Keyra menatap dua bola mata Naina yang bersinar. Gadis kecil dalam pelukan itu seolah mengerti keresahan yang dirasakan sang ibu angkat. Naina tersenyum menggemaskan, berkali-kali terkekh hanya karena pipinya disentuh oleh jemari Keyra.
Kebahagiaan itu rupanya tak berlangsung lama. Kehangatan antara Naina dan Keyra terganggu oleh kedatangan Joya.
“Key, lagi sibuk, nggak?” tanya Joya kemudian duduk di sisi ranjang tanpa meminta persetujuan.
Keyra yang masih merasa canggung itu mengangguk. “Nggak kok, Mbak. Ada yang bisa kubantu?”
Joya menggeleng. “Cuma mau ngomong aja. Duduk, Key.” Joya menepuk tempat di sebelahnya, menyuruh Keyra duduk di sana.
Keyra menurut. Dua wanita itu duduk berhadapan. Keyra masih menggendong Naina dalam pelukan.
“Key, ini.” joya mengulurkan selembar kertas berisi sebuah alamat.
“Apa ini, Mbak?” keyra bertanya tak paham.
Joya meraih sebelah tangan Keyra, memaksa perempuan yang dianggapnya sa
siapa kira-kira sosok yang memanggil Keyra? apakah keeyra akan jatuh ke tangan orang jahat?
Keyra memicingkan mata demi melihat lebih jelas siapa yang turun dari mobil pick up di depannya. Perlahan sosok itu pun mendekat, membuat jantung Keyra berdetak semakin cepat.“Key, kamu Keyra kan?”Keyra hendak menggeleng, akan tetapi pria asing ituterlihat tidak membahayakan. Anggukan samar Keyra membuat ppria itu tersenyum lega.“Kamu nggak inget sama aku?” tanya pria yang masih belum Keyra ingat itu.“Enggak, maaf, ya. Apa … apa kamu salah satu pelanggan aku?” Keyra mengigit bibirnya, entah mengapa pertanyaan itu kini terasa mengandung banyak luka.Pria itu justru mengernyitkan dahi, tak mengerti dengan apa yang Keyra maksudkan. “Langganan? Kamu jualan apa sekarang?”Keyra menyesal menanyakannya, kemudian menunduk dalam lalu menjawab penuh keraguan,“Iya, sebelumnya aku jualan, jualan badan.”“Astaghfirullah, sekarang sedang apa kamu di sini? Hujan-hujan, send
Menanti Damar kembali ke rumah besar itu pagi-pagi sekali setelah menginap semalaman. Membawa serta ibunya tercinta bersamanya. Sepanjang perjalanan Damar disiksa oleh rindu pada Keyra dan Naina. Pun disergap rasa cemas dan gelisah, takut jika Joya dan ayahnya akan membuat Keyra tidak nyaman. Damar membuka pintu dengan tergesa, segera merangsek ke dalam rumah, menuju ke kamar belakang tempat seharusnya Keyra berada. Namun, alangkah terkejutnya pria itu saat tak didapatinya Keyra di sana. Pun dengan barang-barangnya. Bahkan aroma wangi bayi yang seharusnya mengiasi ruangan itu pun ikut sirna. Damar berlari segera, hendak bertanya tentang keberadaan Keyra pada siapa saja. di ruang tamu, Damar berpapasan dengan Joya yang baru saja memberikan teh panas untuk ibu Damar. Pria itu menatap Joya penuh kebencian, tatapan yang selama ini tak pernah dia tampakkan d hadapan Joya. “Kemana Keyra?” kalimat tanya itu mengalir penuh penekanan
21.Yusuf menghamipiri Nurma dan Keyra, menyusul duduk di samping Nurma.“Sepertinya ada yang mencari Keyra, Dik. Ini aku nemu pas ngider sayur, ditempel di mana-mana.” Yusuf menyerahkan selembar jertas kepada istrinya.‘KEYRA, NAINA, PULANGLAH. AKU TIDAK BISA HIDUP TANPA KALIAN.’Demikian tulisan kertas tersebut, disertai gambar Keyra yang sedang menggendong Naina. Entah kapan Damar mengambil gamabr terebut.Keyra meraih kertas tersebut, melihat gambar dirinya yang sedang tersenyum sembari menggendong Naina. Ah, hari itu rupanya, saat Keyra mengantar Damar berangkat kerja hingga ke depan pintu. Damar memegang handphone memang, akan tetapi Keyra tak tahu jika saat itu dia sedang memotretnya.“Key, kamu baik-baik saja?” Nurma menepuk pundak Keyra yang terguncang.Keyra menatap Nurma dan Yusuf bergantian. “Aku … aku harus bagaimana, Mbak?”Yusuf memilih meninggalkan Keyra bersama ist
22.Keyra menatap dunia yang lebih cerah di depannya. Meski itu artinya dia harus bersusa-susah dua kali lipat atau bahkan lebih. Pagi-pagi sekali Keyra dan Nurma sudah bangun dan menyiapkan kue untuk dijual. Sementara Yusuf nanti akan menghampirinya setelah dari kulakan sayuran.Terihat lebih sulit dan berat, akan tetapi Keyra semakin bersemangat. Baginya meninggalkan masa lalu kelam di bar murahan itu adalah pilihan paling tepat.Jam lima subuh Yusuf sudah mampir ke rumah untuk mengampiri kue buatan Keyra. Keyra kemudian akan meanjutkan aktivitas dengan memebrsihkan perkakas yang dia gunakan untuk memasak kue. Sementara Nurma dengan senang hati akan mengurus Naina.“Key, popok sama susu Naina habis, nih. Aku telepon Mas Yusuf dulu, ya?” Nurma menyodorkan Naina kepada Keyra. Berniat menelpon suaminya tersebut dan meminta tolong padanya untuk membelikan keperluan Naina.Keyra menerima Naina dan langsung menimangnya dengan sayang.
23.Perkelahian Damar diselesaikan dengan baik. Tentu saja dengan andil rupiah yang jumlahnya tak sedikit. Dalam hal ini kesalahan seutuhnya milik Damar. Dia yang sembarangan meninggalkan mobilya, dia jugayang mulai perkelahian hanya untuk melihat Keyra. Sedangkan orang yang dia cari keberadaannya sudah berjalan menuju rumah memasuki gang menuju perumahan tempatnya menumpang Nurma.Darmawan yang menjemput Damar tentu saja murka. Seumur hidup, Damar tidak pernah mengecewakannya barang sekali saja, berbeda dengan saudaranya yang lain, yang kerjaannya hanya keluyuran dan main perempuan.“Kamu berubah, Mar. sejak kapan kamu hobi berkelahi?” Darmawan yang sedang menyetir melirik Damar sekilas. Kemudian kembali fokus mengemudikan mobil tuanya.Damar membuang muka, terlihat betul raut kecewa di wajahnya. Bukan karena mobilnya yang terpaksa diderek oleh petugas bengkel, melainkan karena gagal bertemu Keyra padahal dia yakin bahwa itu adalah dia.
Damar merenung di dalam kamarnya, benaknya lelah merangkai kisah. Lelah memikirkan ppermintaan berat ibunya. Hatinya terasa nyeri mengingat Keyra, membayangkan nasibnya yang entah bagaimana di luar sana. Terlebih permintaan Rahayu yang menyuruhnya melupakan Keyra. Bagaimana Damar bisa?Tok tok tok.Damar membenahi posisi, duduk bersandar pada kepala ranjang. “Nggak dikunci, masuk aja.”Pintu kamar Damar terbuka perlahan, Joya menyembul dengan senyum menawan. Meski bagi Damar senyum itu tak lagi mampu memikat hatinya. Gadis itu membawa nampan berisi bubur ayam dan jeruk hangat.“Mas, aku bikinin bubur ayam. Kata Paklik tadi kamu habis berantem, ya, Mas.” tanpa menunggu persetujuan Damar, Joya duduk di sisi ranjang, persis di sebelah Damar yang sedang duduk bersandar.Damar pun berinisiatif menggeser tubuhnya, sengaja menciptakan jarak antara dia dan Joya. Pun saat Joya hendak menyuapkan sesendok bubur ayam
Hari-hari dihabiskan Damar dengan merenung di dalam kamar. Sibuk memikirkan Keyra dan Naina. Menolak makan dan minuman yang disajikan oleh Joya.Rasa bersalahnya, rasa cinta dan sayangnya teramat besar. Rahayu yang semakin membaik kondisinya mulai sering mengunjungi Damar di kamar. Mengajaknya bicara dari hati, bercakap selayaknya ibu dan anak.Malam itu, Rahayu datang lagi mengunjungi anak lelakinya. Damar duduk bersandar pada kepala ranjang. Tatapan matanya kosong tak terisi harapan.Rahayu menyentuh tangan Damar, mengusapnya lembut. "Le, ibu sama ayah ndak maksa kamu menikahi Joya. Maafkan kami berdua karena sempat membuatmu tertekan. Hanya ibu minta satu hal sama kamu, Le, pikirkan baik-baik segala sesuatu. Jangan gegabah mengambil keputusan. Tanyakan hatimu, kemudian perjuangkan apa yang kamu yakini dengan sepenuh hati."Rahayu menatap anak lelakinya yang masih diam seribu bahasa. Dia tak mengkh
Keyra berhenti. Namun masih enggan menoleh atau pun menghampiri. Kakinya gemetar melaju, satu per satu dan berharap semakin menjauh dari Darmawan dan wanita itu. Sementara Rahayu dibuat pening oleh tingkah suaminya yang tiba-tiba menyuruh penjual kue itu menghentikan langkah. Aneh bukan menyuruh orang yang belum dikenal berhenti dengan nada tegas? "Mas, kenal dia?" Rahayu mengernyitkan dahi. Darmawan mengangkat tangan, memberi isyarat agar istrinya tak bertanya banyak dulu. Rahayu amat percaya dengan suaminya, maka dia pun diam. Bungkam dan menyaksikan. Darmawan melangkah ke arah Keyra, sementara gadis itu masih terpaku di tempatnya, seolah melekat dengan bumi tempatnya berpijak.
Dalam cengkeraman malam dan tangan-tangan lapar itu, Keyra merapalkan doa dalam hatinya. Doa ang sungguh-sungguh terlontar ke langit, menggetarkan angkasa beserta penghuninya.“Tuhan, aku mohon selamatkan aku dan anakku. Aku tahu aku tidak pantas meminta, bahkan namaMu tak seharusnya terukir di dalam benak perempuan hina ini, tapi, Tuhan, Aku mohon … sekali ini saja selamatkan aku.”Kala itu, Keyra melantunkan doanya penuh pengharapan, kesungguhan dan kepercayaan. Untuk pertama kalinya dalam kehidupan, sepanjang perjalanan kelamya, sepanjang kilas balik seluruh cerita, itu adalah kali pertama Keyra memutuskan percaya pada Tuhan.Dan seperti terjawab, detik-detik sebelum tubuh itu terjaman oleh tangan-tangan penuh noda jalanan, pertolongan datang tanpa peingatan.“HENTIKAAAN!” teriakan itu disertai serangan barbar oleh kemarahan. Tinjunya melayang, lengannya menangkis pukulan para preman, sesekali terjungkal, namun, dia bangkit dengan berkali lipat kekuatan.Keyra beringsut, berlari ke
Joya meneteskan air mata bahagia. Seperti baru saja menenggak jernih air pelepas dahaga seelah lama mengembara. Perempuan itu menikmati setiap sentuhan Damar, merasakan panas yang menjalar di aliran darah. Indah, namun terasa salah. “Mas …,” bisik Joya. Damar tak mempedulikan bisikan Joya, meneruskan aksinya menjelajahi leher jenjang istri keduanya tanpa jeda. Terus menghadiahi ciuman bertubi-tubi, tanpa henti. Perlahan ritual itu terjadi, erangan tanpa irama itu mengiringi peluh yang menetes dari kedua raga, dibuai nafsu membara. Lelah, Joya terbaring dengan napas terengah, sementara Dama terlelap setelah birahinya usai tersalurkan tadi. Joya tahu bahwa apa yang dilakukan Damar tetap tanpa rasa, hanya sebatas upaya membuang gerah di dada. Joya menangis lirih, untuk pertama kalinya dia besedih tanpa dalih. Perlahan tangisnya menjelma menjadi suara-suara pilu, tangisan penuh kesedihan yang mengganggu tidur Damar. Damar mengucek matanya, melirik Joya yang terguncang tubuhnya dalam
Hari itu, saat mendung menggantung di antara redup senja dan keheningan yang melanda jiwa, Keyra dan Damar duduk berhadap-hadapan. Lebih dari satu jam lamanya kedua insan itu memeluk kesunyian, saling memasung diri dalam bungkam."Key, katakan sesuatu." Damar hampir menangis, setengah berbisik.Keyra mengangkat wajahnya, menatap garis wajah Damar yang semakin dia lupakan. "Maaf, Mas. Aku … aku tidak tahu harus memulai darimana.""Katakan apa saja, Key. Asal jangan menghukum dengan mendiamkanku seperti ini, rasanya tidak nyaman." Damar hendak berdiri dan menghampiri Keyra ke tempat duduknya, namun gerakan Keyra yang serta merta hendak menarik jarak itu membuat Damar mengurungkan niatnya."Mas, gimana kalau kit
Damar baru saja hendak membuka pintu toilet saat handphonenya berdering. Dengan wajah kesal dia menghela napas. Joya."Halo, Joy. Ada apa?" Damar berkata dengan nada yang dibuat ramah. Meskipun sungguh, hatinya teramat penuh dengan kesal."Mas, istirahat pulang, kan? Aku masak loh. Spesial buat kamu. Pulang, ya?" Joya girang bertutur.Damar tak jadi ke kamar mandi. Dia memilih menjauh dari ruangan itu, melangkah kembali menuju ruang kerjanya. Danar yang melihat kedatangan Damar mengernyitkan dahi. Seolah bertanya tentang apa yang terjadi.Damar melambaikan tangan pada adik lelakinya. Memberi isyarat untuk menunda banyak tanya. "Joy, aku banyak kerjaan di sini."
Semua tak akan sama lagi bagi Keyra. Kini, saat lelakinya pulang dan berharap pelukan hangat, Keyra akan berpikir tentang banyak hal yang amat dia sesali. Bahwa tubuh itu semalam habis memeluk perempuan lain. Bahwa aroma tubuh itu telah dihidu oleh perempuan lain. Bahwa kehangatan itu tak lagi mutlak miliknya seorang.Keyra sadar dia telah berbagi. Sepenuh hati mengakui bawa dia turut andil dalam hal ini. Namun, terluka kini merupakan hal yang tak direncanakan olehnya. Dia berikir akan mampu mendamaikakn diri, akan mampu berbagi tanpa tersakiti. Nyatanya, Keyra hanya wanita biasa. Hatinya rapuh.Pagi itu, tepat setelah semalaman menahan kram tangan karena Joya hanya bisa tidur di atas lengannya, Damar pulang. Pulang pada Keyra, sang cinta sejatinya.“Key … Mas pulang, Loh. Kamu nggak mau meluk Masmu ini?” Damar merentangkan tangan. Menatap Keyra yang melamun sendirian di muka pintu. Seperti sedang menunggunya, akan tetapi tak menyadari kehadir
Pernikahan kedua itu akhirnya datang. Sepi saja karena memang demikian harusnya. Tak banyak tamu yang datang.Wangsa sendirian selaku wali dari Joya. Darmawan dan dan Rahayu hanya mengundang beberapa kerabat saja. Sungguh tak banyak.Damar duduk di sisi ranjang, menatap layar handphone yang sedari tadi diam. Jemarinya ragu mengetik Kalimat panjang kemudian mengahpusnya lagi. Hampir saja ponselnya terlempar andai saja Rahayu tak masuk ke dalam kamar."Le, sudah siap. Ayo, semua sudah menunggu di mobil." Rahayu mengelus lembut kepala anaknya.Damar menatap sang ibu. Kemudian mengangguk setuju. Meski ragu akhirnya jalan itu pula yang Damar pijaki. Jalan menuju akad keduanya.
Malam menjelang bak untaian luka bagi dua insan di rumah itu. Damar hanya berani menatap istrinya yang masih menyibukkan diri dengan segala hal.Keyra sendiri berusaha untuk tak berinteraksi dengan sang suami. Bukan marah, dia hanya belum siap menghadapi kesedihan dan luka yang sama. Membayangkan esok pagi suaminya akan mengucapkan janji suci dengan perempuan lain, tentu saja membuatnya begitu menderita.Sementara Danar yang tak tahu menahu duduk perkaranya hanya bisa terheran. Menatap dua polah suami istri yang biasanya mengumbar kemesraan mendadak seperti diselimuti jarak."Oy, kenapa, Bro?" bisik Danar begitu tiba di kursi yang letaknya tepat di sisi kanan Damar.Damar menoleh sesaat, kemudian menatap kembali Keyra yang tengah menyiapkan makan malam."Berantem?" tanya Danar lagi.Damar menggeleng. Masih menujukan pandangan ke tempat yang sama.
Dua malam tanpa Keyra di sisinya, Damar terpaksa menjalani detik menyiksa di sisi Joya. Bukan mendua. Bukan. Sama sekali bukan."Mas, besok kita mau nikah. Kenapa Mas nggak kelihatan bahagia?" Joya yang sedang duduk di sebelah lelaki tampan itu menarik tangan Damar, menggenggamnya erat.Damar berusaha tersenyum sebisanya. Setelah kemarin bersusah-payah meyakinkan Joya untuk melakukan pernikahan sederhana saja, setelah berkeras upaya membuat Joya menerima rencananya untuk menikah di masjid terdekat, tak mungkin merusak mood gadis itu dengan jawaban yang salah."Nggak, kok, aku cuma gugup aja." Damar mengelus pundak Joya. Masih dengan senyuman terpaksa.Joya tersenyum bahagia. Sungguh teramat banyak bunga-bunga
Andai gelap bisa menyamarkan noda, andai pula pekat mampu mengurai hina, mungkin luka di dalam hati dan jiwa Keyra akan sirna seiring bertambahnya masa. Namun, bahkan setelah fakta baru bahwa Danar adalah saudara kandug Damar, luka dan trauma itu masih terasa nyata.“Kamu kemana saja, Dan? Kami kesulitan nyari kamu. Dan, ya, aku nikah tanpa kehadiran adik badungku ini.” damar mengacak-acak rambut gondrong adiknya.Danar yang biasanya banyak bicara hari itu terlihat sebaliknnya. Melirik Keyra beberapa kali dengan tatapan tak terjabarkan. Namun, sungguh sandiwara itu bahkan tak mampu menyembunyikan rasa bersalahnya.Danar tersenyum, setengah dipaksakan. “Iya, maaf, Mar. tahu sendirilah liarnya adikmu ini.”Damar menyerang kelapa adiknya dengan kepalan tangan, tak sampai memukul, hanya sekadar menyampaikan rasa sayang dengan gesekan tinju.“So, jadi dia istri kamu?” Danar menunjuk Keyra yang sudah tenggelam dalam ke