REIN terpaksa harus membuang rasa malu saat mengambil beberapa pakaian dalam yang ada di jejeran rak gantung di samping tubuhnya. Berani sumpah, dia tidak semesum itu. Rein bukan Jake yang memang terkenal playboy dan berengsek. Dia termasuk kategori pria yang biasa saja, tidak alim tidak juga bajingan.Namun, demi istrinya dan demi kesehatan mentalnya, dia harus segera mengakhiri sesi belanja ini secepatnya.Rein mulai merasa tidak nyaman saat melihat orang-orang di sana sedang melirik mereka berdua dengan wajah penasaran.Ayolah! Dia bukan aktor tampan negeri ini seperti Jake, tapi kenapa mereka melihatnya layaknya Rein seorang aktor terkenal yang sudah biasa menjadi pusat perhatian media?Irin keluar dari ruang ganti dengan pakaiannya sebelum ini. Jangan kira Irin keluar dari sana hanya menggunakan pakaian dalam saja, karena perempuan itu jelas masih tahu malu saat mau melakukannya.Apalagi ada beberapa pria lain yang sedang menemani istri atau pacarnya belanja, kini sedang menatap
"RIN, lo mau bulan madu, nggak?"Irin yang berniat memejamkan mata dan beristirahat begitu mereka sampai apartemen pun sontak membuka kembali matanya lebar-lebar. Irin menatap Rein.Rein sedang duduk di lantai menggunakan kaki sebagai tumpuan, sambil menyangga kepala menggunakan kedua tangan yang berada di atas ranjang, dan menatap Irin dengan tatapan menghanyutkan.Rein tersenyum manis. Senyuman yang malah membuatnya terlihat layaknya sedang mengejek Irin yang gagal beristirahat lagi hari ini."Harus gitu lo nanyanya sekarang? Kenapa nggak besok-besok aja? Kenapa harus sekarang coba?" tanyanya dengan rasa kesal menggerogoti hatinya.Irin lelah. Dia cape luar biasa setelah semua yang mereka lakukan hari ini. Sejak pagi sampai siang, Rein terus mengajaknya bercinta. Lalu setelah itu, dia mengajak Irin pergi, masuk mall, belanja, makan siang, dan mereka tak kunjung kembali hingga petang.Irin hanya ingin merebahkan badannya, memejamkan matanya, dan mengistirahatkan tubuhnya sebelum Rein
"EMANGNYA lo cinta sama gue?" Detik pertama, Rein mengerjap. Dia bisa saja jujur dan mengiyakannya. Namun, taruhannya terlalu besar. Jika Irin setuju mereka benar-benar akan hidup bahagia, tapi jika tidak ... hubungan mereka akan berubah menjadi canggung dan itu sangat berbahaya. Rein pun berpikir untuk mengiyakan sekaligus menyerang balik istrinya. Dia mendekatkan wajahnya ke wajah Irin yang kini sedang duduk di depannya. "Emangnya lo nggak?" Irin tampak terkejut mendengar pertanyaan yang balik menyerangnya itu. Wajahnya dengan perlahan mulai memerah, tapi hanya sebentar karena detik berikutnya dia mulai menggelengkan kepala dan menatap Rein tajam. "Alah, lo bilang kayak gitu paling karena mau minta jatah lagi dari gue, kan?" Irin menebak, langsung tepat sasaran dan menusuk Rein yang diam-diam ingin mencuri sebuah ciuman. Rein tersenyum masam. Dia langsung menjauhkan wajahnya dan menatap Irin dengan tatap putus asa. Padahal dia sangat berharap ini adalah sebuah kesempatan yang se
SEJAK tadi mereka terus seperti ini. Irin ingin segera melepaskan diri. Dia ingin mandi, membersihkan tubuh, kemudian membuatkan sarapan untuk mereka pagi ini. Namun, Rein belum mau berhenti. Setelah percintaan panas mereka selesai, Rein terus menerus menghujani wajah Irin dengan ciuman kecilnya. Pria itu tidak mau berhenti, bahkan saat Irin merengek atau menutupi wajahnya menggunakan tangan, Rein hanya berpindah ke tempat lain yang tidak tertutupi kedua tangannya. Irin sempat berpikir pria itu menginginkannya lagi, mengingat kebiasaan mereka yang selalu melakukannya lebih dari tiga kali. Namun, pria itu tidak meminta seperti biasa saat Rein menginginkannya lagi. Rein hanya memeluk tubuh Irin dengan erat dan menciumi seluruh bagian wajahnya, tanpa terkecuali. Perbuatan itu layaknya dia sangat menyayangi Irin dan tidak ingin melepaskan Irin dari dekapan kedua tangannya. Irin mengembuskan napas pasrah. "Rein, sampai kapan mau kayak gini? Gue mau bikin sarapan, bentar lagi lo mau ber
REIN menyempatkan diri untuk mengirim pesan di sela kesibukan. Padahal Rein nyaris tidak pernah menggunakan ponsel jika tidak ada hubungannya dengan pekerjaan. Alasan itu pula yang membuat Jake harus mendatanginya ke kantor, hanya untuk meminta nomor Syila.Rein : Udah berangkat?Namun untuk Irin, Rein pasti akan membuat pengecualian.Selama ini, Rein selalu berharap Irin mau menghubunginya lebih dulu. Minimal mengirim sebuah pesan padanya. Namun, Irin tidak pernah mau melakukannya.Irin sepertinya sadar, jika Rein nyaris tidak pernah menggunakan ponsel saat sedang bersamanya. Terbukti saat Rein berkata, kata sandi ponselnya tidak pernah berubah sejak masih SMA. Rein pasti tidak pernah mengotak-atik ponselnya seperti kebanyakan orang yang nyaris tidak pernah lepas dari benda segiempat tersebut.Tak lama kemudian jawaban dari Irin masuk ke ponselnya.Irin : Belum. Gue masih males, masih mau tidur.Jawaban itu membuat Rein menghentikan tangannya yang sedang mengetik sebuah laporan. Dia
SEJAK pagi Irin memang merasa malas melakukan apa-apa. Terlebih setelah Rein berangkat kerja. Bukannya dia lelah setelah seks panas yang mereka lakukan sebelumnya. Irin lebih curiga kalau tamu bulanannya sudah hampir tiba.Irin memang biasanya merasa malas melakukan apa pun saat tamu bulanannya datang. Dia yang setiap hari selalu dilayani pembantu rumahnya jadi semakin malas bergerak setiap kali tamu bulanannya hampir tiba. Namun, kini dia tidak lagi tinggal di rumah megah milik orang tuanya.Dia memutuskan pergi. Tidak. Dia memang mau melarikan diri.Rumah mewah itu laksana sebuah penjara yang sengaja mengurung Irin di dalamnya. Menjadikannya seekor burung yang disembunyikan di balik sangkar tanpa adanya sebuah pintu keluar. Entah sejak kapan semuanya bermula, tapi sayapnya telah tiada sejak dia meninggalkan bangku SMA.Tidak. Irin tahu pasti kenapa semuanya bisa jadi seperti ini. Kenapa dia bisa kehilangan kendali dan tidak pernah sekali pun bisa menjadi mandiri.Setelah peristiwa i
WALAUPUN mereka terikat oleh darah yang begitu kental, tapi kenyataannya Rein tidak pernah sekali pun bisa memahami bagaimana pemikiran ayahnya.Bagi Rein, Raffa penuh rahasia. Dia begitu tertutup dan tidak tersentuh olehnya. Padahal Syila sangat dekat dengan ayah mereka, tapi entah kenapa Rein tidak bisa melakukan hal serupa.Rein bahkan merasa kalau selama ini Raffa selalu membencinya. Seperti Rein bukanlah anak kandung Raffa—yang tentu saja disangkal habis-habisan oleh mamanya. Namun, Rein sudah merasakan kebencian itu sejak dia masih balita. Alasan itulah yang membuat Rein tanpa sadar mulai menjaga jarak dari ayahnya. Dia juga tidak begitu tertarik menggunakan nama keluarganya saat bergaul bersama teman-temannya, karena mungkin saja dia bukan keturunan asli keluarga Gunawan.Walaupun demikian, nyatanya Raffa masih cukup perhatian pada Rein dengan cara yang tidak biasa. Seperti memberi bonus lebih di slip gajinya atau menanyakan kabarnya melalui Allen maupun Evan sepupunya.Kadang
MAKAN siang bersama mantan tidak pernah ada dalam sejarah agendanya. Walaupun dia pernah menjalin hubungan berulang kali dengan seorang pria, tapi Irin selalu memastikan hubungan mereka telah berakhir tepat setelah mereka memutuskan untuk berpisah.Tentu saja, kecuali mantan pacarnya yang satu ini, karena Irin mengakhiri hubungan mereka secara sepihak.Kebanyakan mantan pacarnya adalah orang yang baik dan tahu etika. Sekali pun mereka playboy ataupun bajingan sebelumnya, tapi mereka masih tahu diri saat berpacaran dengannya. Mereka tidak pernah berbuat kurang ajar, apalagi sampai memaksa hanya untuk bisa tidur dengannya. Perbuatan baik mereka jelas membuat Irin melakukan hal serupa.Keputusan mereka untuk berpisah pun biasanya karena keduanya memang merasa tidak cocok satu sama lain. Irin melepaskan mereka tanpa beban, karena pada dasarnya dia tidak pernah serius saat menjalin hubungan. Dia hanya ingin sedikit mengobati rasa takutnya pada seorang pria dan untungnya semua mantan kekasi
REIN datang ke restoran itu dengan penuh semangat, karena jarang sekali dia bisa makan bersama istrinya siang-siang begini. Padahal mereka sudah menikah selama satu tahun lebih, tapi kenyataannya mereka memang belum pernah makan siang bersama kecuali saat Rein sedang libur kerja.Rein memasuki restoran itu dan tatapannya langsung tertuju ke arah Irin juga seorang pria yang saat ini sedang duduk di depannya. Seperti menyadari kedatangannya, pria itu menoleh ke arahnya, mata pria itu memejam kemudian mengembuskan napas berat.Rein menghentikan langkahnya. Dia jelas tahu siapa pria itu hanya dalam sekali lihat saja, karena tidak ada banyak hal yang berubah darinya. Dia masih terlihat sama, dengan wajah awet muda yang membuatnya tampak menggemaskan di depan mata siapa pun yang mengaguminya.Akram Hardiansyah Putra. Kenapa pria yang kabarnya menghilang dan masuk ke dunia gelap mendadak muncul di sekitar istrinya? Kenapa dia bisa ada di sana? Sedang apakah dia? Apakah dia memang selalu meng
"LO lagi di mana?" Adalah tanya pertama begitu telepon di antara mereka terhubung.Irin baru saja meninggalkan rumah Jake dan Syila. Dia izin pulang setelah menolak diajak makan siang bersama. Bukan karena dia tidak nyaman berada di sana, melainkan karena merasa tidak enak lantaran nyaris setiap hari dia mengunjungi rumah adik iparnya dan makan siang bersama mereka.Sudah seperti tamu yang datangnya hanya untuk makan siang saja.Selama ini Irin memang tidak punya kerjaan. Dia tidak punya kesibukan. Setiap hari dia mencari kegiatannya sendiri dan menyibukkan dirinya sendiri dengan cara berpindah tempat ke sana kemari.Namun, karena akhir-akhir ini dia tertarik pada Syila dan kehamilannya, makanya Irin selalu datang mengunjungi adik ipar sekaligus teman baiknya itu."Baru aja naik taksi buat nyari tempat makan siang. Emang kenapa, Rein?" Irin menoleh ke luar jendela, taksi sudah dia dapat dan mulai merayap memasuki jalan utama meninggalkan kediaman Adytama."Hm ... kalau lo lagi ada di
"GUE sebenernya heran, deh! Kalian itu aslinya belum dikasih momongan atau emang sengaja mau nunda buat punya anak sekarang?"Pertanyaan dari adik iparnya langsung membuat Irin tersedak minuman yang baru saja dia telan dengan perlahan. Kepalanya menoleh, menatap wajah Syila yang kini mulai terlihat bulat lantaran berat badannya terus bertambah setiap bulannya."Kalau emang sengaja mau nunda nggak masalah sih, asal jangan kelamaan aja. Ntar anak gue udah mau enam, lo berdua baru mau punya anak pertama, kan nggak lucu juga buat gue jadinya, kan?"Irin sontak memelototi adik iparnya yang mulutnya sungguh tidak tahu aturan itu. "Hah, anak keenam? Emang lo mau lahiran tiap tahun apa?"Syila sekarang sedang hamil anak pertama, tapi malah mikir soal kelahiran anak keenamnya. Memangnya dia mau beranak tiap tahun atau bagaimana? Apa nggak takut suaminya macam-macam di luar sana, lantaran istrinya selalu menjadi bola setiap tahunnya?Lagian mana mungkin mereka bakal menunggu sampai selama itu u
TIDAK mungkin. Irin menggelengkan kepala dan menatap Rein dengan tatapan tidak percaya."Nggak mungkinlah! Ngapain coba dia ngawasin gue? Apa untungnya buat dia? Temen akrab bukan, pacar bukan, apalagi bininya. Mana mungkin dia ngawasin gue sampai sekarang? Ngaco banget sih lo, Rein!"Rein menatap istrinya dengan wajah serius. "Alea yang bilang kayak gitu."Irin terkejut, dahinya mengernyit dan menatap Rein dengan ekspresi menyelidik. "Emang kapan lo ketemu sama Alea? Perasaan lo nggak pernah deket sama dia, kenal aja enggak, kan? Jadi, lo nggak mungkin tiba-tiba aja bisa ngobrol berdua sama dia, kan?"Rein mematung sejenak, kemudian menarik napas panjang dan mengembuskan napasnya secara perlahan. "Lo inget kejadian beberapa bulan yang lalu waktu kita di restoran dan nggak sengaja lihat Alea sama orang lain di sebelahnya?"Irin mengangguk. "Hm, kayaknya gue masih inget.""Waktu itu ada Freya di sana. Dia nanya sama kita, apa cowok yang lagi sama Alea beneran Akram atau bukan dan lo ja
IRIN terkejut saat mendapati layar ponselnya remuk. Walaupun masih bisa menyala, tapi keadaan ponsel yang hancur jelas membuatnya bertanya-tanya.Irin mengecek kotak pesan juga riwayat panggilan dan ia menemukan kata 'Intel' di riwayat panggilan."Kapan gue nerima panggilan dia?"Perasaan Irin selalu meninggalkan ponselnya, lalu kenapa panggilannya sudah terjawab dan terhubung selama satu menit lebih oleh orang yang dia bayar untuk mencari segala sesuatu tentang Akram dulu?Irin menoleh ke arah pintu kamar yang baru saja terbuka, tampak Rein tengah berjalan masuk ke kamar mereka. Saat itulah Irin sadar, kenapa suaminya malam ini terlihat berbeda.Rein pasti mengangkat panggilan itu sebelumnya? Jadi, dia sudah tahu semuanya. Namun kenapa dia hanya diam saja? Kenapa dia tidak bertanya atau bahkan marah padanya karena diam-diam Irin telah mencari tahu soal pria lain di belakangnya?"Rein," panggilnya pelan."Hm?" Rein mendongak, menatap wajah Irin tanpa ekspresi. "Kenapa?""Lo yang udah
TANPA sadar setahun telah berlalu. Irin tidak menyangka bisa melewati satu tahun pernikahannya dengan Rein tanpa masalah apa pun. Semuanya masih berjalan baik-baik saja, tanpa masalah maupun kendala dan tentunya mereka sama-sama merasa bahagia."Gue tadi ketemu Syila, perut dia udah gede banget masa? Bukannya baru hamil enam bulan, ya?" Irin berkata pada Rein secara tiba-tiba.Syila memang dikabarkan hamil empat bulan setelah pernikahannya dengan Jake. Kabar kehamilan itu sempat menyudutkan Irin dan Rein. Mereka menikah lebih dulu, tapi belum juga ada tanda-tanda Irin hamil.Rein memang bisa menjawab semua pertanyaan dengan santai, tapi Irin merasa sedikit terpojokkan saat mendengarnya. Terutama alasan kenapa mereka belum juga memiliki momongan, alasannya karena Irin belum siap dan belum mau punya anak sekarang.Rein baru pulang kerja, dia belum mandi, kemejanya bahkan masih basah karena keringat yang mengeluarkan aroma tidak sedap. Terlebih lagi bahasan soal Syila dan Jake memang aga
PERCAKAPAN Irin dengan pasangan gila yang dimabuk cinta itu berhasil menyulut rasa keingintahuan yang ada di dalam dirinya. Rasanya sama seperti dulu, saat Irin begitu tergila-gila pada Akram dan ingin tahu segala hal yang sedang laki-laki itu kerjakan.Irin pun menyewa beberapa orang untuk menyelidiki Akram secara diam-diam agar dia bisa sedikit mengobati rasa keingintahuan yang ada di hatinya.Tentu saja, Irin menyembunyikan masalah ini dari suaminya. Dia yang setiap hari berada di apartemen, paling-paling hanya bepergian ke sekitar wilayah apartemen saja, jelas tidak akan sanggup membuat suaminya curiga kalau dia sedang mencari tahu soal pria lain sekarang.Tanpa sadar, hari demi hari pun kembali berlalu. Tidak ada informasi apa pun yang berhasil dia dapatkan soal Akram dari orang-orang yang dia kerjakan di luar sana.Walaupun merasa kecewa, tapi Irin tetap tak mau berhenti berharap. Dia masih menyuruh orang-orang itu mencari tahu hingga apa yang ingin dia ketahui mendapatkan jawab
MUNGKIN apa yang terjadi pagi ini hanyalah mimpi. Walaupun dia tahu pasti jika semua itu bukanlah mimpi apalagi sebuah ilusi, nyatanya dia tidak bisa mengatakan apa pun tentang apa yang sudah terjadi pagi tadi.Rein bersikap biasa, seolah tidak pernah terjadi apa pun sebelumnya. Irin pun mencoba melakukan hal serupa, berpura-pura jika pagi ini tidak pernah ada, walau isi hati dan pikirannya jelas berusaha untuk menyangkal semuanya.Karena Irin masih bisa mengingatnya. Suara pelan yang terdengar dalam sarat akan rasa takut ditinggalkan. Pelukan erat yang terasa tidak akan pernah dilepaskan. Juga tatapan mata sayu yang tampak menyimpan luka sarat akan ketakutan.Irin tidak akan bisa melupakannya begitu saja, karena pada saat itu ... dia merasa seperti sedang bercermin. Dia seperti sedang melihat dirinya di masa lalu."Hari ini lo mau ke mana?" Rein bertanya sembari menyantap sarapan yang baru dibuat Irin beberapa saat lalu.Irin mengangkat bahu. "Gue nggak tahu, soalnya belum kepikiran s
JIKA bisa memilih, Rein tidak akan pulang untuk malam ini. Dia tidak ingin pulang, karena dia sudah tahu apa yang sedang menunggu kepulangannya, yakni Irin dengan segala curhatannya tentang seorang Akram Hardiansyah Putra.Bukan berarti dia tidak penasaran dengan pertemuan mereka sebelumnya, tapi sedikit demi sedikit sepertinya Rein bisa menerka, bagaimana cerita yang telah terjadi di antara mereka.Irin kembali bertemu dengan Joan. Entah sengaja atau hanya kebetulan belaka, Rein tidak mengetahuinya. Pertemuan itu jelas bukan jenis pertemuan biasa, karena sama seperti sebelumnya, Irin lebih suka menghindar jika memang dia bisa melakukannya.Joan memang masih terlihat menyukai Irin dan ingin mengejar layaknya dia tidak akan pernah melepaskan istrinya sampai kapan pun. Hampir mirip seperti obsesi, mungkin itu pula yang membuat Irin lebih memilih mengakhiri hubungan mereka sebelumnya.