Intan diam-diam pergi dari sana, meninggalkan Bayu yang masih sibuk menelepon polisi untuk segera menangkapnya. Padahal belum sempat dirinya bertanya tentang luka yang di alami Bayu pada pelipisnya, belum sempat juga ia meleburkan rasa rindu yang amat menyesakkan dada. Harus setega inikah Bayu padanya? Apa semua itu karena Bayu yang sudah tidak mencintainya lagi? Atau karena wajahnya yang buruk rupa akibat sayatan benda tajam, hingga membuat Bayu merasa jijik untuk melihatnya? Intan berlari tanpa tujuan, dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti. Dendam itu terasa semakin dalam. Kinara sudah menghancurkan dirinya hingga menjadi seperti sekarang ini."Tunggu pembalasanku, Kinara!" geramnya.Sementara itu, Bayu yang baru selesai menelepon Polisi, begitu terkejut melihat Intan yang telah hilang dari sana."I-intan? Di mana dia?" Bayu mencari Intan ke semua sudut dengan begitu panik."Apa mungkin, dia mendengar aku menelfon Polisi lalu pergi?" gumam Bayu.Tak berselang lama, beberap
"Perut sialan!" Intan berlari ketika melihat sorot lampu senter yang mulai menyorot ke arahnya. Intan tau, jika ia terus meringkuk di sana, cepat atau lambat akan ketahuan juga. Intan berlari menerobos bilik bambu yang telah lapuk hingga jebol, berlari tanpa henti dengan sekuat tenaga. Bahkan tak sempat dirinya untuk memastikan, siapa sebenarnya yang telah menyorotkan lampu senter di sekitar gubuk tua itu, apakah benar seorang Polisi? Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah, lari secepat yang dia bisa.Sementara itu, Bapak-bapak tua pemilik sawah yang ternyata hendak mengusir tikus, hama yang selalu merusak tanaman padinya, di kejutkan dengan Intan yang secara tiba-tiba muncul dari dalam gubuk dengan menerobos bilik bambu miliknya. Bapak itu terlihat begitu terkejut, hingga tergelincir dan masuk ke dalam sawah yang berlumpur."Dasar orang gila sialan! Sudah merusak gubukku, Sekarang membuatku tercebur begini!" teriak Bapak-bapak tua itu dengan mengayun-ayunkan senternya.Sementara
Intan berlari secepat kilat, menuju toko yang sempat dia tempati untuk bermalam tempo hari lalu. Namun tak disangka, dua orang Bodyguard bertubuh besar masih berjaga di sana meski malam yang dirasa sudah cukup larut."Menurutmu, kenapa Tuan Arka meminta kita untuk berjaga di malam yang menurutku cukup sepi seperti ini?" Terdengar ucapan salah seorang Bodyguard yang tengah berbincang dengan Bodyguard lainnya."Entahlah, mungkin karena takut terjadi sesuatu pada, Nyonya," sahut salah seorang Bodyguard lainnya."Nyonya? Kenapa mereka memanggil Kinara dengan sebutan Nyonya?" gumam Intan setengah berbisik, sembari mengintip dari balik tembok tua tempatnya bersembunyi tempo hari lalu."Menurutmu, kenapa Tuan Arka mau menikahi seorang janda beranak satu? Padahal dia bisa memilih untuk menikahi seorang gadis yang belum pernah menikah sebelumnya.""Kenapa masih ditanya lagi?" ucap salah seorang Bodyguard yang menempeleng kepala temannya dengan pelan."Ya jelas karena Nyonya Kinara itu baik, ku
"Dia adalah wanita yang menguping pembicaraan Anda tempo hari," jelas Pak Toni. Kinara seketika terbelalak, mengingat wanita yang tempo hari menguping pembicaraannya dengan Arka di halaman toko adalah Intan."I-intan? Benarkah itu Intan?" ucapnya lirih, merasa tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya."Dia mencoba membakar toko kue dengan menyiramkan beberapa botol bensin pada halaman depan toko, beruntung kami bisa dengan cepat menghentikannya," jelas Pak Toni."Lalu, kenapa jadi dia yang terbakar?""Entahlah, Nyonya. Mungkin terkena korek api yang sebelumnya dilemparkannya ke toko, namun berhasil ditendang oleh Tono kembali padanya, mungkin itu yang akhirnya membuat bajunya terbakar," jelas Pak Toni dengan sebuah tebakan.Beberapa menit berlalu, hingga beberapa warga di sekitar mengerumuni lokasi kejadian. Sementara Intan tidak dapat dipastikan masih hidup atau sudah kehilangan nyawa. Mengingat, sekujur tubuhnya terkena luka bakar hingga sembilan puluh persen. Meski dalam k
Bayu mengawasi sekitarnya, namun tak ada tanda-tanda Kinara di sana. Apakah semua itu hanya ilusi yang dia ciptakan sendiri karena terlalu rindu dengan sang mantan istri?Bayu kembali tertunduk lesu, dia sadar jika semua itu hanya ilusi yang ia ciptakan untuk mengobati sedikit kerinduan yang menggebu dalam hati.Sementara itu, Kinara datang bersama Arka dan kedua Bodyguard ke kantor polisi untuk menjadi saksi dalam kasus pembakaran diri yang menimpa Intan tadi malam."Tck! Kenapa harus pakai saksi? Kan udah jelas penjelasan anak buahmu tadi malam, kalau wanita itu bunuh diri," ketus Arka dengan intonasi yang semakin meninggi, menghempaskan kuat kunci mobil ke atas meja."Astaga, Arka, ini tidak sesederhana itu," sahut Kepala Polisi dengan memijat pelipis.Kinara begitu cemas ketika Arka dengan lantang memaki seorang Kepala Polisi di hadapannya."Stt! Sayang, pelankan suaramu, itu seorang Jenderal Kepolisian, kenapa kamu tidak merasa takut sama sekali?" bisik Kinara pada calon suaminya
Kinara menarik paksa tangannya yang di usap oleh Arka, hingga menghentikan langkah kaki mereka."Kenapa nada bicaramu seperti itu pada Jenderal Kepolisian, jantungku hampir saja lepas karena ucapanmu," ketus Kinara pada Arka yang tidak merasa bersalah sedikit pun atas perlakuannya terhadap Kepala Polisi."Jangan di bawa serius, itu hanya sebuah ungkapan rindu dari teman lama," ucapnya datar."Apa?" Kinara menatap wajah datar Arka dengan penuh tanda tanya."Kamu bilang, ucapan kasar seperti itu hanya sebuah ungkapan kerinduan? Yang benar saja!" lanjutnya."Beneran," ucapnya meyakinkan Kinara."Jadi, kamu dan Jenderal itu benar-benar teman lama?" tanya Kinara begitu antusias, membuat Arka menatapnya penuh curiga."Kenapa? Jangan bilang kamu tertarik dengan ketampanannya yang menjijikkan itu," ketus Arka dengan menaruh curiga pada Kinara yang terus bertanya tentang hubungan mereka.Plak!Kinara memukul lengan Arka dengan keras, membuat Arka memekik kesakitan."Aww!""Curiga aja terus! Ke
"A-apa?" Arka tak kalah terkejutnya dengan Kinara, matanya seketika membulat sempurna mengetahui Intan yang telah berpulang kepada Sang Pencipta untuk selamanya."Apa, ini semua salahku?" gumam Kinara dalam keheningan, suaranya terdengar serak dengan tubuh yang mulai bergetar."Tidak! Kamu tidak bisa menyalahkan dirimu, semua itu akibat dari perbuatan bodohnya sendiri," ucap Arka dengan lantang, berharap dengan mendengar ucapannya, Kinara akan segera menyadari kenyataan yang sesungguhnya.Mulut Kinara mulai mengeluarkan isak tangis, namun kedua tangannya mencoba menghentikan itu dengan membekapkan tangannya ke mulutnya sendiri.Arka mendekap erat tubuh Kinara dalam pelukannya, merasa acuh tak acuh pada sekumpulan Dokter dan perawat yang masih memperhatikan mereka dari belakang.Arka kembali meraih ponsel dari dalam saku celananya, dan mencari kontak bernama Bayu di sana.Arka memandangi nomor itu untuk waktu yang cukup lama, hingga akhirnya memutuskan untuk menyambungkannya ke dalam p
Akhirnya Kinara bersedia untuk pulang atas permintaan Arka.Saat perjalanan pulang, Kinara terus terdiam, dengan matanya yang seakan tengah menerawang jauh menembus jendela mobil."Ra, masih kepikiran?" tanya Arka memastikan, dengan tangan yang masih sibuk mengemudikan mobilnya.Kinara terlihat menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaan Arka."Tidak.""Lalu kenapa diam saja?" tanya Arka dengan sesekali melirik Kinara yang masih menatap ke luar jendela."Aku lapar, dari pagi belum makan apa pun," rengeknya dengan menatap tajam ke arah Arka."Hehehe, aku hampir lupa kalau kita belum makan apa pun dari pagi," jawab Arka dengan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal."Kita cari makan di sekitar sini saja ya, kamu mau makan apa?" lanjutnya."Terserah kamu," ucap Kinara dengan santai, tangannya memegangi erat Nathan di atas pangkuannya."Nasi goreng bagaimana?""Tck! Masa siang-siang begini makan nasi goreng, yang lain dong," protes Kinara."Bakso aja gimana?""Nggak, yang lain aja," j
Tawa itu seketika menghilang, menyisakan kesunyian yang begitu mencekam. Raut wajah panik menyoroti seorang pria yang tengah terdiam, masih duduk di atas tempat tidur pasiennya. Sorot mata tajam itu terasa begitu mengiris, menatap lekat lantai rumah sakit yang berada di bawah tubuhnya."Sayang, ikutlah denganku besok, aku hanya ingin Nathan melihat wajah Ayah kandungnya untuk yang terakhir kali. Tidak ada maksud lain," ucap Kinara. Dirinya berusaha meyakinkan sang Suami yang masih meragukan kesetiaannya.Arka seketika mendongak. Menatap Kinara dengan wajah tak percaya. Mulut itu terasa kaku untuk sesaat, sampai akhirnya memutuskan sesuatu yang tidak dipercayai oleh semua orang. "Baiklah, besok kita pergi ke sana."Saking tidak percayanya, kedua Pengawal dan Risa saling bertukar pandang. Dengan tatapan penuh kebingungan.***Keesokan harinya. Setelah keluar dari rumah sakit. Arka dan Kinara segera berangkat menuju rumah sakit jiwa yang sebelumnya merawat Bayu. Mereka meninggalkan buah
Kinara berharap cemas, ketika mendengar suara langkah kaki beriringan yang semakin mendekati ruangannya. Tubuhnya terasa kaku untuk sekedar berdiri meminta pertolongan. Jahitan di bawah perut masih terasa begitu nyeri hingga menusuk tulang."Mbak Risa, tolong segera panggil Dokter. Arka pingsan," ucapnya dengan suara serak ketika mendapati seorang wanita yang ia kenal baru memasuki ruangan. Nampak seorang wanita cantik yang tengah menggendong anak laki-laki berusia dua tahun. Dua pria bertubuh besar di belakangnya pun ikut panik. Mereka berlari keluar ruangan untuk mencari bantuan dari tenaga medis yang bertugas di sana.Selang beberapa menit, ketiga orang itu kembali dengan seorang Dokter pria yang tengah mengekor di belakang mereka."Tolong bantu baringkan Pasien di tempat tidur, untuk memudahkan saya dalam memeriksa," ujar sang Dokter dengan nada panik.Kedua Pengawal Arka segera membaringkan tubuh atasannya di atas tempat tidur rumah sakit di samping Kinara. Setelahnya mereka berd
Arka membelalak. Risa tidak tahu bagaimana perasaan atasannya saat ini. Dengan kekhawatiran bercampur rasa takut yang amat sangat, bagaimana mungkin dirinya akan pulang meninggalkan sang Istri dan buah hatinya untuk sekedar beristirahat di rumah."Apa ada masalah, Pak?" tanya Risa khawatir saat melihat raut kebingungan dari wajah atasannya."Bisakah kamu menutup mulut? Lebih baik kamu pergi jemput Nathan dan bawa kemari," ucap Arka seraya memegangi kepalanya.Pria tampan dengan kemeja putih yang terlihat lusuh kini melangkah pasti menuju salah satu ruangan rawat di rumah sakit itu.Risa masih membeku di tempat, menatap iba pada punggung lebar sang atasan yang semakin menghilang dari pandangan matanya. Sorot mata penat terlihat begitu jelas dari sana.Wanita yang kini telah mendapatkan kembali kesadarannya, terlentang di atas ranjang rumah sakit dengan membuang muka ketika sang Suami datang menghampiri. Rasa sesak masih terasa memenuhi dada. Setelah pernikahan pertamanya yang kandas ak
Tatapan sendu bercampur dengan kekhawatiran yang terpancar dari wajah lelah itu, membuat Dokter sedikit merasa iba, hingga mengizinkan Arka untuk menemani sang istri yang tengah berjuang antara hidup dan mati ketika berusaha melahirkan buah hati mereka di meja operasi.Dengan pakaian serba hijau dan jaring penutup kepala, Arka berdiri di samping meja operasi. Menatap nanar wajah yang kini tengah terpejam erat. Emosi yang baru saja meledak-ledak mengakibatkan tekanan darah meningkat hingga terjadi eklamsia pada Kinara. Kondisi darurat di mana ibu hamil kehilangan kesadaran hingga mengalami kejang.Memori Arka seketika berputar mundur, mengingat penjelasan sang Dokter mengenai kondisi kesehatan sang Istri yang kini terbaring lemah di meja operasi. Eklamsia bisa membahayakan nyawa ibu dan bayi dalam waktu bersamaan.Arka berlutut menghadap kepala sang Istri, memegangi tangan Kinara yang tengah terlentang dengan erat."Kinara, bangunlah." Satu kalimat itu berulang kali ia ucapkan dengan l
"Tidak! Lepaskan aku! Aku membencimu!" Kinara berteriak kencang seraya memberontak. Ia tidak bisa mengendalikan diri akibat emosi yang membara dalam hati. Rasa nyeri akibat luka lama yang kembali terbuka mengalahkan rasa sakit pada kontraksi pertamanya. Masih terlintas jelas memori otaknya ketika mendapati Arka bermain api di belakang."Aku tidak akan melepaskanmu. Setelah ini aku janji akan menyelesaikan kesalah pahamanmu padaku."Meski kualahan dengan sang Istri yang terus meminta turun dari gendongannya, Arka tidak menyerah, kaki jenjangnya melangkah cepat menuju mobil yang terparkir di halaman perusahaan miliknya. Dengan nafas menderu, ia merasa acuh tak acuh pada beberapa karyawan yang menatapnya terheran-heran.Salah satu sorot mata, nampaknya mampu menerka hal yang begitu membuat sang atasan merasa panik. Hingga ia memutuskan untuk mengekor dengan langkah cepat dari belakang."Pak Arka, apakah Mbak Kinara akan melahirkan?" Terdengar suara panik dari seorang wanita yang dengan c
Drrttt ... Drrttt ....Suara getaran ponsel menghentikan aktivitas mereka. Arka dengan cepat menyambar ponsel yang tengah bergetar di atas meja kerjanya."Pak, Anda harus cepat pergi ke kantor, ada salah satu Klien yang meminta Anda untuk membahas masalah saham perusahaan secepatnya." Terdengar suara panik dari seorang pria dari seberang telepon.Arka dan Kinara terlihat saling bertukar pandang untuk sesaat."Baiklah, saya akan segera pergi ke sana," jawab Arka dengan perasaan gusar sebelum menutup sambungan telepon."Ada apa, Sayang?""Belakangan ini saham perusahaan tiba-tiba turun secara misterius. Banyak Investor yang meminta penjelasan. Aku harus segera pergi," jelas Arka dengan raut wajah panik. Pria itu dengan cepat bangkit dan menyambar kasar jas hitam yang tergantung di senderan meja kerjanya."Tapi kamu bahkan belum beristirahat semenit pun." Kinara menatap khawatir pada tubuh pria yang terlihat panik di depannya.Arka perlahan mendekatkan tubuhnya. Kedua tangannya memegangi
Kinara hanya tertawa kecil. Meski sang suami bersikap seperti itu, dirinya tetap merasa bersalah karena menambah beban pekerjaan untuk suaminya. "Apa kamu lelah? Setelah membersihkan kekacauan ini aku akan memijat punggungmu sebentar.""Tidak! Lebih baik sekarang kamu istirahat. Biarkan Pelayan saja yang melakukan pekerjaan ini."Wajah wanita itu seketika berubah setelah persekian detik. Sorot mata tajam ia layangkan pada suaminya, karena salah menangkap maksud ucapan dari Arka. "Jadi maksudmu, lebih baik Pelayan saja yang memijat punggungmu? Lalu untuk apa menikahiku jika semua bisa dikerjakan oleh Pelayan?"Arka terdiam sejenak sembari mencerna ucapan ketus dari sang istri yang tidak bisa ia tangkap dengan baik. Sikap Kinara terlalu sensitif semenjak kehamilannya. Menjadikannya sering kali berseteru dengan sang suami hanya karena salah menangkap maksud ucapan lawan bicaranya. "Memangnya aku ada salah bicara?""Huh! Sudahlah, aku tidak ingin berbicara denganmu hari ini," ketus Kinara
"Kenapa diam? Ayo tertawa lagi!" ucap Arka lantang dengan gestur menantang.Dua pria berbadan kekar itu seketika terdiam membisu. Tak ada sedikit pun keberanian untuk menampik ucapan sang atasan."Se-sebenarnya, Tuan, kami tidak memiliki saran apa pun untuk hal ini." ucap Tono dengan tubuh yang sedikit bergetar."Apa maksudmu?" Sorot mata tajam nan mengintimidasi mulai dilayangkan pada kedua pria di depannya."Begini, Tuan. Seorang Ibu hamil yang menginginkan sesuatu cenderung tidak bisa dibantah. Jika itu nekat dilakukan, hal itu akan menjadi bumerang bagi diri Anda sendiri."Sorot mata tajam itu kini berfokus menatap arah lain. Otaknya mencoba berpikir keras. Menerjemahkan bahasa yang sedikit tidak ia mengerti."Singkatnya begin, Tuan. Jika Anda menentang keinginan Nyonya, bisa saja Nyonya pergi dari rumah meninggalkan Anda. Karena perasaan hati Ibu hamil cenderung lebih sensitif," jelas Toni ketika berhasil mengumpulkan keberanian beberapa detik yang lalu.Arka membelalak, "Hah? Se
Setelah melakukan ritualnya hingga dua kali di dalam kamar mandi, akhirnya sepasang kaki itu berjalan keluar mendekati sang Istri yang terlihat meringkuk di balik selimut.Air hangat masih terlihat mengucur melalui kaki jenjangnya. Handuk putih masih melilit tubuh bagian bawahnya. Namun lagi-lagi sang Istri merasa enggan untuk didekati."Sayang, bisakah kamu tidur di kamar lain untuk malam ini? Aku benar-benar tidak tahan dengan aroma tubuhmu."Belum juga kedua kaki itu menaiki ranjang. Aktivitas itu sudah dihentikan oleh penolakan sang Istri yang meminta Arka untuk tidur di tempat lain."Astaga, Sayang. Aku sudah mandi, bahkan ini sudah yang ke dua kali loh! Kamu mau aku bagaimana lagi?" pekik Arka frustasi. Kedua tangannya mengacak rambutnya kasar."Sayang, maafkan aku. Tapi sepertinya Anak kamu tidak menyukai aroma tubuh Papanya."Duar!Kalimat itu seolah membuat Arka bagaikan disambar petir di siang bolong. Matanya membelalak, ada perasaan tak percaya dengan apa yang baru saja mem