“Kenapa tidak menunggu sampai sarapan siap dulu?”Seperti apa yang sudah dia katakan. Pagi itu Yura memutuskan untuk pulang bahkan sebelum semua anggota keluarga Tyaga bangun.Daniel ingin mencegah menantu barunya itu untuk pergi sepagi ini. Namun, sepertinya gagal karena Yura bersikeras. Gadis itu menggeleng, menatap ke arah dalam kamar di mana Ghea nampak duduk di atas ranjang.“Tante, aku pamit pulang dulu.”Wajah Daniel kebingungan mendengar Yura memanggil Ghea dengan sebutan ‘tante’ bukan ‘mama’. Sebagai kepala keluarga, dia merasa apa yang terjadi saat ini seharusnya bisa dihindari. Daniel menoleh kebelakang, dengan tatapan sedikit kesal dia memandang Ghea yang tak acuh dengan kedatangan Yura - yang mengetuk pintu kamar mereka di pagi buta.“Raiga akan mengantarmu ‘kan?” tanya Daniel pada akhirnya. Menahan Yura pun dirasanya sudah tidak lagi bisa.“Tidak, dia masih tidur. Aku akan naik taksi saja.”Yura tersenyum lantas menganggukkan kepala. Tak menunggu Daniel menjawab, dia sud
“Maka dari itu kejar Yura sebelum terlambat!”“Aku tidak mau terlihat mengalah kepadanya, dia akan seenaknya sendiri nantinya ke aku.”Raiga masih saja membantah Sean, dia bahkan mundur ke belakang dan hendak menutup pintu kamarnya, tapi Daniel ternyata berada di dekat sana dan mendengar apa yang dua putranya itu bicarakan.“Biar Papa saja yang mencegahnya,”kata Daniel. “Sepertinya Papa tahu kenapa Rai memilih menjadi dokter ketimbang pengusaha.”Sean tergelak karena tahu sang papa baru saja menyindir adiknya. Ia berhenti memasang mimik seperti itu saat melihat Ghea juga keluar dari kamar. Wanita yang melahirkannya itu nampak memandang punggung Daniel yang menjauh, dia baru saja kena marah sang suami. Daniel bahkan berkata kecewa karena sikapnya ke Yura.“Aku paham apa yang terjadi di sini, agaknya mama dan kamu sama-sama membuat Papa merasa tak enak hati. Kamu keterlaluan Rai, meski kamu tidak memiliki perasaan ke Yura setidaknya kamu bisa sedikit bersikap baik demi bayi yang ada di
“Kamu pasti tahu pepatah yang berbunyi tak kenal maka tak sayang, cobalah untuk mengenal Yura lebih dulu. Jangan bersikap seperti ibu tiri Cinderella!” Nasihat Daniel masih terngiang di telinga Ghea. Setelah hari di mana suaminya mencegah Yura pulang, dia terus saja merasa bersalah. Daniel memang tidak mendiamkannya, tapi tetap saja pria itu menunjukkan rasa kecewa kepadanya beberapa hari ini. Daniel memilih tak banyak bicara bahkan melewatkan pillow talk bersamanya. Yura benar-benar tak mau kembali lagi ke rumah mereka, sedangkan rumah Raiga masih butuh banyak penyempurnaan, sehingga belum layak untuk ditinggali. “Nyonya, kita sudah sampai.” Suara sang sopir membuat Ghea tersadar dari lamunan, kemudian menoleh ke luar jendela mobil. Wanita itu membuang napas sampai kedua pundaknya mengedik, tatapannya sedikit ragu. “Kenapa aku bisa ke sini?” gumamnya. “Iya Nyonya? Maaf apa Anda ingin kembali?“ “Tidak-tidak, bukan!”ucap Ghea. Ia sadar kalimatnya barusan hampir disalahartikan ole
Sean hari itu membuat Zie terus tersenyum sambil sesekali tersipu malu. Ia tak menyangka masih akan dibuat terpesona padahal Sean adalah suaminya.Pria itu berniat kembali bekerja, sehingga memintanya untuk membantu memilih beberapa setel baju kerja baru di butik langganan mereka. Awalnya Sean dan Zie ingin pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan kondisi calon anak kedua mereka. Pagi tadi Zie mengalami flek dan membuat Sean sangat cemas. Apalagi hal itu terjadi setelah mereka menggoyang ranjang semalam.Namun, karena mendadak, mereka tidak bisa menemui dokter kandungan Zie hari itu. Alhasil Sean meminta tolong Raiga, tapi adiknya itu ada jawdal operasi, sehingga dia dan Zie diminta menunggu satu sampai dua jam lagi.Sean dan Zie sama-sama berpikir, jika menunggu di rumah sakit akan sangat membosankan dan akhirnya memutuskan pergi membeli baju di butik.“Tolong jangan terlalu keren, aku takut kamu dilirik karyawanmu di sana,”seloroh Zie. Ia memangku dagu dengan siku bertumpu pada
“Untuk apa mama menghubungiku?”“Mana aku tahu?”Zie membuang napasnya lewat mulut, dia tak habis pikir Raiga seketika mengabaikan pemeriksaannya dan malah melempar pertanyaan konyol ke Sean.“Angkat saja panggilan itu, kenapa bertanya?” sembur Zie yang kesal, dia tarik selimut khusus pasien untuk menutupi bagian perutnya. “Sepertinya kamu baik-baik saja, Nak. Setelah badai topan yang dibuat papamu,” lirihnya.Sean sepintas mendengar apa yang diucapkan oleh sang istri lalu menoleh. “Angkat teleponnya dan segera lanjutkan pemeriksaan ke istriku!” titahnya ke Raiga.Raiga bergerak cepat hendak meraih ponsel miliknya, tapi panggilan itu lebih dulu mati. Ia memandang Sean lalu Zie dengan gurat kebingungan.“Mati,”ucapnya.“Bagaimana bisa orang bodoh sepertimu menjadai dokter?” Sean berdecak sebal lalu mengangkat tangan seolah ingin memukul Raiga. “Ambil ponselmu itu dan telepon balik!”Raiga yang kesal mengepalkan tangan, dia membuat gerakan meninju tepat di depan muka Sean, tapi Sean bahk
Setelah Raiga setuju untuk membantu menghubungi istrinya, Ghea pun merasa lega. Ia tetap menunggu di dalam mobil sampai Raiga kembali mengirim pesan, memberitahu kalau Yura akan menemui Ghea sebentar lagi.Membaca pesan dari putranya itu Ghea pun menelan saliva, dia menoleh ke arah gerbang dengan perasaan harap-harap cemas. Sesekali sang sopir menatapnya dari kaca spion tengah, heran kenapa sang majikan seperti hendak bertemu dengan pelakor yang merebut suaminya.“Nyonya, apa Anda ingin saya antar masuk saja? Dari pada menunggu di sini?”“Tidak Pak, kita di sini saja,”jawab Ghea. Dia bahkan mempersilahkan sang sopir untuk pergi membeli makanan jika lapar, sedangkan dia memilih untuk menunggu di sana.Lima belas menit berselang Ghea sudah merasa jenuh menunggu di mobil, beruntung Yura muncul dan terlihat sedang dibantu oleh satpam menyeberang jalan. Ghea menegakkan badan, dia lantas membuka kaca jendela mobil saat Yura mendekat.“Tante Ghea, maaf aku tadi harus diskusi sebentar dengan
Yura menatap layar ponsel di mana pesan balasan dari Raiga baru selesai dia baca. Ia menoleh Ghea, lantas memasukkan benda pipih miliknya ke dalam tas. Meski takut, tapi Yura akhirnya mencoba untuk mengajak bicara sang mertua.“Mama, apa ada sesuatu yang ingin mama beli nanti?”Di satu sisi Ghea kaget mendengar pertanyaan Yura. Namun, di sisi lain dia lega karena gadis itu mau bicara dan bahkan memanggilnya dengan sebutan mama. Ghea terlihat kebingungan dan hanya bisa memandangi wajah sang mantu, hingga bibirnya menipis. Ia tersenyum untuk mencairkan suasana.“Lihat-lihat saja dulu, sebenarnya mama ingin membelikan beberapa hadiah untukmu,”jawab Ghea.Yura menelan ludah, benar dugaannya. Ghea pasti akan mengajaknya berbelanja. Ia mencoba untuk berbasa-basi dengan menolak kalimat Ghea yang ingin memberinya hadiah.“Hadiah? Ulangtahunku sudah lewat.”Yura sengaja tertawa, meski apa yang dia tunjukkan sedikit mengandung kepalsuan. Dadanya terasa berdebar, Yura benar-benar takut jika samp
“Iya, meski ada yang bilang jika sedikit saja tidak apa-apa, tapi kalau banyak bisa bahaya,”ucap Ghea menjelaskan ke Yura. “Nanti kalau kamu sudah melahirkan kamu boleh minum jus nanas, untuk sekarang lebih baik tidak, Mama bilang begini karena peduli sama kamu, kalau kamu tidak percaya nanti kamu bisa bertanya ke mamamu soal larangan ini.” Yura yang awalnya sedih karena ditolak menjadi terharu, dia tersenyum kecil kemudian menunduk, membiarkan pelayan restoran pergi meninggalkan mejanya dan Ghea, setelah itu dia menyambar tisu di meja. “Yura! Kamu kenapa? Apa kamu menangis?” Ghea syok, dia takut jika sampai menantunya itu menyalahartikan larangannya tadi. Namun, tak berselang lama Ghea bisa bernapas lega. Yura akhirnya menegakkan kepala dan berkata terharu dengan apa yang Ghea lakukan. “Terima kasih, Ma. Terima kasih sudah baik padaku.” Ghea tak habis pikir, dia tak menyangka kalau perhatian kecilnya itu bisa menyentuh hati Yura. Ia pun meraih tangan menantunya itu yang berada di