Kadang memang perlu untuk melihat dunia ini dari sisi yang lain. Tapi bagaimana otak masih bisa berpikir ketika seluruh aliran dari pembuluh darah berkumpul di kepala Amanda yang hampir meledak. Akan selalu ada beberapa sisi sudut pandang dari masing-masing pilihan. Meski ada sisi hatinya memberat tapi otaknya harus tetap berjalan karena dia tahu hal lebih besar apa yang sedang dia perjuangkan.
Hari masih pagi ketika Dom melihat Amanda berdiri dengan posisi terbalik meluruskan tubuhnya di dinding kaca. Dom berjongkok di depannya untuk menunggu Amanda menyelesaikan gerakan yoganya.
"Apa kau jadi ingin belajar menembak?" tanya Dom tiba-tiba.
Amanda segera menurunkan kakinya yang lentur untuk kembali menyentuh lantai dan berdiri normal. "Ya."
YANG SUDAH BIASA BACA CERITAKU AKU YAKIN AKAN SURVIVE!
SEMBILAN TAHUN YANG LALU Amanda dan Ardi baru melewatkan libur akhir pekan di fila milik keluarga Ardi di kawasan puncak. Karena Amanda yang selalu ribut dengan berbagai pernak-pernik bawaannya yang tidak penting, akhirnya mereka pulang kemalaman setelah kelamaan menunggu Amanda berkemas. Sebenarnya mereka sudah mulai memasuki kawasan pinggiran kota ketika tiba-tiba dihadang oleh gerombolan geng motor yang sepertinya juga baru membuat huru-haran. Amanda sangat ketakutan hingga wajahnya memucat. Anak-anak muda urakan itu juga membawa berbagai senjata mulai gear motor yang mereka ayunkan berputar-putar dengan tali, belati dan bahkan samurai. Mereka menghentikan mobil Ardi dengan barisan motor yang berjejer di tengah jalan. Ardi terpaksa menghentikan mobilnya dengan kondisi lampu depan yang juga masih menyala jadi Amanda bisa melihat jel
Ardi sudah menunggu di depan kelas Amanda karena biasnya memang Ardi yang mengantar jemput Amanda ke sekolah."Hari ini aku mau jalan dulu sama teman-teman," bohong Amanda yang juga lupa memberi tahu Ardi karena keasikan membalas chat dengan Evan selama jam istirahat tadi."Kalian mau kemana?" heran Ardi."Cuma ke salon," alasan paling manjur karena Ardi alergi dengan kata salon."Oke." Ardi segera pergi setelah berpamitan pada teman-teman cowoknya yang tadi juga ikut nongkrong di depan kelas."Jadi Ardi tidak tahu kau berselingkuh?" tanya Vivi yang berjalan di samping Amanda."Aku dan Ardi saudara kembar bukan pasangan suami istri," tepis Amanda tiap kali teman-temannya mulai menganggap mereka pasangan kekasih sejak lahir hingga akhir jaman."Ya, kembar siam kemana-mana berdua," sahut teman wanita Amanda yang lain."Eh, tapi apa beneran kalian belum pernah nempel?" Vivi malah makin membumbui becandaan mereka dengan gerakan tangannya yang menepuk-nepuk lengan untuk menimbulkan suara."
Setelah ciuman Amanda besama Evan di jembatan waktu itu sekarang Amanda sudah tidak perlu diminta atau disuruh lagi untuk memeluk pinggang Evan yang juga semakin rajin mencium gadisnya. Evan adalah pemuda dua puluh empat tahun, sudah tahu dengan apa yang harus dia lakukan terhadap wanita, meskipun Amanda masih terlalu muda untuk dia ajak bercumbu.Amanda semakin sering pergi diam-diam bersama Evan, diajak nongkrong bersama teman-temanya yang mayoritas laki-laki dan memiliki gaya pergaulan yang keras. Amanda juga tidak pernah terlihat keberatan untuk membaur dengan mereka meskipun gadis itu sebenarnya tidak cocok sama sekali untuk sekedar Evan ajak duduk di atas motor."Mereka menyenangkan," kata Amanda ketika Evan membawanya pulang. Amanda memeluk pinggang pemuda itu erat-erat dan menyandarkan pipi ke punggungnya hingga tubuh mereka saling merekat.Selama ini orang-orang memang cuma selalu melihat sisi negatif dari pergaulan anak jalanan tapi setelah mengenal mereka sebenarnya juga ti
"Bagaimana kau tahu dia setia?" tanya Ardi yang sedang menyetir dan melihat Amanda masih sibuk menulis pesan karena kebetulan kekasihnya sedang dapat sinyal. "Dia sudah berjanji padaku." Amanda juga sudah bercerita pada Ardi jika mereka telah jadian. Ardi berusaha menanggapinya dengan santai karena dia pikir Amanda akan segera bosan dengan hubungan LDR yang susah sinyal macam itu, Ardi sangat mengenal sifat Amanda yang labil. Tapi ternyata Ardi salah, setelah hampir dua bulan tanpa kabar Amanda benar-benar masih bersikeras untuk setia pada Evan. Ardi tahu Amanda masih belum pernah dekat dengan siapapun sebelumnya karena selama ini Amanda hanya selalu bersamanya. Biarpun kelihatan pemberani, Amanda adalah gadis yang masih sangat naif dan polos, kombinasi yang bisa meletakkannya dalam bahaya jika bertemu dengan pria brengsek. "Minggu depan Evan akan pulang." Amanda tersenyum bahagia ketika menoleh pada Ardi dan kembali membalas pesannya. Dada Amanda sud
"Aku tidak mau lagi menjemputmu apa lagi mengantarkanmu padanya!" tegas Ardi begitu menurunkan Amanda di depan rumahnya tanpa mampir seperti biasanya. Sangat wajar jika Ardi marah, Ardi sangat perduli pada Amanda, selalu menjaganya dan belakangan ini Amanda terus mengabaikan nasehatnya. Amanda semakin liar sejak mengenal Evan. Berhubungan dengan laki-laki yang lebih dewasa tentu akan membawa konsekwensi karena itu Ardi sangat khawatir. Sayangnya Ardi tidak sadar, karena dengan dirinya yang menjauhi Amanda, justru hal itu akan membuat Amanda semakin dekat dengan Evan. "Kenapa Ardi langsung pulang?" tanya ibu Amanda. "Dia sedang banyak kegiatan ekstra," bohong Amanda sambil cepat-cepat menaiki tangga ke kamarnya. Begitu sampai di da
Amanda masih duduk menggigil, telapak tangannya dingin dan perutnya mual jika ingat darah kental yang juga mengalir di aspal. Amanda tetap mau ikut pulang bersama Evan meskipun dia juga sedang sangat ketakutan. Amanda baru melihat pemuda yang dia cintai telah membunuh orang tapi Evan tidak terlihat sedih atau menyesal sama sekali. Sebuah nyawa tetap bukan main-main. Yang baru dia saksikan tadi bukan hanya dosa besar dan kejahatan, tapi juga tindakan kriminal. Amanda merasa pedih dan takut luar biasa. Amanda sadar jika dirinya juga sudah mulai ikut terbawa ke dalam dunia yang semakin gelap karena ternyata dia juga tidak mau pergi. Amanda tidak mau meninggalkan pemuda itu. Dengan apa yang telah mereka berdua lakukan ternyata sekarang dirinya telah terikat dan tidak akan bisa pergi lagi. Evan masih mandi membersihkan tubuhnya yang berlum
Hari Kamis dalam minggu ke dua adalah jadwal bagi Evan untuk mengunjungi ayahnya, dia juga harus berpamitan karena lusa Evan akan kembali berangkat berlayar. "Sudah kukatakan jangan kotori tanganmu!" sambut Kansas pada pemuda gagah dan tampan yang baru duduk di hadapannya dengan penghalang sekat kaca. Biarpun di dalam lapas tapi sepertinya berbagai gosip juga tetap bergulir dengan up to date. "Setiap hutang harus dibayar!" tegas Evan sambil menatap mata cekung dari pria yang dulu selalu terlihat paling garang di depan siapapun. "Kau di sini karena bajingan itu." "Tidak dengan mengotori tanganmu, sangat tidak sepadan dan dia tidak layak!" "Aku putramu!" "Ya, karena itu aku tidak mau kau berakhir sepertiku!" Kansaz balas menatap tegas pada putranya. Evan kembali memperhatikan tangan kurus ayahnya dan urat-uratnya yang bermunculan dibawah kulit keriput. Pria yang pernah jadi orang paling di takuti kali ini menjadi layu di ba
Langit sudah mulai kembali gelap, Evan duduk sediri di dek belakang kapal, memandang jauh kepermukaan air yang bergolak dan tanpa batas. Sudah tiga minggu Evan tidak melihat apa-apa selain perairan dan dia masih harus menjalaninya beberapa bulan lagi. Beberapa bulan dalam pikiran tidak tenang karena sadar jika jarak dirinya dan Amanda bukan hanya sebatas luasnya samudra. Ketika pertama kali mengenal Amanda, Evan sadar jika mereka sudah sangat berbeda tapi gadis itu tetap membuat perasaanya terus tumbuh dan mengalir begitu saja hingga tiba-tiba telah jadi sesuatu yang memberatkan. Sejatinya Evan hanya laki-laki dan sudah banyak wanita yang berlalu datang dan pergi tapi tidak ada yang membuatnya risau seperti kali ini. Amanda masih sangat muda, labil, dan berani menjanjikannya sesuatu yang tidak bisa dia tolak. Jika sekarang Evan sendiri yang menelan racunnya sebenarnya itu juga karena sa