Bab 5
Jantungku masih berdegup sangat kencang. Napasku memburu. Aku seperti baru saja berperan sebagai pemain film action. Kulihat kedua tanganku masih bergetar seperti penderita parkinson yang sedang mengemudi. Tenggorokan ini terasa sangat kering karena tidak menelan ludah beberapa saat.
Aku meraih botol air mineral yang terletak di dekat tuas persneling dengan tangan kiriku. Mau tidak mau aku harus membuka botolnya dengan satu tangan, sementara tangan yang lain memegang setir. Masih gemetar membuat pekerjaan sepele seperti ini menjadi sangat sulit untuk dilakukan.
Astaga!
Tiba-tiba air dalam botol tumpah ke wajahku karena tidak sadar lampu lalu lintas tiba-tiba menyala merah—mendadak mengerem membuat isinya otomatis muncrat keluar karena berbenturan dengan mulutku waktu meminumnya. Sial! Wajah dan bajuku basah. Ya, Tuhan ... belum berhenti juga kesialanku hari ini. Baru saja aku mendapati suamiku asik main kuda-kudaan sama perempuan lain di kamar mandi, sekarang air tumpah ke wajahku. Apa lagi ini?
“Aaaarrrrrrrgggghhhhhh!” Aku berteriak dan menangis sejadi-jadinya.
Tiba-tiba aku mendengar sesuatu dari luar. Bapak-bapak tukang ojek berjaket hijau--naik motor sedang menatapku sambil mengetuk kaca di sebelahku. Sepersekian detik aku hanya melihatnya. Takut kalau dia punya niat jahat. hingga aku ragu untuk membuka kaca. Aku mengalihkan pandanganku ke depan. Tampak beberapa pengendara motor juga melihat ke arah mobilku. Aku bingung. Ada apa? Mungkin memang ada yang salah dengan mobilku. Bapak itu mengetuk lagi. Aku mengusap air mata lalu menurunkan sedikit kaca mobil.
“Ada apa, Bu? Kok teriak?” tanya bapak-bapak itu heran sambil celingukan ingin melihat ke dalam mobil yang terhalang oleh kepalaku.
“Teriak?” Aku terkejut mendengar pertanyaan orang tersebut. Bagaimana bisa dia mendengarku? Mobil ini kedap suara. Tidak mungkin terdengar dari luar. Seketika aku melihat sekeliling bagian dalam mobil. Sialan! Kaca mobil bagian belakang sebelah kiri ternyata terbuka separuh. Ya, Tuhaaaaan ... aku malu sekali. Pantas semua orang melihat ke arahku.
Aku memfokuskan kembali pandanganku kepada bapak tukang ojek tadi.“Emh, nggak apa-apa, Pak. Ada kecoak...,” jawabku gelagapan sambil meremas setir dengan kencang.
“Owh, baik. Hati-hati, ya, Bu....” Bapak itu berpesan sambil menganggukkan kepala.
“Terima kasih, Pak...,” balasku sambil mengangguk dan menutup kembali kaca jendela.
Untung saja aku memakai masker, jadi malunya tidak seberapa. Aku diselamatkan juga oleh lampu hijau hingga aku bisa segera tancap gas.
“Mamah, kita mau kemana?” Yuka terbangun dan bertanya.
Aku menoleh ke arahnya sebentar, kemudian fokus kembali ke jalanan. Pikiranku melayang. Saat ini aku memang sedang berjalan tak tentu arah—bingung mau kemana. Tiba-tiba aku teringat pada sahabatku—Aisha, barangkali dia bisa membantuku.
“Ke rumah Tante Shaha, Sayang.” Senyum simpulku mendarat di matanya. Aku banting setir untuk pindah jalur. Rumah Aisha sudah terlewat beberapa kilometer. Aku pikir lebih baik sementara aku tinggal di rumahnya daripada harus ke rumah orang tuaku. Bisa-bisa aku dibully habis-habisan di sana. Mau ditaruh di mana mukaku? Bisa saja Ibu akan mengulitiku sampai ke tulang. Aku belum siap!
Dulu aku memang dibutakan karena cinta. Kalau ingat, rasanya pengen tertawa ngakak guling-guling sambil membenturkan kepalaku ke tembok. Bagaimana bisa aku jatuh cinta kepada laki-laki yang sama sekali tidak berkualitas? Mau-maunya aku menikah dengannya yang hanya bermodalkan napas dan bualan. Bahkan kata-kata manisnya bisa membuat orang kehilangan kesadaran. Pokoknya lebih bahaya dari obat bius. Maklum saat itu aku masih polos, makanya bisa dengan mudah klepek-klepek di tangan pemuda pengangguran terselubung itu.
Aku menepikan mobil.
Aku merogoh gawai di dalam tas yang berada di pangkuanku dengan tangan kiri. Setelah menemukannya, aku mencari nama sahabatku itu pada aplikasi Whatsapp, kemudian menekan ikon gagang telepon berwarna hijau.
Tut ... tut....
Tut ... tut....
“Halo, Vi?”
“Halo, Sha ... kamu di mana?” tanyaku cepat.
“Di rumah, Vi. Why?”
“Jangan kemana-mana! Bentar lagi aku sampe rumahmu.”
“Oke, tap—”
“Pokoknya jangan kemana-mana!” Dengan cepat aku menyambar perkataan Aisha.
Tak lama kemudian, aku telah sampai di rumah Aisha. Dia tinggal sendiri di rumah besar ini. Suaminya seorang pelaut--jarang pulang. Ia berlayar hingga berbulan-bulan baru kembali. Aisha belum punya anak meski usia pernikahannya sudah hampir enam tahun.
Begitu sampai, tampak Aisha sudah menungguku di teras. Dia menghampiriku saat aku hendak turun dari mobil. Mungkin dia melihatku bersama Yuka, hingga dia tak sabar ingin bertemu dengannya.
Aisha adalah sahabatku sejak SMA. Bahkan saat kuliah—kami satu kampus meski jurusan kami berbeda. Dia adalah tempat pelarian pertama saat aku mendapat masalah--seperti yang kulakukan saat ini. Meski solusi yang dia sarankan biasanya sedikit bar-bar.
"Ada apa, Vi? tanyanya sambil melangkah ke arahku.
“Nggak apa-apa.” Aku sibuk dengan panel-panel hendak mematikan mesin mobil.
“Kamu habis nangis, Vi?” Dia bertanya keheranan saat melihat wajahku yang lecek.
“Kamu nggak nyuruh aku masuk?” keluhku pada Aisha sambil menuntun Yuka turun dari mobil. Sahabatku itu masih memasang wajah melongo menatapku. “Kamu nggak mau bantuin aku bawa kopernya Yuka?”
“Oh, oke, oke ... kita masuk dulu.” Aisha memanduku masuk ke rumahnya sambil menyeret koper Yuka.
“Sha, Yuka belum mandi. Numpang mandi di sini, nggak apa-apa, kan?” pintaku padanya sambil meletakkan bokongku di sofa.
“Boleh, banget! Kalau perlu tinggal di sini sama aku. Sekalian aku jadiin anak!” candanya. Aisha memang sayang sekali sama Yuka. Maklum, dia sudah sangat ingin memiliki momongan tapi Tuhan belum mengabulkannya.
“Bik Marni...!” panggil Aisha kepada asisten rumah tangganya.
Beberapa detik kemudian Bik Marni mendatangi kami.
“Tolong ajak mandi Yuka, Ya, Bik...,” pinta Aisha kepada Bik Marni.
Aku tersenyum kepada wanita paruh baya yang sudah sangat kukenal sejak SMA itu. Dia juga sudah sangat akrab dengan Yuka karena sering aku ajak ke sini.
“Baik, Mbak...,” balas Bik Marni seraya mengulurkan tangan menuntun Yuka masuk ke dalam.
“Bajunya di dalam koper, ya, Bik...,” kataku.
Bik Marni menoleh dan mengangguk.
“Sekarang kamu cerita. Kamu kenapa?” Sepertinya Aisha sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya itu.
“Haris selingkuh sama Nisa...,” desahku.
“Tuh, kan? Apa aku bilang?! Kamu itu memasukkan serigala ke dalam rumahmu sendiri. Kamu, sih, nggak dengerin apa kataku dulu! Aisha terperanjat. “Coba kamu pikir, kenapa orang seperti Nisa tiba-tiba mau jadi ART kamu? Padahal dia cantik. Meski hanya lulus SMA tapi bukankah dia bisa mencari perkerjaan yang lebih baik daripada itu? Ya, kan?” ujar Aisha panjang kali lebar kali tinggi. “Terus kamu ingat nggak waktu kamu butuh baby sitter buat Yuka? Dia melarang kamu buat nyari, kan? Buat apa dia ngajuin diri untuk sekalian menjaga Yuka? Kamu ngerti maksudku, kan?” Nisa memberondongku dengan peluru pertanyaan hingga aku hanya bisa melongo menatap lantai warna putih yang mengkilat itu.
“Aku nggak ngerti maksudmu, Sha....” Aku menjawab sekenanya. “Dulu aku cuma kasihan sama dia. Secara dia sepupuku, Sha. Mana tega aku menolak niatnya itu. Katanya hanya sementara sambil menunggu panggilan kerja. Dia memaksaku.” Otakku sedang tidak bisa berpikir apapun. Buntu!
“Dasar, Bego! Maksudnya ... ya, biar dia bisa leluasa di rumah sama Haris waktu kamu kerja. Gimana, sih?!” Jelasnya geram. “Oke, kamu tahu itu darimana?” Dia mulai mereda, kemudian beringsut duduk di sebelahku.
“Aku menangkap basah mereka begituan.”
“Apa? Di mana?!” Dia semakin antusias. Tangannya memeras lenganku.
“Di kamar mandi.”
“What?! Kapan?”
“Tadi! Dan sekarang mereka masih aku kunci berdua di sana.”
“Kok, bisa?”
Kemudian aku menceritakan semua yang aku alami tadi pagi kepada Aisha.
“Baj*ngan tengik!” umpat Aisha setelah mendengar semua ceritaku.
“Kita lapor Pak RT aja terus buka tuh kamar mandi. Biar nyahok mereka berdua. Kalau perlu panggil warga buat ngarak mereka keliling kampung biar malu sampai ubun-ubun!” ujar Aisha meluap-luap.
“Jangan, Sha. Kasian Yuka kalau nanti dia mendengar cerita itu dari orang lain saat dia dewasa . Pasti dia malu banget dengan kelakuan ayahnya dan tantenya sendiri. Jangan! Intinya aku pengen cerai aja, Sha!”
“Bener juga. Terus gimana?” Aisha menggaruk kepalanya, mencoba berpikir mencari cara lain. “Aha! Begini, kalau cuma Pak RT aja, gimana? Setidaknya ada saksi kalau dia melakukan zina--itu bisa memperkuat alasanmu saat mengajukan gugatan cerai nanti.“
Kali ini aku setuju dengan pendapat Aisha.
“Oke.”
Aisha menarik tanganku keluar rumah sambil teriak, “Bik, habis mandi ajak makan Yuka, ya! Kami mau keluar sebentar!”
“Kita mau ke mana, Sha?” tidak ada pilihan lain selain mengikuti tarikan tangan Aisha. Dia mendorongku masuk dalam mobilnya.
“Kita mulai rencana kita sebelum mereka mati di kamar mandi dan kamu jadi tersangka kasus pembunuhan berencana!”
*****
Bab 6Mobil Aisha melaju kencang membelah jalanan kota Surabaya. Aku hanya menyandarkan kepalaku di jok mobil. Sesekali aku melirik sahabatku yang tengah sibuk memainkan setir itu. Dia memang selalu tampak keren. Hidung mancungnya menyembul di antara nosepad kacamata hitam yang dia kenakan. Wajah tirus Aisha serasi dengan rambut panjangnya yang hitam. Aku sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia. Selain cantik, dia juga cerdas.“Sha, aku, kok, pusing, ya?” keluhku pada Aisha yang tengah serius menyetir.“Laper, mungkin? Biasanya gitu, kan? Belum makan?” tanya Aisha tanpa menoleh ke arahku. Jalanan yang cukup padat membuatnya harus memusatkan perhatian penuh pada jalanan.“Udah. Sarapan emosi! Huwaaaaa ...! Mereka, kok, jahat banget sih, Shaaaa? Aku tuh kurang apa? Sebagai istri, aku kurang apaaaaa? Sebagai saudara, aku kurang apaaaaa? Apa salahku? Kok, mereka tega banget ngelakuin itu? Jahaaaaaaaat!” Tangisku pecah lagi untuk yang ke sekian kali.
Bab 7Pak RT bangkit dari duduknya sambil membetulkan sarungnya yang kendor.“Baiklah, kalau begitu. Saya mau mandi dulu. Bu Vi sama Bu ... siapa? Lupa belum kenalan....” tanya Pak RT sambil menoleh pada Aisha.“Aisha, Pak...!” sahut Aisha.“Ooh, Bu Aisha? Kok, sama cantiknya dengan Bu Vienetta? Kembar, ya? Hahaha.” kelakar Pak RT.Dasar Buaya! Aku dan Aisha hanya saling pandang.“Bu Vi sama Bu Aisyah tunggu di sini dulu, ya ... saya mandi sebentar, ” pinta Pak RT sambil balik badan.“Aisha, Pak ... A-I-S-H-A. Bukan Aisyah!” sahut Aisha karena merasa namanya salah disebut.“Oh, maaf ... salah, ya? Iya, Bu Aisha ....” balas Pak RT sambil tertawa, lebih tepatnya menggoda.“Harus mandi dulu, ya, Pak?” Aku menyela sebelum Pak RT berbalik badan dan melangkah pergi.“Woiya, harus! Sebagai ketua RT, saya adalah panutan warga, jadi saya harus menjaga penampilan kalau di ha
Bab 8Seketika Nisa berlari ke arahku dan bersujud. Dia menangis memeluk kakiku lalu bersimpuh di lantai.Aku melempar tatapan mematikan pada laki-laki yang sedang bertelanjang dada itu. Mas Haris tidak berani melihat ke arahku. Dia mengusap wajah dengan kedua tangannya. Entah malu atau apa.“Kalian benar-benar bedeb*h!” umpatku tajam.Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah gunting di keranjang sikat gigi yang tergantung tak jauh dari tempatku berdiri. Aku meraihnya dengan tangan kanan, kemudian mengacungkannya pada Mas Haris. Kurasakan pelukan Nisa di salah satu kakiku semakin erat. Dia menangis meraung-raung. Saat itu juga Mas haris melihat ke arahku dan mundur hingga punggungnya hampir melekat pada dinding.Aku gelap mata mengingat pengorbananku selama ini ternyata tidak ada harganya sama sekali. Tak kusangka bakal sesakit ini rasanya dihianati. Seandainya kalian berada di posisiku, mungkin akan melakukan hal y
Bab 9“Bohong!” Aku berteriak sambil menutup telinga dengan kedua tanganku. Tangisku pecah. Harga diriku benar-benar tercabik-cabik. Hatiku dimutilasi dan dicacah tak berbentuk. Hancur!Aku melangkah mendekati laki-laki tak tahu diri itu. Dan....Plak!Aku menamparnya sekuat tenaga. Mas Haris memegangi pipinya dan meringis kesakitan. Napasku memburu hingga membuat dadaku naik-turun. “Sakit?” tanyaku sinis. “Itu belum seberapa dibandingkan dengan sakit hatiku, Mas!” Aku meremas kedua telapak tanganku geram.Tiba-tiba Nisa menghambur kepadaku.“Maafkan aku, Mbak. Sungguh ini di luar kendaliku. Aku mencintai Mas Haris ... bahkan jauh sebelum kalian menikah. Aku minta maaf, Mbak. Aku sudah mencoba membunuh perasaan itu tapi nggak bisa,” ungkap Nisa, masih dengan bersimpuh di kakiku memohon ampun.“Apa?!” Aku terkesiap mendengar pengakuan yang baru saja terlontar
Aisha bergegas keluar rumah menemui sopir taksi yang sudah tiga kali memencet klakson.“Vi ... maafin aku, aku janji nggak akan melakukan kesalahan lagi. Ini tertakhir kali. Aku mohon maafkan aku. Aku khilaf,” pinta Mas Haris—masih berdiri di depan pintu kamar sambil memegangi pundaknya.Seketika Nisa menatap Mas Haris dengan tatapan nanar dan penuh kekecewaan. Entah janji manis apa yang pernah terucap dari bibir Mas Haris hingga membuat Nisa klepek-klepek dan mau melakukan apa saja untuknya. Mungkin perempuan itu tidak menyangka kalau laki-laki yang dia cintai setengah mati itu masih saja memohon ampun kepada istrinya dan menganggap bersamanya adalah sebuah kekhilafan semata. Padahal dia sudah menyerahkan semuanya.Tin! Tin! Klakson berbunyi untuk yang keempat kalinya.“Kalau sampai taxi itu pergi, artinya kalian bakal keluar dari sini dengan jalan kaki. A
“Mas, ternyata selama ini kamu cuma anggap aku sebuah kekhilafan? Iya?!” protes Nisa kepada Haris. Mulutnya mengerucut beberapa centimeter.“Ya enggak, laaah!” Haris berkilah. Bola matanya bergerak-gerak menunjukkan rasa ketidak yakinan atas apa yang dia ucapkan.“Bohong!” sergah Nisa bersungut-sungut dan mencebik bibirnya.“Udah, deh. Jangan bikin aku tambah pusing ini!” Haris mulai tidak nyaman dengan tuduhan yang Nisa layangkan padanya.“Lalu kenapa tadi bilang gitu sama Mbak Vi? Mas nyesel?!” cecar Nisa bertubi-tubi meminta penjelasan. Sesekali ia mengusap kedua pangkal lengannya karena dinginnya AC yang terasa menusuk tulang.“Aku nggak punya pilihan lain itu tadi, makanya bilang kayak gitu. Siapa tahu dengan begitu Vi mau sedikit luluh. Kan, kita nggak perlu ngalamin beginian. Malu!” papar
Haris mengetuk pintu sambil mengamati perubahan pada tubuh Nisa—fokus lebih lama pada perutnya yang masih terbalut handuk putih. Nisa mematung—menggigit bibirnya dan menatap Haris dengan penuh rasa khawatir. Ada rasa cemas yang amat sangat sedang berkecamuk dalam hatinya. Bagaimana jika dia benar-benar hamil dalam kondisi seperti ini?Beberapa saat kemudian terdengar seseorang membuka kunci pintu.Ceklek! Ceklek! Pintu terbuka. Seorang wanita dengan riasan tebal—bibir merah merona—sepaket dengan sanggul rambutnya muncul dari balik pintu. Wajahnya yang tegas memberi kesan bahwa orangnya tidak ramah. Dia, Bu Merry—ibunya Haris.“Loh? Apa-apaan ini, Ris?!” tanya Bu Mirna seketika melihat anaknya datang bersama dengan seorang wanita yang tidak ia kenal dalam keadaan tidak berpakaian lengkap. Matanya membulat hingga eye liner-nya tampak sangat jelas di garis mata. &ldquo
“Kamu percaya dengan takdir, Vi?”Ucapan Aisha memecah keheningan setelah beberapa saat kami hanya termenung menatap malam di atas balkon rumah Aisha. Untuk sementara waktu memang lebih baik aku menginap di sini. Selain untuk menenangkan diri juga untuk berjaga-jaga kalau Mas Haris tiba-tiba ke rumah melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.“Percaya, Sha...,” jawabku singkat sambil menghela napas panjang. Aroma kopi hitam dari cangkir milik Aisha lembut membelai indera penciumanku. Kuambil cangkir berisi cokelat panas dan menyeruputnya hingga tandas—mumpung masih hangat—kalau sudah dingin pasti rasanya tidak nikmat lagi. Hari ini sungguh melelahkan. Capek badan, hati, dan pikiran.Aku bukan sedang menyesali suamiku yang selingkuh dengan perempuan lain, melainkan menyesali kebodohanku sendiri. Demi apa aku menyia-nyiakan waktu bertahun-tahun demi sesuatu yang tidak p
Part 18Beberapa hari ini Nizar tidak menghubungiku, lebih tepatnya sejak pemakaman almarhum suami Aisha—Dia tidak lagi mengirim pesan kepadaku. Apakah dia memang sedang dekat dengan Aisha? Aisha juga tidak menghubungiku. Padahal dulu, dia selalu bercerita tentang apa saja.Aku masih berkutat dengan pembukuan di Daebuck Cafe. Sesekali aku melongok ke depan barang kali Nizar muncul karena biasanya saat-saat makan siang begini dia tiba-tiba nongol. Berjuta tanya menguasai isi kepalaku. Jari kananku masih sibuk memutar-mutar pulpen, tangan kiri menyangga kepala, dan pandanganku jauh entah kemana.Aroma kopi menguar ketika aku meniup isi cangkirku hingga mengeluarkan kepulan uap panas yang menghangatkan lubang hidung mungilku. Aku berharap dengan ini bisa membuat perasaanku lebih tenang. Dari tempat dudukku yang berada di sudut kafe, aku bisa melihat ke seluruh isi ruangan. Beberapa pelanggan sedang menikmati hidangan. Mataku tertuj
Menyembuhkan patah hati adalah dengan jatuh cinta lagi, begitu kata orang. Perlahan aku mengakui bahwa kalimat itu memang benar. Kehadiran Nizar membuatku mudah melupakan Mas Haris. Jika Nizar tidak muncul dalam kehidupanku saat aku hancur menghadapi penghianatan Mas Haris, mungkin saat ini aku masih terpuruk dan meratapi nasib.Tidak dapat kusangkal bahwa perasaanku terhadap Nizar semakin mendalam meskipun hingga saat ini dia belum pernah mengungkapkan perasaannya kepadaku. Namun dari sikap yang dia tunjukkan, aku harap dia merasakan hal yang sama. Tapi, mengapa Nizar belum juga mengungkapkan isi hatinya? Apakah dia ragu? Atau jangan-jangan hanya aku saja yang terbawa perasaan? Ya, Tuhan ... aku tidak mau patah hati karena cintaku bertepuk sebelah tangan.*****Aku memutuskan untuk menjual rumah lamaku dan membeli rumah baru agar hidupku benar-benar lepas dari bayang-bayang Mas Haris dan Nisa. Setiap aku melihat kamar m
Hujan lebat mengguyur kota Surabaya sore ini. Aku khawatir Nizar akan membatalkan acara. Beberapa kali aku menengok kaca jendela untuk melihat apakah hujan sudah reda. Gaun hitam menggantung di dekat cermin.“Yakin nanti pakai ini?” gumamku sambil menyentuh ornamen bunga mawar di bagian tengah gaun. “Apakah aku benar-benar jatuh cinta kepada Nizar? Atau jangan-jangan tak lebih dari sebuah pelarian?” Ada yang beradu dalam pikiran. Aku menghela napas panjang.Tiba-tiba terdengar suara pintu kamarku diketuk.“Mbak Vi, ada yang nyari,” kata Bik Marni cepat setelah aku membuka pintu.“Siapa, Bik? Hujan-hujan begini kok ada tamu?” tanyaku heran. Pasti ada keperluan yang sangat penting hingga orang itu nekat menerjang hujan hanya untuk bertemu denganku. Siapa dia? Yang pasti bukan Nizar, Bik Marni sudah hafal wajah Nizar karena sering kesini.
Tidak kusangka proses perceraianku dengan Haris berjalan mulus berkat bantuan Nizar. Didukung dengan beberapa kali Haris tidak datang dalam persidangan, membuat Hakim tidak ragu mengabulkan gugatan cerai yang aku layangkan. Hak asuh Yuka juga jatuh ke tanganku, itu yang paling penting. Ditambah dengan video yang tersimpan di gawai Nisa, itu semua sudah cukup sebagai bukti bahwa Haris tidak layak menjadi suamiku. Kini, aku telah resmi menyandang status “single mom”.Dering telepon berulang kali terdengar dari kamar. Aku masih di ruang makan bersama Aisha membahas bisnis baru. Karena risih, akhirnya aku beranjak untuk mengangkatnya.Nomer baru muncul di layar yang berkedip-kedip mengikuti nada deringnya itu. Siapa? Aku ragu untuk menerimanya. Terima? Enggak? Terima? Enggak? Terima aja, lah. Siapa tahu penting.“Assalamu’alaikum?”“Wa-wa’alaikumsal
Dari kejauhan terdengar sirine meraung-raung. Aku tak tahu mengapa hatiku yakin sekali itu berasal dari mobil-mobil pemadam kebakaran yang kini sedang berusaha membungkam kobaran api yang melahap paksa tempat usahaku. Hancur sudah. Selain jadi janda, aku juga akan resmi jadi pengangguran saat ini . “Ya, Allah ... kenapa jadi keroyokan begini, sih, cobaanku?”Aisha melajukan mobilnya seperti orang kesetanan. Rasanya sudah seperti balapan di sirkuit—aku hampir terpelanting ke kanan dan kiri karena ulahnya itu.Akhirnya kami sampai. Kepulan asap hitam membumbung tinggi ke angkasa. Sebagian atap sudah hangus. Terdengar bunyi “pletak-pletak” seperti sesuatu yang meledak. Aku hanya mampu menatapnya dari kejauhan. Terpaku membisu diantara kerumunan orang yang berusaha memadamkan keganasan si jago merah itu.“Mbak, Viiii ...!” Tiba-tiba Siska berlari ke arahku dan memeluk.
“Kamu percaya dengan takdir, Vi?”Ucapan Aisha memecah keheningan setelah beberapa saat kami hanya termenung menatap malam di atas balkon rumah Aisha. Untuk sementara waktu memang lebih baik aku menginap di sini. Selain untuk menenangkan diri juga untuk berjaga-jaga kalau Mas Haris tiba-tiba ke rumah melakukan sesuatu yang tidak diinginkan.“Percaya, Sha...,” jawabku singkat sambil menghela napas panjang. Aroma kopi hitam dari cangkir milik Aisha lembut membelai indera penciumanku. Kuambil cangkir berisi cokelat panas dan menyeruputnya hingga tandas—mumpung masih hangat—kalau sudah dingin pasti rasanya tidak nikmat lagi. Hari ini sungguh melelahkan. Capek badan, hati, dan pikiran.Aku bukan sedang menyesali suamiku yang selingkuh dengan perempuan lain, melainkan menyesali kebodohanku sendiri. Demi apa aku menyia-nyiakan waktu bertahun-tahun demi sesuatu yang tidak p
Haris mengetuk pintu sambil mengamati perubahan pada tubuh Nisa—fokus lebih lama pada perutnya yang masih terbalut handuk putih. Nisa mematung—menggigit bibirnya dan menatap Haris dengan penuh rasa khawatir. Ada rasa cemas yang amat sangat sedang berkecamuk dalam hatinya. Bagaimana jika dia benar-benar hamil dalam kondisi seperti ini?Beberapa saat kemudian terdengar seseorang membuka kunci pintu.Ceklek! Ceklek! Pintu terbuka. Seorang wanita dengan riasan tebal—bibir merah merona—sepaket dengan sanggul rambutnya muncul dari balik pintu. Wajahnya yang tegas memberi kesan bahwa orangnya tidak ramah. Dia, Bu Merry—ibunya Haris.“Loh? Apa-apaan ini, Ris?!” tanya Bu Mirna seketika melihat anaknya datang bersama dengan seorang wanita yang tidak ia kenal dalam keadaan tidak berpakaian lengkap. Matanya membulat hingga eye liner-nya tampak sangat jelas di garis mata. &ldquo
“Mas, ternyata selama ini kamu cuma anggap aku sebuah kekhilafan? Iya?!” protes Nisa kepada Haris. Mulutnya mengerucut beberapa centimeter.“Ya enggak, laaah!” Haris berkilah. Bola matanya bergerak-gerak menunjukkan rasa ketidak yakinan atas apa yang dia ucapkan.“Bohong!” sergah Nisa bersungut-sungut dan mencebik bibirnya.“Udah, deh. Jangan bikin aku tambah pusing ini!” Haris mulai tidak nyaman dengan tuduhan yang Nisa layangkan padanya.“Lalu kenapa tadi bilang gitu sama Mbak Vi? Mas nyesel?!” cecar Nisa bertubi-tubi meminta penjelasan. Sesekali ia mengusap kedua pangkal lengannya karena dinginnya AC yang terasa menusuk tulang.“Aku nggak punya pilihan lain itu tadi, makanya bilang kayak gitu. Siapa tahu dengan begitu Vi mau sedikit luluh. Kan, kita nggak perlu ngalamin beginian. Malu!” papar
Aisha bergegas keluar rumah menemui sopir taksi yang sudah tiga kali memencet klakson.“Vi ... maafin aku, aku janji nggak akan melakukan kesalahan lagi. Ini tertakhir kali. Aku mohon maafkan aku. Aku khilaf,” pinta Mas Haris—masih berdiri di depan pintu kamar sambil memegangi pundaknya.Seketika Nisa menatap Mas Haris dengan tatapan nanar dan penuh kekecewaan. Entah janji manis apa yang pernah terucap dari bibir Mas Haris hingga membuat Nisa klepek-klepek dan mau melakukan apa saja untuknya. Mungkin perempuan itu tidak menyangka kalau laki-laki yang dia cintai setengah mati itu masih saja memohon ampun kepada istrinya dan menganggap bersamanya adalah sebuah kekhilafan semata. Padahal dia sudah menyerahkan semuanya.Tin! Tin! Klakson berbunyi untuk yang keempat kalinya.“Kalau sampai taxi itu pergi, artinya kalian bakal keluar dari sini dengan jalan kaki. A