Syuting berjalan lancar sampai siang menjelang, Remo dan Yuki beristirahat sementara sutradara mengambil adegan lainnya dengan pemeran pendukung.
"Makan siang udah datang belum, sih?" tanya Remo kepada Putri, salah satu asistennya.
"Udah, mau makan nasi kotak?" tanya Putri.
"Emang makan siangnya nasi kotak? Mending pesan aja deh! Yang lain, bosan makan nasi kotak!"
Sementara Remo fokus bicara dengan Putri, sebuah taksi berhenti di depan area syuting. Jenar turun dari taksi itu dengan membawa sebuah rantang yang cukup besar. "Sayang ...! Makan siang ...!" seru Jenar sambil berlari mendekat.
Remo terbelalak, dia tak menduga sama sekali kalau Jenar sungguh merealisasikan niatnya, dia sangka apa yang dikatakan Jenar kemarin tidak lah serius. Semua mata tertuju kepada Jenar saat ini. Termasuk mata para kru, Yuki dan juga Putri yang telah lebih dahulu mengenal Jenar. Remo berdiri dan m
Remo makin naik pitam dengan perlawanan yang diberi Jenar. Dia merasa ditolak, direndahkan, dan dianggap remeh. Kian melonjak emosi, Remo menahan tubuh Jenar dengan tubuhnya sendiri."Lepasin aku Remo! Mestinya bukan aku yang kamu larang untuk ketemu Jaka atau siapa pun, tapi kamu yang stop ngikutin aku! Aku muak kamu intai!" teriak Jenar terus memberontak."Kamu milik aku! Aku gak mau kamu ketemu siapa pun selain aku!""Kamu butuh obat penenang, Remo! Please! Kamu akan nyesal lakukan ini ke aku!" erang Jenar.Remo memberi satu ciuman yang menyakitkan bagi Jenar. Tak mampu menahan segala perih yang mendera, Jenar meringis, "Lebih baik kita cerai aja ..., please ...."Bagai tersambar petir di siang bolong, Remo terdiam selama hampir satu menit. Jenar juga kaget melihat diam nya Remo, dia tatap mata Remo, Remo tak bicara sama sekali, hanya aura yang meruak dari tubuhnya
Pupil mata Remo membesar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Berobat? Berobat apa? Emangnya aku sakit apa?" tanya Remo dingin.Jenar menghela napas agak panjang. "Kamu tau sendiri kekurangan kamu, kamu harus menerima itu semua, Mo. Jangan menyangkal, ini demi kebaikan kamu.""Bukan itu yang aku tanya, aku tanya ... apa sakit aku? Jelasin dong kalau memang itu benar, biar aku gak menyangkal lagi." Remo terdengar sinis, Jenar tahu Remo tak senang sama sekali."Kamu bikin aku berada di posisi yang sulit, Mo ... kamu sadar gak sih?" Jenar menatap lurus Remo, ditepisnya rasa ragu dan takut yang sempat hinggap di dada. "Kita gak bisa lanjut kalau terus kayak gini, kesabaran aku ada batasnya!" tegas Jenar sambil berdiri."Terus mau kamu apa? Kamu mau aku bilang kalau aku ini gila? Orang gak waras? Mau kamu umumkan ke seluruh dunia? Kalau suami kamu ini ..., yang katanya aktor terkenal
Cahaya senja masuk menembus kaca gedung perkantoran, membuat meja kerja Jenar tampak menguning dan jingga. Dia rapikan file-file di tempatnya, lantas dia tutup laptop. Pulpen, pensil, semua masuk ke dalam kotaknya, dan tersusun rapi.Jenar menggendong tas, siap untuk pulang. Namun, Jaka tiba-tiba berlari ke hadapannya. "Nar, kamu gak apa-apa kan?""Soal apa?" Jenar balik bertanya."Ya ... You know, suami kamu, si Remo, soal aku ngomong sama kamu kemarin, buat minta maaf."Senyum Jenar mengembang. "Kalem aja, gak ada masalah apa-apa kok, lagian kita kan sekantor, satu kampung lagi, mau diam-diaman sampe kapan? Ya kan? Gak mungkin banget." Jenar tertawa kecil. Menutupi apa yang terjadi sebetulnya di antara dia dan Remo."Oke deh, syukur kalau dia ngerti. Eh, mau aku antar pulang gak?""No no no ..., kalau untuk yang satu itu, duh maaf-maaf aja nih, aku belum punya nyali!" tawa Jenar.
Air mata. Hanya air mata saja yang semalaman menemani Jenar di dalam kegelapan yang menyesakkan. Rasa sesal tak menuruti perkataan Remo menghinggapinya, harusnya dia dengarkan apa kata Remo. Harusnya. Kalau saja dia tahu bahaya apa yang ada di depannya, dia takkan biarkan dirinya melakukan hal yang begitu bodoh, menolak seseorang untuk terus menjagainya.Dalam hati Jenar terus merapalkan doa, dia sadar dia penuh dengan kesalahan, khilaf dan dosa, tapi untuk setidaknya kali ini saja, dia berharap dia diampuni dan diselamatkan. Dia ingin kembali kepada Remo, tanpa kurang satu apapun. Dia merindukan bau tubuh Remo, suaranya yang tajam tapi lembut serta sikapnya yang jutek namun penyayang. Jenar kangen semua itu.***Remo bolak-balik ke kamar lalu ke dapur, lalu ke halaman belakang, ke toilet, semua tempat sudah dia cek, tak ada tanda-tanda keberadaan Jenar. "Sial!!" Remo berteriak untuk merilis amarah sekaligus kecemasannya. Kalut, t
Hanya terdengar suara piring dan sendok beradu selama Jenar dan Remo makan, mereka tak bicara sama sekali. Jenar masih penasaran apa yang membuat Nana melepaskannya, dia ingin tahu kenapa ancaman yang diberikan Nana tak terjadi kepadanya.Habis makan, Remo dan Jenar mandi, mereka masih membisu. Remo langsung sibuk membaca naskah lagi sebelum tidur. Saat itulah Jenar berusaha mendekatinya, lalu bertanya lembut, "Apa kesepakatan kamu sama Nana?""Kesepakatan apa?" Remo balik bertanya tanpa mengabaikan naskah di depan matanya."Aku ini gak bodoh, Remo. Aku tau ada sesuatu, jawab aku, jawab dengan jujur, aku janji gak akan marah. Aku cuma butuh kejujuran sebelum aku cari tau sendiri."Remo menutup naskah di tangannya, lalu menatap Jenar lurus-lurus. "Apa yang mau kamu tau? Aku jujur!""Apa yang membuat Nana akhirnya melepaskan aku? Kamu tau apa ancaman dia ke aku? Kamu tau?! Ng
Sampai tiba saatnya syuting film Remo berakhir, dia tak juga rujuk dengan Jenar, mereka masih seperti berada di puncak gunung es.Malam itu Remo pulang membawa sebuket bunga mawar merah, diniatkan untuk membujuk Jenar. Remo menyerahkan buket bunga itu sambil berkata, "Besok kamu datang kan? Ke gala premier film aku. Di sana aku juga akan umumkan resepsi pernikahan kita, aku akan undang para wartawan juga!""Kenapa?" Suara Jenar masih tetap sinis. "Kamu mau menjual hubungan kita sebagai gimik untuk meningkatkan jumlah penonton kamu? Iya? Supaya film kamu laku keras? Banyak yang nonton? gitu?""Pernikahan kita bukan gimik Jenar!" teriak Remo, agak kesal. "Kadang aku bingung mau kamu apa, aku udah jelasin ke kamu posisi aku, aku cuma minta sedikit pengertian." Remo kembali bicara dengan intonasi yang lebih lembut dan pelan.Mata Jenar membesar. "Gokil, hebat kamu, minta punya istri dua itu kamu bi
"Kamu masih marah sama aku?" tanya Remo sehabis dia Menutup pintu rumah. Mereka baru saja kembali dari acara premier film.Jenar melepas jaketnya lalu langsung duduk di atas sofa dengan cuek. "Penting ya emangnya gimana perasaan aku sekarang?""Kenapa sih, Nar? Udah-udahin lah ngambeknya, kan bentar lagi kita ngadain pesta pernikahan kita, gimana kalau kita sekarang fokus mikirin gaun pernikahan kamu? Terus juga katering, apa lagi ya yang kita butuhin?" Remo ikut duduk di samping Jenar, mencoba untuk memperbaiki suasana hati Jenar."Bodo amat, aku udah gak peduli lagi, paling entar aku minta sama ibu aku buat ngirimin kebaya."Remo menghela napas panjang, dia memutar otak, mencari ide. "kamu mau temanya apa? jangan kebaya, dong. Kan kita udah nikah tradisional di kampung kamu, kali ini harus spektakuler! Harus megah, mewah. Hm?" Remo menarik tangan Jenar dengan lembut lalu mengecup punggung tan
Remo menghela napas lalu menarik tangan Jenar ke dalam dekapannya kemudian mengecup punggung tangannya dengan halus. "Kamu tenang aja, ada aku di sisi kamu. Aku paham tekanan kamu, tapi selama kita bareng, semua akan baik-baik aja.""Maaf ya, Mo. Kemarin aku kurang memahami dilema kamu, kamu pasti kesulitan karna ego aku, aku terlalu egois, aku terlalu mikirin diri sendiri. Padahal ..., pasti berat juga untuk kamu memilih.""Gak apa-apa, Sayang. Gak usah kita pikirin, kita liat aja masa depan bersama, hm?" Remo mengecup punggung tangan Jenar lagi. "Yuk kita lanjut makan lagi, habis itu kita tempur lagi!" katanya genit."Ish! Sumpah jijay!" Jenar melemparkan tisue tepat ke wajah Remo lalu mereka cengengesan bersama.***Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tiba sampai menjelang hari H resepsi pernikahan Remo dan Jenar. Gedung sudah siap, tema pun telah ditentukan berikut dengan kater
Berita tentang kejadian di Bandara sampai disiarkan di Amerika, tapi untungnya Remo dan Jenar bisa lolos tanpa dijerat masalah apa pun. Nana terbukti bersalah, namun dia tidak dijebloskan ke penjara sebab berdasarkan pengecekan yang dilakukan dokter kejiwaan, mental Nana tidak stabil dan dia mesti menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa. Pihak keluarga sempat menolak, tapi dibanding harus membiarkan anak mereka masuk penjara, terpaksa mereka setuju agar Nana mendapat pengobatan.Apartemen baru Remo dan Janer terletak di pusat kota, sementara restoran yang mereka beli ada di seberang jalan. Harapan untuk memulai hidup baru yang normal kian bersemi, syuting film Hollywood Remo yang pertama pun berjalan lancar sesuai ekspektasi.Nasib baik memang sedang berada di pihak mereka, bagaimana tidak, film Hollywood pertama Remo sukses ebsar, dan berhasil melambungkan namanya. Berkat film itu, dia berhasil mendapat peran untuk bermain
Remo dan Jenar menarik koper di tangan masing-masing, mereka akan berangkat hari ini. Sekali lagi Jenar memeriksa segala yang mereka bawa. "Gak ada yang tinggal kan?" Dia bicara dengan dirinya sendiri."Gak ada, tenang aja." Remo menyahut.Setelah menunggu beberapa menit di ruang tunggu, seseorang setengah berlari ke arah mereka, mata Jenar terbelalak mendapati yang datang adalah Jaka! Padahal beberapa hari lalu dia sudah berpamitan pula dengan orang-orang di kantor, tapi mau apa Jaka datang ke sini? Jenar berdesis di hatinya.Sorot mata Remo seolah siap untuk menerkam Jaka. "Kenapa?" tanyanya dingin."Ada apa?" Jenar bertanya sopan."Cuma mau liat kamu terakhir kali," jawab Jaka pelan, namun sukses membakar hati Remo.Sesaat Jenar menoleh pada Remo, matanya meminta agar Remo tetap tenang, toh ini hanya perpisahan biasa. "Ya, semoga suatu hari nanti kit
Keputusan untuk pindah sudah bulat, semakin cepat lebih baik sebab akan ada waktu bagi Remo dan Jenar untuk mempersiapkan rumah baru, usaha, dan persiapan kelahiran anak pertama mereka tentunya. Rencana syuting film baru dibatalkan, dan Remo harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Tak apa, pikirnya. Dia masih bisa mencari uang yang lebih banyak dari itu nantinya di Amerika. Namun, saat produser tahu bahwa Remo akan pindah ke Amerika, justru berita baik yang dia terima. Produser itu menawarinya film Hollywood, tapi sebagai pemeran pembantu tentunya, tawaran itu disambut positif, setidaknya sebelum usaha mereka nanti berjalan stabil.Sebelum berangkat, Remo dan Jenar lebih dulu menemui ayah dan ibu Jenar. Betapa girangnya mereka saat melihat perut Jenar kian membesar walau masih tak seberapa besar, membayangkan akan menggendong cucu saja sudah cukup membuat hati mereka berbunga.***"Jadi, kalian udah beli r
Remo tak bisa menahan dirinya, setidaknya untuk menunggu sampai dirinya dan Jenar duduk manis di sofa. Belum sampai pantatnya berada di atas sofa, mulutnya sudah mengoceh, "Dokter bilang kamu hamil, berhenti kerja dari kantor itu, sayang!""Kamu bisa kasih aku waktu gak? Minimal aku mau minum dulu, aku haus!" protes Jenar.Sebagai suami siaga dan cepat tanggap, Remo berdiri dan mengambil segelas air minum dari dapur. "Nih, silakan tuan puteri," katanya lembut."Mentang-mentang sekarang aku lagi hamil anak kamu, kamu mau memperlakukan aku kayak ratu?" cibir Jenar."Dimanjakan salah, entar gak dimanjakan juga salah!" gumam Remo mengomel.Jenar menenggak habis segelas air putih dingin itu. "Kalau memang kamu mau aku berhenti dari kantor aku, oke aku lakukan," katanya pelan.Roman muka langsung semringah seperti orang baru gajian, "Iya?! Makasih, sayang! Makasih!
Baru selangkah turun dari taksi yang mengantar sampai ke depan rumah, Jenar dan Remo kompak dikejutkan dengan kehadiran Nana di depan pagar."Baru pulang bulan madu ya, pasutri muda?" sapa Nana dengan senyum picik tersungging di sudut bibir."Lu mau ngapain ke sini? Besok-besok aja ngomongnya, kami baru nyampe, masih capek efek jetlag." Remo menyahut datar."Jetlag? Yelah, ke india doang pake acara jetlag!" Nana tertawa."Tau dari mana kami bulan madu ke india?" tanya Remo lagi. Namun, belum terjawab pertanyaannya itu, Jenar menyela,"Udah deh, Mo, ngapain sih kita ladeni dia? Aku capek banget nih! Ayo masuk, aku mau tidur!""Lu mau tidur ya tidur aja sendiri! Gue gak ada urusan sama lu, gue cuma punya urusan sama Remo!" sergah Nana."Udah ..., udah ..., ini kenapa malah ribut sih?" Remo segera menengahi sebelum perang dunia ketiga pecah
Kawanan burung beterbangan di atas langit yang tak seberapa cerah. Untuk Jenar yang pertama kali datang ke Taj Mahal tentu momen ini begitu menakjubkan baginya, tak cukup-cukup dia mengambil gambar sementara Remo memandangi sambil sesekali tertawa mengejek sikap Jenar yang terlihat begitu norak."Udah ambil fotonya, kamu diliatin orang tuh!" Remo menunjuk cowok-cowok lokal yang memandangi Jenar seperti memandang manusia berkepala tiga."Ayo ambil foto ala film india! Ayo, yang! Biar kayak pasangan romantis gitu!" pinta Jenar setengah merengek."Ogah ah, aku masih punya urat malu!" tolak Remo.Muka Jenar langsung cemberut. "Ayo lah ..., mumpung kita di sini!" Jenar menarik tangan Remo, akhirnya Remo menurut.Seorang pria lokal memotret keduanya dengan pose yang menurut Remo sangat menggelikan, namun petualangan mereka tak sampai di sana, kini beberapa cewek justru memandang
Sebuket bunga mawar merah yang wangi menyambut Jenar malam itu, sebuah kejutan manis telah disiapkan Remo untuknya saat dia kembali dari kantor. Bukan hanya sebuket bunga indah, tapi juga makan malam mewah yang disiapkan sendiri oleh Remo."Aku masak pasta, tapi kalau rasanya mengerikan, aku minta maaf, sayang." Remo mengecup tangan Jenar."Tumbenan banget, kamu lagi berbuat salah ya?" tuduh Jenar."No ... aku masih punya satu lagi kejutan, tapi kita habiskan dulu makan malam kita, oke?"Sudut mata Jenar bisa menemukan sebuah amplop di tepi meja, dia bisa menebak-nebak apa isinya tapi untuk sementara, dia tak akan membahasnya sampai Remo sendiri yang memberikan kepadanya. Dan untungnya, makan malam mereka berjalan lancar. Rasa pasta yang dibuat oleh Remo cukup nikmat ternyata, tak seburuk yang mereka kira."Jadi itu apa? Kejutan apa lagi yang kamu punya untuk aku? Hm?" Jenar bert
Tidak terhitung berapa kali Jenar memeriksa penampilannya di depan cermin besar di ruang rias. Hari ini akan sangat penting baginya, akan menjadi hari bersejarah. Wartawan-wartawan telah berkumpul di depan gedung sejak pagi, bahkan jauh sebelum acara resepsi pernikahan dimulai. Ayah dan ibu Jenar menolak untuk hadir. Selain karena sedang musim panen, mereka juga enggan untuk masuk media cetak ataupun elektronik. Jenar tahu betul risiko bila dia memperkenalkan orang tuanya kepada media, orang tuanya tidak akan bisa hidup sebagai "orang normal" lagi. Wartawan akan mengejar mereka demi rating, mengusik ketenangan dan hidup damai mereka.Tak yakin juga, apakah mama dan papa Remo akan datang, yang pasti rekan-rekan sesama selebriti yang diundang Remo pasti akan datang, termasuk Dean dan Nana.Remo yang telah mengenakan setelan jas berwarna putih mendekati Jenar yang gelisah. "Kamu udah siap? Kenapa muka kamu tegang banget?" tanyanya lembut.
Remo menghela napas lalu menarik tangan Jenar ke dalam dekapannya kemudian mengecup punggung tangannya dengan halus. "Kamu tenang aja, ada aku di sisi kamu. Aku paham tekanan kamu, tapi selama kita bareng, semua akan baik-baik aja.""Maaf ya, Mo. Kemarin aku kurang memahami dilema kamu, kamu pasti kesulitan karna ego aku, aku terlalu egois, aku terlalu mikirin diri sendiri. Padahal ..., pasti berat juga untuk kamu memilih.""Gak apa-apa, Sayang. Gak usah kita pikirin, kita liat aja masa depan bersama, hm?" Remo mengecup punggung tangan Jenar lagi. "Yuk kita lanjut makan lagi, habis itu kita tempur lagi!" katanya genit."Ish! Sumpah jijay!" Jenar melemparkan tisue tepat ke wajah Remo lalu mereka cengengesan bersama.***Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tiba sampai menjelang hari H resepsi pernikahan Remo dan Jenar. Gedung sudah siap, tema pun telah ditentukan berikut dengan kater