"Ya ampun, aku gak boleh nih duduk deket kamu. Duh, aku bukan orang jahat, Dek. Jangan-jangan kamu pikir di jus itu kutaruh obat lagi?"
"Hah?" Aku sontak melihat ke arah gelas isi jus yang sudah tinggal setengah. Mataku melebar sangking kagetnya.Aku menelan ludah, kalau beneran dimasukin obat tidur gimana? Aku menoleh ke arah Mas Erlan, ia malah tersenyum. Maksudnya apa coba?"Bercanda, bercanda. Nih aku juga minum jusnya," ujarnya menyeruput segelas jus miliknya. "Aku pengen aja lihat kamu dari deket gini, tapi kayanya kamu gak nyaman. Maaf, ya?"Mas Erlan bergeser ke kanan lagi. Sedikit menjauh, tetapi tatapan matanya tak lepas dariku. Meski pandangaku ke meja, dan kedua tangan memegang erat gelas. Aku bisa merasakan jika terus diperhatikan."Makasi ya, kamu nurut maunya aku pake sepatu. Terus pake kerudung juga. Oh ya ... aku boleh gak minta sesuatu?"Aku jadi parno dengan kata 'sesuatu'. Seolah sedang naik roal coster di posisi tertinggi, menegangkan. Eh tahu-tahunya meluncur dengan aman. Mana aku curigaan mulu, mikir dia mau macem-macem terus dari tadi."Apa emangnya," jawabku setelahnya."Jangan posting foto gak pake kerudung lagi ya, kan rambutmu itu aurat. Jangan kaya temen kamu tadi keluar gak pake kerudung. Dia islam bukan sih?"Aku terkekeh, "Iya islam dong, kami kan sekolah di Muhammadiyah." Mas Erlan mengangguk-angguk."Aku cuma ngomongin buat kebaikan kamu," lanjutnya lagi.Aku terdiam sejenak, ucapan seolah angin yang berhembus sejuk di telinga. Nasehatinnya sopan dan gak bikin aku malu. Pantas setiap aku posting story foto tanpa jilbab, ia selalu memberi reaksi emot sedih. Jadi ini maksudnya? Ah jadi semangat pake kerudung kalau gini. Selama ini hanya saat ke sekolah saja aku menutupi rambut panjangku."Cantik tahu pake kerudung, aku suka," ucapnya lagi. Bibirnya melengkung mengulas senyum manis. Ya ampun, aku butuh napas buatan. Senyumnya bikin melayang ke awan.Sudah ganteng, alim lagi. Sekarang nasehatin pake kerudung. Paket lengkap deh Mas Erlan ini, fiks tipe aku banget!Mas Erlan mulai bertanya banyak hal. Ia tampak pandai membuatku terpancing ingin bercerita. Dari awal yang irit bicara, cuma diem dan senyum-senyum doang. Sekarang tanpa sadar aku leluasa bicara, menanggapi apapun topik yang ia pertanyakan. Dia orangnya asik juga. Untuk orang sepertiku ini, seringkali dicap pendiam, sombong. Namun, mereka tak tahu saja kalau sudah satu frekuensi aku bisa jadi si Rizta yang cerewet. Apa aja bisa jadi bahan obrolan."Oh, ya. Kamu kan katanya bukan orang sini. Orang Padang kan ya, ceritain dong gimana cerita bisa sampe di jawa. Aku penasaran, karena kalau kamu masih di Padang, aku gak bisa kenal kamu.""Aku pindah karena kakek meninggal, dan nenek gak ada yang rawat. Jadi lulus Mts aku pindah deh ke jawa," jawabku sekenanya."Coba dong bahasa daerah kamu itu, aku pengen denger." Aku menggeleng, malu. Takut diledek, bahasa jawaku saja sering dijadiin becandaan sama temen sekelas.Akhirnya Mas Erlan nyerah, dia bilang tak mau memaksa kalau aku tak mau dan tak suka. Ya ampun, pengertian banget ya? Aku gak nyangka ternyata kata-kata 'semua cowok itu sama saja' yang keluar dari mulutku sendiri setelah di gosting temennya Vina, terbantahkan saat bertemu dengan Mas Erlan."Kamu mau rencana apa habis lulus, kuliah kan?" tanyanya. Seketika aku terdiam sejenak."Kalau mau kuliah, ayahku sih minta aku balik ke Padang-""Jangan dong, aku gak mau kamu tinggal. Please, di sini aja ya. Masa kamu tega sih tinggalin aku. Kan bisa kuliah di sini, nanti aku bantu cari tempat kuliah yang kamu mau."Aku terkekeh, padahal aku masih kelas 2 SMA awal. Belum terpikirkan akan lanjut kuliah di mana. Namun, ekspresi Mas Erlan seolah menyihirku. Kaya anak kecil takut ditinggal emaknya, serius deh. Lucu!Lagian mikirnya jauh amat, emang kita ini apa coba?"Lagian itu masih lama, kita-""Kalau ada hubungan lebih dari ini, kamu mau kan tetap di sini?" Spontan saja aku mengangguk. Terlihat jelas aku ini seolah berkata 'tembak aku, bang!'Raut Mas Erlan tampak lega dengan tanggapanku. Lagi pula siapa yang tahu hubungan ini setahun kedepan, tetapi dia bicara seolah ingin terus bersamaku.Mas Erlan kembali memintaku untuk meminum lagi jus milikku. Sambil menyeruput lewat sedotan, aku melirik Mas Erlan. Ia juga sedang menyeruput jus miliknya. Ya ampun, kenapa dia ganteng banget ya."Gak kerasa ya udah dua jam kita ngobrol," ucapnya melirik jam di pergelangannya.Masa sih? Aku sama sekali tak sadar. Duh, udah pergi selama ini. Ah, jadi bingung ntar kalau emak nanya. Meski lagi kerja, kan ada Fandi--adikku. Kalau dia ngadu gimana?"Rizta?" tanyanya mendongakkan wajah, aku tersentak dan langsung mengalihkan wajah ke arah lain."Kamu beneran belum pernah pacaran, kenapa?" tanyanya. Aku menoleh, menatap sejenak lalu memalingkan wajah lagi ke gelas di atas meja.Kenapa ya? Ya jelas dilarang sama emaklah. Masa aku harus bilang begitu? Bukannya semua orangtua pasti melarang kan?"Sekolah dulu yang bener, jangan mikirin pacaran-pacaran!"Dulu pas SMP pun, ketika temanku pada pacaran. Aku cuma jadi penonton. Sampai ada yang nembak depan kelas, di depan gerbang sekolah. Aku cuma geleng-geleng kepala. Apa mereka gak dimarahin ya sama emaknya?Sampai satu kejadian, aku menyukai seorang cowok yang satu kelas denganku. Diam-diam selama pelajaran aku memperhatikannya. Sahabatku yang terdekat saat itu, kuceritakan rasa sukaku pada cowok itu. Dia menjadi pendengar yang baik, seolah mendukung perasaanku ini.Eh tapi, beberapa hari setelahnya apa yang terjadi? Dia pacaran sama cowok yang aku suka, dong! Kan sakit hati ya, mana ada yang bilang, "Kamu gak papa kan, Rian pacaran sama Intan?""Gak papa, lagian aku mah cuma suka-suka biasa doang. Soalnya gak boleh pacaran sama Emak!" jawabku ketus. Padahal aslinya mah pengen banget jorokin temenku itu ke got."Kamu kayanya anaknya penurut ya?" Mas Erlan hampir saja menyentuh tanganku. Jantungku dag dig dug dibuatnya. Dia mau coba pegang-pegang aku lagi. Telat sedetik saja ia berhasil. Ia kembali terkekeh melihat tingkahku.Menanggapi ucapannya barusan aku cuma cengegesan. Aku kembali menyeruput jus, sampai tak sadar hampir habis. Mas Erlan tertawa kecil, "Minum terus kembung loh ntar," ujarnya.Lagi, aku cuma cengengesan."Rizta?""Hem?""Kalau ada yang nembak kamu terima gak?"Tanganku yang mengaduk-ngaduk gelas dengan sedotan terhenti. Kini mataku berani menatapnya langsung. Kedua alisinya naik, seolah memberi kode."Kalau iya, aku jadi yang pertama dong?""Heh?"Aku menelan ludah, menarik napas perlahan. Tetap tenang meski jantung tak aman. Jangan geer ya, Rizta. Buang jauh-jauh pikiran adegan cowok berlutut ngasih bunga di depan kamu!"Aku nanya loh dari tadi, gak dijawab. Aku soalnya gak suka ada penolakan. Juga mau pastiin jawabannya dulu, takut kalau kamu bakal tolak, malu dong aku.""Kamu bakal terima kan?" Kami kenal juga baru tiga minggu, dulu aku pikir buat apa sih pacaran. Temenan tapi mesra aja dah cukup, tapi setelah dua kali aku di gosthing. Tiba-tiba cowok yang dekat denganku malah punya pacar. Kini kok rasanya pengen gitu hubungan di resmikan.Kalau bukan siapa-siapanya tuh kaya mau apa-apa juga bingung. Misal merasa cemburu dia deket sama yang lain? Lah aku siapa, aku siapa?Mas Erlan kini berdiri, tangan kanannya ke belakang punggung. "Rizta, kamu mau gak jadi pacar aku?" Tiba-tiba dari tangan kanannya sudah ada setangkai bunga mawar disodorkan ke hadapanku.Tolong, aku mau pingsan!"Rahmatika Rizta, kamu mau kan jadi pacarku?" Waktu seolah berhenti berputar, keadaan sekitar seperti tak bergerak. Yang tadi berisik serasa hening dalam kepalaku, hingga yang terdengar hanya detak jantungku yang berdebar hebat. Rasanya mau lompat-lompat di tempat!Dari mana bunga itu datang, tiba-tiba saja muncul dari belakang punggung Mas Erlan?Ah! Kenapa aku memikirkan hal tak penting itu. Sekarang aku harus bagaimana. Setangkai bunga itu seolah menarik perhatianku. Seumur hidupku baru kali ini diberi bunga oleh cowok. Tak kusangka hal yang lazim terjadi di drama televisi kini sedang kualami. Sebenarnya aku tak pernah tertarik dengan bunga-bunga, tetapi kalau Mas Erlan yang ngasih? Bolehlah. Boleh banget maksudnya."Rizta?""Tapi, Mas. Kita kan baru kenal beberapa minggu, sebulan aja belum. Mas yakin gak malu pacaran sama aku?" Seketika penyakit minderku kembali jadi keraguan.Mas Erlan tampak memejam, "Aku sengaja ajak kamu ketemu, justru karena mau nembak secara langsung. Aku g
Mas Erlan mengangguk, "Kita kan udah pacaran, masa gandengan aja gak boleh. Lihat tuh yang berdua sama pasangannya," ujar Mas Erlan mengarahkan dagunya ke arah pintu masuk tadi. Ada anak remaja yang sepertinya seusiaku, nempel banget sama cowoknya kaya perangko. Kok aku risih ya, emang pacaran harus begitu?Meninggalkanku yang masih diam, Mas Erlan pergi ke kasir. Aku memperhatikannya saat membayar. Meski dari belakang, aku bisa melihat ia tampak bicara dengan pelayannya. Kaya sudah kenal dan akrab. Mungkin karena sering ke sini kali ya?Tak lama Mas Erlan datang ke meja, "Ayo!" Aku berdiri dengan membawa bunga mawar tadi, sedangkan ponsel kumasukkan ke saku celana. Tangan Mas Erlan perlahan meraih tangan kananku, ia menoleh dengan senyum manisnya. Berasa tersihir, aku gak marah kami akhirnya gandengan. Asli aku merasa risih, tak biasa dan ini begitu asing buatku.Tiba di parkiran, Mas Erlan memakaikan helm padaku. Bahkan membenarkan kerudungku. Aku hanya bisa pasrah, sambil mengigit
[Siapamu itu, Ta. Aku kaya kenal, wajahnya gak asing.]Dahiku mengernyit heran membaca komenan teman sekelas di postingan FBku. Tadi aku juga memposting foto Mas Erlan yang kusimpan di galery. Foto yang bahkan tak memperlihatkan seluruh wajahnya, tetepi Hana--temanku itu bisa mengenalinya. Berasa aneh."Kak?" "Eh, iya?"Aku menoleh ke arah Emak lagi, "Mandi dulu udah sore," ucap Emak. Aku mengangguk lalu beranjak ke kamar. Mengisi daya ponselku.Setelahnya mencari baju ganti dan keluar dari kamar membawa handuk. Lima menit saja aku sudah selesai, entah kenapa aku ingin cepat-cepat menyudahi. Karena pikiranku kini terpusat pada dua hal. Tentang komenan Hana, juga tanggapan Emak.Begitu aku masuk ke kamar, aku tersentak sudah ada Emak di kamar. Ia yang berdiri di samping ranjang menatap ke arahku di bawah bingkai pintu. Terlihat Emak menarik napas dalam, aku menggigit bibir bawahku. Takut akan dimarahi.Namun, Emak malah duduk di bibir ranjang. Memanggilku untuk duduk di sebelahku. "Or
"Tunggu, Han-""Ayo, Rizta. Ntar dimarahi pak guru!" teriak Hana. Aku menghela napas, rasanya penasaran sekali. Namun, hatiku seperti berat. Entah apa. Hana pun segera berlari keluar, aku langsung mengekor. Menyimpan tanda tanya perihal Mas Erlan itu untuk nanti. Begitu tiba di lapangan, Vina dan Rahma langsung menarikku berdiri di sebelah mereka."Lama banget sih, mentang-mentang baru jadian gak kuat pisah chatingan," ujar Rahma. Aku tergelak, lalu kami saling cubit pinggang. "Kaya kamu gak aja!"Satu jam pelajaran kami mengikuti pelajaran olahraga, Pak Guru mengajarkan lalu dipanggil siswa yang bisa memberi contoh. Begitu bel pergantian jam berbunyi, kami diminta kembali ke kelas. Beberapa siswa lain ganti baju, sedangkan aku, Rahma dan Vina tidak. "Gak bawa ganti kan?" tanya Vina, aku dan Rahma menoleh lalu menggeleng bersamaan. Kami bertiga mampir ke koperasi membeli jajanan karena masih ada waktu sebelum guru lain masuk."Rahma, ayo!" panggilku saat ia terhenti di depan kelas
[Gak papa, Ta. Takut salah orang.][Loh, gimana sih, Han?]Membaca balasan Hana bukannya lega, aku malah semakin kepikiran. Statusnya sudah tidak online lagi, dan pesanku masih centang satu. Sementara pesan dari Mas Erlan kembali masuk, membuyarkan pikiranku. Kulupakan tentang Hana sejenak dan membalas pesan-pesan mas pacar.[Sayang, kok pesanku dianggurin aja?][Aku baru selesai bantuin Ibu, Mas][Aku kira kamu ngambek, udah baca kok gak dibales-bales. Aku kangen]Aku tersenyum membaca pesannya barusan. Ingin juga kubalas bahwa sama kangennya, tetapi gengsiku tinggi.[Masa?]Aku merebahkan diri di atas ranjang, membalas pesan-pesan Mas Erlan yang terus bilang kangen. Wajahku tak henti mengembang, senyum-senyum sendiri membaca pesan dari Mas Erlan. [Kamu udah makan, yank?][Udah, kamu, Mas?][Belum, maunya disuapin kamu]Aku terkekeh membaca balasan itu, ada-ada saja jawabannya. Kakiku tak bisa diam, badanku guling ke kanan dan ke kiri. Salah tingkah sendiri.Kami berbalas pesan hin
"Tu-tunggu," ucapku hendak menahan Hana.Namun, ia sudah duduk di kursinya dan ngobrol dengan teman sebangkunya. Bersamaan semua siswa kembali ke kursinya karena kedatang Bu Guru. Kutarik napas dalam, lalu melihat layar ponsel sejenak. Mencuri-curi waktu saat bu guru masih sibuk mencari sesuatu dari tasnya.[Selamat pagi, sayangku. Semangat sekolahnya ya, love you]Aku menghela napas, meski senyumku sulit kembali. Pesan dari Mas Erlan tak ada yang berubah. Aku mencoba berpikir positif bahwa perkataan Hana salah. "Baik, anak-anak. Tadi guru sedang rapat sebentar ya, tapi bukan berarti kalian lepas tugas. Sekarang buka buku paketnya!"Aku menyimpan ponsel ke dalam laci, lalu membuka tas yang berada di belakang punggungku. Tari yang tepat dibelakangku mendekatkan wajahnya."Rizta, tadi ucapan Hana itu-""Gak, salah kali," jawabku cepat membantah. Begitu buku yang kucari ketemu, langsung berbalik ke depan menghindari Dewi. Mulutnya itu sedikit lemes, aku gak mau terpengaruh oleh omongann
"Mo-modus?"Ting! Pesan masuk dari Mas Erlan menyadarkanku dari lamunan. Ucapan Bang Amar terus terngiang di kepala. Ingatan pertemuan kami, di mana Mas Erlan terus mencoba menyentuhku. Semua tampak saling bertolak belakangan.Aku segera bangkit, menjauh dari Emak dan Fandi. Mereka melanjutkan pembicaraan dan aku memilih ke kamar. Begitu tubuhku terbaring di ranjang, kubiarkan notifikasi pesan terus masuk. Yang mana itu pasti Mas Erlan. Aku bisa tahu, sebab kupilihkan nada dering khusus untuk kontaknya.Mataku tiba-tiba terasa berat, kubiarkan rasa ngantuk datang dan membiarkan ponselku terus berdering. Entahlah, aku ingin tertidur tanpa memikirkan hal lain.Hingga mataku terbuka, sudah azan subuh saja. Terdengar suara air dari luar, itu pasti Emak. Aku gegas beranjak dari ranjang menuju dapur."Udah bangun, Kak. Tumben semalem tidur cepet, gak begadang.""Heem." Badanku masih sempoyongan, aku memilih duduk di kursi meja makan, dan merebahkan kepala sejenak.Lagian hari ini Mas Erlan
"Kalau kamu mikir gitu, berarti gak percaya sama pasangan kamu sendiri. Buat apa menjalin hubungan kalau kalau gak saling percaya?"Mulutku seolah dikunci oleh ucapan Mas Erlan. Hal sederhana ini jadi rumit, kuputuskan diam sebab lelah adu argumen dan akhirnya aku kalah."Aku percaya sama kamu, kamu harusnya juga gitu kan?"Aku melengos, mengangguk kecil dan membiarkannya terus bicara. Baiklah aku percaya, dan semoga dia bukan pria buaya. Kubuang jauh-jauh pikiran jelek tentang Mas Erlan. Emak kembali, bagaimanapun aku harus tersenyum di depannya.Hari makin sore, Mas Erlan pamit karena juga ada janji menjemput ibunya yang pulang kerja. Setelah bersaliman pada Emak, ia keluar. Aku melambaikan tangan mengiringi kepergiannya.Aku kembali ke kamar, melanjutkan beberapa hal yang mau kubersihkan. Hampir sejam aku berkutat di kamar, setelah beres aku bermain ponsel hingga tak terasa saat mataku terbuka suasana terasa sepi.Ternyata tengah malam, aku tidur terlalu cepat dan terjaga jam segin
Seperti jahitan akan luka itu mau sembuh, sebentar lagi akan mengering. Segala upaya aku coba untuk membuat luka itu terus membaik. Siapa sangka, hampir di garis finish justru sosok Erlan tiba-tiba muncul. Memanggilku, membuat langkahku yang akan sampai terhenti di tengah jalan tanpa aba-aba.[Balas aja, Ta. Dia katanya mau minta maaf secara langsung]Sejujurnya aku sedikit kecewa dengan Mbak Izza. Kenapa ia malah memberikan nomorku pada Erlan. Bahkan tanpa izin dulu padaku. Ia menganggap itu hal lumrah, seperti dirinya yang bisa kembali berteman dengan mantan-mantannya.Sayangnya, aku tidak begitu. Nomor Erlan sudah kuhapus. Di nomor baru ini pun tentu namanya sudah tak ada. Lagi pula pesan Mbak Izza bertentangan dengan hatiku. Melihat profil foto Erlan yang duduk manis di sebuah kursi. Dia tampak baik-baik saja, tak kutemukan penyesal dari wajahnya. Apa dia kira masih bisa menipuku?Lagipula kenapa mendadak muncul kembali. Aku sudah lama berusaha melupakannya. Bahkan setiap pria ya
"Yank?"Aku terkejut mendengar suara itu, seorang wanita sedang berbonceng dengan teman perempuannya. Siapa yang barusan ia sapa? Cowok yang menawariku bareng ini?"Iya, duluan aja. Kasihan ini jalan kaki.""Oke, nanti aku tunggu di depan rumah ya, daaa. Naik aja, Mbak," ucap wanita itu menatapku. Dia kan juga satu kerjaan denganku, tetapi aku lupa namanya karena jarang berinteraksi.Motor wanita tadi melaju pergi, aku menoleh ke cowok tadi. Ia kembali mengajak naik, lumayan bisa sampai dengan cepat. Aku naik saja dengan duduk menyamping. Setelah motor berjalan, kami hanya diam. Lima menit kemudian, aku meminta berhenti di depan gang memasuki rumah. "Terima kasih ya," ucapku. Ia hanya mengangguk lalu kembali melajukan motornya dengan cepat.Aku langsung berjalan memasuki gang sambil bermain ponsel. Ada notifikasi dari grup tempat kerjaku. Mataku memicing menatap layar, sebuah undangan diperuntukan semua karyawan di konveksi.Saat kulihat namanya, ternyata Mas Edi. Kulihat lagi, denga
"Iyalah di blok, orang kamu nyumpahin gini," ujarku terkekeh membaca pesan Fandi pada Erlan. Tanpa dibalas, Erlan langsung memblokir nomor adikku setelah membacanya.Sungguh aku tak menyangka Fandi akan mengumpati Erlan begitu. Pasti Erlan kaget bukan main, mungkin juga langsung ketakutan baca ancaman Fandi. Salah sendiri macam-macam denganku. Meski kami setiap harinya ada saja yang jadi bahan gelut, jarang akur. Tentu hubungan darah kakak adik tak bisa terputus kan.Dulu saat aku kecelakaan, bahkan Fandi menangis. Pertama kalinya aku lihat sosoknya yang cengeng. Padahal aku yang kepalanya berdarah saja santai. Eh dia setiap aku akan terpejam langsung mengguncangkan tubuhku."Baca surat pendek, Kak. Surat an nas, Al fatihah, jangan merem!" Ingat sekali ekspresi takutnya itu. Ia mengira saat aku terpejam, kakaknya akan mati.Meski kata-kata kasar yang keluar, di satu sisi aku senang. Fandi melakukan itu karena geram, dan sakit hati kakaknya disakiti. Meski adikku itu tak bisa menghibu
[Bukan aku yang blokir, tapi Erlan.] Mataku berkedip berulang kali, mendekatkan layar ponsel ke wajah. Jadi, bukan Mbak Izza pelaku pemblokirannya. Kukira Mbak Izza kemakan dengan omongan Erlan kalau aku ini akan menganggu hubungan mereka. Padahal yang kuberitahu pada Mbak Izza, semua adalah kenyataan. Tak kulebihkan, alias apa adanya.[Terus, sekarang kok blokirannya dibuka. Ntar orangnya marah tahu Mbak WAnan sama aku]Aneh saja kan, tiba-tiba Mbak Izza menghubungi lebih dulu. Nanti aku lagi yang disalahkan.[Kami udah putus]Hah? Mereka berdua sudah putus?Aku terdiam menatap layar ponsel yang masih menyala. Membaca lagi pesan yang baru saja dikirim Mbak Izza. Tanpa sadar kedua sudut bibirku menyungging. Mengetahui mereka pada akhirnya juga putus. Ada sedikit perasaan senang dalam hatiku.[Aku baru inget aja nomor kamu di blok sama dia]Balasan Mbak Izza lagi, aku mulai menggerakan jariku lebih bersemangat. Tetap saja aku kepo apa yang terjadi sampai akhirnya mereka putus juga.[
Aku menghembuskan napas perlahan, bayang-bayang wajah Erlan terus saja melintas di benakku. Sudah tak selera makan, tak bersemangat setelah putus dengannya. Namun, kehidupan cowok itu sama sekali tak berubah. Tentu saja, ia masih memiliki Mbak Izza di sisinya.Demi apapun, di sisi manapun, aku merasa tak rela akan kenyataan itu. Hatiku seolah menuntut sesuatu yang memuaskan egoku. Erlan harusnya juga sakit, setidaknya efek dari perbuatannya adalah kehilangan Mbak Izza. Namun, dunia masih memberi kesempatan pada cowok seperti Erlan?Kuletakkan ponsel di ranjang lalu keluar membasuh wajah. Berharap bisa menghapuskan kenangan bersama Erlan dalam sekejap. Sungguh aku benci mengingat semua ekspresinya yang selama ini kusuka. Kini, aku membencinya.Vina mendatangiku, ia hanya berdiri menunggu, tetapi aku tahu ia pasti cemas.Segera kusudahi bermain air dan kembali masuk ke kamar. Kami harus tidur lebih awal hari ini karena acara besok mengharuskan bangun cepat karena CVD itu diadakan pagi
"Udah jam dua belas, tidur gih," ujar Vina. Aku mengangguk, beranjak ke ranjang. Meletakkan ponsel begitu saja dan merebahkan diri.Tidur, Ta. Berulang kali aku bergumam, agar bisa tidur segera.Aku melirik Vina yang sudah tidur, ia pasti menahan kantuk mendengarkan curhatanku. Kutarik napas dalam-dalam, lalu menghadap ke kanan, ke dinding dan memejamkan mata.Mataku terbuka, aku meraba mencari ponsel. Kukira sudah pagi, tetapi melihat jam di layar aku meringis. Ternyata aku hanya tertidur selama dua jam. Kupaksakan lagi agar bisa terlelap, tetapi sulit.Aku akhirnya turun dari ranjang, meraih ponsel membawanya keluar. Aku kembali duduk di tangga, kepalaku bersandar ke dinding. Tak terasa air mataku kembali berjatuhan.Hingga azan subuh berkumandang, terdengar Vina mencariku. Begitu keluar, ia terkejut menemukanku di tangga. Namun, ia tak banyak bicara. Hanya mengajakku untuk subuhan. Ketika matahari sudah terlihat, rasanya malas untuk bergerak. Aku hanya merebahkan diri di ranjang, p
[Hehe masa sih, Mbak?]Balasku masih santai, toh Mbak Izza menambahkan 'hehe', mungkin ia bercanda kan? Pesanku cepat dibaca, Mbak Izza langsung mengetik.[Emang siapanya kamu itu?]Kenapa Mbak Izza ingin tahu? Mungkin ia benar-benar mengenali tulisan itu. Tunggu, bagaimana bisa orang bisa hapal dan kenal tulisan seseorang, jika tak kenal baik?[Temen][Temen hidup, hehe] Kirimku lagi.Aku sertakan emot tawa dibelakangnya, Mbak Izza sepertinya tak keluar dari ruang chat jadi pesanku terkirim langsung centang biru.[Siapa namanya, kalau boleh tahu?]Aku menelan ludah, obrolan ini tak menjerumus ke hal candaan, terasa semakin serius. [Malikkah?][Ternyata dia gak cuma buatin tulisan itu buat aku, haha]Deg, kok Mbak Izza bisa menebak nama itu. Lalu, maksudnya buatin tulisan?[Bukan, Mbak. Namanya Erlan] Aku masih mencoba tenang, menghalau perasaan yang rasanya jantungku mengeras, sulit bernapas. Ada apa ini? Setelah semua kecurigaan, inikah jawabannya?[Iya, Erlan. Muhammad Erlan Mali
Aku langsung turun, menjelaskan apa yang terjadi pada mereka saat ada yang bertanya. Ketika beberapa lainnya menunggu di luar, sedangkan yang piket sudah masuk dari pintu rumah Bu Nana. Sudah jam setengah delepan, tetapi Mas Erlan belum tampak juga. Aku menyadari beberapa siswi lain memperhatikanku, semakin membuatku canggung. Entah apalah yang mereka pikirkan, aku mau keluar malam-malam.Aku kembali ke kamar, mengambil ponsel yang tertinggal. Ada Vina dan Linda yang sedang berdandan."Udah datang, Ta?""Belum," jawabku.Malu untuk turun lagi, diperhatikan siswi lain, aku memilih menunggu dengan duduk di depan televisi. Sambil membereskan kertas-kertas laporan yang berantakan. Sesekali melirik layar ponsel, aku minta Mas Erlan mengirimkan pesan jika tiba di depan gerbang. Kesempatan bagus juga kan? Nanti yang lain akan lihat seperti apa pacarku. Tentu aku begitu beruntung mendapatkannya.Asik membereskan laporan, tiba-tiba Ratna naik ke atas memanggilku. "Rizta!"Segera aku turun, m
"Loh, kenapa. Kan aku belum pernah cium kamu, yank?" Aku menggeleng samar, lalu memalingkan wajah sebagai penolakan. "Yaudah, kalau gitu aku mau kamu cium pipiku aja deh," ujarnya lagi.Mas Erlan bahkan terus membujuk, aku sendiri hanya menggeleng tanpa penolakan tegas. Ciuman? Apakah itu harus. Berpegangan tangan saja terkadang aku merasa menyesal setelahnya, juga merasa bersalah pada Emak."Sayaaang," bujuknya lagi."Buat apa sih, Mas." "Buat bikin aku semangat, Yank. Aku capeek banget, pengen dapet cium dari kamu. Mau ya, yank?" Aku menatap wajahnya yang memohon, Mas Erlan terus mendesak. "Sekaliii aja, yank."Kupejamkan mata sejenak, menggaruk tengkukku yang terasa merinding karena angin malam. Aku masih kekeh menggeleng, menolak secara halus. "Yaudah deh," ujar Mas Erlan tampak lemas dari suaranya. Hening sejenak, lalu Mas Erlan langsung berdiri, membuka lebar tangannya. "Peluk aja deh, pleasee, yank." Aku mendongak menatap wajahnya yang melihat sekitar, perlahan aku berdi