19. Rahasia SetyawatiDanurwenda berbalik lalu menghampiri Setyawati, tapi tidak sampai terlalu mendekat. Dia berdiri sejauh dua tombak dari batu yang diduduki gadis cantik sawo matang itu."Aku tidak sengaja ke sini, aku tidak ingin mengganggu jadi aku pergi saja!""Tidak ingin mengganggu, bukannya kau disuruh Pancaka mencari atau mengawasiku?""Hah!" Danurwenda kerutkan kening sambil garuk-garuk kepala. "Untuk apa? Aku bukan pembantunya yang bisa disuruh-suruh!""Tentu saja untuk menghalangi aku agar tidak mengejar dia lagi!""Aku ada urusan lain yang lebih penting dari urusan asmara kalian yang aneh itu!" tukas Danurwenda."Jangan mungkir!""Ah, sudahlah, aku salah jalan ke tempat ini. Malah dituduh yang aneh-aneh!"Danurwenda berbalik lagi, kali ini benar-benar hendak pergi. Tidak ingin meladeni gadis galak ini. Urusan bisa panjang nantinya.Namun, tiba-tiba dia merasakan hawa sakti begitu kuat bahkan mengandung serangan walau bukan hawa membunuh. Kesiur angin terasa menerpa tengk
20. Sebuah PantanganTubuh Ki Sumawirat terpental jauh, beberapa kali membentur pohon. Pukulan sakti Amoksa telah membuatnya tidak sadarkan diri sejak awal saking kuat luar biasa.Pada saat tubuh pendekar sepuh ini hampir jatuh menyentuh tanah, satu bayangan berkelebat menyambar tubuh Ki Sumawirat. Begitu cepat sehingga tak terlihat oleh pandangan biasa.Sang Guru Besar perguruan Tunggul Manik sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Dia mengira ajalnya telah tiba, sampai sesuatu yang hangat menerpa wajahnya yang tua.Ki Sumawirat mengerjapkan mata, perlahan membuka dan memusatkan pandangan. Yang pertama dia lihat adalah gelap, lalu sedikit demi sedikit muncul cahaya hingga matanya menangkap sebuah langit-langit berupa gumpalan batu hitam.Pertama dia mengira sudah berada di alam kematian, karena sedikit pun tak bisa menggerakkan tubuhnya. hanya bola matanya saja berputar-putar mengamati tempat di mana dia berada. Sepertinya dia berada di dalam sebuah gua."Kau belum mati, Wirat!"Satu sua
Akan tetapi sekejap kemudian wajah Amoksa langsung berubah dingin. Sepasang bola matanya menatap tajam Sekarwati yang juga selalu bersikap dingin."Kau tidak pernah melayaniku dengan baik," desis Amoksa rahangnya mengeras. Menahan amarah, sekali hantam saja bisa melayang nyawa Sekarwati.Namun, Amoksa begitu menyukai tubuh gadis ini yang indah, kulit mulus dan kencang, wajah cantik ditambah dengan ramuan buatan Nini Manjeti membuatnya semakin mempesona.Ada satu hal yang dia sadari setelah beberapa kali meniduri gadis ini. Segala keindahan pada gadis ini memang bisa dinikmati, tapi Amoksa selalu merasa sedang tidur dengan mayat."Aku harus melakukan sesuatu, kau tidak boleh seperti itu terus!"Amoksa berbalik lalu ke luar lagi. Dia kembali menemui Nini Manjeti. Wanita ini tampak heran karena tidak biasanya Amoksa datang tiba-tiba seperti ini."Sepertinya ada sesuatu yang terlewatkan?" tanya Nini Manjeti."Sekarwati,""Ada apa dengan dia?""Ada yang kurang!""Kurang apa?"Amoksa menjel
Namun, Eyang Wanabaya tetap tenang malah sedikit tersenyum karena yang datang tidak bermaksud jahat. Ini dirasakan dari hawa sakti yang ramah."Rampes!" jawab Eyang Wanabaya. "Mengapa tidak menunjukkan diri, bukankah agar kita bisa saling mengenal satu sama lain?"Memang terasa kehadiran seseorang di dekat Eyang Wanabaya, tapi orang ini tidak tampak wujudnya. Hanya hawa saktinya yang memancar."Mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya bukanlah siapa-siapa, saya hanya remahan saja. Sudah dari dulu saya memang tidak pernah menampakkan diri kepada siapa pun termasuk anak didik saya," kata seseorang yang hanya terdengar suaranya saja."Ah, sepertinya aku ingat satu nama yang memang hanya dikenal para resi dan orang-orang sakti yang usianya di atas seratus tahun. Ada satu tokoh yang selalu menutup diri di balik hawa sakti dan hanya satu orang yang pernah melihat atau menjumpainya, yaitu Resi Manikmaya. Apakah Ki Sanak ini orangnya?" tanya Eyang Wanabaya."Tidak salah sama sekali, memang saya
Senjata yang digunakan si pemimpin berbeda dari anak buahnya. Dia menggunakan pedang panjang dengan bilah yang tidak lebar.Lelaki yang berusia tiga puluhan ini meloncat melewati kepala anak-anak buahnya. Dia mengayunkan pedang yang sudah dilapisi tenaga dalam.Ayunannya membawa segulung angin tajam bagai pisau melesat mendahului gerakan pedang, menembak ke arah Pancaka.Wutt!Pancaka menyadari serangan bokongan ini, dia sudah merasakan kesiur angin lebih dulu. Lalu dia meloncat ke atas dengan memanfaatkan injakan salah satu kakinya ke pundak lawan terdekat.Begitu berada di udara, Pancaka putar pedangnya seperti sedang menebang pohon diikuti putaran tubuhnya ke arah kiri.Swugh!Serangkum angin berkelebat menghalau gulungan angin yang datang dari pedang panjang si pemimpin. Kalau diukur panjang pedang ini dua kali lipat dari pedang Pancaka.Byaaar!Dua rangkum angin beradu menghasilkan gelombang menyebar ke sekelilingnya. Akibatnya menerpa sembilan anak buah. Semuanya terpental lalu
Raden Jatmika dan dua pengawalnya berhenti. Sang putra Raja tampak tenang saja, sedangkan dua pengawalnya memilih waspada.Hawa sakti ini begitu kuat, menandakan si pemiliknya sudah memiliki tenaga dalam tinggi. Pancaka dan Bardasora dapat mengukur bahwa mereka bukan tandingannya, kecuali kalau bersatu mungkin bisa diatasi. Siapa orang ini?Ketiga orang berkuda ini menunggu beberapa saat sampai dari balik salah satu pohon di pinggir jalan muncul seseorang yang tubuhnya seperti memancarkan cahaya putih.Seorang lelaki tua berpakaian serba putih berbentuk selempang seperti seorang resi. Wajahnya cerah memancarkan kewibawaan dan sifat bijaksana.Pancaka dan Bardasora mengendurkan rasa tegangnya, mereka melihat orang ini tidak bermaksud jahat. Terbukti ketika Raden Jatmika langsung turun dan menjura di hadapan orang tua ini."Sampurasun, apakah saya bertemu dengan Eyang Wanabaya?" sapa Raden Jatmika. Dua pengawalnya juga langsung turun dan menghormat."Pandangan Ananda begitu tajam. Bukan
Pancaka ingat kata-kata Eyang Wanabaya bahwa pendekar golongan putih juga sudah bergerak mengatasi masalah ini.Ini menjadi kesempatan baginya untuk memburu si pemimpin yang masih berdiri di belakang sana sambil mengatur serangan.Pengawal pribadi Raden Jatmika ini segera meloncat tinggi-tinggi ke udara. Dari atas dia bisa melihat Bardasora dan beberapa pendekar sedang bertempur.Kemudian Pancaka bersalto satu kali agar mendapat tenaga dorongan yang digunakan untuk melesat ke arah si pemimpin.Wush!Sosok Pancaka menukik cepat memburu si pemimpin. Yang diincar tentu saja sudah menyadari adanya ancaman, dia angkat pedang panjangnya.Dengan percaya diri, si pemimpin menyambut serangan dengan meluruk ke depan menyongsong datangnya Pancaka. Pedangnya berputar mengecoh lawan.Si pemimpin yakin akan lebih cepat merobohkan lawan karena senjatanya yang lebih panjang dan bisa menjangkau lebih jauh.Namun, sudah dua kali sebenarnya Pancaka menghadapi lawan dengan senjata lebih besar dan panjang
Akan tetapi suara tawa melengking Nini Manjeti terbungkam ketika dari tubuh Eyang Wanabaya memancarkan energi kuat yang mampu mengimbangi kekuatan sihir wanita tersebut."Hah, apa itu!" seru Nini Manjeti.Pusaran angin yang mirip tong raksasa perlahan memudar. Hal ini memaksa Nini Manjeti untuk lebih fokus melawan Eyang Wanabaya. Pertarungan tak kasat mata tak bisa dihindari lagi.Namun, pada saat itu juga dari belakang Nini Manjeti berkelebat seseorang yang tidak lain adalah Amoksa. Murid Nini Manjeti ini langsung menyerang Raden Jatmika."Hahaha .... tidak perlu susah-susah ke kota raja, dendamku akan terbalas hari ini. Musuhku mengantarkan nyawanya sendiri, hahaha ...!"Raden Jatmika merasakan serangan tak kasat mata sejak Amoksa muncul, dia langsung melompat mundur turun dari pohon seraya mengerahkan seluruh kekuatannya.Beberapa saat dua sosok ini saling kejar di udara seperti burung. Raden Jatmika mundur semata-mata agar bisa lebih siap melawan musuhnya.Sampai akhirnya mereka j