Kedua manik Jenar memandang kosong pada gelas kopi di atas meja. Kafetaria perusahaan siang itu mulai sepi berhubung jam istirahat makan siang akan berakhir dalam lima menit. Namun, pikiran Jenar masih mengembara pada kejadian beberapa malam lalu bersama Remo, seakan tak ada jalan keluar darinya.
Kopi di atas meja telanjur dingin sudah, Jenar nyaris tak menyentuhnya, dia juga melewatkan makan siang. Beberapa hari ini dia begitu murung.
"Kamu belum mau balik, Nar?"
Sebuah suara halus menyapa Jenar, memecah lamunannya. Jenar langsung menoleh pada si pemilik suara yang ternyata adalah Jackson, rekan kerjanya. Pria berkarakter vanilla itu sesekali memang menyapa Jenar. Senyum manisnya selalu berhasil membuat hati kaum hawa mencair.
"Ah ..., iya ..., bentar lagi." Jenar menyahut agak terbata.
"Lagi ada masalah?" Jackson tiba-tiba duduk di depan Jenar, mel
"Ada yang sulit lu kerjain?" tanya Jackson sambil terus memperhatikan Jenar yang sedang sibuk bekerja."Gak apa-apa, bentar lagi selesai, kok. Lu gak mau pulang duluan?" Jenar balik bertanya."Gak, gue bakal nungguin lu aja, gue boleh kan antar lu pulang?"Untuk sesaat Jenar tersenyum kikuk, tapi kemudian dia mengangguk pelan.***Malam kian larut, tanpa sadar semua pekerjaan Ratu telah selesai dikerjakan oleh Jenar. Dia bisa menutup laptopnya sekarang, lalu mengecek jam dinding, tepat pukul sembilan. Buset, aku bahkan belum makan malam, pikirnya. Dia berganti mengecek ponsel pintarnya, tak ada satu pun pesan dari Remo. "Kenapa seakan-akan gue nunggu pesan dari dia?" gerutu Jenar seraya langsung memasukkan ponsel pintarnya ke dalam tas kerjanya.Tepat saat Jenar berbalik badan, dia temukan Jackson sudah terlelap di atas meja kerja di sebelahnya. Huft ..., gar
Tubuh Remo membeku menyaksikan langsung penolakan langsung dari Jenar, dia tak menyangka kalau gadis itu akan berani menentangnya setelah apa yang terjadi di antara mereka. Dia memang tak semudah yang dia kira. Namun, sikap Jenar yang seperti inilah yang membuat dia justru makin gila."Ayo, Son." Jenar merangkul tangan Jackson dengan entengnya.Walau bingung dan berada di posisi terjepit, Jackson tak punya opsi selain menuruti permintaan Jenar. Remo yang sempat mematung langsung menarik tangan Jenar. "Tolong jangan bikin drama murahan kayak gini lagi, aku udah cukup berurusan sama Jaka, jangan ada yang lain lagi." Di luar dugaan, Remo bersikap cukup lunak."Aku mau pulang sama Jackson. Kamu dengar, kan?" Jenar menajamkan suara dan raut mukanya.Dengan agak kesal, Remo memelintir tangan Jenar. "Apa sekarang kamu udah tuli?"Mau tak mau Jackson harus terlibat di antara mereka
BRUK!!Jenar menjatuhkan tubuh besar Remo di atas tempat tidurnya. Napasnya telah terengah-engah, seperti baru saja mengangkat dua karung beras bersamaan.Napas Remo tak kalah melambat, tubuhnya kini meriang dan kulitnya terlihat makin pucat. Jenar tak bisa buang-buang waktu, secepatnya dia menyiapkan kompres air hangat dan juga menyelimuti tubuh Remo dengan selimut tebal berlapis-lapis.Jenar mengulangi kompres berkali-kali. Dia sampai tak sadar kalau waktu telah berlalu selama tiga puluh menit. "Gawat, gue juga mesti kerja! Tapi gimana nasib Remo? Gue gak bisa tinggalin dia gitu aja, gue juga gak bisa lapor Putri, haaaaa!!" Jenar mengakhiri gerutuannya dengan menggaruk kepala frustrasi.Demam Remo belum turun, Jenar tak punya pilihan selain menghubungi atasan di kantor. Dia akan ambil cuti sakit hari ini saja.".... Iya, Pak ..., baik, nanti saya akan lampirka
Reflek Jenar berusaha menghindar, tapi akibat masih berada dalam kondisi demam dan pening, Remo tak memiliki cukup tenaga untuk memegang Jenar, dia malah langsung ambruk di atas tubuh gadis itu, dia pingsan lagi.Antara bingung harus bersyukur atau panik, Jenar menarik napas panjang. "Dasar ..., ish!" Nyaris saja Jenar ingin mengumpat dengan kata kotor. Tubuhnya kini tertimpa tubuh besar Remo, susah payah dia harus membawanya ke atas tempat tidur lagi. " Tolong sekali aja! Jangan banyak tingkah, dan nurut sama gue!! Emangnya lu ini hewan peliharaan ya?! Susah amat diatur!" gerutu Jenar sambil membenarkan posisi Remo di atas tempat tidur.Kepala Jenar berputar mengelilingi lantai kamar kost yang berantakan. Sudah waktunya untuk bersih-bersih, mumpung si pembuat onar beristirahat lagi, pikirnya.***Terbilang sudah cukup lama Jenar tak membersihkan kamar kostnya secara total seperti hari ini, ternyat
"Hah?" Mata Jenar membulat lebar melihat kedatangan Jackson yang tak terduga, bahkan di tangannya terdapat sekeranjang buah-buahan segar.Jackson tak kalah kaget kemudian setelah sadar bahwa Jenar terlihat baik-baik saja, tak seperti orang yang sedang sakit atau orang yang baru saja sembuh dari demam tinggi. "Lu keliatan baik-baik aja." Jackson meluncurkan komentar singkat.Remo yang sedari tadi memperhatikan dari dalam kamar kost langsung beranjak. "Kenapa?" tanyanya dingin sambil merangkul Jenar, menunjukkan keposesifannya.Kebingungan Jackson jadi berlipat ganda. Matanya berputar-putar seolah mencari jawaban di udara. "Bu ..., bukannya lu sakit, Nar?" tanya Jackson pelan.Remo mendengus seakan langsung tahu pokok permasalahan mereka. "Bukan dia yang sakit, tapi gue." Remo langsung mengaku dengan rasa bangga. Dia menoleh pada Jenar. "Jadi demi menjaga aku, kamu rela bohong ke perusahaan kamu?
Jalan raya masih agak padat dengan mesin-mesin beroda yang entah mau ke mana, semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing meski jam telah menunjuk pukul 12 malam.Jenar belum juga bisa memejamkan matanya, kamar kost telah sepenuhnya gelap karena lampu dipadamkan, tapi matanya masih terus menerawang di kegelapan. Satu hal yang menjadi beban pikirannya, rencana yang tadi disebutkan oleh Remo, mereka akan menikah.Seriuskah Remo?Apa hal itu mungkin terjadi?Bisakah Jenar memercayai Remo?Atau Remo hanya sedang bermain-main?Segala kemungkinan beterbangan di kepala Jenar. Bulan depan adalah waktu yang disebutkan Remo, itu artinya Jenar harus segera menghubungi orang tuanya di kampung halaman. Gimana kalau kami beneran nikah? Kira-kira apa jadinya? pikir Jenar, mendadak terbersit kemungkinan aneh itu di kepalanya.***Jenar mandi terburu-buru, lantara
"Kamu gak ke kafetaria, Nar?"Lamunan Jenar buyar sehabis mendengar sapaan Jackson. "Oh, udah jam istirahat, ya?" balas Jenar sambil bangkit dari bangkunya."Tadi kamu telat, kenapa? Gue liat loh tadi lu jalan ke sini, gak biasanya."Berkat diingatkan Jackson, Jenar teringat kembali pada kejadian pagi tadi yang memang sangat mengesalkan. Hanya karena ditanyai soal orang tua pada Remo, dia ditinggal begitu saja di pinggir jalan, sejauh seratus meter dari perusahaan. Alhasil Jenar harus jalan kaki bahkan berlari agar tak terlambat. Mengingat kejadian memalukan itu, hati Jenar dongkol lagi. Remo memang sangat menyebalkan. Entah kenapa dia tiba-tiba bersikap begitu aneh ketika membahas orang tuanya."Gak usah dibahaslah ya, gue udah laper nih." Jenar bergegas berjalan lebih dulu, Jackson menyusul dari belakang tanpa bertanya apa-apa lagi.Saat di tangga menuju
Sorot mata Jenar makin sendu, sedang ekpresinya melunak. Imej Remo yang biasanya menjengkelkan dan membuat muak, kini justru memancing iba. Jenar membayangkan trauma apa saja yang pernah dialami oleh Remo. Hanya mengarang bebas saja sudah cukup membuatnya sedih, Remo sungguh terlihat menyedihkan."Woi! Malah bengong, ada apa sih?" tanya Remo lagi seraya menutup pintu mini bis."Maaf," ucap Jenar pelan seraya menundukkan kepalanya."Hah?" Remo melongo. Dia mendekat dan duduk di sofa kecil. "Maaf buat apa? Kalau ngomong yang jelas," katanya bingung.Jenar ikut kembali duduk, berhadapan dengan Remo. "Buat kata-kata aku tadi pagi, mungkin ada yang secara gak sengaja menyakiti kamu.""Sikap kamu aneh banget, kamu kesambet setan?" Remo menanggapi dengan setengah bercanda. Dia bahkan menenggak segelas air putih dengan cueknya."Aku gak paham gimana rasan
Berita tentang kejadian di Bandara sampai disiarkan di Amerika, tapi untungnya Remo dan Jenar bisa lolos tanpa dijerat masalah apa pun. Nana terbukti bersalah, namun dia tidak dijebloskan ke penjara sebab berdasarkan pengecekan yang dilakukan dokter kejiwaan, mental Nana tidak stabil dan dia mesti menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa. Pihak keluarga sempat menolak, tapi dibanding harus membiarkan anak mereka masuk penjara, terpaksa mereka setuju agar Nana mendapat pengobatan.Apartemen baru Remo dan Janer terletak di pusat kota, sementara restoran yang mereka beli ada di seberang jalan. Harapan untuk memulai hidup baru yang normal kian bersemi, syuting film Hollywood Remo yang pertama pun berjalan lancar sesuai ekspektasi.Nasib baik memang sedang berada di pihak mereka, bagaimana tidak, film Hollywood pertama Remo sukses ebsar, dan berhasil melambungkan namanya. Berkat film itu, dia berhasil mendapat peran untuk bermain
Remo dan Jenar menarik koper di tangan masing-masing, mereka akan berangkat hari ini. Sekali lagi Jenar memeriksa segala yang mereka bawa. "Gak ada yang tinggal kan?" Dia bicara dengan dirinya sendiri."Gak ada, tenang aja." Remo menyahut.Setelah menunggu beberapa menit di ruang tunggu, seseorang setengah berlari ke arah mereka, mata Jenar terbelalak mendapati yang datang adalah Jaka! Padahal beberapa hari lalu dia sudah berpamitan pula dengan orang-orang di kantor, tapi mau apa Jaka datang ke sini? Jenar berdesis di hatinya.Sorot mata Remo seolah siap untuk menerkam Jaka. "Kenapa?" tanyanya dingin."Ada apa?" Jenar bertanya sopan."Cuma mau liat kamu terakhir kali," jawab Jaka pelan, namun sukses membakar hati Remo.Sesaat Jenar menoleh pada Remo, matanya meminta agar Remo tetap tenang, toh ini hanya perpisahan biasa. "Ya, semoga suatu hari nanti kit
Keputusan untuk pindah sudah bulat, semakin cepat lebih baik sebab akan ada waktu bagi Remo dan Jenar untuk mempersiapkan rumah baru, usaha, dan persiapan kelahiran anak pertama mereka tentunya. Rencana syuting film baru dibatalkan, dan Remo harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Tak apa, pikirnya. Dia masih bisa mencari uang yang lebih banyak dari itu nantinya di Amerika. Namun, saat produser tahu bahwa Remo akan pindah ke Amerika, justru berita baik yang dia terima. Produser itu menawarinya film Hollywood, tapi sebagai pemeran pembantu tentunya, tawaran itu disambut positif, setidaknya sebelum usaha mereka nanti berjalan stabil.Sebelum berangkat, Remo dan Jenar lebih dulu menemui ayah dan ibu Jenar. Betapa girangnya mereka saat melihat perut Jenar kian membesar walau masih tak seberapa besar, membayangkan akan menggendong cucu saja sudah cukup membuat hati mereka berbunga.***"Jadi, kalian udah beli r
Remo tak bisa menahan dirinya, setidaknya untuk menunggu sampai dirinya dan Jenar duduk manis di sofa. Belum sampai pantatnya berada di atas sofa, mulutnya sudah mengoceh, "Dokter bilang kamu hamil, berhenti kerja dari kantor itu, sayang!""Kamu bisa kasih aku waktu gak? Minimal aku mau minum dulu, aku haus!" protes Jenar.Sebagai suami siaga dan cepat tanggap, Remo berdiri dan mengambil segelas air minum dari dapur. "Nih, silakan tuan puteri," katanya lembut."Mentang-mentang sekarang aku lagi hamil anak kamu, kamu mau memperlakukan aku kayak ratu?" cibir Jenar."Dimanjakan salah, entar gak dimanjakan juga salah!" gumam Remo mengomel.Jenar menenggak habis segelas air putih dingin itu. "Kalau memang kamu mau aku berhenti dari kantor aku, oke aku lakukan," katanya pelan.Roman muka langsung semringah seperti orang baru gajian, "Iya?! Makasih, sayang! Makasih!
Baru selangkah turun dari taksi yang mengantar sampai ke depan rumah, Jenar dan Remo kompak dikejutkan dengan kehadiran Nana di depan pagar."Baru pulang bulan madu ya, pasutri muda?" sapa Nana dengan senyum picik tersungging di sudut bibir."Lu mau ngapain ke sini? Besok-besok aja ngomongnya, kami baru nyampe, masih capek efek jetlag." Remo menyahut datar."Jetlag? Yelah, ke india doang pake acara jetlag!" Nana tertawa."Tau dari mana kami bulan madu ke india?" tanya Remo lagi. Namun, belum terjawab pertanyaannya itu, Jenar menyela,"Udah deh, Mo, ngapain sih kita ladeni dia? Aku capek banget nih! Ayo masuk, aku mau tidur!""Lu mau tidur ya tidur aja sendiri! Gue gak ada urusan sama lu, gue cuma punya urusan sama Remo!" sergah Nana."Udah ..., udah ..., ini kenapa malah ribut sih?" Remo segera menengahi sebelum perang dunia ketiga pecah
Kawanan burung beterbangan di atas langit yang tak seberapa cerah. Untuk Jenar yang pertama kali datang ke Taj Mahal tentu momen ini begitu menakjubkan baginya, tak cukup-cukup dia mengambil gambar sementara Remo memandangi sambil sesekali tertawa mengejek sikap Jenar yang terlihat begitu norak."Udah ambil fotonya, kamu diliatin orang tuh!" Remo menunjuk cowok-cowok lokal yang memandangi Jenar seperti memandang manusia berkepala tiga."Ayo ambil foto ala film india! Ayo, yang! Biar kayak pasangan romantis gitu!" pinta Jenar setengah merengek."Ogah ah, aku masih punya urat malu!" tolak Remo.Muka Jenar langsung cemberut. "Ayo lah ..., mumpung kita di sini!" Jenar menarik tangan Remo, akhirnya Remo menurut.Seorang pria lokal memotret keduanya dengan pose yang menurut Remo sangat menggelikan, namun petualangan mereka tak sampai di sana, kini beberapa cewek justru memandang
Sebuket bunga mawar merah yang wangi menyambut Jenar malam itu, sebuah kejutan manis telah disiapkan Remo untuknya saat dia kembali dari kantor. Bukan hanya sebuket bunga indah, tapi juga makan malam mewah yang disiapkan sendiri oleh Remo."Aku masak pasta, tapi kalau rasanya mengerikan, aku minta maaf, sayang." Remo mengecup tangan Jenar."Tumbenan banget, kamu lagi berbuat salah ya?" tuduh Jenar."No ... aku masih punya satu lagi kejutan, tapi kita habiskan dulu makan malam kita, oke?"Sudut mata Jenar bisa menemukan sebuah amplop di tepi meja, dia bisa menebak-nebak apa isinya tapi untuk sementara, dia tak akan membahasnya sampai Remo sendiri yang memberikan kepadanya. Dan untungnya, makan malam mereka berjalan lancar. Rasa pasta yang dibuat oleh Remo cukup nikmat ternyata, tak seburuk yang mereka kira."Jadi itu apa? Kejutan apa lagi yang kamu punya untuk aku? Hm?" Jenar bert
Tidak terhitung berapa kali Jenar memeriksa penampilannya di depan cermin besar di ruang rias. Hari ini akan sangat penting baginya, akan menjadi hari bersejarah. Wartawan-wartawan telah berkumpul di depan gedung sejak pagi, bahkan jauh sebelum acara resepsi pernikahan dimulai. Ayah dan ibu Jenar menolak untuk hadir. Selain karena sedang musim panen, mereka juga enggan untuk masuk media cetak ataupun elektronik. Jenar tahu betul risiko bila dia memperkenalkan orang tuanya kepada media, orang tuanya tidak akan bisa hidup sebagai "orang normal" lagi. Wartawan akan mengejar mereka demi rating, mengusik ketenangan dan hidup damai mereka.Tak yakin juga, apakah mama dan papa Remo akan datang, yang pasti rekan-rekan sesama selebriti yang diundang Remo pasti akan datang, termasuk Dean dan Nana.Remo yang telah mengenakan setelan jas berwarna putih mendekati Jenar yang gelisah. "Kamu udah siap? Kenapa muka kamu tegang banget?" tanyanya lembut.
Remo menghela napas lalu menarik tangan Jenar ke dalam dekapannya kemudian mengecup punggung tangannya dengan halus. "Kamu tenang aja, ada aku di sisi kamu. Aku paham tekanan kamu, tapi selama kita bareng, semua akan baik-baik aja.""Maaf ya, Mo. Kemarin aku kurang memahami dilema kamu, kamu pasti kesulitan karna ego aku, aku terlalu egois, aku terlalu mikirin diri sendiri. Padahal ..., pasti berat juga untuk kamu memilih.""Gak apa-apa, Sayang. Gak usah kita pikirin, kita liat aja masa depan bersama, hm?" Remo mengecup punggung tangan Jenar lagi. "Yuk kita lanjut makan lagi, habis itu kita tempur lagi!" katanya genit."Ish! Sumpah jijay!" Jenar melemparkan tisue tepat ke wajah Remo lalu mereka cengengesan bersama.***Hari berganti hari, minggu berganti minggu, tiba sampai menjelang hari H resepsi pernikahan Remo dan Jenar. Gedung sudah siap, tema pun telah ditentukan berikut dengan kater