Kanaya semakin beringsut mundur manakala Angkasa memajukan langkahnya. Ia sempat melihat ke sekeliling dimana tak ada jalan yang bisa dia gunakan untuk melarikan diri sebab pintu dan jendela tertutup rapat."Kau mau apa?" Kanaya bertanya saat dada sedang berdebar-debarnya. "Kau sangat cantik memang. Wajar kalau kau berhasil membuat dia menyukaimu!" kata Angkasa begitu saja seperti tak sadar dengan apa yang ia katakan.Kanaya langsung mengerutkan kening. Dia? Dia siapa yang di maksud?Tapi Angkasa segera merubah ekspresi wajahnya karena sadar jika dia kelolosan bicara. Ia berusaha menekan rasa benci hanya untuk bisa membuat wanita di depannya berubah mencintai dia."Kita memang menikah secara mendadak dan aku menyebutnya pernikahan kontrak, "Angkasa mulai melangkah maju. "Tapi, mau di sebut apapun, kita ini suami istri kan?""Jangan dekat-dekat!"Tapi bukannya menurut, Angkasa makin mendekati wanita yang wajahnya sudah sangat pias karena takut. Kanaya berusaha melirik sana sini mencari
Bagi Angkasa, seks merupakan kebutuhan biologis yang dewasa ini musti tersalurkan. Selama ini dia memang tidak memiliki pacar. Karena suatu hal ia menutup hatinya dan menggunakan uangnya untuk menyalurkan hasratnya. Tentu saja dengan cara yang aman. Ia memiliki seorang partner ranjang yang ia bayar mahal secara professional. Ia bukanlah pria sembarangan yang tak menghargai dirinya sendiri. Hanya uang, tidak ada hati apalagi perasaan yang bermain di sana.Kata orang bijak, cinta bukanlah seks. Dan seks bukankah cinta. Itu dua hal yang berbeda. Dan sekarang, karena selain berusaha taat pada ucapan Daniel tadi, ia yang merasa telah menggelontorkan uang dalam jumlah yang banyak kepada Irwan yang materialistis itu merasa jika dirinya berhak atas tubuh Kanaya. Sambil menyelam minum air. Begitu pikirnya."Kau harus layani suamimu sekarang Kanaya. Aku bisa membuat mu menjerit semalaman!" ucap Angkasa.Kanaya menatap tajam ke arah lawan bicaranya. Bahkan sampai saat ini ia masih meyakini bila
Kanaya ingin berontak dan menolak sensasi menggila dari lidah lembut Angkasa yang terus bergerak liar mengeksplorasi tiap sudut bagian penting tubuhnya itu. Tapi tuntutan dari dalam dirinya malah seakan menyambut sama liarnya. Menjadikan seperti pengkhianat."Angkasa, jangan!" Kanaya malu. Sama sekali tak menduga jika pria berkulit coklat itu akan meminta hak nya dengan cara seperti ini.Tetapi usahanya untuk menutup bagian paling intim itu menjadi sia-sia belaka. Kedua tangannya tertekan ke sisi tubuhnya oleh Angkasa. Jangankan beringsut mundur, menggerakkan pinggulnya saja dia tak mampu.Kanaya mengerang dan mendesah panjang kala pria itu semakin menyapukan lidahnya secara dramatis. Angkasa mengecup keras bagian inti tubuhnya dan kali ini Kanaya tak bisa lagi menahan untuk tak menjerit panjang.Erangan panjang memenuhi esofagus Kanaya ketika ia merasakan sesuatu yang kembali membuncah di bawah sana. Ia, semakin basah dan tidak bisa mengendalikan laju dorongan itu. Ia memekik tertahan
Angkasa terpaksa meminta Kanaya kembali melakukan Oral untuk menuntaskan hasratnya. Seharusnya ia bisa melakukan penuntasan itu dengan cara yang lebih benar namun malam ini bukanlah saatnya.Semua itu terjadi sebab Angkasa tak mau melakukannya jika Kanaya mengeluh seperti itu. Ia tak mau seperti seorang pemerkosa. Dan kali ini, ia tak lagi melihat Kanaya yang seperti tercekik meskipun gerakannya masih kaku. Kemajuan yang cukup pesat pikirnya. Kegiatan ini terjadi dalam durasi yang lama, sampai Angkasa tiba-tiba menekan kepala Kanaya sedikit cepat ketika dorongan dari dalam seperti akan meledak. Dan sejurus kemudian,"Ah!"Ia berhasil mencabut miliknya tepat waktu lalu memuntahkannya ke atas dada Kanaya. Perempuan itu terengah-engah dan diam-diam merekam ekspresi wajah Angkasa. Pria itu seperti memiliki dua sisi kepribadian yang berbeda. Terlihat sangat jantan dan karib jika seperti ini, dan terlihat menyebalkan saat di luar."Bersihkan dirimu!" ucap Angkasa lalu memakai kembali pakaia
Jika Angkasa malah pergi entah kemana bersama Daniel, kini Kanaya yang menjadi insomnia usai permainan tadi, di bingungkan dengan seprei yang basah di bagian tengahnya. Ia harus mengganti benda itu, atau dia akan menjadi lebih malu lagi.Ia kemudian menatap pantulan diri ke cermin dengan tatapan tak tenang. Beberapa saat yang lalu ia dibuat mengerang hanya karena sentuhan lidah Angkasa yang liar. Ia menjambak rambutnya frustasi sebab bingung dengan dirinya sendiri.Pikirannya juga masih berkutat soal seprei yang basah. Bagiamana sekarang? Masa iya dia harus memanggil Daruha untuk hal seperti ini. Ia akan sangat malu bila Daruha yang mengerjakannya. Namun di tengah kegalauannya, ia tiba-tiba mendengar suara mobil yang bergerak keluar. Cepat-cepat Kanaya menepi ke dekat jendela dan melihat bahwa Daniel menyopiri Angkasa dan mereka pergi berdua. Mata Kanaya reflek memandang ke arah jam dinding yang ternyata menunjukkan pukul setengah satu."Mau kemana mereka di jam selarut ini?" gumamny
Semula, Kanaya mengira jika Daniel akan membawanya tempat kerja Angkasa. Tapi semua prasangka nya rupanya salah. Ia sama sekali tak menduga jika Daniel akan membawa dirinya ke sebuah bangunan yang menunjukkan Angkasa yang sedang berdoa."Kenapa kau tidak bilang kalau mau ke Gereja?" ucap Kanaya begitu Daniel melepaskan sabuk pengamannya."Bos hanya sebentar. Setelah ini dia akan pergi dengan anda dan saya tidak tahu akan kemana. Tugas saya hanya mengantar sampai sini."Kanaya menjengukkan kepalanya ke jok belakang dan seketika merasa beruntung demi melihat sebuah benda yang sangat ia butuhkan. Tangannya terulur mengambil blezzer agar membuat penampilannya yang sexy lebih sopan. Dan ia tak peduli blezzer itu milik siapa.Dapat ia lihat Angkasa sudah selesai berdoa dan kini sedang berjalan ke arah kantong kolekte dan memberikan persembahan. Sejenak, Kanaya merasakan keteduhan. Dan tidak tahu kenapa ia tak bisa mengabaikan pria itu saat sedang berjalan. Ia, terbawa pada satu perasaan yang
Kanaya semakin merasa bersalah kepada Eddo. Sudah menyembunyikan sedalam ini, e dia juga malah ingin menghindari Eddo. Semakin bertambah kacau dan runyam saja. Apalagi, dia dan Angkasa bahkan sudah melangkah terlalu jauh kemarin. Bagiamana ini?"Apa itu pacar mu?" sinis Angkasa masih dengan fokus ke jalanan.Kanaya menoleh dengan kerutan di kedua alis. "Apa aku boleh mendapatkan kejujuran dari mu?""Soal apa?"Kanaya menelan ludahnya gugup. Entah mengapa ia selalu kehilangan nyali jika sahutan dari seberang tak bersahabat."Kenapa kau membohongiku dan mengatakan kepada keluarga ku kalau kita berbuat sesuatu malam itu padahal kenyataannya-"Perkataan Kanaya mendadak terhenti seiring dengan Angkasa yang tiba-tiba menghentikan kendaraannya. Pria itu melepaskan kacamatanya lalu menatap serius ke arah Kanaya."Karena jika aku tidak berbohong, aku tidak akan mendapatkan mu. Aku, menyukai mu sejak lama.""Apa?" mata Kanaya membulat.Dan sialnya Angkasa ikutan terperangah sendiri dengan jawab
Rupanya, Angkasa membawa Kanaya ke sebuah sebuah rumah besar yang bergaya sangat modern yang letaknya agak jauh dari pusat kota, namun dekat dengan pesisir pantai. Matanya menyapu pemandangan indah yang membuatnya takjub. "Rumah siapa ini?" Kanaya bertanya tepat saat Angkasa melepaskan sabuk pengamannya."Rumah mu!"Kerutan di dahi Kanaya kembali muncul. Lelaki di samping benar-benar asal jeplak saja jika berbicara."Kenapa, kamu terkejut? Aku serius. Semalaman aku mengecek kesiapan rumah ini untuk kamu huni. Aku sudah menyiapkan semua keperluan mu di dalam." sambungnya sembari menutup pintu mobil."Tapi, kenapa?"Angkasa datang mendekat ke posisi Kanaya yang masih berdiri di dekat mobil lalu meraba pipi Kanaya dengan sensual. Kanaya memejamkan mata menikmati sentuhan Angkasa yang tak pernah gagal membuatnya berdesir."Nanti kamu akan tahu. Lebih baik kita masuk ke dalam, ayo!"Kanaya terpukau dengan rumah besar itu. Rumah itu sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca yang memungki
Sejak saat itu, Kanaya Kanaya kembali mengganti nomor ponselnya karena ia tak ingin lagi membuat Eddo semakin tersiksa. Dan Angkasa tentu saja selalu mengetahui dan kembali meminta Daniel untuk menyabotase ponselnya. Ia harus tetap tahu pergerakan perempuan itu. Tak terasa sudah lewat dua bulan. Kanaya mulai terbiasa jika Angkasa pergi berhari-hari lalu pulang tiba-tiba. Ia tak mempersoalkan semua itu. Lagipula ia seperti kehilangan kehendak bebasnya. Ia selalu kalah jika menyangkut kebahagiaan orangtuanya yang selalu berapi-api kala membicarakan Angkasa.Apalagi, ucapan Ayahnya dua bulan lalu semakin membuat dirinya menyerah. "Ayah sangat senang dengan suami kamu. Saat Ayah ajak bertemu dengan teman-teman Papa, mereka semua memuji suami kamu. Angkasa sangat cerdas dan rendah hati. Padahal uangnya banyak. Ayah baru di beri lagi tadi. Ayah merasa bahagia. Terimakasih Nak!" Sebenarnya, justru Talita lah yang memiliki kecenderungan sifat seperti sang Ayah. Materialistis dan cenderu
Eddo menarik tangan Kanaya sedikit kencang karena perasaan ingin tahu yang teramat menggelegak. Selain itu, ia yang lama tak bertemu memiliki kerinduan yang mendalam. "Apa benar kalau kau sudah menikah?" Kanaya, dengan kacamata yang masih belum terlepas menatap Eddo yang terlihat kecewa. Ia menelan ludah gugup. Bom yang selama ini ia bawa kemana-mana meledak sudah. "Maaf!" Hanya itu, hanya itu yang bisa Kanaya ucapkan dengan wajah tertunduk. Seketika suasana sunyi, hening. Ada sejumput rasa sesak yang tiba-tiba hadir. Andai saja ia lebih cepat, andai saja ia tak menunda, andai...andai...andai.... Eddo tak bisa menjawab dan air mukanya terlihat sangat kecewa. Eddo menitikkan air mata. Ia sungguh tak tahu harus berbuat apa. "Siapa suami mu? Dengan siapa kau menikah?" Dengan leher yang serasa tercekat Eddo berusaha angkat suara. "Eddo, aku sudah berusaha memutuskan hubungan kita agar kau tak merasa tersakiti, tapi..." "Tapi bukan itu seharusnya jalan keluarnya!" teria
"Ada apa mas?" Tiara bertanya sembari menatap heran suaminya yang terlihat seperti orang shock. Eddo membuka selimutnya dan mendapati jika dirinya memang telah telanjang. Kini jelas sudah, dia pasti semalam mabuk dan akhirnya melakukan hubungan dengan Tiara. Ah sial! "Mas kenapa pucat begitu, mas masih pusing?"Eddo menggeleng dengan frustasi. Ia frustasi bukan karena apapun, ia frustasi karena teringat dengan Kanaya. Ya, pria itu benar-benar hanya memikirkan Kanaya saat ini. "Aku mau mandi dulu!"Tiara diam dan tampak kebingungan ketika Eddo langsung pergi dengan muka suntuk. Pria itu di kamar mandi semakin tampak terpukul. Ia mabuk karena tak kuasa menerima kabar dari Reny, dan ketika sadar justru ia semakin merasakan sakit. Ia harus mencari Kanaya, ia harus membicarakan masalah ini, begitu pikir Eddo. Di kediaman Irwan, Talita yang di jam siang ini tumben sudah pulang terkejut dengan keberadaan Angkasa dan Kanaya di dalam rumahnya. "Naya?" pekik Talita tak menyangka."Surpris
"Mas, kamu mabuk?" Tiara dengan perasaan campur aduk langsung memapah suaminya yang hampir ambruk karena tak kuat menjaga keseimbangan. "Eugghhh!" racau Eddo yang merasa kepalanya sangat berat. Tiara yang khawatir langsung mengajak masuk suaminya lalu merebahkannya di atas ranjang. Dengan cemas, Tiara membantu melepaskan sepatu Eddo, kaos kaki juga jasnya dengan susah payah. Setalah itu, Tiara mengambil air hangat untuk menyeka leher, tangan juga wajah suaminya. Tiara dengan telaten menyeka tubuh suaminya dan berharap mengurangi rasa tak nyaman yang pasti mendera suaminya. Sebenarnya ada apa? Tumben suaminya mabuk sampai seperti ini. Apa ada masalah di kantor? "Naya!" DEG Tiara mengerutkan kening melihat suaminya yang meracau. Dan, tunggu sebentar. Siapa yang di panggil suaminya itu? "Mas!" Tiara menepuk pipi suaminya. Tapi sentuhan itu tiba-tiba membuat Eddo membuka matanya. Tangan lembut itu seolah membuat bangkit sisi maskulinnya. Eddo membuka matanya dan dia seolah
Karena dorongan rasa penasaran, setibanya di rumah Kanaya cepat-cepat menelpon nomor Eddo. Semula Kanaya ragu, tapi desakan dalam diri nya seolah menuntut untuk mencari jawaban. Dan dalam beberapa detik saja pria itu menjawab panggilannya. "Naya, tumben kamu telepon malam-malam. Ada apa?" Dan Kanaya pun menjadi bingung harus mengatakan apa. Apalagi, nada suara Eddo terdengar cemas. "Nggak apa-apa. Aku, cuman belum bisa tidur." jawabnya sembari menggigit bibir. "Aku juga. Kangen banget sama kamu!" "Kamu, lagi dimana?" tanya Kanaya kembali ingin memvalidasi apa yang ia lihat tadi tanpa merespon kalimat mendayu Eddo. "Di rumah lah di mana lagi sayang?" Kanaya tercenung. Jelas-jelas dia melihat Eddo tadi di rumah sakit. Tapi, kenapa pria itu bisa ke sana? Siapa yang sakit? "Halo!" seru Eddo karena komunikasi tiba-tiba berubah sunyi. "Emmm Do, maaf... tapi, setelah aku berpikir panjang, aku beneran pingin kita udahan!" Tapi Eddo justru tergelak, tentu saja laki-laki tak
Kanaya menepis tangan pria berkemeja putih bercelana pendek berwarna krem itu dengan takut. Orang macam itu mungkin saja bakal punya niat buruk kepadanya. Alhasil, meskipun sakit yang ia rasa di kaki luar biasa perih, tapi Kanaya terus berlari dan membuat luka di kakinya makin koyak. Pria yang masih berdiri mematung di sana akhirnya hanya bisa menatap Kanaya yang pergi sembari tercenung. Setelah berlari ngos-ngosan, Kanaya buru-buru membuka pintu gerbang ketika Tian tampak berjalan keluar. Membuat pria itu terkejut bukan main . "Ibu, Ibu sudah pulang?" tanya Tian yang heran dengan penampilan Kanaya yang bajir keringat Kanaya tak langsung menjawab. Ia kesal, tapi ia segera pergi sebab kakinya benar-benar sakit. Ia berjalan terpincang-pincang dan membuat si pembantu membulatkan matanya. "Astaga, kaki Ibu kenapa?" tanya Tian seketika berubah panik demi melihat cara berjalan Kanaya. "Yura, Yura! Cepat kemari!" teriak Tian sembari berjalan mengejar sang majikan. Maka yang di
Eddo yang menunggu sendiri di depan ruang tindakan, tampak mengambil ponsel dari dalam pouchnya. Ia langsung membelalakkan matanya ketika melihat jejak nomor Kanaya yang beberapa menit yang lalu menelponnya. Ah sialan, ponselnya rupanya dalam mode silent sebab beberapa waktu yang lalu sengaja ia matikan. Ia sangat mengharapkan kabar Kanaya, tapi saatnya sangat tidak pas. Namun bukan Eddo namanya jika tidak memprioritaskan Kanaya. Ia tiba-tiba beranjak pergi dan menelpon kembali nomor perempuan kesayangannya itu. Tapi hingga panggilan ke dua, gantian Kanaya yang tak membalasnya. Ia kini memilih mengirimkan pesan kepada Kanaya dan berharap perempuan itu nanti akan membacanya. "Sayang, kenapa tidak di jawab? Kamu lagi apa? Maaf tadi aku di jalan!" Dan Daniel yang rupanya mengetahui hal itu karena telah menyabotase ponsel Kanaya malah terdiam. Ia sungguh di landa kebingungan. Ia bisa saja mengatakan hal ini kepada Angkasa, tapi di lain sisi ini akan membuat semua masalahnya menjadi
Angkasa baru saja akan memejamkan matanya di samping Kanaya. Tapi getaran masif di ponselnya kian mengganggu. Angkasa lalu menyambar teleponnya dan terdengarlah suara Daniel. "Bos, Nona Tiara kambuh. Saya sedang perjalanan ke rumah sakit!" Detik itu juga Angkasa langsung menyambar jaket, kunci mobil lalu bergegas turun tanpa berpamitan kepada Kanaya yang kini menatap bingung. Mau kemana lagi suaminya itu? Bukankah beberapa menit yang lalu Angkasa berkata jika dia tidak akan kemana-mana? Angkasa bahkan langsung pergi dengan bermanuver kasar dan membuat Tian yang semula mencuci beberapa mobil terlihat kebingungan. Bos-nya tadi itu tampak gusar dan panik. Yura yang melihatnya hal itu turut menyusul suaminya. "Ada apa?" tanya Yura begitu ingin tahu. Tian mengendikkan bahunya sembari berucap, "Aku nggak tahu, tapi Bos kelihatan panik!" Di jalan, Angkasa menginjak pedal gasnya dengan sangat kencang. Tak pedulikan klakson dan makian yang berbunyi karena ulahnya. Dadanya bergemuruh
"Kamu mau pergi lagi?" kata Kanaya menebak. Semula, Angkasa kesal karena Kanaya tiba-tiba menyusulnya lalu menyuguhkan raut tak suka ketika dia akan pergi. Ia memang harus pergi karena Tiara pasti sedang membutuhkannya. "Kamu sungguh akan pergi? Kamu bahkan tidak menjawab pertanyaan ku?" desak Kanaya yang tidak tahu mengapa malah menjadi kesal. Alih-alih marah, Angkasa jutsru reflek merengkuh tubuh Kanaya. Ia terpaksa harus memanipulasi keadaan sebelum menjadi besar. " Pergi, pergi kemana? Istriku lebih membutuhkan ku. Aku tidak akan pergi!" Kanaya melepaskan pelukannya lalu menatap wajah Angkasa mencari kebenaran. Apakah itu bukan bualan semata? Perempuan itu bahkan mendengar dengan jelas kalimat terakhir Angkasa. "Tapi..." Dan Angkasa segera menyumpal mulut Kanaya dengan ciuman supaya wanita itu tak lagi mendebatnya. Sementara di tempat lain, Tiara menangis seorang diri usai menutup teleponnya. Ia terpaksa menelpon kakaknya karena hingga larut malam ponsel suaminya tak bisa