Di sebuah kafe pinggir jalan Tara dan Harsa duduk saling berhadapan. Setelah banyak kode yang lelaki itu lancarkan, tibalah dia disebuah final yang akan menjadi awal dari kisah mereka di masa depan. Canggung, Tara menatap gugup Harsa di depannya, jantungnya berdegup tak karuan, sudah lebih dari lima belas menit ini mereka saling diam, dan sekarang menunggu kata-kata Harsa adalah hal yang paling menegangkan untuk Tara.
"Ra..." Akhirnya Harsa memecah kesunyian. Ditatapnya Tara dengan pandangan yang dalam, butuh usaha yang keras untuk menyakinkan Tara menerima tawaran nongkrong bareng di kafe, meski sudah terbilang akrab namun tetap saja Tara bukan orang yang mudah didekati.
"Kayaknya aku nyaman sama kamu." Lanjut Harsa, membuang gengsinya entah kemana.
"Maksudnya?"
"Ya nyaman. Kayak bahagia banget rasanya kalau lagi sama kamu."
Di hadapan Harsa, Tara masih bergeming. Pandangannya dingin dan mensuk tajam nyaris membuat lelaki itu mengigil.
"Aku
Di sana, di depan toko yang menyediakan berbagai peralatan dapur bunda melambaikan tangan, wajahnya dihiasi senyuman penuh sayang yang selalu sukses menenangkan hati Wira."Maaf bunda, Wira telat, tadi jalananya agak macet." Kata Wira sesaat setelah dia mencium punggung tangan bundanya. Wanita itu mengangguk mafhum. Sebut saja Ranti, kakak dari ibu kandung Wira yang diberi amanat untuk membesarkan anak lelaki itu."Iya gak apa-apa, bunda juga ngerti kok. Kamu udah makan nak?" tanya Ranti lembut, sambil menatap seluet Wira dengan penuh cinta.Betapa dia menyangangi anak itu yang besar oleh tangannya sendiri.Wira tersenyum tipis. "Udah kok bun, tadi makan di sekolah." Jawabnya.Hampir tujuh belas tahun dia membesarkan Wira, memperlakukannya layak anak sendiri. Wira tak pernah dibeda-bedakan dengan Arya, bahkan untuk kasih sayang yang Ranti curahkan.Saat masih bayi, Wira tergolong anak yang ringkih, demam juga sesak sering sekali
Hari itu pun tiba, di mana seluruh siswa SMA Dirgantara berangkat menuju perkemehan. Sebagai seorang pencinta alam tentu saja Wira dan teman-temannya menjadi kelompok yang paling bersemangat dalam melaksanakan kegiatan ini. Lain hal dengan Harsa, lelaki itu menatap malas pada gerombolan orang-orang di hadapannya. "Dikit banget bawaan lo, Sa?" Entah datang dari mana Farazz sengaja melingkarkan sebelah tangannya di bahu Harsa. Harsa melirik ransel yang tergeletak di bawah kakinya dan tersenyum tipis. "Ribet ah, kalau -butuh apa-apa tinggal beli aja nanti." Jawab Harsa enteng. Lelaki itu hanya mengangguk, tidak heran sih mengingat Harsa memang bukan tipe orang yang senang direpotkan. Lagipula ketika kamu punya bayak uang apapun akan terasa lebih gampang. Setidak-tidaknya itu yang dipelajari Farazz dari seorang Harsa. "Btw cewek lo mana?" Tanya Farazz lagi, sedikit heran saat tidak mendapati sosok Tara di sana. "Kok gak keliatan?" "Ke toilet katan
Tara masih kesal dengan alasan tidak masuk akal Harsa ketika tiba-tiba saja dia meminta izin untuk pulang duluan, tanpa bisa dicegah lelaki itu nekad kabur dari perkemahan meski bersikeras Tara memintanya untuk tetap tinggal. Sebenarnya Tara penasaran dengan apa yang harus Harsa kerjakan di rumah, dia sempat bertanya kepada Farazz namun tampaknya lelaki berwajah tupai itu sama sekali tidak tau menahu urusan sahabatnya, buktinya dia pun bengong mendengarkan kesaksian Tara tentang kelakuan Harsa."Emang kebangetan si Harsa." Ujar Farazz, bibirnya berdecak kesal. "Yaudahlah Ra, lo kalau ada apa-apa bilang aja sama gue yah, nanti gue bantu." Lanjutnya.Cemas dia menatap Tara, Farazz tau gadis itu sedang gelisah, saat dia merasa tidak punya pegangan lain selain Harsa dengan tega lelaki itu meninggalkan Tara begitu saja. Farazz sungguh tidak mengerti dengan apa yang ada di dalam pikiran Harsa, seringkali Harsa bersikap seolah-olah dia sangat mencintai Tara kemudian disaat ya
"Kamu habis dari mana Ra?"Wira berhenti di tempatnya berdiri kala melihat Tara berjalan dengan langkah gontai kembali ke perkemahan. Tara tersadar dari lamunan begitu Wira sengaja menjegal tangannya, menjaga Tara agar tidak tersandung akar pohon yang menghalangi kakinya."Eh Wira. Gue habis ketemu si Farazz nih. Ada urusan." Jawab Tara sambil memaksakan diri memoles senyum.Menurut Wira, Tara adalah aktris yang gagal, meskipun kini dia sedang tersenyum, tetap saja itu tidak bisa menyembunyikan semburat kesedihan dari wajahnya."Harsa mana kok gak bareng dia?" Entah sejak kapan Wira mulai peduli pada hal yang bukan urusannya, mulai tumbuh keinginan untuk memastikan Tara baik-baik saja meski dia sendiri tidak mengerti dengan sikapnya ini."Katanya sih ada kerjaan, jadi harus pulang duluan.""Kamu gak ikut?"Tara mengeleng."Tumben."Hening sebentar."Wira.." panggil Tara kemudian."Iya. Kenapa?" Balas
Hari keduachampingTara pun mulai terbiasa dengan situasi barunya, acara game sukses dilaksanakan dan selama game berlangsung Farazz tidak pernah membiarkan Tara merasa sendirian. Sejenak Tara dapat melupakan kesedihan karena ditinggal Harsa, pun dengan Farazz yang sudah mulai biasa-biasa saja."Cape gak Ra?" Tanya Farazz, mereka sedang berada di teda konsumsi, memasak mie untuk dijadikan penganjal perut hari ini.Tara tersenyum dan menyobek bumbu mie instant sebelum dia tuangkan ke dalam mangkuk. "Kan ada lo, jadi enggak terlalu cape lah gue." Jawab Tara sambil mengurai senyuman, kembali dia mengingat-ngingat bagaimana Farazz dengan hebohnya berlari mengitari lapangan untuk meraih kemenangan kelompok mereka.Farazz tertawa, "Ya kalau enggak gitu gak bakalan menang lah kita, terus lo enggak bakalan bisa masak mie sekarang. Habis ini lo harus berterimaksih sama gue yah Ra." Gurau Farazz dengan perasaan yang riang.Tara hanya memanyunkan
"Aku merasa menemukan akhir dari rasa sepi dan kosong di dalam hati, bukan padamu melainkan padanya."★☆★Wira mendudukan Tara di depan tenda, pada sebuah karpet ayaman yang sengaja dia gelar untuk sekedar bersantai. Tara mengamatinya, lelaki itu dengan cekatan membuka sepatu yang Tara gunakan kemudian memijit pergelangan kaki Tara."Pelan-pelan Wir, ngilu banget kaki gue, sumpah." Kata Tara, keningnya berkerut dalam, giginya dirapatkan menahan sakit."Ini juga udah pelan kok Ra, kayaknya kaki kamu terkilir deh. Di selonjorin aja dulu yah, nanti pulang kemah saya bawa kamu ke bunda biar diurut." Tutur Wira, cemas tatkala melihat kaki Tara yang makin membengkak.Nada bicara Wira tak sedingin lalu, melihat betapa rapuhnya perempuan ini membuat Wira jadi lebih mengiba. Tidak pernah dia sangka jika cewek sejudes dan segalak Tara ternyata bisa menangis hanya karena kakinya yang sakit."Sakit banget." Keluh Tara.Wira tidak tau ada
"Tapi itu bukan saya, Pak."Maheswari Tara Naraya menatap lelaki paruh baya di depannya dengan air wajah membeku. Gadis itu kesal setelah dibawa paksa ke dalam permasalahan yang menurutnya sama sekali tidak melibatkan dia. Namun nasi sudah menjadi bubur, selembar kertas contekan di tangan bapak wali kelas telah menyeret Tara menjadi tersangka utama."Saya lebih menghargai siswa yang mendapatkan nilai kecil namun jujur daripada nilai yang besar tapi hasil mencurangi, Tara." Lugas pak Bagas, wali kelas Tara.Tara hanya mengeratkan gigi, entah dengan cara apa lagi dia harus meyakinkan orang tua itu. Meski Tara tergolong murid dengan kemampuan akademik yang pas–pasan, namun dia berani bersumpah dirinya tak pernah melakukan cara kotor apapun untuk menempuh jalan pintas."Demi Tuhan, pak. Bukan saya pelakunya." Bantah Tara lagi, kali ini dengan segenap penekanan dalam setiap kata."Ini tulisan tangan kamu kan?" Pak Bagas mengasongkan kertas itu, ma
Cuaca di Bandung sedang tidak bersahabat, akhir-akhir ini kota menjadi langanan gerimis, begitu pula dengan hari ini, langit yang mendung serta awan hitam yang mengulung nampak seperti kumpulan duka yang hendak dijatuhkan ke bumi.Satu jam lalu Tara baru saja menyelesaikan aktifitasnya membantu anak-anak Rengganis untuk mengecek dan memindahkan bibit-bibit pohon mereka, rencananya bibit itu akan ditanam sebagai proses reboisasi di kawasan hutan konserfasi satu minggu lagi. Persertanya tidak hanya berasal dari SMA Dirgantara saja, tapi juga dari panti asuhan dengan Yayasan yang sama.Sebuah halte tua di depan sekolah menjadi tempat Tara berlindung dari cuaca yang mulai tidak ramah, tiba-tiba Wira menepi, suara motor jadulnya yang bising berhasil menarik perhatian Tara walau tak lebih."Gak pulang?" Sambil melepaskan helm bogo di kepalanya Wira berucap. Sementara Tara acuh saja dengan tatapan kosong memandang lurus ke jalan raya."Mau dianterin gak?" Kata W
"Aku merasa menemukan akhir dari rasa sepi dan kosong di dalam hati, bukan padamu melainkan padanya."★☆★Wira mendudukan Tara di depan tenda, pada sebuah karpet ayaman yang sengaja dia gelar untuk sekedar bersantai. Tara mengamatinya, lelaki itu dengan cekatan membuka sepatu yang Tara gunakan kemudian memijit pergelangan kaki Tara."Pelan-pelan Wir, ngilu banget kaki gue, sumpah." Kata Tara, keningnya berkerut dalam, giginya dirapatkan menahan sakit."Ini juga udah pelan kok Ra, kayaknya kaki kamu terkilir deh. Di selonjorin aja dulu yah, nanti pulang kemah saya bawa kamu ke bunda biar diurut." Tutur Wira, cemas tatkala melihat kaki Tara yang makin membengkak.Nada bicara Wira tak sedingin lalu, melihat betapa rapuhnya perempuan ini membuat Wira jadi lebih mengiba. Tidak pernah dia sangka jika cewek sejudes dan segalak Tara ternyata bisa menangis hanya karena kakinya yang sakit."Sakit banget." Keluh Tara.Wira tidak tau ada
Hari keduachampingTara pun mulai terbiasa dengan situasi barunya, acara game sukses dilaksanakan dan selama game berlangsung Farazz tidak pernah membiarkan Tara merasa sendirian. Sejenak Tara dapat melupakan kesedihan karena ditinggal Harsa, pun dengan Farazz yang sudah mulai biasa-biasa saja."Cape gak Ra?" Tanya Farazz, mereka sedang berada di teda konsumsi, memasak mie untuk dijadikan penganjal perut hari ini.Tara tersenyum dan menyobek bumbu mie instant sebelum dia tuangkan ke dalam mangkuk. "Kan ada lo, jadi enggak terlalu cape lah gue." Jawab Tara sambil mengurai senyuman, kembali dia mengingat-ngingat bagaimana Farazz dengan hebohnya berlari mengitari lapangan untuk meraih kemenangan kelompok mereka.Farazz tertawa, "Ya kalau enggak gitu gak bakalan menang lah kita, terus lo enggak bakalan bisa masak mie sekarang. Habis ini lo harus berterimaksih sama gue yah Ra." Gurau Farazz dengan perasaan yang riang.Tara hanya memanyunkan
"Kamu habis dari mana Ra?"Wira berhenti di tempatnya berdiri kala melihat Tara berjalan dengan langkah gontai kembali ke perkemahan. Tara tersadar dari lamunan begitu Wira sengaja menjegal tangannya, menjaga Tara agar tidak tersandung akar pohon yang menghalangi kakinya."Eh Wira. Gue habis ketemu si Farazz nih. Ada urusan." Jawab Tara sambil memaksakan diri memoles senyum.Menurut Wira, Tara adalah aktris yang gagal, meskipun kini dia sedang tersenyum, tetap saja itu tidak bisa menyembunyikan semburat kesedihan dari wajahnya."Harsa mana kok gak bareng dia?" Entah sejak kapan Wira mulai peduli pada hal yang bukan urusannya, mulai tumbuh keinginan untuk memastikan Tara baik-baik saja meski dia sendiri tidak mengerti dengan sikapnya ini."Katanya sih ada kerjaan, jadi harus pulang duluan.""Kamu gak ikut?"Tara mengeleng."Tumben."Hening sebentar."Wira.." panggil Tara kemudian."Iya. Kenapa?" Balas
Tara masih kesal dengan alasan tidak masuk akal Harsa ketika tiba-tiba saja dia meminta izin untuk pulang duluan, tanpa bisa dicegah lelaki itu nekad kabur dari perkemahan meski bersikeras Tara memintanya untuk tetap tinggal. Sebenarnya Tara penasaran dengan apa yang harus Harsa kerjakan di rumah, dia sempat bertanya kepada Farazz namun tampaknya lelaki berwajah tupai itu sama sekali tidak tau menahu urusan sahabatnya, buktinya dia pun bengong mendengarkan kesaksian Tara tentang kelakuan Harsa."Emang kebangetan si Harsa." Ujar Farazz, bibirnya berdecak kesal. "Yaudahlah Ra, lo kalau ada apa-apa bilang aja sama gue yah, nanti gue bantu." Lanjutnya.Cemas dia menatap Tara, Farazz tau gadis itu sedang gelisah, saat dia merasa tidak punya pegangan lain selain Harsa dengan tega lelaki itu meninggalkan Tara begitu saja. Farazz sungguh tidak mengerti dengan apa yang ada di dalam pikiran Harsa, seringkali Harsa bersikap seolah-olah dia sangat mencintai Tara kemudian disaat ya
Hari itu pun tiba, di mana seluruh siswa SMA Dirgantara berangkat menuju perkemehan. Sebagai seorang pencinta alam tentu saja Wira dan teman-temannya menjadi kelompok yang paling bersemangat dalam melaksanakan kegiatan ini. Lain hal dengan Harsa, lelaki itu menatap malas pada gerombolan orang-orang di hadapannya. "Dikit banget bawaan lo, Sa?" Entah datang dari mana Farazz sengaja melingkarkan sebelah tangannya di bahu Harsa. Harsa melirik ransel yang tergeletak di bawah kakinya dan tersenyum tipis. "Ribet ah, kalau -butuh apa-apa tinggal beli aja nanti." Jawab Harsa enteng. Lelaki itu hanya mengangguk, tidak heran sih mengingat Harsa memang bukan tipe orang yang senang direpotkan. Lagipula ketika kamu punya bayak uang apapun akan terasa lebih gampang. Setidak-tidaknya itu yang dipelajari Farazz dari seorang Harsa. "Btw cewek lo mana?" Tanya Farazz lagi, sedikit heran saat tidak mendapati sosok Tara di sana. "Kok gak keliatan?" "Ke toilet katan
Di sana, di depan toko yang menyediakan berbagai peralatan dapur bunda melambaikan tangan, wajahnya dihiasi senyuman penuh sayang yang selalu sukses menenangkan hati Wira."Maaf bunda, Wira telat, tadi jalananya agak macet." Kata Wira sesaat setelah dia mencium punggung tangan bundanya. Wanita itu mengangguk mafhum. Sebut saja Ranti, kakak dari ibu kandung Wira yang diberi amanat untuk membesarkan anak lelaki itu."Iya gak apa-apa, bunda juga ngerti kok. Kamu udah makan nak?" tanya Ranti lembut, sambil menatap seluet Wira dengan penuh cinta.Betapa dia menyangangi anak itu yang besar oleh tangannya sendiri.Wira tersenyum tipis. "Udah kok bun, tadi makan di sekolah." Jawabnya.Hampir tujuh belas tahun dia membesarkan Wira, memperlakukannya layak anak sendiri. Wira tak pernah dibeda-bedakan dengan Arya, bahkan untuk kasih sayang yang Ranti curahkan.Saat masih bayi, Wira tergolong anak yang ringkih, demam juga sesak sering sekali
Di sebuah kafe pinggir jalan Tara dan Harsa duduk saling berhadapan. Setelah banyak kode yang lelaki itu lancarkan, tibalah dia disebuah final yang akan menjadi awal dari kisah mereka di masa depan. Canggung, Tara menatap gugup Harsa di depannya, jantungnya berdegup tak karuan, sudah lebih dari lima belas menit ini mereka saling diam, dan sekarang menunggu kata-kata Harsa adalah hal yang paling menegangkan untuk Tara."Ra..." Akhirnya Harsa memecah kesunyian. Ditatapnya Tara dengan pandangan yang dalam, butuh usaha yang keras untuk menyakinkan Tara menerima tawaran nongkrong bareng di kafe, meski sudah terbilang akrab namun tetap saja Tara bukan orang yang mudah didekati."Kayaknya aku nyaman sama kamu." Lanjut Harsa, membuang gengsinya entah kemana."Maksudnya?""Ya nyaman. Kayak bahagia banget rasanya kalau lagi sama kamu."Di hadapan Harsa, Tara masih bergeming. Pandangannya dingin dan mensuk tajam nyaris membuat lelaki itu mengigil."Aku
Dari gerbang terlihat Wira yang buru-buru memarkirkan sepedah motornya, kemudian berjalan cepat berusaha menghindari volume air yang jatuh. Kedatangaan Wira mencuri perhatian beberapa orang yang sedang sibuk dengan aktifitas masing-masing, tak sedikit dari mereka memperhatikan meski tidak ada yang berkata apapun. "Maaf yah telat, saya harus benerin databese siswa dulu di ruang BK." Ucap Wira pada Ara yang saat itu berada tepat di hadapannya. "Iya enggak apa-apa, kita ngerti kok." Jawab Ara tenang. Gadis cantik bermata bulat itu mengambil jeda sejenak dari aktifitasnya mendata pengeluaran organisasi mereka. "Baju kamu basah, ganti dulu gih. Aku bawa jaket tuh." Lanjutnya sambil menunjuk jaket yang tergantung di balik pintu. Wira menggeleng dengan canggung, sejak pertamakali mengenal Ara, gadis ini memang sudah menjadi orang yang paling memperdulikan Wira dalam segala keadaan. Ara adalah seorang teman sekaligus ibu baginya. Terkadang sifat Ara yang hangat itu j
Hari ini berjalan sangat panjang, aktifitas belajar mengajar masih berlangsung di kelas 12 A, dimana lagi-lagi Tara harus duduk sendirian tanpa Harsa di sampingnya. Kemarin Harsa mengirimkan foto bersama sanak saudara dalam sebuah acara pernikahan yang sedang berlangsung, Tara tersenyum mengingat moment itu meski kini Harsa kembali sulit dihubungi. Dia tidak akan menyalahkan situasi, sudah sepatutnya Tara mafhum akan kesibukan kekasihnya, kadang kala sisi egois Tara menginginkan dia menjadi prioritas utama, namun Tara sadar dunia Harsa tak selalu berotasi di dalam dirinya saja. Guru fisika resmi di sekolah ini tidak mengajar anak-anak kelas 12 A – entah karena apa. Jadi yang mengantikannya adalah bu Yani, seorang guru kimia yang cara mengajarnya tidak pernah gagal membuat murid-murid menguap. Bu Yani sedang bicara tentang alam semesta di depan sana, sementara tak sedikit siswa mengamatinya dengan tatapan malas. Tiba-tiba dia menunjuk Tara dengan mistar kayu d