SETELAH berciuman dengan Irin beberapa saat lalu, Rein mulai merasa ada yang tidak beres dengan otaknya. Pikiran-pikiran mesum terus berkeliaran, mengusik, dan meminta pelampiasan.Sebenarnya, hal itu tidaklah sulit. Rein hanya tinggal mencari jalang di luar sana, lalu menidurinya seperti biasa, maka ketenangannya akan kembali.Masalahnya, sudah sebulan lebih ia belum pernah menyalurkan hasrat. Dan Irin membuat perjanjian yang sukses membuat Rein berpikir berulang kali untuk jajan di luar.Laki-laki itu berdecak. Dia mendelik ke arah Irin yang entah sejak kapan telah bersender di bahunya sambil nonton TV di rumah papa mertua."Kenapa, sih?" tanya Irin dengan wajah tidak berdosa."Mau apa lo di sini?" tanyanya malas."Nemenin suami nonton TV."Rein mendelik. "Gue bisa sendiri.""Gue mau nemenin, nggak, boleh?"Rein mendesah kasar. Dia mendorong Irin agar menjauh darinya, kalau perempuan itu kembali dekat-dekat, entah apa yang bisa Rein perbuat padanya."Jangan deket-deket.""Kenapa?" Ir
SAAT itu dia mulai bertanya-tanya. Kenapa istrinya—yang sejak hari pernikahan mereka mengatakan tidak mau melakukan hubungan intim dan akan mengakhiri pernikahan dua bulan kemudian—tiba-tiba saja mengizinkan Rein untuk menyentuhnya? Kenapa Irin tiba-tiba mau melakukannya? Apa yang sebenarnya ada di kepala istrinya itu?Kalau Irin memang mau bercinta dengannya dan sengaja memberikan ancaman itu agar Rein tidak berselingkuh di kemudian hari. Irin hanya tinggal bicara dan Rein pasti menuruti semua kata-katanya. Irin tidak perlu mengancamnya, karena Rein tidak pernah main-main dengan pernikahan mereka. Namun, Irin telah melakukannya. Jelas ada alasan di balik semua kalimat yang pernah istrinya lontarkan.Rein menghela napas kasar. Dia menatap pintu kamar yang kemudian terbuka dan Irin muncul dengan senyuman lebar yang terlihat mencurigakan."Mampus, kan, ketahuan!" Irin terkekeh, nada suaranya tampak normal dan penuh canda. Sangat berbeda sekali dengan Irin yang menganggukkan kepala dan
HARI demi hari berlalu. Kebiasaan Irin setiap pagi adalah memandangi wajah sang suami yang masih tertidur, sebelum dia membuat sesuatu di dapur. Rein sudah berjanji mau menjadi kelinci percobaannya, jadi jangan salahkan Irin jika rasa masakannya nanti tak keruan, tapi wajib dimakan.Begitu ia puas, Irin segera memasak untuk sarapan suaminya. Ya, hanya Rein, karena Irin tidak siap mencoba masakannya sendiri, takut kalau perutnya melilit.Tak lama kemudian, Rein menghampirinya di dapur. Seperti biasa, pria itu duduk di kursi, menatap Irin yang sedang menggoreng nasi sisa semalam. Kedua tangannya menyangga dagu, menatap lurus istrinya yang kini membalas tatapannya."Kenapa, sih?""Lucu aja ngelihatnya." Rein tertawa pelan."Lucu gimana?" Irin menaruh nasi gorengnya ke piring dan menghampiri Rein."Cuma satu, Rin? Buat lo mana?" tanya Rein yang kini mengernyitkan dahi."Buat lo aja, pasti rasanya nggak enak."Rein tersedak, kemudian tertawa. "Kalau udah tahu nggak enak, kenapa masih masak
REIN langsung mengejar Irin yang memasuki kamar mereka. Begitu membuka pintu kamar, dia mendapati Irin yang tengah tiduran di atas ranjang dengan posisi meringkuk miring memunggungi pintu. Pria itu lantas terdiam cukup lama, merenung bersama isi pikirannya.Apakah dia marah?Ataukah dia sakit hati karena kata-kata dan perlakuan tadi?Mana pun yang benar, Rein tetaplah menjadi tersangka utama atas apa yang tengah terjadi pada Irin sekarang.Rein menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Dia melakukan hal itu berulang-ulang, sebelum mendekati ranjang dan duduk di samping Irin yang hanya diam di posisinya semula."Rin!" panggilnya pelan. Tangannya terulur menyentuh bahu istrinya yang lantas ditepis dengan kasar. "Lo marah sama gue, ya?"Ngapain masih nanya bego, kan emang lo yang salah di sini?! omel Rein di dalam hati.Rein menarik napas panjang, lalu mengembuskannya sekali lagi. "Gue minta maaf, karena udah ngegas dan jitak lo tadi. Masih sakit?" Rein menjulurkan tangannya
REIN sebenarnya bukan orang yang suka mendendam. Dia melakukannya murni, karena dia ingin menegaskan jarak di antara hubungan mereka. Menarik garis tegas hubungan tanpa memberikan harapan apa-apa.Dia tahu Freya menyukainya sejak lama. Dia juga tahu wanita itulah yang membuat Irin perlahan menjauhinya di masa SMA.Rein pernah marah dan ingin melakukan hal yang jahat padanya, tapi dia tidak sampai tega melakukannya. Selain karena Freya adalah wanita, dia juga tidak sanggup mendapat amukan dari keluarganya jika mereka sampai tahu kelakuannya yang telah melakukan sesuatu yang buruk pada seorang wanita di masa remajanya.Rein hanya bisa mendesah kasar saat melihat Freya mendekatinya dengan wajah memerah penuh amarah. "Kenapa lo nggak mau jemput gue? Lo tadi pasti belum berangkat kerja juga, kan? Padahal tempatnya nggak jauh dari apartemen lo tadi——""Itu bukan urusan gue, Frey." Rein membalasnya dingin.Freya menatapnya dengan tatapan tidak percaya. "Rein!""Frey, gue laki-laki yang udah
SUDAH berulang kali dia datang ke restoran Nayla, sampai semua pelayan dan pekerja di dapurnya mengenal baik seorang Irin. Apalagi, Syila kerap membawanya masuk ke dapur dan meminjam salah satu tempat untuk digunakan sebagai tempat belajar memasak.Awalnya, tentu saja Irin menolak, karena takut mengganggu pekerjaan yang lainnya di dapur. Namun, ternyata tidak seperti itu. Nayla memang memiliki satu tempat khusus untuk calon koki baru belajar masak di restorannya. Entah apa tujuan dia melakukannya, Irin tidak tahu pasti.Saat Syila mengajarinya, terkadang koki lain pun mendekati mereka dan turut membantu Syila memberikan saran padanya. Seperti Nando juga keponakannya Naga yang membantu mereka tanpa diminta, "Kasihan juga si Rein kalau terus-terusan lo jadiin kelinci percobaan kayak gitu!" dalih kompak mereka berdua.Irin sedang menunggu kedatangan Syila, duduk diam di salah satu kursi pelanggan sambil memesan sesuatu untuk dimakan. Saat dia melihat seorang gadis muda datang bersama Nay
REIN terpaksa harus pulang malam, karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan hari itu juga. Begitu dia sampai apartemennya, ia bisa melihat Irin sedang menunggu kedatangannya.Rein terdiam, lalu menelan ludah dengan susah payah. Apakah memang begini rasanya bila sudah menikah? Ada seseorang yang siap menunggumu pulang dan menyambut lelahmu setelah seharian mencari nafkah?Rein merasa hatinya menghangat. Bibirnya tertarik pelan dan membentuk seutas senyuman. Dia mendekati Irin yang tak menyadari kedatangannya, lantaran sejak tadi perempuan itu fokus menonton televisi di depannya. Dengan wajah lelah dan setengah mengantuk, dia memaksakan diri untuk tetap terjaga dan menantikan kedatangannya. Rein menyentuh bahu Irin pelan dan membuat perempuan itu terlonjak dan menoleh ke arahnya. "Lo udah pulang? Sejak kapan?" Irin menatapnya penasaran."Baru aja sampai, terus langsung nyamperin lo yang lagi nonton tv sendirian. Kesepian, Rin?" tanyanya balik."Iyalah, nggak ada temennya. Di sini s
REIN memakan masakannya dengan lahap. Irin hanya tersenyum manis sambil turut makan di sampingnya. "Buset, kayak nggak makan sebulan aja, Bang!"Rein tersedak dan Irin dengan sigap mengambilkan air minum untuknya. "Makannya pelan-pelan aja kenapa? Gue nggak minta banyak-banyak juga. Kalau lo suka, besok bisa gue bikinin lagi kok, tenang aja!"Rein menghapus jejak air mata di pelupuk matanya, karena tersedak saat makan sambal pedas memang sesuatu sekali rasanya. Dia suka pedas, sepertinya Irin tahu masalah itu, karena sambal bikinannya memang nikmat sekali di lidahnya.Namun yang membuatnya tersedak bukan karena ia memakannya secara terburu-buru, melainkan panggilan Irin padanya beberapa saat lalu.Walaupun mereka lahir di tahun yang sama, tapi sebenarnya Irin lebih tua darinya. Rein pernah marah dan ngambek saat dia dipanggil 'dek' oleh Irin, ketika mereka masih bermain bersama dulu. Karena Rein tidak mau lagi bermain bersamanya, Irin pun menghapus panggilan ajaibnya dan tak lagi mema
REIN datang ke restoran itu dengan penuh semangat, karena jarang sekali dia bisa makan bersama istrinya siang-siang begini. Padahal mereka sudah menikah selama satu tahun lebih, tapi kenyataannya mereka memang belum pernah makan siang bersama kecuali saat Rein sedang libur kerja.Rein memasuki restoran itu dan tatapannya langsung tertuju ke arah Irin juga seorang pria yang saat ini sedang duduk di depannya. Seperti menyadari kedatangannya, pria itu menoleh ke arahnya, mata pria itu memejam kemudian mengembuskan napas berat.Rein menghentikan langkahnya. Dia jelas tahu siapa pria itu hanya dalam sekali lihat saja, karena tidak ada banyak hal yang berubah darinya. Dia masih terlihat sama, dengan wajah awet muda yang membuatnya tampak menggemaskan di depan mata siapa pun yang mengaguminya.Akram Hardiansyah Putra. Kenapa pria yang kabarnya menghilang dan masuk ke dunia gelap mendadak muncul di sekitar istrinya? Kenapa dia bisa ada di sana? Sedang apakah dia? Apakah dia memang selalu meng
"LO lagi di mana?" Adalah tanya pertama begitu telepon di antara mereka terhubung.Irin baru saja meninggalkan rumah Jake dan Syila. Dia izin pulang setelah menolak diajak makan siang bersama. Bukan karena dia tidak nyaman berada di sana, melainkan karena merasa tidak enak lantaran nyaris setiap hari dia mengunjungi rumah adik iparnya dan makan siang bersama mereka.Sudah seperti tamu yang datangnya hanya untuk makan siang saja.Selama ini Irin memang tidak punya kerjaan. Dia tidak punya kesibukan. Setiap hari dia mencari kegiatannya sendiri dan menyibukkan dirinya sendiri dengan cara berpindah tempat ke sana kemari.Namun, karena akhir-akhir ini dia tertarik pada Syila dan kehamilannya, makanya Irin selalu datang mengunjungi adik ipar sekaligus teman baiknya itu."Baru aja naik taksi buat nyari tempat makan siang. Emang kenapa, Rein?" Irin menoleh ke luar jendela, taksi sudah dia dapat dan mulai merayap memasuki jalan utama meninggalkan kediaman Adytama."Hm ... kalau lo lagi ada di
"GUE sebenernya heran, deh! Kalian itu aslinya belum dikasih momongan atau emang sengaja mau nunda buat punya anak sekarang?"Pertanyaan dari adik iparnya langsung membuat Irin tersedak minuman yang baru saja dia telan dengan perlahan. Kepalanya menoleh, menatap wajah Syila yang kini mulai terlihat bulat lantaran berat badannya terus bertambah setiap bulannya."Kalau emang sengaja mau nunda nggak masalah sih, asal jangan kelamaan aja. Ntar anak gue udah mau enam, lo berdua baru mau punya anak pertama, kan nggak lucu juga buat gue jadinya, kan?"Irin sontak memelototi adik iparnya yang mulutnya sungguh tidak tahu aturan itu. "Hah, anak keenam? Emang lo mau lahiran tiap tahun apa?"Syila sekarang sedang hamil anak pertama, tapi malah mikir soal kelahiran anak keenamnya. Memangnya dia mau beranak tiap tahun atau bagaimana? Apa nggak takut suaminya macam-macam di luar sana, lantaran istrinya selalu menjadi bola setiap tahunnya?Lagian mana mungkin mereka bakal menunggu sampai selama itu u
TIDAK mungkin. Irin menggelengkan kepala dan menatap Rein dengan tatapan tidak percaya."Nggak mungkinlah! Ngapain coba dia ngawasin gue? Apa untungnya buat dia? Temen akrab bukan, pacar bukan, apalagi bininya. Mana mungkin dia ngawasin gue sampai sekarang? Ngaco banget sih lo, Rein!"Rein menatap istrinya dengan wajah serius. "Alea yang bilang kayak gitu."Irin terkejut, dahinya mengernyit dan menatap Rein dengan ekspresi menyelidik. "Emang kapan lo ketemu sama Alea? Perasaan lo nggak pernah deket sama dia, kenal aja enggak, kan? Jadi, lo nggak mungkin tiba-tiba aja bisa ngobrol berdua sama dia, kan?"Rein mematung sejenak, kemudian menarik napas panjang dan mengembuskan napasnya secara perlahan. "Lo inget kejadian beberapa bulan yang lalu waktu kita di restoran dan nggak sengaja lihat Alea sama orang lain di sebelahnya?"Irin mengangguk. "Hm, kayaknya gue masih inget.""Waktu itu ada Freya di sana. Dia nanya sama kita, apa cowok yang lagi sama Alea beneran Akram atau bukan dan lo ja
IRIN terkejut saat mendapati layar ponselnya remuk. Walaupun masih bisa menyala, tapi keadaan ponsel yang hancur jelas membuatnya bertanya-tanya.Irin mengecek kotak pesan juga riwayat panggilan dan ia menemukan kata 'Intel' di riwayat panggilan."Kapan gue nerima panggilan dia?"Perasaan Irin selalu meninggalkan ponselnya, lalu kenapa panggilannya sudah terjawab dan terhubung selama satu menit lebih oleh orang yang dia bayar untuk mencari segala sesuatu tentang Akram dulu?Irin menoleh ke arah pintu kamar yang baru saja terbuka, tampak Rein tengah berjalan masuk ke kamar mereka. Saat itulah Irin sadar, kenapa suaminya malam ini terlihat berbeda.Rein pasti mengangkat panggilan itu sebelumnya? Jadi, dia sudah tahu semuanya. Namun kenapa dia hanya diam saja? Kenapa dia tidak bertanya atau bahkan marah padanya karena diam-diam Irin telah mencari tahu soal pria lain di belakangnya?"Rein," panggilnya pelan."Hm?" Rein mendongak, menatap wajah Irin tanpa ekspresi. "Kenapa?""Lo yang udah
TANPA sadar setahun telah berlalu. Irin tidak menyangka bisa melewati satu tahun pernikahannya dengan Rein tanpa masalah apa pun. Semuanya masih berjalan baik-baik saja, tanpa masalah maupun kendala dan tentunya mereka sama-sama merasa bahagia."Gue tadi ketemu Syila, perut dia udah gede banget masa? Bukannya baru hamil enam bulan, ya?" Irin berkata pada Rein secara tiba-tiba.Syila memang dikabarkan hamil empat bulan setelah pernikahannya dengan Jake. Kabar kehamilan itu sempat menyudutkan Irin dan Rein. Mereka menikah lebih dulu, tapi belum juga ada tanda-tanda Irin hamil.Rein memang bisa menjawab semua pertanyaan dengan santai, tapi Irin merasa sedikit terpojokkan saat mendengarnya. Terutama alasan kenapa mereka belum juga memiliki momongan, alasannya karena Irin belum siap dan belum mau punya anak sekarang.Rein baru pulang kerja, dia belum mandi, kemejanya bahkan masih basah karena keringat yang mengeluarkan aroma tidak sedap. Terlebih lagi bahasan soal Syila dan Jake memang aga
PERCAKAPAN Irin dengan pasangan gila yang dimabuk cinta itu berhasil menyulut rasa keingintahuan yang ada di dalam dirinya. Rasanya sama seperti dulu, saat Irin begitu tergila-gila pada Akram dan ingin tahu segala hal yang sedang laki-laki itu kerjakan.Irin pun menyewa beberapa orang untuk menyelidiki Akram secara diam-diam agar dia bisa sedikit mengobati rasa keingintahuan yang ada di hatinya.Tentu saja, Irin menyembunyikan masalah ini dari suaminya. Dia yang setiap hari berada di apartemen, paling-paling hanya bepergian ke sekitar wilayah apartemen saja, jelas tidak akan sanggup membuat suaminya curiga kalau dia sedang mencari tahu soal pria lain sekarang.Tanpa sadar, hari demi hari pun kembali berlalu. Tidak ada informasi apa pun yang berhasil dia dapatkan soal Akram dari orang-orang yang dia kerjakan di luar sana.Walaupun merasa kecewa, tapi Irin tetap tak mau berhenti berharap. Dia masih menyuruh orang-orang itu mencari tahu hingga apa yang ingin dia ketahui mendapatkan jawab
MUNGKIN apa yang terjadi pagi ini hanyalah mimpi. Walaupun dia tahu pasti jika semua itu bukanlah mimpi apalagi sebuah ilusi, nyatanya dia tidak bisa mengatakan apa pun tentang apa yang sudah terjadi pagi tadi.Rein bersikap biasa, seolah tidak pernah terjadi apa pun sebelumnya. Irin pun mencoba melakukan hal serupa, berpura-pura jika pagi ini tidak pernah ada, walau isi hati dan pikirannya jelas berusaha untuk menyangkal semuanya.Karena Irin masih bisa mengingatnya. Suara pelan yang terdengar dalam sarat akan rasa takut ditinggalkan. Pelukan erat yang terasa tidak akan pernah dilepaskan. Juga tatapan mata sayu yang tampak menyimpan luka sarat akan ketakutan.Irin tidak akan bisa melupakannya begitu saja, karena pada saat itu ... dia merasa seperti sedang bercermin. Dia seperti sedang melihat dirinya di masa lalu."Hari ini lo mau ke mana?" Rein bertanya sembari menyantap sarapan yang baru dibuat Irin beberapa saat lalu.Irin mengangkat bahu. "Gue nggak tahu, soalnya belum kepikiran s
JIKA bisa memilih, Rein tidak akan pulang untuk malam ini. Dia tidak ingin pulang, karena dia sudah tahu apa yang sedang menunggu kepulangannya, yakni Irin dengan segala curhatannya tentang seorang Akram Hardiansyah Putra.Bukan berarti dia tidak penasaran dengan pertemuan mereka sebelumnya, tapi sedikit demi sedikit sepertinya Rein bisa menerka, bagaimana cerita yang telah terjadi di antara mereka.Irin kembali bertemu dengan Joan. Entah sengaja atau hanya kebetulan belaka, Rein tidak mengetahuinya. Pertemuan itu jelas bukan jenis pertemuan biasa, karena sama seperti sebelumnya, Irin lebih suka menghindar jika memang dia bisa melakukannya.Joan memang masih terlihat menyukai Irin dan ingin mengejar layaknya dia tidak akan pernah melepaskan istrinya sampai kapan pun. Hampir mirip seperti obsesi, mungkin itu pula yang membuat Irin lebih memilih mengakhiri hubungan mereka sebelumnya.