Kinara dengan terpaksa mengikuti perintah Arka untuk segera memasuki mobilnya."Kenapa kamu bisa tiba-tiba berada di pasar?" tanya Kinara penasaran, membuat Arka mendadak membeku seketika.'Haduh! aku hampir lupa, seharusnya aku tidak turun dari mobil. Sekarang aku harus beralasan apa? tidak mungkin kan, kalau aku mengaku telah mengikutinya dari tadi' batin Arka dalam hati."Arka! apa kamu mengikutiku? dan kamu juga yang dengan iseng menaruh buket bunga di depan pintuku?" ucap Kinara dengan nada menginterogasi yang kental. Rasa penasarannya tiba-tiba membawanya memikirkan kembali buket bunga yang tergeletak di depan pintunya pagi ini.Mendengar kecurigaan Kinara, Arka semakin terkejut, kenapa Kinara seakan bisa menebak apa yang telah di lakukannya pagi ini? apakah sebenarnya Kinara sudah mengetahui semuanya?"Tidak! aku tidak mengikutimu. Aku juga tidak tahu tentang buket bunga!" Arka terus berdalih untuk menutupi semua kebohongannya. Hal itu dilakukannya semata-mata hanya agar Kinara
Satu minggu kemudian.Kinara kembali menemukan sebuket bunga yang lagi-lagi tergeletak di depan pintunya. Ini sudah yang kesekian kalinya, bahkan kartu ucapan itu masih tertulis kalimat yang sama. Kinara kembali meletakkan buket bunga itu di atas lemarinya yang hampir penuh dengan buket bunga."Haduh! sudah tidak muat, harus ditaruh di mana ya? sayang sekali jika harus dibuang, buket ini bagus." Kinara mencoba berpikir keras, hingga akhirnya dirinya menemukan sebuah ide. Kinara meletakkan beberapa buket bunga di setiap sudut tokonya. Membuat toko kue itu menjadi lebih indah dengan bunga-bunga."Nah! begini kan lebih baik," ucap Kinara sembari berkacak pinggang memperhatikan tokonya yang dihiasi dengan bunga-bunga.Ting .. Ting ..Bunyi gemerincing lonceng kecil yang diletakkan Kinara di atas pintu, menandakan seorang pelanggan yang datang.Kinara bergegas untuk menyambut pelanggannya, namun seseorang yang tengah berdiri di ambang pintu, berhasil mengejutkannya. Langkahnya terhenti sek
Kinara menatap Bayu yang terus tertunduk. Hati nuraninya merasa iba, meski tahu jika semua yang terjadi kali ini adalah sebuah bayaran atas semua perbuatan Bayu di masa lalu."Pulanglah dulu, Mas! Nathan hari ini sedikit tidak enak badan, lain kali saja temui dia lagi," ucap Kinara lirih, membuat manik sendu itu kembali menatap ke arahnya. Meski kebencian itu masih tertancap kuat dalam hati, namun dirinya tidak ingin bersikap egois. Mungkin ada yang namanya mantan suami, tapi tidak akan pernah ada yang namanya mantan ayah, Kinara tidak ada niatan sedikitpun untuk memisahkan Bayu dan buah hatinya. Terlebih, di usia Nathan yang baru menginjak satu tahun, dirinya membutuhkan sosok figur seorang ayah dalam kesehariannya."Iya, aku akan pulang." Bayu kembali memaksakan garis lengkung di bibirnya, namun raut kekecewaan tak bisa disembunyikan dari sana. Bayu menghampiri Nathan yang berada di gendongan Arka. Menoel pelan pipi gembul milik sang buah hati, namun lagi-lagi di tepis oleh Nathan y
Malam harinya.Kinara baru saja hendak menutup toko kue miliknya. Namun berhasil dikejutkan dengan kedatangan Arka yang secara tiba-tiba berada di sampingnya."Astaga Arka! kenapa mengagetkanku seperti ini!?" Kinara beberapa kali terlihat mengelus dada."Biar aku saja yang tutup tokonya! kamu pergi siap-siap!" ucap Arka merebut rolling door yang hendak di tarik oleh Kinara."Makan malamnya sekarang?" tanya Kinara polos, membuat Arka seketika menoleh ke arahnya."Ya iya! emangnya kapan? besok!? Kamu nggak lihat aku udah rapi begini!?" Arka terlihat begitu kesal dengan Kinara yang berpura-pura lupa dengan ajakan makan malamnya."Harus dandan ya? begini aja boleh nggak?""Nggak-nggak! aku udah ganteng begini, masak kamu ucel-ucelan begitu!" Arka mendorong tubuh Kinara agar segera memasuki tokonya.Kinara dengan terpaksa menuruti perintah Arka yang menyuruhnya untuk berdandan.Seperempat jam kemudian.Kinara keluar dengan mengenakan dress merah muda selutut, dengan rambutnya yang tergerai
"Kamu tidak apa-apa? minumlah dulu!" Arka dengan cepat menepuk punggung Kinara yang tengah tersedak. Kinara mencoba mengatur nafasnya yang tersengal. Sementara Arka dengan sabar menunggu Kinara hingga merasa baikan."Ra! Menikahlah denganku!" Arka mengulang kembali kalimatnya, agar Kinara bisa mendengar pernyataan cintanya dengan baik. Namun tidak sesuai harapan, Kinara hanya tertunduk, terdiam, telinganya seakan tuli."Kinara?" Arka kembali memastikan jika Kinara telah mendengar ucapannya."Arka! aku minta maaf. Sepertinya aku tidak bisa," ucap Kinara lirih, menatap manik hitam pekat yang tengah berhadapan dengannya. Arka membeku seketika, benarkah apa yang didengarnya saat ini? apakah ini sebuah penolakan yang diucapkan Kinara padanya?"Kenapa Ra?" tanya Arka lirih, lirih sekali, hingga Kinara hampir tak mendengarnya. Tubuhnya terasa bergetar begitu hebat, ada gejolak dalam hati yang terus meronta. Kenapa harus seperti ini? apakah dirinya tidak pantas mendapatkan cinta sejati untuk
Arka tidak henti-hentinya menyemangati diri sendiri.Sementara itu, kelap-kelip bintang di langit yang tadinya menyinari gelapnya malam, secara tiba-tiba tertutup awan pekat, angin pun bertiup cukup kencang, membuat balon-balon di sekeliling mereka beterbangan tanpa arah. Gerimis pun mulai menghujani mereka. Dengan sigap, Arka bergegas menggendong Nathan untuk berteduh di bawah tangga, diikuti Kinara yang berlari di belakang sembari menenteng troller."Apa Nathan tidak apa-apa?" ucap Kinara panik, memastikan kondisi sang putra yang masih berada dalam dekapan Arka. Kinara begitu khawatir karena tidak mendengar suara dari sang putra. Namun ternyata, Nathan tertidur pulas dalam pelukan Arka, membuat Kinara bernafas lega."Hahaha .. apa cara Nathan tidur itu turunan darimu?" ejek Arka ketika mulut Nathan yang tertidur lelap mengeluarkan air liur, dan mendengkur cukup keras, tidak seperti bayi pada umumnya."Mana ada! aku tidur seperti putri tidur dalam dongeng, cantik sekali." Kinara seak
"Sudahlah! pompa saja dulu! aku akan memikirkan caranya, kamu temani Kinara! aku akan pergi keluar sebentar," ucap Arka melangkah pergi dengan tangan yang terus memijat kening.Sementara Risa tidak berhenti menatap Kinara yang saat ini tengah berhadapan dengannya. Dirinya begitu terkejut ketika mengetahui hubungan Kinara dengan atasannya, Arka. Bahkan Kinara tidak segan untuk memukul atau mencubit Arka di depannya. Padahal yang dia tahu, Arka adalah sosok yang begitu menyeramkan di kantor, dirinya tidak segan untuk segera memecat karyawan yang melakukan kesalahan sekecil apapun. Menuntut semua pekerjanya untuk melakukan semua tugas darinya dengan sempurna. Seperti seorang perfeksionis. Dirinya bersikap begitu angkuh, dingin, dan keras. Namun hal itu tidak menenggelamkan sosok gagah berwibawa, dengan aura yang terpancar, begitu menyilaukan darinya."Mbak?" Kinara melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Risa yang hampir tidak berkedip memandangi Kinara. Risa bahkan hampir tidak meng
Kinara mendorong paksa tubuh Arka yang tengah berbaring di sampingnya dengan kasar."Pergi!" Kinara melayangkan tatapan nyalang pada Arka yang terdiam di sampingnya."Kamu bilang boleh tidur di sini? Kenapa sekarang aku diusir?""Hey, Pak Arka, apakah Anda ini tidak mengerti bahasa manusia?" ejek Kinara, dengan tatapan sinis yang dilayangkan pada Arka."Tidak, aku ini dari planet mars, apakah kamu bisa berbicara dengan bahasa planet mars, makhluk bumi?" Arka berbalik mengejek Kinara, dengan nada bicara yang dibuat-buat seperti robot, membuat Kinara tertawa lepas sembari memukulkan bantal pada Arka yang berusaha menghindar.Tok! Tok! Tok!"Pak Arka, ini saya, Risa. Apakah saya boleh masuk?" Terdengar suara seorang wanita yang baru saja mengetuk pintu ruangan pribadi Arka."Masuklah!" Arka berdiri, lalu berjalan kembali menuju sofa panjangnya yang berwarna merah. Perlahan pintu mulai terbuka, nampak seorang wanita cantik keluar dari sana. Dengan tangannya yang membawa sekantung kresek h
Tawa itu seketika menghilang, menyisakan kesunyian yang begitu mencekam. Raut wajah panik menyoroti seorang pria yang tengah terdiam, masih duduk di atas tempat tidur pasiennya. Sorot mata tajam itu terasa begitu mengiris, menatap lekat lantai rumah sakit yang berada di bawah tubuhnya."Sayang, ikutlah denganku besok, aku hanya ingin Nathan melihat wajah Ayah kandungnya untuk yang terakhir kali. Tidak ada maksud lain," ucap Kinara. Dirinya berusaha meyakinkan sang Suami yang masih meragukan kesetiaannya.Arka seketika mendongak. Menatap Kinara dengan wajah tak percaya. Mulut itu terasa kaku untuk sesaat, sampai akhirnya memutuskan sesuatu yang tidak dipercayai oleh semua orang. "Baiklah, besok kita pergi ke sana."Saking tidak percayanya, kedua Pengawal dan Risa saling bertukar pandang. Dengan tatapan penuh kebingungan.***Keesokan harinya. Setelah keluar dari rumah sakit. Arka dan Kinara segera berangkat menuju rumah sakit jiwa yang sebelumnya merawat Bayu. Mereka meninggalkan buah
Kinara berharap cemas, ketika mendengar suara langkah kaki beriringan yang semakin mendekati ruangannya. Tubuhnya terasa kaku untuk sekedar berdiri meminta pertolongan. Jahitan di bawah perut masih terasa begitu nyeri hingga menusuk tulang."Mbak Risa, tolong segera panggil Dokter. Arka pingsan," ucapnya dengan suara serak ketika mendapati seorang wanita yang ia kenal baru memasuki ruangan. Nampak seorang wanita cantik yang tengah menggendong anak laki-laki berusia dua tahun. Dua pria bertubuh besar di belakangnya pun ikut panik. Mereka berlari keluar ruangan untuk mencari bantuan dari tenaga medis yang bertugas di sana.Selang beberapa menit, ketiga orang itu kembali dengan seorang Dokter pria yang tengah mengekor di belakang mereka."Tolong bantu baringkan Pasien di tempat tidur, untuk memudahkan saya dalam memeriksa," ujar sang Dokter dengan nada panik.Kedua Pengawal Arka segera membaringkan tubuh atasannya di atas tempat tidur rumah sakit di samping Kinara. Setelahnya mereka berd
Arka membelalak. Risa tidak tahu bagaimana perasaan atasannya saat ini. Dengan kekhawatiran bercampur rasa takut yang amat sangat, bagaimana mungkin dirinya akan pulang meninggalkan sang Istri dan buah hatinya untuk sekedar beristirahat di rumah."Apa ada masalah, Pak?" tanya Risa khawatir saat melihat raut kebingungan dari wajah atasannya."Bisakah kamu menutup mulut? Lebih baik kamu pergi jemput Nathan dan bawa kemari," ucap Arka seraya memegangi kepalanya.Pria tampan dengan kemeja putih yang terlihat lusuh kini melangkah pasti menuju salah satu ruangan rawat di rumah sakit itu.Risa masih membeku di tempat, menatap iba pada punggung lebar sang atasan yang semakin menghilang dari pandangan matanya. Sorot mata penat terlihat begitu jelas dari sana.Wanita yang kini telah mendapatkan kembali kesadarannya, terlentang di atas ranjang rumah sakit dengan membuang muka ketika sang Suami datang menghampiri. Rasa sesak masih terasa memenuhi dada. Setelah pernikahan pertamanya yang kandas ak
Tatapan sendu bercampur dengan kekhawatiran yang terpancar dari wajah lelah itu, membuat Dokter sedikit merasa iba, hingga mengizinkan Arka untuk menemani sang istri yang tengah berjuang antara hidup dan mati ketika berusaha melahirkan buah hati mereka di meja operasi.Dengan pakaian serba hijau dan jaring penutup kepala, Arka berdiri di samping meja operasi. Menatap nanar wajah yang kini tengah terpejam erat. Emosi yang baru saja meledak-ledak mengakibatkan tekanan darah meningkat hingga terjadi eklamsia pada Kinara. Kondisi darurat di mana ibu hamil kehilangan kesadaran hingga mengalami kejang.Memori Arka seketika berputar mundur, mengingat penjelasan sang Dokter mengenai kondisi kesehatan sang Istri yang kini terbaring lemah di meja operasi. Eklamsia bisa membahayakan nyawa ibu dan bayi dalam waktu bersamaan.Arka berlutut menghadap kepala sang Istri, memegangi tangan Kinara yang tengah terlentang dengan erat."Kinara, bangunlah." Satu kalimat itu berulang kali ia ucapkan dengan l
"Tidak! Lepaskan aku! Aku membencimu!" Kinara berteriak kencang seraya memberontak. Ia tidak bisa mengendalikan diri akibat emosi yang membara dalam hati. Rasa nyeri akibat luka lama yang kembali terbuka mengalahkan rasa sakit pada kontraksi pertamanya. Masih terlintas jelas memori otaknya ketika mendapati Arka bermain api di belakang."Aku tidak akan melepaskanmu. Setelah ini aku janji akan menyelesaikan kesalah pahamanmu padaku."Meski kualahan dengan sang Istri yang terus meminta turun dari gendongannya, Arka tidak menyerah, kaki jenjangnya melangkah cepat menuju mobil yang terparkir di halaman perusahaan miliknya. Dengan nafas menderu, ia merasa acuh tak acuh pada beberapa karyawan yang menatapnya terheran-heran.Salah satu sorot mata, nampaknya mampu menerka hal yang begitu membuat sang atasan merasa panik. Hingga ia memutuskan untuk mengekor dengan langkah cepat dari belakang."Pak Arka, apakah Mbak Kinara akan melahirkan?" Terdengar suara panik dari seorang wanita yang dengan c
Drrttt ... Drrttt ....Suara getaran ponsel menghentikan aktivitas mereka. Arka dengan cepat menyambar ponsel yang tengah bergetar di atas meja kerjanya."Pak, Anda harus cepat pergi ke kantor, ada salah satu Klien yang meminta Anda untuk membahas masalah saham perusahaan secepatnya." Terdengar suara panik dari seorang pria dari seberang telepon.Arka dan Kinara terlihat saling bertukar pandang untuk sesaat."Baiklah, saya akan segera pergi ke sana," jawab Arka dengan perasaan gusar sebelum menutup sambungan telepon."Ada apa, Sayang?""Belakangan ini saham perusahaan tiba-tiba turun secara misterius. Banyak Investor yang meminta penjelasan. Aku harus segera pergi," jelas Arka dengan raut wajah panik. Pria itu dengan cepat bangkit dan menyambar kasar jas hitam yang tergantung di senderan meja kerjanya."Tapi kamu bahkan belum beristirahat semenit pun." Kinara menatap khawatir pada tubuh pria yang terlihat panik di depannya.Arka perlahan mendekatkan tubuhnya. Kedua tangannya memegangi
Kinara hanya tertawa kecil. Meski sang suami bersikap seperti itu, dirinya tetap merasa bersalah karena menambah beban pekerjaan untuk suaminya. "Apa kamu lelah? Setelah membersihkan kekacauan ini aku akan memijat punggungmu sebentar.""Tidak! Lebih baik sekarang kamu istirahat. Biarkan Pelayan saja yang melakukan pekerjaan ini."Wajah wanita itu seketika berubah setelah persekian detik. Sorot mata tajam ia layangkan pada suaminya, karena salah menangkap maksud ucapan dari Arka. "Jadi maksudmu, lebih baik Pelayan saja yang memijat punggungmu? Lalu untuk apa menikahiku jika semua bisa dikerjakan oleh Pelayan?"Arka terdiam sejenak sembari mencerna ucapan ketus dari sang istri yang tidak bisa ia tangkap dengan baik. Sikap Kinara terlalu sensitif semenjak kehamilannya. Menjadikannya sering kali berseteru dengan sang suami hanya karena salah menangkap maksud ucapan lawan bicaranya. "Memangnya aku ada salah bicara?""Huh! Sudahlah, aku tidak ingin berbicara denganmu hari ini," ketus Kinara
"Kenapa diam? Ayo tertawa lagi!" ucap Arka lantang dengan gestur menantang.Dua pria berbadan kekar itu seketika terdiam membisu. Tak ada sedikit pun keberanian untuk menampik ucapan sang atasan."Se-sebenarnya, Tuan, kami tidak memiliki saran apa pun untuk hal ini." ucap Tono dengan tubuh yang sedikit bergetar."Apa maksudmu?" Sorot mata tajam nan mengintimidasi mulai dilayangkan pada kedua pria di depannya."Begini, Tuan. Seorang Ibu hamil yang menginginkan sesuatu cenderung tidak bisa dibantah. Jika itu nekat dilakukan, hal itu akan menjadi bumerang bagi diri Anda sendiri."Sorot mata tajam itu kini berfokus menatap arah lain. Otaknya mencoba berpikir keras. Menerjemahkan bahasa yang sedikit tidak ia mengerti."Singkatnya begin, Tuan. Jika Anda menentang keinginan Nyonya, bisa saja Nyonya pergi dari rumah meninggalkan Anda. Karena perasaan hati Ibu hamil cenderung lebih sensitif," jelas Toni ketika berhasil mengumpulkan keberanian beberapa detik yang lalu.Arka membelalak, "Hah? Se
Setelah melakukan ritualnya hingga dua kali di dalam kamar mandi, akhirnya sepasang kaki itu berjalan keluar mendekati sang Istri yang terlihat meringkuk di balik selimut.Air hangat masih terlihat mengucur melalui kaki jenjangnya. Handuk putih masih melilit tubuh bagian bawahnya. Namun lagi-lagi sang Istri merasa enggan untuk didekati."Sayang, bisakah kamu tidur di kamar lain untuk malam ini? Aku benar-benar tidak tahan dengan aroma tubuhmu."Belum juga kedua kaki itu menaiki ranjang. Aktivitas itu sudah dihentikan oleh penolakan sang Istri yang meminta Arka untuk tidur di tempat lain."Astaga, Sayang. Aku sudah mandi, bahkan ini sudah yang ke dua kali loh! Kamu mau aku bagaimana lagi?" pekik Arka frustasi. Kedua tangannya mengacak rambutnya kasar."Sayang, maafkan aku. Tapi sepertinya Anak kamu tidak menyukai aroma tubuh Papanya."Duar!Kalimat itu seolah membuat Arka bagaikan disambar petir di siang bolong. Matanya membelalak, ada perasaan tak percaya dengan apa yang baru saja mem