Amanda luar biasa lega karena huru-hara itu akhirnya bisa dia atasi. Amanda tahu jika dirinya dan Evan tidak akan pernah mendapatkan restu bila tidak memaksa seperti tadi. Faktanya Amanda memang tidak bisa mengabaikan orang tuanya dan tidak bisa melepaskan Evan, jadi menurutnya ini solusi terbaik meski kelihatanya Evan juga syok ketika tiba-tiba harus menikahinya. Sekarang Amanda hanya tinggal mendapatkan maaf dari orang tuanya dan membuat mereka mau menerima Evan. Amanda masih sangat yakin jika dia akan tetap di maafkan dan Evan bisa membuat hati orang tuanya luluh. Amanda segera menghempaskan kembali tubuhnya di atas ranjang dan meluruskan kakinya yang masih nyeri berdenyut-denyut.
Evan ikut menyusul masuk dan masih berdiri menatap Amanda ketika menyapa, "Hai ...!"
Amanda mengangkat kepalanya sedikit untuk dapat menatap
YUK VOTE YA ....LUV U..^.^
Evan membawa Amanda pergi ke luar Jawa ke tempat yang tidak ada seorangpun mengenali mereka. Dengan uang di tabungannya Evan menyewa sebuah rumah petak kecil untuk mereka tinggali berdua. Selain terkenal sebagai kota Minyak sebenarnya kota Balikpapan juga tempat yang nyaman untuk tinggal, tidak terlalu sesak seperti ibu kota dan penduduknya juga cukup ramah. Amanda terlihat bahagia dan Evan berharap dengan merantau dia juga akan mendapatkan pekerjaan baru karena Amanda tidak mau ditinggal berlayar hingga berbulan-bulan. Evan juga tidak akan tega meninggalkan Amanda sendirian di tempat dia tidak memiliki saudara atau teman. Jadi satu-satunya solusi Evan memang harus segera mendapatkan pekerjaan baru. Uang tabungannya akan segera habis dengan biaya hidup yang sangat tinggi di kota minyak tersebut. Satu minggu setelah mereka tiba di Balikpapan, Evan langsung coba menghubungi beberapa
MASA DEPAN "Itu sudah bukan pernikahan lagi sejak kau pergi meninggalkanku!" "Bukan kau yang memutuskan!" tegas Dom berulang kali. "Kau tetap istriku selama aku belum menceraikanmu, kau tidak bisa menikah dengan pria manapun!" "Kau tidak bisa datang dan pergi sesuka hatimu. Aku sudah bahagia dengan keluarga yang kumiliki sekarang." Amanda juga tidak mau mengalah dengan tuduhan Dom yang bisa seenaknya. "Semua orang berhak melanjutkan hidup, lepaskan aku!" Rasanya seperti ada sesuatu yang harus Dom telan dengan kaku dari tenggorokannya ketika mendengar Amanda bicara seperti itu. "Siapa ayahnya?" Dom tetap kembali pada pert
DELAPAN TAHUN YANG LALU Bukanya Evan tidak ingin kembali pada Amanda. Evan sedang berada di sebuah bandara internasional di Istambul Turki ketika tertangkap dengan satu kilogram heroin di dalam tasnya. Terlibat kejahatan di negeri asing sama halnya seperti masuk ke dalam lobang neraka. Evan langsung diseret ke dalam penjara paling keji tanpa pengadilan, tanpa hak kewarganegaraan dan tanpa bisa membela dirinya sendiri untuk apapun. Padahal Evan masih tidak tahu bagaimana bisa ada barang haram tersebut di dalam tas bagasinya. Evan benar-benar merasa sedang tertimpa bencana atau dijebak utuk dibuang ke neraka. Evan dikirim ke penjara paling keji di kepulauan Yunani. Dia tidak melihat apa-apa selain pulau karang dengan benteng tebal dan sebuah menara mercusuar yang siap menembakkan peluru ke kepala siapa saja yang berani kabur dari tempat
'Jika kau melanggar aturan di masyarakat kau akan dimasukkan ke dalam penjara, tapi jika kau melanggar aturan di dalam penjara maka kau akan dibawa ke mari!' kurang lebih seperti itu penggalan yang pernah Evan dengar entah dari mana, dan di tempat seperti itulah dirinya sekarang, tempat orang-orang paling bermasalah dalam peradaban! Evan baru mengantri untuk mengambil jatah makanannya dan harus segera mencari tempat duduk karena semua napi harus tertib, mereka memiliki jam makan yang tidak panjang dan jatah sepuluh menit untuk mandi satu kali dalam sehari. Evan mendapatkan makanan dalam piring metal bersekat yang cuma berisi kentang rebus, wortel dan satu sendok daging giling, dia berjalan lebih dulu dengan Amir sedikit mengekor di belakangnya. Tiap pasang mata berpaling menatapnya dari masing-masing barisan meja dan kursi yang berbaris rapat. Rekan satu selnya Amir sudah memberi tahu j
Walaupun jejak luka di punggung Evan masih belum sempurna mengering dan masih berdenyut perih ketika ia gunakan untuk meregangkan otot tapi kali ini tidak ada yang berani mengejeknya lagi setelah pertarungan brutalnya tempo hari. Evan berjalan sendiri di antara lorong barisan kursi, ia sadar jika tiap pasang mata itu sekarang cuma berani saling berbisik dan diam-diam menatap punggungnya. Evan juga tidak menghiraukan para kepala tengkorak yang duduk bergerombol dan entah sedang merencanakan apa utuk dirinya, dia berjalan sambil melihat ke arah mereka, Evan tidak keberatan jika harus berkelahi lagi. Evan ingat pria seperti apa yang telah membesarkanya tanpa rasa gentar. Amir mengangkat telapak tangan untuk memangilnya. "Bagaimana lukamu?" tanya Amir setelah dua malam Evan sempat menggigil karena lukanya yang tidak diobati mulai meradang.
Sepertinya memang hanya keajaiban yang membuat pemuda itu masih hidup setelah ditelantarkan terkapar di tengah hujan, bahkan beberapa orang masih sempat menendang dan menginjaknya sebelum mereka ludahi. Evan masih demam sampai beberapa malam, tubuhnya menggigil dan terus mengigau menggumamkan nama Amanda. Bekas luka yang sudah dijahit itu tetap membiru seperti daging busuk. Tidak ada obat yang memadai dan tidak ada penghilang yeri, dia hanya diberi salep anti infeksi agar lukanya tidak semakin membusuk. Amir yang mengurusnya selama beberapa hari, Evan tidak bisa bergerak dan hanya terbaring di atas ranjang dengan tubuh berkeringat karena terus mengejang dan mengerang menahan nyeri. "Jadi namanya Amanda?" tanya Amir begitu Evan mulai stabil dan bisa diajak bicara. "Nama yang cantik, pasti istrimu juga sangat cantik."
Tidak ada hari sepanjang waktunya ketika harus duduk di lantai seorang diri dalam ruangan dua kali tiga meter dengan pintu baja. Evan semakin tidak tahu apa dirinya bisa kembali pulang untuk Amanda karena siang dan malam pun Evan sudah tidak bisa membedakan lagi, Evan sudah tidak bisa menghitung berapa lama dirinya berada di situ. Luka di punggungnya masih menganga pedih setelah hukuman cambuk yang diterimanya lagi karena memukul petugas sipir. Mungkin dirinya memang mulai gila hingga petugas sipir penjara pun ingin dia ajak berkelahi. Jika bukan karena ingat ingin pulang untuk Amanda, Evan yakin lebih pilih membenturkan kepalanya ke dinding. Evan melihat bagaimana penghuni sel di sebelahnya yang sudah tinggal mungkin puluhan tahu dan hanya diberi makan seperti binatang. Kaki mereka mengecil dan lumpuh karena sudah terlalu lama duduk serta tidur di lantai dingin tanpa alas apapun. Bagi Evan lebih baik mati terbentur dinding dari pada meli
Evan dibawa ke sebuah rumah pantai mewah bergaya mediterania di kepulauan Caribbean, sebuah properti yang bentengnya dijaga dengan pria-pria besar bersenjata. Evan masih tidak banyak bertanya karena dia paham kapan waktunya diam lebih menjamin keselamatan. Orang-orang di tempat tersebut jelas bukan jenis sipir penjara yang akan membuang waktu dengan mencambuk punggung. Evan berjalan mengekor di belakang pria tinggi besar berambut keemasan yang kemarin menjemputnya. Evan hanya menatap sekilas pada para pengawal yang juga terlihat memperhatikannya ketika mereka melintas. "Sampaikan pada Mr. Dexter jika kami sudah sampai," kata pria yang datang bersama Evan ketika menghampiri seorang pengawal bersetelan rapi yang menyambut mereka di dalam. Evan sedang berada di ruangan super luas dengan sebuah tangga marmer melengkung dan langit-langit tinggi. Seorang pengawal kembali turun un