Kanaya semakin merasa bersalah kepada Eddo. Sudah menyembunyikan sedalam ini, e dia juga malah ingin menghindari Eddo. Semakin bertambah kacau dan runyam saja. Apalagi, dia dan Angkasa bahkan sudah melangkah terlalu jauh kemarin. Bagiamana ini?"Apa itu pacar mu?" sinis Angkasa masih dengan fokus ke jalanan.Kanaya menoleh dengan kerutan di kedua alis. "Apa aku boleh mendapatkan kejujuran dari mu?""Soal apa?"Kanaya menelan ludahnya gugup. Entah mengapa ia selalu kehilangan nyali jika sahutan dari seberang tak bersahabat."Kenapa kau membohongiku dan mengatakan kepada keluarga ku kalau kita berbuat sesuatu malam itu padahal kenyataannya-"Perkataan Kanaya mendadak terhenti seiring dengan Angkasa yang tiba-tiba menghentikan kendaraannya. Pria itu melepaskan kacamatanya lalu menatap serius ke arah Kanaya."Karena jika aku tidak berbohong, aku tidak akan mendapatkan mu. Aku, menyukai mu sejak lama.""Apa?" mata Kanaya membulat.Dan sialnya Angkasa ikutan terperangah sendiri dengan jawab
Rupanya, Angkasa membawa Kanaya ke sebuah sebuah rumah besar yang bergaya sangat modern yang letaknya agak jauh dari pusat kota, namun dekat dengan pesisir pantai. Matanya menyapu pemandangan indah yang membuatnya takjub. "Rumah siapa ini?" Kanaya bertanya tepat saat Angkasa melepaskan sabuk pengamannya."Rumah mu!"Kerutan di dahi Kanaya kembali muncul. Lelaki di samping benar-benar asal jeplak saja jika berbicara."Kenapa, kamu terkejut? Aku serius. Semalaman aku mengecek kesiapan rumah ini untuk kamu huni. Aku sudah menyiapkan semua keperluan mu di dalam." sambungnya sembari menutup pintu mobil."Tapi, kenapa?"Angkasa datang mendekat ke posisi Kanaya yang masih berdiri di dekat mobil lalu meraba pipi Kanaya dengan sensual. Kanaya memejamkan mata menikmati sentuhan Angkasa yang tak pernah gagal membuatnya berdesir."Nanti kamu akan tahu. Lebih baik kita masuk ke dalam, ayo!"Kanaya terpukau dengan rumah besar itu. Rumah itu sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca yang memungki
"Mas, kamu tidak tersinggung dengan perkataan kak Angkasa kan?" tanya Tiara ketika dia sudah berada di kamar bersama suaminya.Eddo yang mengancingkan bajunya lalu duduk menghadap laptop tersenyum kepada istrinya. "Tidak. Kita memang sudah sangat lama sejak kamu keguguran waktu itu. Setelah pekerjaan ku yang ini selesai, aku akan menjadwalkan liburan untuk kita!"Tiara sangat bahagia. Ia berjalan mendekat lalu memeluk suaminya dari belakang. "Makasih ya mas!"Sebenarnya, dulu Eddo menikahi Tiara karena sebuah kecelakaan, Tiara hamil di luar nikah. Malam itu Eddo mabuk dan tak sengaja malah berujung berhubungan badan dengan Tiara, perempuan yang sejak sekolah memang sudah menyukai Eddo. Angkasa dulu sangat marah begitu mengetahui adiknya di perlakukan seperti itu. Tapi ia tak bisa berbuat banyak karena Tiara sangat mencintai Eddo. Dan Eddo dengan rapihnya mampu merahasiakan pernikahannya karena di sisi lain ia masih berhubungan dengan Kanaya. Di tempat lain, Kanaya kian resah karena A
Di suatu tempat, Daniel tampak sibuk menjadi supir Angkasa dan Yeremia yang duduk di sampingnya terlihat barusaja memasukkan sebuah senjata api."Saya tidak menyangka jika anda akan mengamankan nona Kanaya di tempat itu Bos!" ucap Daniel memecah kesunyian."Tentu saja aku harus melakukan hal itu, Dan. Aku akan lebih cemas jika dia tidak ada di pengawasan ku!""Anda tidak menelpon nona Kanaya dulu, Bos? Beberapa menit yang lalu Eddo menghubunginya!" kata Daniel dengan hati-hati.Tapi Angkasa terlihat sangat tenang cenderung acuh. Semacam tak terpengaruh oleh apapun. Pria itu sibuk malah dengan ponselnya yang lain. Daniel yakin, pasti Bosnya sudah merencanakan sesuatu."Bagiamana dengan kasus yang kau pegang Yer?" kali ini Angkasa lebih tertarik membahas soal kasusnya."Mereka sangat licik Bos. Sepertinya mereka tidak mau mengalah dengan mudah!" sahut Yeremia tak bisa menyembunyikan ekspresi kesalnya."Kalau begitu telepon Tian, Dan. Katakan jika aku ada urusan. Aku sedang malas berbica
Kanaya hendak di beritahu oleh Yura yang kini lari terbirit-birit, tapi perempuan itu sudah lebih dulu memutar gagang pintu. Maka terkejut lah dia tatkala mendapati Angkasa telah berada di kamarnya."Dari mana?" tanya Angkasa dengan santai seolah memang sedang menunggu kedatangan Kanaya.Dan Kanaya hanya bisa terdiam sembari menekan saliva ke tenggorokan. Antara takut juga kesal."Kau pergi menemui laki-laki itu saat aku tak di rumah?" imbuhnya sembari bangkit menuju ke tempat Kanaya berdiri.Kanaya mendongak mencari jawaban, tentang bagaimana bisa pria tampan di depannya mengerti bila dirinya barusaja menemui Eddo."Apa seseorang melapor padamu?" sengit Kanaya yang merasa juga berhak marah.Angkasa diam terlebih dahulu menunda untuk menjawab. Rahangnya berkedut saat serius memandang wajah Kanaya yang memang sangat cantik. Dan Angkasa merasa tak suka jika Kanaya pergi menemui Eddo dengan pakaian sexy seperti ini."Aku hanya menebak. Kenapa kamu sepucat itu?" Maka Kanaya lah yang kini
Jemari besar milik Angkasa tampak lihai dan bergerak cepat saat mencopoti satu demi satu pakaian yang menutupi tubuh Kanaya. Entah apa yang ada di dalam benak Angkasa saat ini. Yang jelas, pria itu tak mungkin melakukan segala sesuatu tanpa misi yang jelas."Tubuhmu ini hak ku. Jika aku ingin, maka berarti kau harus melakukannya!" kata Angkasa.Dan Kanaya tak bisa untuk tak mendesah ketika kuncup merah muda miliknya di kulum sepenuhnya oleh Angkasa. Sungguh gila, pria itu selalu mampu melakukan semua hal intim dengan dramatis tanpa rasa malu. Ia saja merasa malu dengan yang di lakukan Angkasa, namun pria itu justru melakukannya tanpa terganggu oleh apapun.Desiran aneh yang akhir-akhir ini mulai akrab itu ia rasakan kembali mengisi laju darahnya. Jantung yang berdetak lebih cepat semakin membuat denyutan itu merata. Matanya yang sayu menatap seraut wajah sendu yang jelas-jelas sudah mengharapkan hal yang lebih."Jangan di tutupi!""Tapi-""Jangan di tutupi!"Angkasa terus bergerak men
"Minum ini!"Kanaya yang masih berbaring sembari menutupi tubuh telanjangnya tak siap menangkap sebuah botol berisi pil yang tidak dia ketahui namanya."Apa ini?" Kanaya bertanya sembari menyatukan kedua alisnya."Kau bilang belum siap kan? Minum itu!"Angkasa lalu pergi meninggalkan Kanaya. dan perempuan itu membaca keterangan yang melingkari pinggang botol putih itu dengan saksama. Kanaya heran, kenapa Angkasa bisa punya obat seperti ini? Untuk apa pria itu menyimpannya?Di lain tempat, Tiara siang ini sedang sibuk menyiapkan makanan untuk ia bawa ke kantor dimana Eddo bekerja. Namun begitu tiba di kantor, ia tak mendapati suaminya ada di sana.Sarah, seorang perempuan yang ia kenali mengatakan bila Eddo sedang pergi sejak pagi tadi dan belum kembali hingga sekarang. Tiara akhirnya memberikan makanan itu kepada Sarah lalu dia pergi. Namun Tiara tak pulang ke rumah. Ia membelokkan mobilnya ke sebuah ruang terbuka hijau dimana ia melihat banyak anak-anaknya sedang mengikuti serangkai
"Bukan apa-apa!" jawab Angkasa acuh tak acuh. "Mana mungkin bukan apa-apa. Sini!" gerutu Kanaya sembari menarik lengan kekar berotot Angkasa lalu menelitinya dengan serius.Anehnya Angkasa terlihat tak menolak sewaktu Kanaya menggeretnya menuju sofa. Wanita yang senang berpakaian terbuka dan sexy itu terlihat mengamati luka yang tertutup perban dengan raut cemas. Dan Angkasa, dalam momen itu, tidak tahu kenapa ia malah terpaku kala menatap seraut penuh kecemasan yang di tunjukkan oleh Kanaya.Bulu mata Kanaya tebal dan letik, kulit Kanaya juga terlihat sangat sehat dan terhidrasi. Bahkan, bibir yang berkali-kali ia lahap itu juga tampak begitu menggiurkan jika di pandang dari dekat. Tapi ia segera menggelengkan kepalanya guna menggugurkan segenap kekaguman yang timbul. Walau bagaimanapun, wanita di depannya tak lebih dari seorang wanita yang harus ia singkirkan dari kehidupan sang adik."Bukan apa-apa. Ini hal biasa!" ucapnya sembari menarik lengannya karena ia mulai tak nyaman dengan
Sejak saat itu, Kanaya Kanaya kembali mengganti nomor ponselnya karena ia tak ingin lagi membuat Eddo semakin tersiksa. Dan Angkasa tentu saja selalu mengetahui dan kembali meminta Daniel untuk menyabotase ponselnya. Ia harus tetap tahu pergerakan perempuan itu. Tak terasa sudah lewat dua bulan. Kanaya mulai terbiasa jika Angkasa pergi berhari-hari lalu pulang tiba-tiba. Ia tak mempersoalkan semua itu. Lagipula ia seperti kehilangan kehendak bebasnya. Ia selalu kalah jika menyangkut kebahagiaan orangtuanya yang selalu berapi-api kala membicarakan Angkasa.Apalagi, ucapan Ayahnya dua bulan lalu semakin membuat dirinya menyerah. "Ayah sangat senang dengan suami kamu. Saat Ayah ajak bertemu dengan teman-teman Papa, mereka semua memuji suami kamu. Angkasa sangat cerdas dan rendah hati. Padahal uangnya banyak. Ayah baru di beri lagi tadi. Ayah merasa bahagia. Terimakasih Nak!" Sebenarnya, justru Talita lah yang memiliki kecenderungan sifat seperti sang Ayah. Materialistis dan cenderu
Eddo menarik tangan Kanaya sedikit kencang karena perasaan ingin tahu yang teramat menggelegak. Selain itu, ia yang lama tak bertemu memiliki kerinduan yang mendalam. "Apa benar kalau kau sudah menikah?" Kanaya, dengan kacamata yang masih belum terlepas menatap Eddo yang terlihat kecewa. Ia menelan ludah gugup. Bom yang selama ini ia bawa kemana-mana meledak sudah. "Maaf!" Hanya itu, hanya itu yang bisa Kanaya ucapkan dengan wajah tertunduk. Seketika suasana sunyi, hening. Ada sejumput rasa sesak yang tiba-tiba hadir. Andai saja ia lebih cepat, andai saja ia tak menunda, andai...andai...andai.... Eddo tak bisa menjawab dan air mukanya terlihat sangat kecewa. Eddo menitikkan air mata. Ia sungguh tak tahu harus berbuat apa. "Siapa suami mu? Dengan siapa kau menikah?" Dengan leher yang serasa tercekat Eddo berusaha angkat suara. "Eddo, aku sudah berusaha memutuskan hubungan kita agar kau tak merasa tersakiti, tapi..." "Tapi bukan itu seharusnya jalan keluarnya!" teria
"Ada apa mas?" Tiara bertanya sembari menatap heran suaminya yang terlihat seperti orang shock. Eddo membuka selimutnya dan mendapati jika dirinya memang telah telanjang. Kini jelas sudah, dia pasti semalam mabuk dan akhirnya melakukan hubungan dengan Tiara. Ah sial! "Mas kenapa pucat begitu, mas masih pusing?"Eddo menggeleng dengan frustasi. Ia frustasi bukan karena apapun, ia frustasi karena teringat dengan Kanaya. Ya, pria itu benar-benar hanya memikirkan Kanaya saat ini. "Aku mau mandi dulu!"Tiara diam dan tampak kebingungan ketika Eddo langsung pergi dengan muka suntuk. Pria itu di kamar mandi semakin tampak terpukul. Ia mabuk karena tak kuasa menerima kabar dari Reny, dan ketika sadar justru ia semakin merasakan sakit. Ia harus mencari Kanaya, ia harus membicarakan masalah ini, begitu pikir Eddo. Di kediaman Irwan, Talita yang di jam siang ini tumben sudah pulang terkejut dengan keberadaan Angkasa dan Kanaya di dalam rumahnya. "Naya?" pekik Talita tak menyangka."Surpris
"Mas, kamu mabuk?" Tiara dengan perasaan campur aduk langsung memapah suaminya yang hampir ambruk karena tak kuat menjaga keseimbangan. "Eugghhh!" racau Eddo yang merasa kepalanya sangat berat. Tiara yang khawatir langsung mengajak masuk suaminya lalu merebahkannya di atas ranjang. Dengan cemas, Tiara membantu melepaskan sepatu Eddo, kaos kaki juga jasnya dengan susah payah. Setalah itu, Tiara mengambil air hangat untuk menyeka leher, tangan juga wajah suaminya. Tiara dengan telaten menyeka tubuh suaminya dan berharap mengurangi rasa tak nyaman yang pasti mendera suaminya. Sebenarnya ada apa? Tumben suaminya mabuk sampai seperti ini. Apa ada masalah di kantor? "Naya!" DEG Tiara mengerutkan kening melihat suaminya yang meracau. Dan, tunggu sebentar. Siapa yang di panggil suaminya itu? "Mas!" Tiara menepuk pipi suaminya. Tapi sentuhan itu tiba-tiba membuat Eddo membuka matanya. Tangan lembut itu seolah membuat bangkit sisi maskulinnya. Eddo membuka matanya dan dia seolah
Karena dorongan rasa penasaran, setibanya di rumah Kanaya cepat-cepat menelpon nomor Eddo. Semula Kanaya ragu, tapi desakan dalam diri nya seolah menuntut untuk mencari jawaban. Dan dalam beberapa detik saja pria itu menjawab panggilannya. "Naya, tumben kamu telepon malam-malam. Ada apa?" Dan Kanaya pun menjadi bingung harus mengatakan apa. Apalagi, nada suara Eddo terdengar cemas. "Nggak apa-apa. Aku, cuman belum bisa tidur." jawabnya sembari menggigit bibir. "Aku juga. Kangen banget sama kamu!" "Kamu, lagi dimana?" tanya Kanaya kembali ingin memvalidasi apa yang ia lihat tadi tanpa merespon kalimat mendayu Eddo. "Di rumah lah di mana lagi sayang?" Kanaya tercenung. Jelas-jelas dia melihat Eddo tadi di rumah sakit. Tapi, kenapa pria itu bisa ke sana? Siapa yang sakit? "Halo!" seru Eddo karena komunikasi tiba-tiba berubah sunyi. "Emmm Do, maaf... tapi, setelah aku berpikir panjang, aku beneran pingin kita udahan!" Tapi Eddo justru tergelak, tentu saja laki-laki tak
Kanaya menepis tangan pria berkemeja putih bercelana pendek berwarna krem itu dengan takut. Orang macam itu mungkin saja bakal punya niat buruk kepadanya. Alhasil, meskipun sakit yang ia rasa di kaki luar biasa perih, tapi Kanaya terus berlari dan membuat luka di kakinya makin koyak. Pria yang masih berdiri mematung di sana akhirnya hanya bisa menatap Kanaya yang pergi sembari tercenung. Setelah berlari ngos-ngosan, Kanaya buru-buru membuka pintu gerbang ketika Tian tampak berjalan keluar. Membuat pria itu terkejut bukan main . "Ibu, Ibu sudah pulang?" tanya Tian yang heran dengan penampilan Kanaya yang bajir keringat Kanaya tak langsung menjawab. Ia kesal, tapi ia segera pergi sebab kakinya benar-benar sakit. Ia berjalan terpincang-pincang dan membuat si pembantu membulatkan matanya. "Astaga, kaki Ibu kenapa?" tanya Tian seketika berubah panik demi melihat cara berjalan Kanaya. "Yura, Yura! Cepat kemari!" teriak Tian sembari berjalan mengejar sang majikan. Maka yang di
Eddo yang menunggu sendiri di depan ruang tindakan, tampak mengambil ponsel dari dalam pouchnya. Ia langsung membelalakkan matanya ketika melihat jejak nomor Kanaya yang beberapa menit yang lalu menelponnya. Ah sialan, ponselnya rupanya dalam mode silent sebab beberapa waktu yang lalu sengaja ia matikan. Ia sangat mengharapkan kabar Kanaya, tapi saatnya sangat tidak pas. Namun bukan Eddo namanya jika tidak memprioritaskan Kanaya. Ia tiba-tiba beranjak pergi dan menelpon kembali nomor perempuan kesayangannya itu. Tapi hingga panggilan ke dua, gantian Kanaya yang tak membalasnya. Ia kini memilih mengirimkan pesan kepada Kanaya dan berharap perempuan itu nanti akan membacanya. "Sayang, kenapa tidak di jawab? Kamu lagi apa? Maaf tadi aku di jalan!" Dan Daniel yang rupanya mengetahui hal itu karena telah menyabotase ponsel Kanaya malah terdiam. Ia sungguh di landa kebingungan. Ia bisa saja mengatakan hal ini kepada Angkasa, tapi di lain sisi ini akan membuat semua masalahnya menjadi
Angkasa baru saja akan memejamkan matanya di samping Kanaya. Tapi getaran masif di ponselnya kian mengganggu. Angkasa lalu menyambar teleponnya dan terdengarlah suara Daniel. "Bos, Nona Tiara kambuh. Saya sedang perjalanan ke rumah sakit!" Detik itu juga Angkasa langsung menyambar jaket, kunci mobil lalu bergegas turun tanpa berpamitan kepada Kanaya yang kini menatap bingung. Mau kemana lagi suaminya itu? Bukankah beberapa menit yang lalu Angkasa berkata jika dia tidak akan kemana-mana? Angkasa bahkan langsung pergi dengan bermanuver kasar dan membuat Tian yang semula mencuci beberapa mobil terlihat kebingungan. Bos-nya tadi itu tampak gusar dan panik. Yura yang melihatnya hal itu turut menyusul suaminya. "Ada apa?" tanya Yura begitu ingin tahu. Tian mengendikkan bahunya sembari berucap, "Aku nggak tahu, tapi Bos kelihatan panik!" Di jalan, Angkasa menginjak pedal gasnya dengan sangat kencang. Tak pedulikan klakson dan makian yang berbunyi karena ulahnya. Dadanya bergemuruh
"Kamu mau pergi lagi?" kata Kanaya menebak. Semula, Angkasa kesal karena Kanaya tiba-tiba menyusulnya lalu menyuguhkan raut tak suka ketika dia akan pergi. Ia memang harus pergi karena Tiara pasti sedang membutuhkannya. "Kamu sungguh akan pergi? Kamu bahkan tidak menjawab pertanyaan ku?" desak Kanaya yang tidak tahu mengapa malah menjadi kesal. Alih-alih marah, Angkasa jutsru reflek merengkuh tubuh Kanaya. Ia terpaksa harus memanipulasi keadaan sebelum menjadi besar. " Pergi, pergi kemana? Istriku lebih membutuhkan ku. Aku tidak akan pergi!" Kanaya melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Angkasa mencari kebenaran. Apakah itu bukan bualan semata? Perempuan itu bahkan mendengar dengan jelas kalimat terakhir Angkasa. "Tapi..." Dan Angkasa segera menyumpal mulut Kanaya dengan ciuman supaya wanita itu tak lagi mendebatnya. Sementara di tempat lain, Tiara menangis seorang diri usai menutup teleponnya. Ia terpaksa menelpon kakaknya karena hingga larut malam ponsel suaminya tak bisa