[Ayolah, Dek. Aku bisanya cuma sabtu ini, khusus luangin waktu buat kita ketemuan loh. Please ya, kamu bisa datang. Aku gak janji setelah ini ada waktu lagi kalau kamunya ngajak ketemu]
Duh, aku dilema membaca pesan dari Mas Erlan. Seminggu ini dia terus membujuk untuk aku mau diajak ketemu. Cowok yang kukenal dari aplikasi WA itu katanya sudah tak sabar ingin melihat wajahku secara langsung. Dia Anak kulihaan, pintar, tampang lumayan dan romantis. Namun, dengan kesempurnaanya itu beberapa keraguan muncul dibenakku.[Tapi, Mas. Aku mau jujur dulu, sebenarnya aku gak secantik di foto. Aku takut kamu nanti nyesel pas udah ketemu]Akhirnya pesan itu terkirim, hal yang membuatku gundah gulana telah kuutarakan. Hasil akhirnya dia akan kecewa ya biarlah. Lebih baik aku jujur sedari awal. Sebab aku tak mau malunya saat nanti sudah berada di depannya. Melihat foto profilnya, Mas Erlan itu lumayanlah dari cowok-cowok sebelumnya yang kukenal. Maka dari itu juga aku mau merespon chatnya yang mengajak kenalan.[Apaan sih, Dek. Aku tuh gak mandang begitu ya, aku suka kamu apa adanya. Lagian aku juga gak ganteng, kulitku hitam, badanku pendek. Entah kamu bakal tetep mau gak sama aku nantinya]Ah masa sih? Kok di foto dan story yang ia posting selama ini bertolak belakang dengan yang ia sebutkan barusan. Karena kelamaan mikir, aku menganggurkan pesannya, Mas Erlan mengirimkan pesan lagi.[Please ya, Dek. Sabtu besok mau ya, kamu gak mandang fisik juga kan. Kamu gak mau ya kalau tahu aku aslinya jelek?]Aduh, membaca pesan terbarunya kok membuatku semakin bingung. Gak munafik sih, aku selalu melihat foto terlebih dahulu sebelum membalas pesan dari cowok yang tiba-tiba mengirim pesan. Namun, dengan Mas Erlan beda. Meski dia mengaku jelek, aku sama sekali tak merasa marah. Apa karena aku benar-benar sudah bucin dengannya?[Nanti aku pikir-pikir lagi ya, Mas. Soalnya kan aku gak bisa bawa motor. Terus mau ke tempatnya gimana, kan gak mungkin kamu datang ke rumah. Nanti ketahuan ibuku, nanti ya kukabarin lagi. Tidur gih sana]Dua centang abu-abu itu dalam sekejap berubah warna, dan Mas Erlan langsung mengetik. Tak sampai semenit balasan sudah masuk.[Iya sayang, Good night. Nice dream, mimpiin aku ya]Tak lupa emot hati dan emot cium diujung pesan. Pipiku mengembang, salah tingkah membaca pesan dari Mas Erlan. Setelah membaca pesan itu aku memadamkan layar ponsel lalu berbaring di ranjang dan segera tidur. Berharap benaran mimpin Mas Erlan.***Paginya, seperti biasa setelah subuhan aku membantu ibu membuat roti yang akan di titipkan di kantin sekolah. Dalam sejam semua telah selesai, aku langsung memutuskan mandi dan ibu menyelesaikan sisanya."Enak banget baru bangun," celetukku ketus saat Fandi--adik lelakiku hendak ke kamar mandi begitu aku keluar.Memang menyebalkan, mana pernah Fandi mau membantu membuat roti. Apalagi dibawa untuk dititipkan di sekolahnya. Gensinya tinggi, sementara aku harus mengubur gensi demi uang jajan."Sarapan dulu, Kak. Rotinya udah Ama masukin ke tas kamu." Aku mengangguk begitu melewati meja makan dari kayu itu, lalu menuju kamar berganti seragam dan memakai kerudung.Setelahnya aku sarapan nasi goreng buatan Ama, tak ada telur atau pun topping lainnya. Hanya nasi goreng berwarna putih. Meski begitu tetap nikmat jika di makan hangat-hangat begini. Usai makan, aku segera pamit berangkat. Jika kalian berangkat sekolah saat salaman mendapat uang jajan, berbeda denganku."Ini tinggal lima ribu buat Fandi ya, Kak. Kamu nanti jajan pake uang hasil roti kemarin aja ya." Aku mengangguk malas, lalu berangkat dengan meneteng dua kresek lorek hitam.Tiba di ujung gang, aku menunggu teman yang satu sekolah juga satu kelas denganku. Tak sampai lima menit Vina datang, aku gegas duduk di jok belakang. Motor pun melaju kencang khas anak SMA lagi pinter-pinternya naik motor.Sepuluh menit kemudian aku sampai di sekolah, setelah memakirkan motor aku langsung ke kantin meletakkan roti tape itu. Namun, penjaga kantin belum datang jadi uang roti kemarin belum bisa kudapatkan.Vina menunggu di depan kantin, begitu aku keluar kami masuk ke kelas bersama dan duduk di kursi paling depan dekat dinding.Kurogoh ponsel dari dalam tas, lalu kuhidupkan layar yang padam. Mataku melebar melihat banyak pesan spam dari Mas Erlan.[Selamat pagi, Dek][Pagi, sayang][Good morning, cinta][Kok pesanku belum dibuka, kamu ke mana. Aku kangen]Seratus satu pesan, selain pesan ucapan selamat pagi ia juga mengirim banyak emoticon hati, emoticon cium dan emoticon yang banyak sekaligus. Pagi-pagi Mas Erlan bisa saja membuatku berbunga-bunga karena hal sepele ini. Ah, merasa dicintai kenapa sebahagia ini ya?"Ehem, pagi-pagi dah senyum-senyum sendiri." Aku telonjak mendengar suara Vina, seketika aku ingat ajakan Mas Erlan untuk bertemu. Kuceritakan pada Vina dan minta untuk dia mau menemaniku. Ideku adalah mengajak Vina saat bertemu nanti."Tapi kan belum kenal lama, sebulan juga belum. Udah mau ketemuan aja, emang anak mana sih. Coba lihat fotonya dulu!"Sahabatku satu ini langsung kepo, selama ini aku belum cerita tentang kedekatanku dengan cowok bernama Erlan. Rasanya malu saja, toh belum pacaran. Tak mau seperti sebelum-sebelumnya. Sebulan dua bulan pendekatan sudah menghilang."Yaudah, aku ikut ya tapi." Aku mengangguk, setelah membujuk dengan raut memelas Vina setuju.Tiba di hari sabtu, masih jam sembilan aku sudah di rumah Vina. Kali ini aku jalan untuk menghampirinya, Vina baru saja berganti baju. Ia melirik tampilanku dari bawah hingga kepala."Mau ke mana sih, pake sepatu segala?" tanyanya."Dia mintanya aku pake sepatu, Vin. Terus minta pake kerudung juga. Keknya dia emang cowok baik-baik deh." Vina hanya memanyunkan bibirnya menanggapi ucapanku. Sementara aku sibum berkaca di depan jendela rumah Vina.Motor milik Vina dikeluarkan, aku diminta bantu mengunci pintu. Begitu naik, Vina tak langsung menghidupkan motor. "Rizta?""Hem?""Ibumu tahu?" tanyanya, aku menggeleng. Aku menepuk bahunya agar segera pergi. Lupakan izin Ibu, masa iya aku mau ngomong kalau ketemuan sama cowok. Yang benar saja. Vina pun memutar kunci, motor melaju santai.Kami sampai di depan kecamatan desa, aku mengecek pesan dari ponsel yang sudah ada di tangan. "Ini katanya ada di dalam," ucapku mengidari pandangan. Mataku menangkap seseorang di bawah pohon. Motor dan helmnya tampak tak asing, Mas Erlan pernah memosting foto memakai benda itu.Tiba-tiba cowok yang kuduga Mas Erlan pun membawa motornya mendekat ke arah aku dan Vina. Dadaku berdegup kencang, tanganku tak henti memilin baju kemejaku sendiri. Dia semakin dekat, tetapi aku tak berani menatapnya langsung."Orangnya kok pake masker sih, Ta?" tanya Vina, seketika aku menoleh. Mata kami saling bertatapan, perasaanku tak enak. Vina memintanya membuka masker, tetapi cowok itu enggan."Temenmu suruh pulang aja, aku mau ngajak kamu ke suatu tempat. Aku bukan orang jahat kok, nanti aku bakal buka masker. Kamu gak perlu takut," ucapnya melambaikan tangan memintaku mendekat.Takut? Jujur ada rasa itu sedikit. Kenapa dia tak mau melepas maskernya, apa dia sejelek itu?"Kamu Rizta kan?" tanyanya. Aku mengangguk dengan senyum tipis yang dipaksakan. Hatiku sedang tak aman, bertemu langsung dengan cowok yang selama ini saling mengirim pesan di WA. Sudah jelas deg-degan. Di situasi ini, membuatku ingat pesan pertama dari Mas Erlan hingga berakhir di pertemuan pagi ini.[Hy]Begitulah awal mula pesan singkat Mas Erlan masuk, begitu melihat fotonya aku berani menanggapi. Kalau jelek, aku memilih acuh dan berakhir ku blokir. [Siapa ya?]Tak sampai sedetik, pesanku langsung dibacanya.[Erlan, nama kamu siapa. Boleh kenalan?]Aku terdiam sejenak membaca pesan itu berulang kali, tetapi ada yang harus kutanyakan lebih dulu. [Dapat nomorku dari mana?]Lagi, pesan itu cepat terbaca. Sepertinya emang lagi gabut ini cowok.[Dari instagram, nama kamu siapa?]Alu menepuk jidat, sok kesal kalau ada nomor tak kenal iseng menghubungi. Padahal aku sendiri yang obral di semua sosial mediaku. Karena terlihat keren saja, teman-temanku juga melakukan itu. Menulis nomor W
"Eh, kamu kenapa sih. Kamu ngiranya aku ini mau jahatin kamu gitu. Aku kan ngajak kamu ke sini karena kangen, ya kali mau macem-macem. Kamu masih takut ya sama aku?" tanya cowok itu melambaikan tangannya di depan wajahku. "Ah, nggak gitu. Maksudnya ... gak usah pegang-pegang," ucapku mengecilkan suara diakhir kalimat. Dengan hati yang tak henti berdebar, tetap kutampilkan senyum di wajah ini. Seketika suasana jadi canggung di antara kami.Mas Erlan mengangguk menanggapi jawabanku, kukira ia akan tersinggung. Namun, nada suaranya malah lembut tak terlihat marah sedikit pun. Ia kembali mengajakku naik, segera aku mengekor di belakangnya. Dalam hati aku berharap tidak ada yang mengenalku saat ini. "Mau duduk di mana?" tanyanya menoleh ke arahku, aku menjawab terserah. Meski sudah pernah ke tempat ini, aku belum pernah masuk ke cafenya. Hanya pergi ke spot foto yang tak mahal. Secara anak sekolahan sepertiku akan mikir seribu kali memesan menu di sini, mahal katanya. Mas Erlan memilih
"Ya ampun, aku gak boleh nih duduk deket kamu. Duh, aku bukan orang jahat, Dek. Jangan-jangan kamu pikir di jus itu kutaruh obat lagi?" "Hah?" Aku sontak melihat ke arah gelas isi jus yang sudah tinggal setengah. Mataku melebar sangking kagetnya.Aku menelan ludah, kalau beneran dimasukin obat tidur gimana? Aku menoleh ke arah Mas Erlan, ia malah tersenyum. Maksudnya apa coba?"Bercanda, bercanda. Nih aku juga minum jusnya," ujarnya menyeruput segelas jus miliknya. "Aku pengen aja lihat kamu dari deket gini, tapi kayanya kamu gak nyaman. Maaf, ya?"Mas Erlan bergeser ke kanan lagi. Sedikit menjauh, tetapi tatapan matanya tak lepas dariku. Meski pandangaku ke meja, dan kedua tangan memegang erat gelas. Aku bisa merasakan jika terus diperhatikan."Makasi ya, kamu nurut maunya aku pake sepatu. Terus pake kerudung juga. Oh ya ... aku boleh gak minta sesuatu?"Aku jadi parno dengan kata 'sesuatu'. Seolah sedang naik roal coster di posisi tertinggi, menegangkan. Eh tahu-tahunya meluncur de
"Rahmatika Rizta, kamu mau kan jadi pacarku?" Waktu seolah berhenti berputar, keadaan sekitar seperti tak bergerak. Yang tadi berisik serasa hening dalam kepalaku, hingga yang terdengar hanya detak jantungku yang berdebar hebat. Rasanya mau lompat-lompat di tempat!Dari mana bunga itu datang, tiba-tiba saja muncul dari belakang punggung Mas Erlan?Ah! Kenapa aku memikirkan hal tak penting itu. Sekarang aku harus bagaimana. Setangkai bunga itu seolah menarik perhatianku. Seumur hidupku baru kali ini diberi bunga oleh cowok. Tak kusangka hal yang lazim terjadi di drama televisi kini sedang kualami. Sebenarnya aku tak pernah tertarik dengan bunga-bunga, tetapi kalau Mas Erlan yang ngasih? Bolehlah. Boleh banget maksudnya."Rizta?""Tapi, Mas. Kita kan baru kenal beberapa minggu, sebulan aja belum. Mas yakin gak malu pacaran sama aku?" Seketika penyakit minderku kembali jadi keraguan.Mas Erlan tampak memejam, "Aku sengaja ajak kamu ketemu, justru karena mau nembak secara langsung. Aku g
Mas Erlan mengangguk, "Kita kan udah pacaran, masa gandengan aja gak boleh. Lihat tuh yang berdua sama pasangannya," ujar Mas Erlan mengarahkan dagunya ke arah pintu masuk tadi. Ada anak remaja yang sepertinya seusiaku, nempel banget sama cowoknya kaya perangko. Kok aku risih ya, emang pacaran harus begitu?Meninggalkanku yang masih diam, Mas Erlan pergi ke kasir. Aku memperhatikannya saat membayar. Meski dari belakang, aku bisa melihat ia tampak bicara dengan pelayannya. Kaya sudah kenal dan akrab. Mungkin karena sering ke sini kali ya?Tak lama Mas Erlan datang ke meja, "Ayo!" Aku berdiri dengan membawa bunga mawar tadi, sedangkan ponsel kumasukkan ke saku celana. Tangan Mas Erlan perlahan meraih tangan kananku, ia menoleh dengan senyum manisnya. Berasa tersihir, aku gak marah kami akhirnya gandengan. Asli aku merasa risih, tak biasa dan ini begitu asing buatku.Tiba di parkiran, Mas Erlan memakaikan helm padaku. Bahkan membenarkan kerudungku. Aku hanya bisa pasrah, sambil mengigit
[Siapamu itu, Ta. Aku kaya kenal, wajahnya gak asing.]Dahiku mengernyit heran membaca komenan teman sekelas di postingan FBku. Tadi aku juga memposting foto Mas Erlan yang kusimpan di galery. Foto yang bahkan tak memperlihatkan seluruh wajahnya, tetepi Hana--temanku itu bisa mengenalinya. Berasa aneh."Kak?" "Eh, iya?"Aku menoleh ke arah Emak lagi, "Mandi dulu udah sore," ucap Emak. Aku mengangguk lalu beranjak ke kamar. Mengisi daya ponselku.Setelahnya mencari baju ganti dan keluar dari kamar membawa handuk. Lima menit saja aku sudah selesai, entah kenapa aku ingin cepat-cepat menyudahi. Karena pikiranku kini terpusat pada dua hal. Tentang komenan Hana, juga tanggapan Emak.Begitu aku masuk ke kamar, aku tersentak sudah ada Emak di kamar. Ia yang berdiri di samping ranjang menatap ke arahku di bawah bingkai pintu. Terlihat Emak menarik napas dalam, aku menggigit bibir bawahku. Takut akan dimarahi.Namun, Emak malah duduk di bibir ranjang. Memanggilku untuk duduk di sebelahku. "Or
"Tunggu, Han-""Ayo, Rizta. Ntar dimarahi pak guru!" teriak Hana. Aku menghela napas, rasanya penasaran sekali. Namun, hatiku seperti berat. Entah apa. Hana pun segera berlari keluar, aku langsung mengekor. Menyimpan tanda tanya perihal Mas Erlan itu untuk nanti. Begitu tiba di lapangan, Vina dan Rahma langsung menarikku berdiri di sebelah mereka."Lama banget sih, mentang-mentang baru jadian gak kuat pisah chatingan," ujar Rahma. Aku tergelak, lalu kami saling cubit pinggang. "Kaya kamu gak aja!"Satu jam pelajaran kami mengikuti pelajaran olahraga, Pak Guru mengajarkan lalu dipanggil siswa yang bisa memberi contoh. Begitu bel pergantian jam berbunyi, kami diminta kembali ke kelas. Beberapa siswa lain ganti baju, sedangkan aku, Rahma dan Vina tidak. "Gak bawa ganti kan?" tanya Vina, aku dan Rahma menoleh lalu menggeleng bersamaan. Kami bertiga mampir ke koperasi membeli jajanan karena masih ada waktu sebelum guru lain masuk."Rahma, ayo!" panggilku saat ia terhenti di depan kelas
[Gak papa, Ta. Takut salah orang.][Loh, gimana sih, Han?]Membaca balasan Hana bukannya lega, aku malah semakin kepikiran. Statusnya sudah tidak online lagi, dan pesanku masih centang satu. Sementara pesan dari Mas Erlan kembali masuk, membuyarkan pikiranku. Kulupakan tentang Hana sejenak dan membalas pesan-pesan mas pacar.[Sayang, kok pesanku dianggurin aja?][Aku baru selesai bantuin Ibu, Mas][Aku kira kamu ngambek, udah baca kok gak dibales-bales. Aku kangen]Aku tersenyum membaca pesannya barusan. Ingin juga kubalas bahwa sama kangennya, tetapi gengsiku tinggi.[Masa?]Aku merebahkan diri di atas ranjang, membalas pesan-pesan Mas Erlan yang terus bilang kangen. Wajahku tak henti mengembang, senyum-senyum sendiri membaca pesan dari Mas Erlan. [Kamu udah makan, yank?][Udah, kamu, Mas?][Belum, maunya disuapin kamu]Aku terkekeh membaca balasan itu, ada-ada saja jawabannya. Kakiku tak bisa diam, badanku guling ke kanan dan ke kiri. Salah tingkah sendiri.Kami berbalas pesan hin
Seperti jahitan akan luka itu mau sembuh, sebentar lagi akan mengering. Segala upaya aku coba untuk membuat luka itu terus membaik. Siapa sangka, hampir di garis finish justru sosok Erlan tiba-tiba muncul. Memanggilku, membuat langkahku yang akan sampai terhenti di tengah jalan tanpa aba-aba.[Balas aja, Ta. Dia katanya mau minta maaf secara langsung]Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan Mbak Izza. Kenapa ia malah memberikan nomorku pada Erlan. Bahkan tanpa izin dulu padaku. Ia menganggap itu hal lumrah, seperti dirinya yang bisa kembali berteman dengan mantan-mantannya.Sayangnya, aku tidak begitu. Nomor Erlan sudah kuhapus. Di nomor baru ini pun tentu namanya sudah tak ada. Lagi pula pesan Mbak Izza bertentangan dengan hatiku. Melihat profil foto Erlan yang duduk manis di sebuah kursi. Dia tampak baik-baik saja, tak kutemukan penyesal dari wajahnya. Apa dia kira masih bisa menipuku?Lagipula kenapa mendadak muncul kembali. Aku sudah lama berusaha melupakannya. Bahkan setiap pria ya
"Yank?"Aku terkejut mendengar suara itu, seorang wanita sedang berbonceng dengan teman perempuannya. Siapa yang barusan ia sapa? Cowok yang menawariku bareng ini?"Iya, duluan aja. Kasihan ini jalan kaki.""Oke, nanti aku tunggu di depan rumah ya, daaa. Naik aja, Mbak," ucap wanita itu menatapku. Dia kan juga satu kerjaan denganku, tetapi aku lupa namanya karena jarang berinteraksi.Motor wanita tadi melaju pergi, aku menoleh ke cowok tadi. Ia kembali mengajak naik, lumayan bisa sampai dengan cepat. Aku naik saja dengan duduk menyamping. Setelah motor berjalan, kami hanya diam. Lima menit kemudian, aku meminta berhenti di depan gang memasuki rumah. "Terima kasih ya," ucapku. Ia hanya mengangguk lalu kembali melajukan motornya dengan cepat.Aku langsung berjalan memasuki gang sambil bermain ponsel. Ada notifikasi dari grup tempat kerjaku. Mataku memicing menatap layar, sebuah undangan diperuntukan semua karyawan di konveksi.Saat kulihat namanya, ternyata Mas Edi. Kulihat lagi, denga
"Iyalah di blok, orang kamu nyumpahin gini," ujarku terkekeh membaca pesan Fandi pada Erlan. Tanpa dibalas, Erlan langsung memblokir nomor adikku setelah membacanya.Sungguh aku tak menyangka Fandi akan mengumpati Erlan begitu. Pasti Erlan kaget bukan main, mungkin juga langsung ketakutan baca ancaman Fandi. Salah sendiri macam-macam denganku. Meski kami setiap harinya ada saja yang jadi bahan gelut, jarang akur. Tentu hubungan darah kakak adik tak bisa terputus kan.Dulu saat aku kecelakaan, bahkan Fandi menangis. Pertama kalinya aku lihat sosoknya yang cengeng. Padahal aku yang kepalanya berdarah saja santai. Eh dia setiap aku akan terpejam langsung mengguncangkan tubuhku."Baca surat pendek, Kak. Surat an nas, Al fatihah, jangan merem!" Ingat sekali ekspresi takutnya itu. Ia mengira saat aku terpejam, kakaknya akan mati.Meski kata-kata kasar yang keluar, di satu sisi aku senang. Fandi melakukan itu karena geram, dan sakit hati kakaknya disakiti. Meski adikku itu tak bisa menghibu
[Bukan aku yang blokir, tapi Erlan.] Mataku berkedip berulang kali, mendekatkan layar ponsel ke wajah. Jadi, bukan Mbak Izza pelaku pemblokirannya. Kukira Mbak Izza kemakan dengan omongan Erlan kalau aku ini akan menganggu hubungan mereka. Padahal yang kuberitahu pada Mbak Izza, semua adalah kenyataan. Tak kulebihkan, alias apa adanya.[Terus, sekarang kok blokirannya dibuka. Ntar orangnya marah tahu Mbak WAnan sama aku]Aneh saja kan, tiba-tiba Mbak Izza menghubungi lebih dulu. Nanti aku lagi yang disalahkan.[Kami udah putus]Hah? Mereka berdua sudah putus?Aku terdiam menatap layar ponsel yang masih menyala. Membaca lagi pesan yang baru saja dikirim Mbak Izza. Tanpa sadar kedua sudut bibirku menyungging. Mengetahui mereka pada akhirnya juga putus. Ada sedikit perasaan senang dalam hatiku.[Aku baru inget aja nomor kamu di blok sama dia]Balasan Mbak Izza lagi, aku mulai menggerakan jariku lebih bersemangat. Tetap saja aku kepo apa yang terjadi sampai akhirnya mereka putus juga.[
Aku menghembuskan napas perlahan, bayang-bayang wajah Erlan terus saja melintas di benakku. Sudah tak selera makan, tak bersemangat setelah putus dengannya. Namun, kehidupan cowok itu sama sekali tak berubah. Tentu saja, ia masih memiliki Mbak Izza di sisinya.Demi apapun, di sisi manapun, aku merasa tak rela akan kenyataan itu. Hatiku seolah menuntut sesuatu yang memuaskan egoku. Erlan harusnya juga sakit, setidaknya efek dari perbuatannya adalah kehilangan Mbak Izza. Namun, dunia masih memberi kesempatan pada cowok seperti Erlan?Kuletakkan ponsel di ranjang lalu keluar membasuh wajah. Berharap bisa menghapuskan kenangan bersama Erlan dalam sekejap. Sungguh aku benci mengingat semua ekspresinya yang selama ini kusuka. Kini, aku membencinya.Vina mendatangiku, ia hanya berdiri menunggu, tetapi aku tahu ia pasti cemas.Segera kusudahi bermain air dan kembali masuk ke kamar. Kami harus tidur lebih awal hari ini karena acara besok mengharuskan bangun cepat karena CVD itu diadakan pagi
"Udah jam dua belas, tidur gih," ujar Vina. Aku mengangguk, beranjak ke ranjang. Meletakkan ponsel begitu saja dan merebahkan diri.Tidur, Ta. Berulang kali aku bergumam, agar bisa tidur segera.Aku melirik Vina yang sudah tidur, ia pasti menahan kantuk mendengarkan curhatanku. Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghadap ke kanan, ke dinding dan memejamkan mata.Mataku terbuka, aku meraba mencari ponsel. Kukira sudah pagi, tetapi melihat jam di layar aku meringis. Ternyata aku hanya tertidur selama dua jam. Kupaksakan lagi agar bisa terlelap, tetapi sulit.Aku akhirnya turun dari ranjang, meraih ponsel membawanya keluar. Aku kembali duduk di tangga, kepalaku bersandar ke dinding. Tak terasa air mataku kembali berjatuhan.Hingga azan subuh berkumandang, terdengar Vina mencariku. Begitu keluar, ia terkejut menemukanku di tangga. Namun, ia tak banyak bicara. Hanya mengajakku untuk subuhan. Ketika matahari sudah terlihat, rasanya malas untuk bergerak. Aku hanya merebahkan diri di ranjang, p
[Hehe masa sih, Mbak?]Balasku masih santai, toh Mbak Izza menambahkan 'hehe', mungkin ia bercanda kan? Pesanku cepat dibaca, Mbak Izza langsung mengetik.[Emang siapanya kamu itu?]Kenapa Mbak Izza ingin tahu? Mungkin ia benar-benar mengenali tulisan itu. Tunggu, bagaimana bisa orang bisa hapal dan kenal tulisan seseorang, jika tak kenal baik?[Temen][Temen hidup, hehe] Kirimku lagi.Aku sertakan emot tawa dibelakangnya, Mbak Izza sepertinya tak keluar dari ruang chat jadi pesanku terkirim langsung centang biru.[Siapa namanya, kalau boleh tahu?]Aku menelan ludah, obrolan ini tak menjerumus ke hal candaan, terasa semakin serius. [Malikkah?][Ternyata dia gak cuma buatin tulisan itu buat aku, haha]Deg, kok Mbak Izza bisa menebak nama itu. Lalu, maksudnya buatin tulisan?[Bukan, Mbak. Namanya Erlan] Aku masih mencoba tenang, menghalau perasaan yang rasanya jantungku mengeras, sulit bernapas. Ada apa ini? Setelah semua kecurigaan, inikah jawabannya?[Iya, Erlan. Muhammad Erlan Mali
Aku langsung turun, menjelaskan apa yang terjadi pada mereka saat ada yang bertanya. Ketika beberapa lainnya menunggu di luar, sedangkan yang piket sudah masuk dari pintu rumah Bu Nana. Sudah jam setengah delepan, tetapi Mas Erlan belum tampak juga. Aku menyadari beberapa siswi lain memperhatikanku, semakin membuatku canggung. Entah apalah yang mereka pikirkan, aku mau keluar malam-malam.Aku kembali ke kamar, mengambil ponsel yang tertinggal. Ada Vina dan Linda yang sedang berdandan."Udah datang, Ta?""Belum," jawabku.Malu untuk turun lagi, diperhatikan siswi lain, aku memilih menunggu dengan duduk di depan televisi. Sambil membereskan kertas-kertas laporan yang berantakan. Sesekali melirik layar ponsel, aku minta Mas Erlan mengirimkan pesan jika tiba di depan gerbang. Kesempatan bagus juga kan? Nanti yang lain akan lihat seperti apa pacarku. Tentu aku begitu beruntung mendapatkannya.Asik membereskan laporan, tiba-tiba Ratna naik ke atas memanggilku. "Rizta!"Segera aku turun, m
"Loh, kenapa. Kan aku belum pernah cium kamu, yank?" Aku menggeleng samar, lalu memalingkan wajah sebagai penolakan. "Yaudah, kalau gitu aku mau kamu cium pipiku aja deh," ujarnya lagi.Mas Erlan bahkan terus membujuk, aku sendiri hanya menggeleng tanpa penolakan tegas. Ciuman? Apakah itu harus. Berpegangan tangan saja terkadang aku merasa menyesal setelahnya, juga merasa bersalah pada Emak."Sayaaang," bujuknya lagi."Buat apa sih, Mas." "Buat bikin aku semangat, Yank. Aku capeek banget, pengen dapet cium dari kamu. Mau ya, yank?" Aku menatap wajahnya yang memohon, Mas Erlan terus mendesak. "Sekaliii aja, yank."Kupejamkan mata sejenak, menggaruk tengkukku yang terasa merinding karena angin malam. Aku masih kekeh menggeleng, menolak secara halus. "Yaudah deh," ujar Mas Erlan tampak lemas dari suaranya. Hening sejenak, lalu Mas Erlan langsung berdiri, membuka lebar tangannya. "Peluk aja deh, pleasee, yank." Aku mendongak menatap wajahnya yang melihat sekitar, perlahan aku berdi