dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan di Jakarta.”Keputusan itu begitu tiba-tiba. Apa yang ada dalam pikiran Dina? Bukankah dia telah menjanjikan kalau utang perempuan itu lunas seluruhnya? Tidak ada lagi yang membebani gadis itu. Dia bebas dari kewajiban membayar utang. Bebas. Leonardo terhenyak. Itu kata kuncinya. Leo tidak berhak marah kalau gadis itu memang mau pergi. Dina adalah perempuan mandiri yang tidak terikat dengan siapapun, termasuk dirinya.“Oh, begitu.” Leonardo memandangi makanan-makanan yang tersaji di hadapannya. Tiga menu terakhir dari enam belas yang menjadi tugas Leo. Awalnya, dia menciptakan tugas itu agar Dina tid
Dina mondar-mandir di depan kamar Leonardo. Dia ingin memeriksa ayahnya yang dari tadi pagi belum muncul untuk sarapan. Dina tahu semestinya dia mengetuk pintu dan Leo pasti akan mengizinkannya menjemput Ayah. Tapi, hari itu langkahnya berat. Dia tahu penyebabnya adalah karena setelah hari ini, Dina tidak bisa bertemu dengan laki-laki itu sebebas yang sekarang. Hatinya seperti ditimpa baja seberat seribu ton kalau mengingat-ingat hal itu.Dina masih berkutat dengan pikirannya sendiri sewaktu pintu di hadapannya mendadak terbuka.“Dina?”Dina salah tingkah. “Eh… itu… hmm… Ayah dari tadi belum turun,” katanya.Pagi itu, Leonardo terlihat segar seperti baru habis mandi. Ada aroma sabun yang khas yang dia yakin berasal dari sabun yang mahal harganya. Rambut laki-laki itu masih basah dan bagian depan rambutnya ada yang menjuntai di dahi. Leonardo tampak relaks, berbeda dari biasanya.“Ayah lagi di kamar