Sementara itu, Ocean yang sedari tadi betul-betul terlena dengan kehadiran dan kehangatan kedua gadis di ranjangnya, bagai tersadar dari mimpi, segera sadar dengan suara maha keras dari sesuatu yang pecah berkeping-keping itu.
"Astaga, kalian, ayo berpakaian kembali dan tinggalkanlah aku!" pemuda itu bangkir dari ranjangnya yang nyaman dan segera menyambar kimono tidurnya.
'Duh, hampir saja, walau aku sangat menginginkan itu, tapi mana mungkin aku bisa terjatuh sedalam ini...'
Hampir saja ia betul-betul melakukan hal terintim yang paling tak ingin ia lakukan bersama dua gadis cantik yang belum juga ia cintai.
"Ocean, kami.. uhh, baiklah," kedua gadis Kate dan Katy Forrester juga bergegas menutupi tubuh mereka dengan gaun tidur kembali, setengah kecewa seperti dibangunkan mendadak dari mimpi basah terindah.
Tak lama kemudian, petugas-petugas keamanan puri segera datang melapor pada Ocean di lounge.
"Tuan Muda Ocean Vagano! Gawat!
Pagi itu juga, Avalanche terburu-buru membuka kafe M's Brew, seakan-akan menunggu kembalinya sosok pelanggan kemarin yang ia duga kuat dalam hatinya sebagai Emily Rose Stewart, gadis yang betul-betul tak bisa ia singkirkan keluar dari benaknya. Kepadanya telah diserahkan anak kunci pintu depan agar ia bisa segera berbenah, sama seperti kepada beberapa anak buah lain oleh manajernya. Walau kemarin karena melamun, performa kerjanya sedikit mengecewakan, manajernya telanjur suka pada barista kopi yang satu ini. Penampilannya yang menarik serta racikan kopi buatannya yang memang enak selalu memikat pengunjung baru, terutama Kaum Hawa. Avalanche tak peduli. Ia hanya mau bertemu kembali dengan gadis pirang bermata cokelat yang kemarin memesan secangkir 'caramel macchiato'. Dan tak lama setelah ia berada di belakang stasiun pelayanan di samping meja panjang, seseorang yang ia nanti-nantikan berjalan di depan kafe. Mendekat, Kaca jendela M's Brew yang bening cukup jelas untuk melihat kelu
(POV Emily Rose Stewart:) 'Aku tak pernah menduga sebelumnya, semua akan terjadi secepat ini, atau selancar ini. Aku yang tak pernah membuka hati untuk siapa-siapa selama tiga tahun ini. Aku yang kesepian, hancur, merasa malu dan segan kepada siapapun yang kutemui. Walau media massa maupun media sosial mengejar-ngejarku, berusaha mewawancaraiku, ingin tahu segala 'perjuangan heroikku untuk bertahan hidup sebagai satu-satunya korban selamat di samudra yang luas sampai terdampar di pulau misterius.' Mereka bahkan berani membayar mahal untuk sebuah 'interview live' eksklusif atau majalah ternama edisi spesial agar aku membuka rahasia tentang keluarga bangsawan super tertutup yang menyelamatkanku. 'Apakah Anda diselamatkan oleh sekelompok sekte tertentu yang menahan Anda hingga akhirnya Anda diselamatkan oleh kapal yang lewat, Ms. Stewart?' 'Apakah Anda diancam untuk tetap tutup mulut oleh para kaum elit yang menyelamatkan Anda, supaya Anda tidak membocor
(POV Erato alias Lara Samsara Miles-Vagano) Kemarahan Avalanche, alias Earth, sungguh tak terduga dan begitu mengerikan. Aku tak habis pikir mengapa ia mendadak meledak tak lama setelah kehadiran tamu kami, guru Evertown High. Wanita muda itu sukses membuatnya demikian terkejut dan gundah. Apakah mereka sesungguhnya 'saling mengenal'? Apakah ia bukan seseorang dari masa lalu yang terlalu jauh? Sosok Avalanche memang tak dijelaskan secara gamblang dalam lembaran dokumentasi dan kisah Hannah almarhumah ibuku. Tak ada foto maupun informasi yang jelas. Hannah hanya ingin aku 'membalaskan kepada dua pemuda Ocean dan Sky' saja. Saudara-saudara tiriku, anak dari wanita perebut ayahku! Ia adalah kembar ketiga yang tak diinginkan Zeus ayah kami. Sebagai saudara terbuang yang entah diapakan, hingga kemudian tak terhitung dalam sejarah kebangsawanan Keluarga Vagano. Mungkin ia melakukan sesuatu juga, atau tidak? Yang jelas, aku harus mengikutinya. Aku harus tahu segala sesuatu tentangnya. M
Ocean dan kedua gadis Kembar Forrester di Puri Vagano pagi itu menikmati sarapan bersama keluarga mereka dalam posisi duduk yang sama seperti pesta tadi malam. Namun kejadian pecahnya kaca pelindung pedang terkutuk Dangerous Attraction, serta tentunya apa yang ia alami bersama kedua gadis itu, membuat Sang Bangsawan Muda tak merasa gembira.Ia nyaris tak makan apa-apa, hanya terdiam dengan pandangan kosong di depan sarapannya yang lezat. Kedua gadis Forrester yang duduk di kiri-kanannya pada sudut meja bertukar pandang keheranan, namun diam-diam masih suka mencuri pandang pada pemuda yang semalam ternyata begitu 'hot' bermesraan hingga mereka nyaris 'kebobolan'.Antara mereka berdua pun, sejak semalam agaknya timbul bibit-bibit persaingan yang tidak seperti biasanya. Sang Kakak, Kate, sepertinya mulai tak ingin kalah dengan adiknya, Katy. Ia begitu yakin bahwa Ocean juga tertarik padanya. Sebaliknya, Katy juga tak ingin mengalah begitu saja. Keduanya belum pernah berde
(POV Avalanche:) Aku harus segera menyelidiki dimana Emily tinggal saat ini dan siapa pria muda itu! Sungguh, aku tak tahan lagi! Walau para pakar dan ahli yang baik hati di White Nest memberikanku sugesti dan saran agar aku melupakan saja nama gadis yang sering kusebut-sebut seperti terobsesi dan selalu kujadikan satu-satunya bahan atau objek pemuasan keinginan pribadiku yang kotor dan terkutuk, namun, maaf, aku menyerah! Aku akui sejujurnya, 'to the bitter truth', bahwa aku tak bisa, dan takkan pernah bisa. Emily bagaikan cinta pertama, cinta monyet atau apalah istilahnya, yang tak mungkin bisa kulupakan begitu saja! Lekak-lekuk tubuhnya, siluet indahnya, semua warna dan visual saat pertama kali aku mengintipnya secara tak sengaja di Puri Vagano, takkan pernah terlupakan. Bagaimanapun aku berusaha keras dan terus mencoba untuk mensugesti diriku sendiri bahwa gadis itu bukan untukku, bukan jodohku, bukan siapa-siapaku! Kulitnya yang lembut, bagian-bagian raganya yang jelas berbed
(POV Avalanche:) Pagi itu juga, sekali lagi aku datang lebih cepat ke kafe agar bisa menunggu kedatangan Emily untuk ketiga kalinya. Kali ini kupastikan akan memperoleh jawabannya, apakah dugaanku itu betul atau tidak! Bila memang guru muda itu bukan Emily, mungkin aku akan kecewa, namun sekaligus lega! Karena masih ada kemungkinan Emily belum termiliki oleh siapapun. Dan seperti sudah 'keberuntunganku', pagi itu, pelanggan wanita yang sama datang lagi untuk menikmati kopi paginya. Namun kali ini ia tidak langsung masuk. Wajahnya terlihat gundah saat membaca pesan di telepon genggamnya. Sambil membuka pintu dengan sebelah tangan dan tangan lainnya memegang ponsel untuk menelepon, ia memulai pembicaraan yang cukup keras untuk kudengar. "Hai, Xander." Aku bertambah yakin itu suara Emily, namun aku tak ingin terburu-buru membuka identitasku. Segera kukenakan sebuah kacamata hitam yang sudah kusiapkan sedari kemarin. Ia tampak cantik dengan blus kerja dan rok sedang ala pegawai kant
(POV Erato:) Pagi itu aku sedikit terlambat bekerja, sementara tentu saja Barista kopi Avalanche sudah datang terlebih dahulu membuka kafe. M's Brew kebetulan masih sepi, jadi aku berlambat-lambat berjalan masuk, sementara pelanggan pertama kami baru saja hendak keluar. Oh, guru Evertown High wanita muda yang kemarin! Kali ini ia datang sendiri, dan juga keluar kafe hanya sendiri juga tanpa kekasihnya. Ada kegundahan di raut wajah cantiknya, seolah sedang memikirkan sesuatu. Sementara Barista Avalanche kulihat baru saja mengenakan pin namanya kembali di seragamnya. Kacamata hitam yang bertengger di wajah terburu-buru ia lepaskan. Entah mengapa tadi ia mengenakannya. Seperti biasa, tentu saja Avalanche si Pendiam tak menyapaku atau sekedar mengucapkan hai. "Hai, Avalanche. Selamat pagi. Sambutan yang ramah." panggilku dingin. "Oh, hai juga,"akhirnya ia menyahut. Nada suaranya sepertinya jauh dari riang. Ia juga tampak gelisah. Dibersihkannya gelas bekas pelanggan tadi, namun tanpa
Sudut Pandang / 'point-of-view' Avalanche : Seharian itu saat bekerja aku merasa tidak tenang, sepertinya aku begitu ingin segera pergi ke Evertown High dan menunggui Emily hingga ia selesai mengajar. Aku jarang keluar sendiri pada pagi dan malam hari di luar jam kerja maupun pada waktu luangku, namun sudut-sudut kota kecil ini mulai kukenal dengan baik. SMA satu-satunya terletak tak jauh dari M's Brew, hanya memerlukan sedikit waktu saja untuk berjalan ke sana. Maka siang itu juga, saat karyawan dan semua kru shift pertama kafe beristirahat, kuputuskan untuk meninggalkan sejenak tempat kerjaku. Kubuka dan kugantungkan celemek barista dan kulepas pin namaku, lalu kuambil jaket dan kacamata hitam serta topi pet yang kugunakan untuk menyembunyikan kunciran rambut cokelat panjangku. Sebelum Erato yang suka ikut campur itu sadar akan kepergianku, aku buru-buru menyelinap pergi. Kuputuskan untuk menungguinya dengan sabar di bawah sebatang pohon yang rindan