DELAPAN TAHUN YANG LALU
Bukanya Evan tidak ingin kembali pada Amanda. Evan sedang berada di sebuah bandara internasional di Istambul Turki ketika tertangkap dengan satu kilogram heroin di dalam tasnya. Terlibat kejahatan di negeri asing sama halnya seperti masuk ke dalam lobang neraka.
Evan langsung diseret ke dalam penjara paling keji tanpa pengadilan, tanpa hak kewarganegaraan dan tanpa bisa membela dirinya sendiri untuk apapun. Padahal Evan masih tidak tahu bagaimana bisa ada barang haram tersebut di dalam tas bagasinya. Evan benar-benar merasa sedang tertimpa bencana atau dijebak utuk dibuang ke neraka. Evan dikirim ke penjara paling keji di kepulauan Yunani. Dia tidak melihat apa-apa selain pulau karang dengan benteng tebal dan sebuah menara mercusuar yang siap menembakkan peluru ke kepala siapa saja yang berani kabur dari tempat
yuk vote dulu
'Jika kau melanggar aturan di masyarakat kau akan dimasukkan ke dalam penjara, tapi jika kau melanggar aturan di dalam penjara maka kau akan dibawa ke mari!' kurang lebih seperti itu penggalan yang pernah Evan dengar entah dari mana, dan di tempat seperti itulah dirinya sekarang, tempat orang-orang paling bermasalah dalam peradaban! Evan baru mengantri untuk mengambil jatah makanannya dan harus segera mencari tempat duduk karena semua napi harus tertib, mereka memiliki jam makan yang tidak panjang dan jatah sepuluh menit untuk mandi satu kali dalam sehari. Evan mendapatkan makanan dalam piring metal bersekat yang cuma berisi kentang rebus, wortel dan satu sendok daging giling, dia berjalan lebih dulu dengan Amir sedikit mengekor di belakangnya. Tiap pasang mata berpaling menatapnya dari masing-masing barisan meja dan kursi yang berbaris rapat. Rekan satu selnya Amir sudah memberi tahu j
Walaupun jejak luka di punggung Evan masih belum sempurna mengering dan masih berdenyut perih ketika ia gunakan untuk meregangkan otot tapi kali ini tidak ada yang berani mengejeknya lagi setelah pertarungan brutalnya tempo hari. Evan berjalan sendiri di antara lorong barisan kursi, ia sadar jika tiap pasang mata itu sekarang cuma berani saling berbisik dan diam-diam menatap punggungnya. Evan juga tidak menghiraukan para kepala tengkorak yang duduk bergerombol dan entah sedang merencanakan apa utuk dirinya, dia berjalan sambil melihat ke arah mereka, Evan tidak keberatan jika harus berkelahi lagi. Evan ingat pria seperti apa yang telah membesarkanya tanpa rasa gentar. Amir mengangkat telapak tangan untuk memangilnya. "Bagaimana lukamu?" tanya Amir setelah dua malam Evan sempat menggigil karena lukanya yang tidak diobati mulai meradang.
Sepertinya memang hanya keajaiban yang membuat pemuda itu masih hidup setelah ditelantarkan terkapar di tengah hujan, bahkan beberapa orang masih sempat menendang dan menginjaknya sebelum mereka ludahi. Evan masih demam sampai beberapa malam, tubuhnya menggigil dan terus mengigau menggumamkan nama Amanda. Bekas luka yang sudah dijahit itu tetap membiru seperti daging busuk. Tidak ada obat yang memadai dan tidak ada penghilang yeri, dia hanya diberi salep anti infeksi agar lukanya tidak semakin membusuk. Amir yang mengurusnya selama beberapa hari, Evan tidak bisa bergerak dan hanya terbaring di atas ranjang dengan tubuh berkeringat karena terus mengejang dan mengerang menahan nyeri. "Jadi namanya Amanda?" tanya Amir begitu Evan mulai stabil dan bisa diajak bicara. "Nama yang cantik, pasti istrimu juga sangat cantik."
Tidak ada hari sepanjang waktunya ketika harus duduk di lantai seorang diri dalam ruangan dua kali tiga meter dengan pintu baja. Evan semakin tidak tahu apa dirinya bisa kembali pulang untuk Amanda karena siang dan malam pun Evan sudah tidak bisa membedakan lagi, Evan sudah tidak bisa menghitung berapa lama dirinya berada di situ. Luka di punggungnya masih menganga pedih setelah hukuman cambuk yang diterimanya lagi karena memukul petugas sipir. Mungkin dirinya memang mulai gila hingga petugas sipir penjara pun ingin dia ajak berkelahi. Jika bukan karena ingat ingin pulang untuk Amanda, Evan yakin lebih pilih membenturkan kepalanya ke dinding. Evan melihat bagaimana penghuni sel di sebelahnya yang sudah tinggal mungkin puluhan tahu dan hanya diberi makan seperti binatang. Kaki mereka mengecil dan lumpuh karena sudah terlalu lama duduk serta tidur di lantai dingin tanpa alas apapun. Bagi Evan lebih baik mati terbentur dinding dari pada meli
Evan dibawa ke sebuah rumah pantai mewah bergaya mediterania di kepulauan Caribbean, sebuah properti yang bentengnya dijaga dengan pria-pria besar bersenjata. Evan masih tidak banyak bertanya karena dia paham kapan waktunya diam lebih menjamin keselamatan. Orang-orang di tempat tersebut jelas bukan jenis sipir penjara yang akan membuang waktu dengan mencambuk punggung. Evan berjalan mengekor di belakang pria tinggi besar berambut keemasan yang kemarin menjemputnya. Evan hanya menatap sekilas pada para pengawal yang juga terlihat memperhatikannya ketika mereka melintas. "Sampaikan pada Mr. Dexter jika kami sudah sampai," kata pria yang datang bersama Evan ketika menghampiri seorang pengawal bersetelan rapi yang menyambut mereka di dalam. Evan sedang berada di ruangan super luas dengan sebuah tangga marmer melengkung dan langit-langit tinggi. Seorang pengawal kembali turun un
"Aku tidak mau telur!" protes Evan ketika Kansaz memasukkan telur ke dalam mie instan yang sedang dia rebus. "Kau harus makan telur agar tubuhmu besar," kata Kanzas sambil memamerkan otot lengannya yang bergumpal-gumpal dan dihiasi tato. Kansaz adalah pria tinggi besar dengan perawakan kasar, alisnya tebal dengan tulang rahang persegi. Tampilan seorang pria yang pantas untuk ditakuti. Kansaz sedang merebus mie instan untuk anak laki-lakinya, anak laki-laki yang tidak pernah bisa memanggilnya ayah tapi tetap merupakan anak laki-lakinya. Memang agak sulit membiasakan anak yang sudah berumur hampir lim tahun untuk tiba-tiba menyebutnya ayah. Sudah hampir tiga tahun anak itu dia besarkan seperti putranya sendiri, Kansaz mengantarkannya ke sekolah dan membuatkannya makanan. Walau terlihat
MASA DEPAN"Ardi sudah menjadi suami yang baik untukku, Ardi juga sudah menjadi ayah yang baik untuk putriku. Tolong lepaskan aku, relakan aku, biarkan aku hidup dengan keluargaku."Amanda tidak pernah tahu sesakit apa Dom mendengar Amanda bicara seperti itu."Bagaimana kau pikir aku bisa meninggalkanmu?" Dom menatap Amanda yang juga balas menatapnya dengan lebih pekat."Pikiranku sudah tidak penting lagi, hatiku juga sudah tidak penting lagi. Kenyataanya kau pergi dan tidak kembali. Tolong lepaskan kami biarkan kami hidup tenang. Ardi sudah menjadi suami yang baik untukku dan ayah yang baik untuk Sisi," ulang Amanda tanpa berhentinya untuk mem
"Pernikahan itu sudah terlalu lama Dom, dan waktu itu aku masih terlalu muda. Aku tidak tahu apa pernikahan seperti itu bisa dianggap pernikahan." Kata Amanda setelah mereka sama-sama lebih tenang untuk bicara tanpa disertai emosi. "Bahkan aku sangat membencimu karena pergi meninggalkanku begitu saja. Aku juga sakit hati hingga sangat jijik saat kau menyentuhku lagi. Aku dan Ardi hampir delapan tahun menjalani pernikahan, saat aku bersamamu aku akan merasa mengkhianatinya sebagai seorang istri. Aku merasa kotor karena bagiku tetap Ardi suamiku yang sesungguhnya, suami yang telah bertanggung jawab terhadapku sementara kau hanya seperti orang lain dari masa lalu. " Dom cuma diam karena dia semakin sadar jika dirinya memang tidak pernah dianggap, entah itu oleh keluarga Amanda atau oleh Amanda sendiri.