Hari-hari yang kulalui bersama Xaferius adalah masa yang menyenangkan sekaligus menggelincir dengan cepat. Aku tidak mengerti mengapa waktu berputar dalam siklus yang begitu laju bagi orang-orang yang sedang menikmatinya. Teori itu terbukti pada kami—aku duduk di tengah-tengah kendaraan roda empat jenis SUV ikonik keluaran terbaru beratap terbuka milik Xaferius sekarang.
Kami semua telah sepakat pergi ke Pantai Ayrshire atas saran Lucas. Xaferius ikut mengiyakan sebab pantai itu merupakan salah satu yang terbaik di Skotlandia dan mempunyai akses mudah ke sana. Kami bergerak dengan beberapa iringan. Mustahil bagi sepuluh anggota werewolf akan muat hanya dalam satu mobil, bukan?
Adaire, Shaunn, dan Simon ikut bersama kami, sementara Matthew, Lu
“Aldrich?”Aku hanya yakin satu hal—indra penglihatanku masih bekerja dengan baik. Itu adalah Aldrich—dan dia tak sendiri. Ada tiga sosok lain bersamanya; dua orang pria yang belum pernah kulihat sebelumnya juga seorang wanita yang mengamuk padaku di rumah sakit tempo lalu. Aku mencoba mengingat namanya, tetapi otakku memang mahir melupakan sesuatu yang bukan menjadi prioritas untuk kusimpan dalam memori.Samantha.Sasha.Sa...Sarah.Aku ingat sekarang. Dia Sarah. Apa yang mereka lakukan
“Omong-omong, apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Simon yang mencoba mencairkan suasana di antara kami. “Bukankah ini tempat umum?” balas Sarah yang seketika meninggikan nadanya. “Chill, Sarah. Kau tidak perlu mengeraskan suaramu,” tegur Aldrich yang melayangkan pandangannya pada wanita itu. Sarah menggertakkan gigi, lantas melengos pergi menuju pondok. Apa dia selalu bersikap temperamen seperti itu? Aku benar-benar tak menyukainya dan aku pun yakin jika dia punya perasaan yang sama terhadapku—dia juga tak menyukaiku. Wanita itu tak perlu repot-repot mendeklarasikan kebenciannya padaku sebab tatapan yang dimilikinya telah menggambarkan semua hal; barangkali dia selalu berharap ak
Ciuman keduaku bersama Aldrich kembali terjadi. Cepat. Tepat. Penuh rindu. Dia menumpahkan seluruh perasaannya di cumbuan itu dan aku tahu aku seharusnya memukul—atau mematahkan hidungnya saja seperti yang Xaferius pernah minta padaku. Namun, aku justru membiarkan pria itu menjamah bagian dari wajahku.Barangkali, aksinya yang tiba-tiba sudah membuat otakku kehilangan fungsinya untuk merespons dan saat reaksi yang harus kutunjukkan hadir, suara kesiap spontan keluar dari mulutku. Kaki kananku refleks terangkat—bergerak menuju satu sasaran yang berada di tengah-tengah tubuhnya; selangkangan Aldrich. Aku menendang aset kebanggaannya sekeras yang kumampu hingga pria itu mengumpat, lantas melepaskan tautannya di bibirku.Gotcha, you pea
Suasana hatiku memburuk tanpa sebab—aku tahu alasannya, tetapi hanya enggan membaginya. Aku baru saja selesai merangkai beberapa buket sederhana untuk dipajang. Hari ini toko bungaku cukup ramai, ada sejumlah pesanan yang harus kukirim nanti sore. Itu secara tak langsung membuat perhatianku teralih ke hal-hal lain yang memang harus dikerjakan.Sejak kembali dari pantai kemarin sore, aku lagi-lagi dihantui mimpi buruk—isinya kebanyakan berupa potongan masa kecilku, sementara sisanya tentang Aldrich. Mengapa nama itu terus-menerus muncul dalam kepalaku? Aku menggertakkan gigi, lantas meraup kasar sekuntum bunga mawar putih yang masih segar di dalam vas dengan maksud memindahkannya ke tempat lain.Aku sontak mengaduh setelah salah satu durinya berhasil menusuk dan melukai jari tengahku. Setitik darah kemudian merembes dari l
Sepasang mataku seketika melebar sesaat setelah Rowan memamerkan deretan kukunya yang runcing. Dia bergerak maju mendekati posisiku, sementara aku beringsut mundur ke belakang. Senyum keji di sudut bibirnya terbit; garis ekspresif yang menampilkan seringai dendam.“Ro-Rowan? Apa yang kau lakukan?”“Bunuh dia,” bisik Sarah yang memberi dukungan penuh pada Rowan untuk beraksi.Habislah, pikirku. Apa aku akan benar-benar menjemput takdirku sekarang? Aku mempercepat langkah mundurku, berharap tindakan itu dapat membantuku terlepas dari ancaman bahaya. Namun, sesuatu membentur salah satu kakiku—membuatku tersandung dan terjerembap ke atas lantai.Aku menahan pekikanku menjadi geraman pendek
Aku sedang duduk di balkon sekarang—memandangi bulan yang naik lebih tinggi di ujung langit, sementara bintang bertaburan seperti batu permata. Xaferius baru saja selesai mengoleskan obat dengan jenis salep pada leherku, agak perih, tetapi memberikan efek dingin yang seketika menyirami kulitku yang tergores setelah beberapa menit berlalu. Bukan tipe luka yang serius, tetapi pria itu masih sangat marah.Pertama kali datang, Xaferius terus menggertakkan giginya berulang kali dan menghancurkan dua buah guci bernilai fantastis di ruang tamu. Benda yang dibelinya secara khusus dari Negeri Tirai Bambu itu spontan pecah berkeping-keping, mengotori seluruh ruangan di lantai dasar. Dia melampiaskan emosinya pada barang malang itu—menyuruhku masuk ke kamar hingga perasaannya stabil, kemudian menyusul dan membantu membersihkan cedera yang kualami.
Aku tak bisa tidur—sungguh, hal sesederhana itu justru tak mampu kulakukan sekarang, seolah-olah memejamkan mata merupakan aktivitas yang berat untukku. Aku bukan tipikal orang yang suka begadang apalagi pengidap insomnia. Aku yakin Xaferius pun merasakan perihal yang sama dengan yang kurasakan.Jam dinding menunjuk ke angka tiga waktu dini hari, tetapi Xaferius juga masih belum kembali ke kamar. Ada rasa enggan yang memuncak di dadaku—aku tak ingin menyusul pria itu di ruang kerjanya atau ruang mini barnya hanya untuk melihatnya marah. Dia bukan Xaferius Black yang kukenal dalam kondisi itu.Aku beringsut ke samping ranjang yang menimbulkan bunyi gemeresik pendek, lantas duduk dan menyisir rambutku dengan jemari—memikirkan sesuat
Aku tertidur setelah pukul sembilan pagi—sendiri, Xaferius sudah berangkat ke kantor sejak tadi. Kami berdua mendadak melakukan perang dingin—tanpa menyapa apalagi bicara. Durasi tidurku menjadi terpengaruh dan berantakan, aku terbangun dua jam kemudian karena hal yang sama; mimpi buruk.Aku pun beranjak dari ranjang, merendam tubuhku di bathub dan menolak semua pelayanan yang ditawarkan oleh para pelayan Xaferius—mengunci pintunya dari dalam agar mereka tak merecokiku dengan sejuta pertanyaan tentang jenis menu sajian apa yang ingin kumakan atau jenis pakaian apa yang ingin kukenakan, seolah-olah aku merupakan sang putri dari suatu negeri yang harus terus-menerus dilayani.Aku muak.
Alisku secara otomatis bertaut mendengarnya dan Aldrich lagi-lagi meneruskan, “Aku dilukai oleh perasaan rinduku, Anna. Itu sangat menyiksa.”Aku mendongakkan kepala lebih tinggi—memandang tanpa kedip ke dalam rona kelam di sepasang irisnya, lantas berpaling dengan cepat. Mengapa Aldrich harus mengatakan sesuatu yang juga melukaiku sekarang? Seolah-olah aku dan pria itu punya raga yang sama—jika dia sakit, maka aku juga akan merasa seperti itu.“Kau membuang muka. Apa kau membenciku? Atau apa wajahku tidak menarik untuk kau tatap?” gumamnya lagi dengan nada parau.Apa yang Aldrich pikirkan? Membencinya? Bagaimana mungkin aku membenci pria yang juga menjadi bagian diriku? Bukankah kau tak akan membenci salah satu anggota tubuhmu? Itulah mak
Hawa dingin dan salju sama sekali bukan iklim yang kusuka. Rasa-rasanya satu tiupan angin—dari sisi mana saja—mampu membekukan seluruh tulangku. Kebosanan pun mendadak melanda selama beberapa hari terakhir. Aku menutup toko bungaku sekitar dua jam lebih awal setiap akhir pekan—sama seperti sekarang—agar aku punya lebih banyak kesempatan untuk menikmati kebersamaanku dengan Xaferius. Namun, sore itu aku memutuskan untuk pergi ke supermarket. Bukan duduk manis menunggu kekasihku pulang seperti biasanya. Aku mulai bosan dilayani sepanjang waktu. Jadi, kuputuskan untuk berhenti menjadi Cinderella dalam dua atau tiga jam berikutnya. Aku juga ingin melihat-lihat keluar sekaligus mengambil waktu untuk diriku sendiri. Kegiatan yang sudah sangat jarang kulakukan. Jarak dari lok
“Apa konsep yang kau inginkan untuk acara pernikahan kita minggu depan, Anna?” tanya Xaferius setelah kami selesai mengakhiri dua sesi maraton penuh gairah itu.“Minggu depan? Yang benar saja. Aku tidak ingin melihat para tamuku membeku di iklim sedingin ini.”“Kupikir kau lebih suka mempercepat waktunya daripada memikirkan cuaca.”“Aku memang ingin secepatnya mengubah status kita menjadi Tuan dan Nyonya, tetapi kita juga harus mempertimbangkan beberapa kondisi. Aku lebih suka membuat acara di bawah hamparan langit terbuka dengan nuansa musim semi daripada harus terkurung di dalam ruangan tertutup.”Xaferius kemudian mengerutkan kening dan menyahut, “Musim semi?
Aku kembali dari suasana kejutan lamaran ke suasana penuh gairah yang melalap habis tubuhku di dalam kungkungan Xaferius. Jenis percikan hasrat yang selalu kujumpai di matanya untukku. Letupan yang rasanya tak akan pernah mampu tergantikan oleh apa atau siapa pun.Xaferius adalah canduku. Embusan napas panasnya seperti pemantik yang sukses menuntun insting liarku untuk membuatnya berubah menjadi dengusan kasar oleh aksi penyatuan kami. Pria itu merupakan obsesi terbaik sekaligus terbesarku.Kini aku dan Xaferius terikat sebagai jiwa yang saling berbagi energi satu sama lain. Dia seseorang yang lebih dari sekadar mate atau pasangan bagiku. Hubungan kami telah mencapai tahap jika aku kehilangan dirinya, maka artinya sama dengan memotong dua kakiku ju
“Menikahlah denganku, Anna.”Untuk sesaat aku merasa seperti orang idiot—linglung. Apa kejutan yang Xaferius maksud adalah lamaran? Atau platina memang sudah menjadi bagian dari pembawa keberuntungan yang dia bicarakan sebelumnya?Aku memandangi cincin itu dengan debar yang tak kunjung henti melaju di dadaku. Benda itu sangat indah—kelewat mewah malah, permatanya terbuat dari berlian—intan yang diasah hingga memendarkan kemilau menawan di semua sudutnya—yang menyilaukan mataku setiap kali meliriknya.Namun, itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Taring—mengilap dan sedikit lebih besar daripada milik Aldrich—itu sukses merebut semua pengendalian diriku untuk menyentuhnya. Jemariku kemudian terulur menelusuri setiap
“Apa itu?” gumamku yang otomatis mendekat ke tubuh Xaferius untuk mencari perlindungan dari sesuatu yang sedang mengintai di sana.Ketegangan kembali melapisi dadaku setelah sekian lama tertidur lelap dari antrean masalah masa silam. Aku menelan ludah dengan susah payah dan mundur dengan langkah teratur ke belakang punggung Xaferius. Namun, para kawanan justru terlihat bingung dengan sikapku.Kini Lucas berbalik menertawakanku dan berujar, “Mengapa kau takut pada platina?”“Pla-platina?”“Apa kau tidak tahu platina?” tanya Tavish yang juga menertawakanku.Keningku spontan berkerut heran dan kembali bertanya pa
“Apa kau siap, Anna?” tanya Xaferius yang mengumbar senyumnya padaku.Aku kemudian mengangguk dengan gerakan mantap. Xaferius bersama para kawanan yang lain serta-merta menjauh—mengambil jarak aman—dariku. Dalam sekejap, mereka pun bertransformasi menjadi sosok serigala yang tangguh seperti biasanya.Fenomena itu hanya berlangsung dalam waktu sekian detik. Cepat sekaligus mencengangkan. Para hewan berkaki empat itu mendengking, lantas melonjak dengan lompatan yang penuh semangat. Rasa antusias yang sama seketika menyebar ke sekujur tubuhku—menjalar dan menetap—di sepanjang petualangan yang baru saja akan dimulai.Aku menghela napas dan mencoba mempersiapkan diri untuk sesuatu yang lagi-lagi terasa meleburkan seluruh gentar yang sehar
Nyaliku mendadak ciut setelah mendengar suara Shaunn menggema di lantai bawah. Jadi, aku membatalkan niatku untuk mengenakan pakaian minim itu. Aku menyuruh Xaferius keluar menemui para kawanan agar aku lebih leluasa memilih model baju yang jauh lebih pas untuk dipakai.Aku harus melompat dan menunggangi seekor serigala raksasa nantinya. Pilihanku kemudian jatuh pada blazer—sebagai setelan luar—serta blus dengan motif kotak-kotak dan celana panjang favoritku. Aku mematut diriku sekali lagi—memastikan semuanya sudah sesuai di tubuhku—sampai akhirnya kalimat “aku siap” terucap tanpa kusadari.“Anna? Mengapa kau lama sekali? Apa kau sedang berhibernasi?” teriak Shaunn yang menggodaku dari depan pintu kamar.Aku tersentak oleh jeri
Kencan bersama para kawanan tergolong sangat aneh, tetapi sekaligus mendebarkan. Aku telah berhenti membayangkan bahwa aku akan pergi makan romantis di restoran atau jenis kencan normal dengan sosok yang juga normal secara harfiah sejak lama. Aku tahu aku tak akan pernah merasakannya sebab ingar bingar dunia manusia sama sekali bukan prinsip hidup yang Xaferius pegang.Aku mematut diriku di depan cermin sekarang—menaruh perhatian lebih pada rambut kusamku yang kurang menarik, lantas berputar membelakangi benda yang memantulkan bayangan kikuk diriku sendiri di sana. Ekor mataku menangkap lekukan pinggulku dalam balutan busana feminin—crop top hitam berpunggung terbuka dan rok berpotongan rendah sebatas lutut de