Tak berlama-lama ingin lanjut bersenang-senang (lagi) dengan kedua Kembar Forrester di jacuzzi, Ocean Vagano segera keluar pemandian dan mengenakan kembali busana lengkapnya untuk pergi meninjau laporan mengejutkan si petugas puri.
Interupsi yang menyebalkan sekaligus menyelamatkannya. 'Saved by the knocks'.
'Mengapa Pedang Terkutuk Dangerous Attraction kembali 'berulah' hari ini? Rantainya putus sendiri? Bagaimana bisa? Sebenarnya apa yang telah terjadi?' gundah Si Sulung sambil mengikuti petugas yang tadi melapor menuju TKP yang selalu terkunci rapih dan ketat, museum puri.
Kedua gadis bangsawan Kate dan Katy Forrester yang tadi sudah mulai terlena dalam gairah tentu saja terpaksa kecewa berat untuk kedua kalinya. Namun mereka tak dapat menahan-nahan Sang Tuan Rumah Tampan, yang sampai hari ini juga belum 'termiliki' oleh siapapun dari mereka.
"Awas ya, Tuan Muda Ocean yang terhormat! Kau harus menikahiku nanti karena sudah melakukan semuanya, ehm
Emily melangkah masuk semakin dalam, tersesat dalam lorong-lorong sempit dari pagar hidup. Lebarnya kurang dari satu meter, dan dedaunan hijau kecil-kecil yang rapat itu tampak hitam kusam di bawah sinar lemah lampu taman. Lantainya yang berupa rumput tampak hitam tersaput bayang-bayang, hingga tak ada sesuatupun yang gadis itu bisa lihat di bawah telapak kakinya. Keseluruhan labirin itu tidak terlalu luas, namun sangat ruwet. Dinding-dinding hijau rimbun itu mengingatkan Emily pada Lorong Bawah Tanah. Rasa khawatir dan gelisahnya semakin menjadi-jadi, semua momen terhilang dan jatuh pingsan yang ia alami 3 tahun silam kembali melanda dirinya bagai deja vu, mimpi buruk yang begitu nyata. Merasa ingin terbangun, namun tak bisa. "Emily..." pemuda asing yang menguntitnya mulai mengeluarkan suara. Berat, namun mirip sekali dengan suara yang baru-baru ini didengarnya di suatu tempat! 'Astaga, ia tahu namaku!' gadis itu menyadari bila orang itu meng
'point-ot-view' Avalanche : Emily. Ia sudah hampir menjadi milikku. Tampaknya seisi penduduk Evertown menghilang, membuka jalan lebar-lebar untukku maju untuk memulai 'pendekatan' yang sama sekali baru. A brand new beginning, second chance, apapun namanya! Dan aku takkan membiarkan gadis itu berlalu lagi! Aku tak peduli bagaimana caranya. Aku hanya ingin ia jadi milikku kali ini. Di kota kecil ini tak ada Ocean dan Sky yang bisa menolongnya, bahkan bersaing memilikinya! Mengingat betapa berkuasa dan dominannya aku saat ini, langkahku semakin tegap dan cepat! Ya, aku kali ini akan memilikimu! Emily berusaha berlari ke dalam sebuah taman hijau yang dikelilingi pagar hidup yang rumit. Kurasa, inilah yang dinamakan labirin. Tempat anak-anak dan remaja biasa bermain hide-and-seek dan berusaha keras menemukan jalan keluar. Namun di dalam sini juga pasti ada point-of-no-return! Hatiku bersorak sorai. Aku betul-betul merasa keren seperti penja
Sudut Pandang / 'point-of-view' Avalanche :Pagi harinya, aku berangkat kerja seperti biasa. Membuka pintu-pintu dan membereskan segalanya. Kuharap Pak Manajer tak memecatku gegara kejadian kemarin. Meninggalkan pekerjaan tanpa izin, kurasa aku akan ditegur karena melakukan pelanggaran.Baru saja aku menyelesaikan beberapa tugas, Erato juga hadir. Tanpa menyapa selamat pagi, kami berdua bekerja masing-masing dalam diam, tak ada yang saling mengucap apapun."Aku tahu, Ava, kau memiliki koneksi dengan tamu gadis guru Evertown High itu.."Perkataan Erato itu mengejutkanku. Hampir saja kujatuhkan gelas kopi bersih yang baru kulap kering dan hendak kuletakkan di rak."Kemana saja kau pergi kemarin selepas makan siang? Pak Manajer mencarimu sambil marah-marah. Kubilang saja kau minta izin pulang karena sakit mata." Erato sekali lagi mendesak.Hening. Aku bersyukur pagi itu hanya ada kami berdua bersiap-siap membuka M's Brew. Belum ada tanda-tanda
Pagi hari cerah itu seperti yang kerap dilakukannya, sang guru muda tampan Alexander Chan-Meyer datang menjemput Emily Stewart kekasihnya, di depan kamar sewaan di pinggiran Evertown.Setelah kemarin seharian Xander beristirahat karena flu, pagi ini ia telah merasa segar bugar kembali dan tak sabar ingin segera berjumpa lagi dengan Emily.Pemuda itu sedikit heran saat kemarin sore ibunya mengabarkan bila ia kedatangan tamu wanita muda yang mencarinya saat ia pergi ke dokter. Diduganya itu pasti Emily. Namun karena ia masih belum pulih benar, ia hanya masuk rumah dan beristirahat sambil menunggu telepon atau kedatangan Emily untuk kedua kalinya.Yang tak pernah terjadi, bahkan hingga malam hari tiba.Merasa sedikit heran karena tak ada kabar lebih lanjut, Xander memutuskan untuk segera makan malam, minum obat dan pergi ke kamar untuk beristirahat. Ia hanya ingin malam itu segera berlalu dan bisa segera berganti pagi agar bisa segera berangkat bekerja dan m
Sementara itu, jauh di Pulau Vagano, Ocean masih sebisa mungkin menjaga jarak dengan kedua Kembar Forrester yang selalu menggodanya. Ia tak tahu bagaimana harus bersikap. Mereka begitu jelita dan menggoda, bagaikan sepasang Succubus yang selalu muncul 'meresahkan', bahkan di siang hari. Ocean kadang merasa sedikit banyak 'bersalah' karena secara tak sengaja membiarkan 'iblis' dalam dirinya keluar lepas. Menyentuh dan mengencani bahkan menikmati sosok gadis-gadis lain, sungguh di luar kebiasaan dan etika keningratan klasik Everopa yang sedari belia membelenggunya. Dan selama 23 tahun hidupnya, semasa masih ada Emily di sini, hanya gadis itu yang dikenalnya, yang berhasil membawanya mengenal cinta. Gadis yang ia temukan di pantai saat terluka, seperti bidadari yang dihantarkan Tuhan ke Bumi, yang ia selamatkan, kemudian membuatnya jatuh hati. Sayangnya, Emily harus pergi. Ia merasa tempatnya bukan di sini, melainkan di Evermerika bersama keluarganya. Terpaksa direlakan
Sementara itu, pasangan baru Emily dan Xander masih berada di kamar sewaan Emily, di pagi hari menjelang jam masuk sekolah. "Apa yang terjadi padamu, Emily? Mengapa kau jadi kusut dan tampak lusuh begini?" pilu Xander sambil menatap kekasihnya yang masih belum pulih dari apa yang ia alami kemarin malam. Emily menutup rapat mulutnya sambil terisak-isak. Ia belum siap, atau belum ingin bercerita mengenai kejadian kemarin. Ia sebetulnya tak mengalami trauma. Lebih tepatnya, ia mengalami deja vu. Sesuatu yang lebih seperti terulangnya memori di masa lalu. Penguntit yang ia curigai sebagai 'Earth' itu bukan orang asing. Herannya, seberapa keraspun ia berusaha menyangkal, mengapa 'crime of passion' itu bertahan dalam benaknya? Mengapa tubuhnya tak menolak bahwa seperti itulah yang ia butuhkan selama ini? Bukan hanya perlakuan manis dan kebaikan saja? "Emily. kau bisa berterus terang kepadaku. Aku bukan tipe pria tak pedulian. Dan aku bukan orang asing! Aku kekasihmu!" desak Xander. "Maa
Sementara itu, tak jauh dari trotoar dimana Emily sedang berjalan bersama Xander, tepatnya di balik counter M's Brew yang mulai didatangi beberapa pelanggan yang sedang menyesap kopi, Ava dan Erato masih terlibat dalam 'perang dingin'. Avalanche, alias Earth, mulai merasa terganggu dengan ikut campurnya Erato, gadis pelayan kafe rekan kerjanya yang diam-diam 'menaruh perhatian' pada apa yang terjadi. Gadis misterius yang sama-sama bermata biru itu masih membisikkan niatnya, perlahan sekali agar tak ada yang mendengar."Ingat, Ava, alias Earth, aku bisa, dan harus membantumu memisahkan kekasihnya dari gadis itu. Bila tidak, aku akan bilang Pak Manajer bila kau kemarin meninggalkan pekerjaan karena.. Dan aku, bisa juga membuka identitasmu di depan pasangan itu, yang kuyakini bila si guru muda wanita sebenarnya kau kenali.." "Cukup, diam kau, Erato!" tegas Ava, "aku tahu, kau sebenarnya memiliki kepentingan di sini. Aku belum tahu siapa kau, hanya saja, aku t
(POV Emily Stewart:) "Ayo, Em, kita singgah di kafe, minum kopi hangat dulu, kutraktir. Kau belum sempat sarapan, nanti kau lapar. Take away saja!" Aku mulai ragu-ragu dan segan saat Xander menarikku sambil kami melangkahkan kaki menuju kafe M'Brew. Tapi karena kekasihku Utampak begitu antusias dan ceria melihatku hari ini kembali 'bangkit', rasanya sungguh tak tega bila aku harus kembali menolak ajakannya. "Malas ah, aku mau langsung berangkat ke sekolah saja, nanti kita terlambat, malu!" "Sebentar saja, kita bisa minum sambil jalan kali ke sekolah! Bila kau lapar, beli satu roti atau donat juga boleh!" Wajahnya berseri-seri, sungguh tak ingin kulihat ia cemas lagi karena memikirkanku. Akhirnya kuturuti ajakannya dengan enggan. Kami ternyata sepasang pelanggan pertama. Hanya ada seorang pelayan sedang berbenah. Kulihat yang berdiri di counter adalah dia, barista kopi yang bernama Ava. Menyapa kami ramah, tak terlalu akrab, formal, bia