20. Sebuah PantanganTubuh Ki Sumawirat terpental jauh, beberapa kali membentur pohon. Pukulan sakti Amoksa telah membuatnya tidak sadarkan diri sejak awal saking kuat luar biasa.Pada saat tubuh pendekar sepuh ini hampir jatuh menyentuh tanah, satu bayangan berkelebat menyambar tubuh Ki Sumawirat. Begitu cepat sehingga tak terlihat oleh pandangan biasa.Sang Guru Besar perguruan Tunggul Manik sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Dia mengira ajalnya telah tiba, sampai sesuatu yang hangat menerpa wajahnya yang tua.Ki Sumawirat mengerjapkan mata, perlahan membuka dan memusatkan pandangan. Yang pertama dia lihat adalah gelap, lalu sedikit demi sedikit muncul cahaya hingga matanya menangkap sebuah langit-langit berupa gumpalan batu hitam.Pertama dia mengira sudah berada di alam kematian, karena sedikit pun tak bisa menggerakkan tubuhnya. hanya bola matanya saja berputar-putar mengamati tempat di mana dia berada. Sepertinya dia berada di dalam sebuah gua."Kau belum mati, Wirat!"Satu sua
Akan tetapi sekejap kemudian wajah Amoksa langsung berubah dingin. Sepasang bola matanya menatap tajam Sekarwati yang juga selalu bersikap dingin."Kau tidak pernah melayaniku dengan baik," desis Amoksa rahangnya mengeras. Menahan amarah, sekali hantam saja bisa melayang nyawa Sekarwati.Namun, Amoksa begitu menyukai tubuh gadis ini yang indah, kulit mulus dan kencang, wajah cantik ditambah dengan ramuan buatan Nini Manjeti membuatnya semakin mempesona.Ada satu hal yang dia sadari setelah beberapa kali meniduri gadis ini. Segala keindahan pada gadis ini memang bisa dinikmati, tapi Amoksa selalu merasa sedang tidur dengan mayat."Aku harus melakukan sesuatu, kau tidak boleh seperti itu terus!"Amoksa berbalik lalu ke luar lagi. Dia kembali menemui Nini Manjeti. Wanita ini tampak heran karena tidak biasanya Amoksa datang tiba-tiba seperti ini."Sepertinya ada sesuatu yang terlewatkan?" tanya Nini Manjeti."Sekarwati,""Ada apa dengan dia?""Ada yang kurang!""Kurang apa?"Amoksa menjel
Namun, Eyang Wanabaya tetap tenang malah sedikit tersenyum karena yang datang tidak bermaksud jahat. Ini dirasakan dari hawa sakti yang ramah."Rampes!" jawab Eyang Wanabaya. "Mengapa tidak menunjukkan diri, bukankah agar kita bisa saling mengenal satu sama lain?"Memang terasa kehadiran seseorang di dekat Eyang Wanabaya, tapi orang ini tidak tampak wujudnya. Hanya hawa saktinya yang memancar."Mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya bukanlah siapa-siapa, saya hanya remahan saja. Sudah dari dulu saya memang tidak pernah menampakkan diri kepada siapa pun termasuk anak didik saya," kata seseorang yang hanya terdengar suaranya saja."Ah, sepertinya aku ingat satu nama yang memang hanya dikenal para resi dan orang-orang sakti yang usianya di atas seratus tahun. Ada satu tokoh yang selalu menutup diri di balik hawa sakti dan hanya satu orang yang pernah melihat atau menjumpainya, yaitu Resi Manikmaya. Apakah Ki Sanak ini orangnya?" tanya Eyang Wanabaya."Tidak salah sama sekali, memang saya
Senjata yang digunakan si pemimpin berbeda dari anak buahnya. Dia menggunakan pedang panjang dengan bilah yang tidak lebar.Lelaki yang berusia tiga puluhan ini meloncat melewati kepala anak-anak buahnya. Dia mengayunkan pedang yang sudah dilapisi tenaga dalam.Ayunannya membawa segulung angin tajam bagai pisau melesat mendahului gerakan pedang, menembak ke arah Pancaka.Wutt!Pancaka menyadari serangan bokongan ini, dia sudah merasakan kesiur angin lebih dulu. Lalu dia meloncat ke atas dengan memanfaatkan injakan salah satu kakinya ke pundak lawan terdekat.Begitu berada di udara, Pancaka putar pedangnya seperti sedang menebang pohon diikuti putaran tubuhnya ke arah kiri.Swugh!Serangkum angin berkelebat menghalau gulungan angin yang datang dari pedang panjang si pemimpin. Kalau diukur panjang pedang ini dua kali lipat dari pedang Pancaka.Byaaar!Dua rangkum angin beradu menghasilkan gelombang menyebar ke sekelilingnya. Akibatnya menerpa sembilan anak buah. Semuanya terpental lalu
Raden Jatmika dan dua pengawalnya berhenti. Sang putra Raja tampak tenang saja, sedangkan dua pengawalnya memilih waspada.Hawa sakti ini begitu kuat, menandakan si pemiliknya sudah memiliki tenaga dalam tinggi. Pancaka dan Bardasora dapat mengukur bahwa mereka bukan tandingannya, kecuali kalau bersatu mungkin bisa diatasi. Siapa orang ini?Ketiga orang berkuda ini menunggu beberapa saat sampai dari balik salah satu pohon di pinggir jalan muncul seseorang yang tubuhnya seperti memancarkan cahaya putih.Seorang lelaki tua berpakaian serba putih berbentuk selempang seperti seorang resi. Wajahnya cerah memancarkan kewibawaan dan sifat bijaksana.Pancaka dan Bardasora mengendurkan rasa tegangnya, mereka melihat orang ini tidak bermaksud jahat. Terbukti ketika Raden Jatmika langsung turun dan menjura di hadapan orang tua ini."Sampurasun, apakah saya bertemu dengan Eyang Wanabaya?" sapa Raden Jatmika. Dua pengawalnya juga langsung turun dan menghormat."Pandangan Ananda begitu tajam. Bukan
Pancaka ingat kata-kata Eyang Wanabaya bahwa pendekar golongan putih juga sudah bergerak mengatasi masalah ini.Ini menjadi kesempatan baginya untuk memburu si pemimpin yang masih berdiri di belakang sana sambil mengatur serangan.Pengawal pribadi Raden Jatmika ini segera meloncat tinggi-tinggi ke udara. Dari atas dia bisa melihat Bardasora dan beberapa pendekar sedang bertempur.Kemudian Pancaka bersalto satu kali agar mendapat tenaga dorongan yang digunakan untuk melesat ke arah si pemimpin.Wush!Sosok Pancaka menukik cepat memburu si pemimpin. Yang diincar tentu saja sudah menyadari adanya ancaman, dia angkat pedang panjangnya.Dengan percaya diri, si pemimpin menyambut serangan dengan meluruk ke depan menyongsong datangnya Pancaka. Pedangnya berputar mengecoh lawan.Si pemimpin yakin akan lebih cepat merobohkan lawan karena senjatanya yang lebih panjang dan bisa menjangkau lebih jauh.Namun, sudah dua kali sebenarnya Pancaka menghadapi lawan dengan senjata lebih besar dan panjang
Akan tetapi suara tawa melengking Nini Manjeti terbungkam ketika dari tubuh Eyang Wanabaya memancarkan energi kuat yang mampu mengimbangi kekuatan sihir wanita tersebut."Hah, apa itu!" seru Nini Manjeti.Pusaran angin yang mirip tong raksasa perlahan memudar. Hal ini memaksa Nini Manjeti untuk lebih fokus melawan Eyang Wanabaya. Pertarungan tak kasat mata tak bisa dihindari lagi.Namun, pada saat itu juga dari belakang Nini Manjeti berkelebat seseorang yang tidak lain adalah Amoksa. Murid Nini Manjeti ini langsung menyerang Raden Jatmika."Hahaha .... tidak perlu susah-susah ke kota raja, dendamku akan terbalas hari ini. Musuhku mengantarkan nyawanya sendiri, hahaha ...!"Raden Jatmika merasakan serangan tak kasat mata sejak Amoksa muncul, dia langsung melompat mundur turun dari pohon seraya mengerahkan seluruh kekuatannya.Beberapa saat dua sosok ini saling kejar di udara seperti burung. Raden Jatmika mundur semata-mata agar bisa lebih siap melawan musuhnya.Sampai akhirnya mereka j
"Lapor, Gusti. Tiga orang menerobos masuk ke istana. Mereka sedang mengacau di alun-alun. Kekuatan mereka tidak bisa dianggap enteng, hanya Gusti yang bisa menaklukkan mereka!""Hmmm .... Tenanglah, kau pergi saja, aku akan menyambut mereka!"Patih Janggala langsung berdiri dengan wajah angkuh. Dia mengambil senjata andalannya berupa tongkat bermata dua.Bagian atas bentuknya mata tombak dan bagian bawah berupa pedang pendek. Panjang keseluruhan senjata ini seukuran tinggi tubuhnya.Kemudian Patih Janggala melangkah menuju halaman depan. Dari dalam sudah terdengar suara pertarungan yang tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tapi juga disertai tenaga dalam.Sampai di teras pendopo, barulah terlihat dua orang berjibaku menerobos barisan pertahan penjaga istana kecil ini, sedangkan satu orang lagi tampak berdiri agak jauh di belakang sana."Sumawirat, dia masih hidup rupanya. Tidak apa, aku ingin menjajal kesaktian baruku untuk melawannya!"Setelah bergumam Patih Janggala langsung ber
Tubuh senapati terlempar lalu ambruk. Dadanya terasa sangat sesak bagai dihimpit batu raksasa. Tenaga dalamnya seketika buyar, malah ada yang menghantam diri sendiri.Akibatnya tubuh sang Senapati tak bisa digerakkan lagi seperti lumpuh. Selain sesak, di bagian dalamnya terasa remuk dan panas menyengat.Pada saat itulah Sang Prabu keluar, meloncat dan langsung mendarat di depan senapati yang tergeletak tak berdaya."Kau ditangkap karena merencanakan tindakan makar!" seru Sang Raja.Para prajurit langsung terdiam begitu tahu siapa yang muncul."Jika kalian masih membela dia, maka kalian dianggap pembangkang!" teriak Sang Raja.Semua prajurit tidak ada yang berani bergerak. Sementara sang senapati sudah kehilangan harapan. Dia sangat dendam kepada Danurwenda, tetapi apa daya sekarang dia hanya manusia biasa tanpa kekuatan.Kemudian Sang Raja memerintahkan agak senapati ditangkap dan dibawa ke istana.Pagi-pagi buta di istana Nunuk. Danurwenda diundang ke kamarnya Nila Saroya. Kamar yang
Sang Prabu membuat gerakan mendorong dengan satu tangan ke arah mulut gua. Sekelebat angin lembut menderu membelah air sungai sehingga membentuk sebuah jalan."Mari!" ajak Sang Raja.Danurwenda dan Nila Saroya mengikuti Sang Raja melangkah di jalan air yang terbentuk secara ajaib ini sampai berada di sisi sungai sebelah barat. Setelah itu jalan air ini menutup kembali.Ternyata di luar sudah hampir gelap. Sang Raja yang mengenakan pakaian resi terus berjalan ke tengah hutan di dekat hulu sungai itu.Sampai di suatu tempat yang agak lapang, Sang Prabu berhenti lalu kedua tangannya bertepuk pelan. Tiba-tiba dari kegelapan muncul sebuah kereta kuda tanpa kusir dan berhenti di depan Sang Raja."Silakan naik," kata Sang Raja.Danurwenda langsung menjura. "Silakan Gusti Prabu dan Tuan Putri yang naik duluan, biar saya yang menjadi kusir!"Sang Raja tersenyum lalu naik ke kereta diikuti Nila Saroya yang agak ragu-ragu. Kereta kuda pun berangkat setelah Danurwenda duduk di tempat kusir dan me
Nila Saroya ingat kemarin hampir menikah dengan lelaki yang tak dicintainya. Sekarang setelah bersama Danurwenda dia lupa kalau sudah punya kekasih yang sangat dicintainya. Entah bagaimana kabar sang kekasih saat ini setelah ada kabar tentang ayahnya ini."Kau mau di bawah atau di atas?" Pertanyaan Danurwenda membuyarkan lamunan dan mengejutkannya."Ap- apa?""Kau mau tidur di mana, di atas dipan atau di lantai?" ulang Danurwenda."Kau di mana?" Nila Saroya balik tanya."Terserah kamu yang duluan, atau mau bareng-bareng saja di atas?" Danurwenda lemparkan kerlingan mata yang memikat.Dari awal dia tahu sifat gadis ini pendiam dan pemalu, tapi dia tahu apa yang dirasakan di dalam hati Nila Saroya."Ap-, tid-, eh. Aku di sini saja!" Nila Saroya segera naik ke atas dipan. Dia tak bisa menyembunyikan kegugupannya.Kemudian Nila Saroya berbaring membelakangi Danurwenda. Cukup lama keduanya saling diam. Akhirnya Danurwenda merebahkan diri di sebelah Nila Saroya.Nila Saroya kaget ketika mer
"Ayo lari!"Danurwenda membawa dua orang yang jadi buruan ini masuk ke bukit, menyelinap ke balik bebatuan besar sehingga dalam waktu singkat jejak mereka hilang."Siapa yang melarikan mereka?" tanya si pemimpin di atas kuda setelah sampai di sana."Danurwenda!""Pendekar yang jadi kepercayaan istana Galuh itu?""Benar, Ketua!"Si pemimpin langsung maklum kenapa lima anak buahnya ini tidak menyerang."Cari terus, biar aku yang menghadapi Danurwenda!" perintah si pemimpin.Sementara itu Danurwenda sudah menyelinap ke tempat yang sulit di jangkau. Dengan kepiawaiannya dia bisa membawa dua orang yang sedang dilindunginya.Akhirnya mereka sampai ke sebuah gua kecil tersembunyi di lereng bukit. Lelaki setengah baya itu tergopoh-gopoh sambil mengatur napasnya.Sementara si gadis yang tidak lain Tuan Putri bernama Nila Saroya sudah duduk menyandar ke dinding gua."Terima kasih, Anak muda!" ujar lelaki setengah baya. Danurwenda hanya mengangguk pelan dengan tersenyum."Ki Narya, sebenarnya si
Di sebuah desa di wilayah kekuasaan Kerajaan Nunuk. Di dalam kamar sebuah rumah besar, tampak seorang gadis cantik sedang merenung menyendiri."Ini hari pernikahan Tuan Putri, kenapa masih menyendiri di sini, tukas rias sudah menunggu di kamar Tuan Putri!" kata seorang gadis lain yang merupakan pembantu di rumah ini."Aku tidak mau dijodohkan dengan dia, orangnya jelek, perangainya buruk lagi. Terus kenapa ayah belum juga pulang dari istana. Semakin kesal saja, aku mau kabur saja!""Heh, jangan, Tuan Putri!"Gadis yang dipanggil Tuan Putri ini tiba-tiba berbinar matanya begitu melihat sosok pembantunya. Bentuk tubuh dia dengan pembantunya ini hampir mirip, hanya wajah saja yang berbeda.Lalu si Tuan Putri ini tiba-tiba menarik si pembantu keluar menuju kamarnya yang sudah ada beberapa orang tukang rias. Dia ingat semua tukang rias tidak ada yang mengenali dirinya."Ini Tuan Putri yang akan dirias!" kata Si Tuan Putri sambil mendorong pembantunya. Si pembantu tampak bingung."Sudah, ik
Setelah ada pesta menyambut kemenangan atas bebasnya desa Cipeundeuy dari penindasan Raksana dan Gumara.Delapan orang pemanah diangkat menjadi kelompok keamanan desa. Beberapa orang sesepuh juga diminta untuk menjadi pejabat pengurus desa.Suasana di rumah itu sudah sepi. Tinggal Danurwenda bersama gadis berkulit hitam manis itu. Setelah diperhatikan, Kinasih cantik juga.Tubuh gadisnya sudah matang sehingga membentuk lekuk yang membuat para lelaki menelan ludah."Setelah tahu siapa kamu, aku tidak bisa menahanmu pergi!" ujar Kinasih sambil menatap tajam penuh arti. Bola mata gadis ini seakan ingin meloncat menembus kedua mata si pemuda."Padahal aku ingin kau lebih lama di sini, bahkan tetap tinggal di sini!" Lanjut si gadis mengharap."Mungkin lain kali, aku akan tinggal lebih lama. Apalagi bersama gadis secantik kamu!""Jangan mudah berjanji!" Kinasih tersipu. "Mungkin kau akan lupa, apalagi di kota raja banyak gadis-gadis cantik!"Danurwenda menatap gadis itu lekat. Tidak dapat d
Gumara kaget, segera menghampiri anak buahnya yang jatuh itu. Sebuah anak panah menancap tepat di dada menusuk jantung."Pembokong sialan!""Ada apa, Anakku?""Lihatlah, Pak!"Gumara menyapukan pandangan, tak ada yang mencurigakan. Bahkan seolah-olah angin pun diam tak bergerak."Apa rencana mereka?" gumam Raksana sambil memandang anak panah yang sudah dicabutnya."Aaah!"Brukk!Satu lagi di tempat lainnya tampak terpental lalu ambruk tak berkutik. Setelah diperiksa juga sama terpanah tepat di jantungnya. Semakin marah Gumara dan ayahnya melihat kejadian ini."Setan alas!""Bedebah!"Apa yang terjadi sebenarnya?Selama tiga hari menghilang, Danurwenda dan Kinasih secara sembunyi-sembunyi menemui warga-warga desa. Mereka mengajak warga untuk melawan Raksana.Namun, kebanyakan menolak karena takut dan tak punya kemampuan. Hingga akhirnya Danurwenda punya gagasan mencari dan menemui orang-orang yang suka berburu.Kebanyakan mereka ahli dalam memanah buruan di hutan. Setelah diajak dan di
"Tunggu pembalasan kami, bocah!" seru salah satunya."Siapa mereka?" tanya Danurwenda setelah kelima orang itu lenyap."Mereka anak buahnya Raksana," jawab si gadis berkulit aga gelap, tapi manis."Raksana?"Kemudian si gadis menceritakan keadaan desanya yang dilanda kekacauan atas ulah seorang warga berilmu tinggi yang menggunakannya untuk menindas warga yang lain."Bahkan Raksana dan Gumara, anaknya, telah membunuh Ki Kuwu. Desa Cipeundeuy dikuasai mereka dan anak buahnya, berbuat sewenang-wenang. Memungut upeti panen seenaknya kepada warga,""Tidak ada yang memberitahukan ke kerajaan?""Setiap ada yang mau ke kerajaan selalu ketahuan, ditangkap, disiksa bahkan dibunuh!""Wah, kejam sekali mereka!""Lebih biadab lagi, Gumara selalu melecehkan gadis-gadis desa. Jika ada yang disukainya, akan ditangkap dan dijadikan budak nafsunya."Naluri Danurwenda yang baik ingin berbuat sesuatu untuk menolong desa ini dari kesewenang-wenangan. Tidak mengapa perjalanan pulangnya terhambat kalau unt
Rupanya Danurwenda tidak tahan melihat tubuh indah Dewi Kalajenget sejak tidak sengaja menyentuh buah montoknya. Sintal, sepasang gunung yang besar. Lebih besar dari wanita yang pernah dia temui sebelumnya.Padahal usia Dewi Kalajenget jauh lebih tua, tapi lekuk tubuhnya masih menggoda. Kulit mulus dan kencang. Dia ingat Putri Angin yang memiliki kecantikan sempurna, tapi tidak sesekal wanita ini.Entah kenapa akhir-akhir ini Danurwenda seperti gampang haus asmara. Kerinduan kepada Setyawati membuatnya mencari pelampiasan kepada wanita lain.Wanita itu menggelinjang kegelian. Bahkan kedua tangannya bergerak menarik punggung Danurwenda sehingga pemuda ini menindih tubuhnya.Kembennya telah terlepas begitu saja sehingga bagian atas tubuhnya terpampang bebas tanpa penghalang. Danurwenda mengatur perasaannya. Kulit tubuh Dewi Kalajenget memberikan sensasi nikmat yang beda. Apalagi dua bulatan yang mengganjal di dada."Aku akan mengabulkan keinginanmu," bisik Danurwenda di telinga Dewi Kal