"Mister Lambert?"
Damien mengangkat telepon dari sekretarisnya yang duduk di depan ruang kerjanya. "Ya, Natalie?"
"Ada tamu untuk Anda. Katanya namanya Brian Jung."
Dahi Damien berkerut. Siapa itu? Rasanya dia belum pernah mendengar nama itu.
"Dia ingin bertemu Anda. Katanya penting, ini menyangkut Nona Siena Mori."
*
Damien menatap pria berwajah oriental yang duduk di hadapannya. Pria yang tak dikenalnya, tapi bagaimana pria ini bisa membawa-bawa nama Siena?
Brian berdehem. "Kurasa aku langsung saja. Aku Brian Jung, sahabat Siena."
Sahabat? Rasanya dia tak pernah mendengar cerita Siena, tapi memang banyak hal yang belum diketahuinya tentang Siena.
"Apa yang bisa kubantu, Mister Jung?"
"Panggil saja aku Brian. Aku datang untuk minta bantuan. Tolong beritahu aku,
"Cherry, tolong buka pintu…!" Alfonso menggedor-gedor pintu kamar resort tempat Siena menginap malam itu. Dia sudah menelepon ponsel Siena berulang kali, tapi tak ada jawaban. Dia juga sudah mencari Siena ke seluruh bagian resort tanpa hasil. Satu-satunya kemungkinan adalah Siena berada di kamar. "Cherry…, aku tahu kamu di dalam. Buka pintunya!" Ah, ada apa dengan Siena? Alfonso mengeluh. Siena meninggalkannya begitu saja di klinik saat dia sedang mengantarkan Sasha. Apakah Siena marah, atau cemburu? "Cherry---" Mendadak, pintu terbuka. Siena berdiri di balik pintu dengan gaun tidur panjang berwarna merah muda. Gaun itu tidak tipis, juga tak berpotongan seksi, tapi entah kenapa tetap terlihat sangat indah jika dikenakan oleh Siena. "Ada apa?" Siena langsung bertanya dengan nada datar. "Apa maksudmu ada apa? Ha
Alfonso sama sekali tak mengharapkan bertemu Sasha lagi, terutama tidak di saat sekarang ini, ketika dia merasa wine mulai membawa pikirannya melayang dan tubuhnya menghangat. Saat matanya tertuju pada Sasha, dia baru sadar wanita itu memakai mini dress warna merah yang berpotongan seksi dan sangat menggoda."Oh, aku tak butuh ditemani, Sasha…." Walaupun berkata begitu, dia tetap saja tak melepaskan pandangannya dari tubuh Sasha.Sasha terkikik. "Ucapanmu tak sesuai dengan caramu memandangku. Bukankah aku sudah katakan tadi, kamu boleh mengantarku ke kamarku?"Astaga! Tubuh Alfonso mulai bereaksi tak sesuai harapannya mendengar desahan Sasha di telinganya."Biarkan aku sendiri, Sasha. Suasana hatiku sedang buruk." Alfonso mencoba cara terakhir untuk mengusir Sasha, berusaha menjaga pikirannya tetap waras.Sasha menarik wajah Alfonso supaya menghadapnya. "Kena
"A-apa katamu?" Siena terbelalak menatap Alfonso. Senyum Alfonso makin lebar. Senang rasanya bisa menggoda Siena lagi. "Ingat janjimu, Cherry. Kamu tantang aku pecahkan kode keempat. Dan aku berhasil. Sekarang saatnya menagih hadiahku." Alfonso melangkah mendekat. Siena langsung berlari menghindar ke tengah kamar, berlindung di balik sofa. Alfonso tertawa, matanya mengedip nakal. "Cherry, kamu sudah janji padaku…." "A-aku tak pernah janji apa-apa…. Kamu saja yang seenaknya putuskan sendiri hadiah itu. Aku belum pernah menyetujui," Siena berusaha memprotes. Aduh, kenapa jantungnya berdebar tak karuan seperti ini? Apa mungkin Alfonso akan berani memaksanya? Alfonso berdiri dengan tangan disilangkan di depan dadanya. "Kalau begitu, untuk apa kamu datang ke kamarku? Kamu sudah tak marah lagi? Atau… kamu cemburu dan takut aku bersama Sas
Siena nyaris sesak napas waktu Alfonso mendadak memeluk pinggangnya dengan erat. Jantungnya mulai berpacu. Ia bisa melihat hasrat yang bergelora di mata Alfonso. Apalagi saat pria itu berbisik persis di dekat telinganya, "Cherry, berikan hadiahku….""Alf…."Siena mendorong dada Alfonso dengan tangannya, tapi percuma. Alfonso jauh lebih kuat dan waspada, berbeda dengan pria kurang ajar yang menggodanya di klub malam di Dubai, yang bisa dibantingnya dengan mudah.Alfonso terkekeh. "Lihat saja apa kamu bisa membantingku, Cherry…." Ternyata dia tahu apa yang dipikirkan Siena."Alf, lepaskan aku!" Siena mencoba menarik tubuhnya ke belakang."Atau mungkin aku yang banting kamu? Ke tempat tidurku?"Sedetik kemudian, tangan Alfonso bergerak dengan cepat mengangkat tubuh Siena dan menggendongnya. Siena menjerit dan meronta. Baru saja
Jantung Siena berdenyut lebih cepat saat pilot pesawat mereka menginformasikan bahwa mereka akan segera mendarat dalam sepuluh menit lagi. Kota Siena ternyata tak memiliki bandara. Jadi mereka harus mendarat dulu di Kota Florence, baru kemudian melanjutkan perjalanan darat ke Kota Siena. Alfonso menggenggam erat tangan kanannya seolah tahu apa yang dirasakannya. "Kamu tak sendirian, ada aku…," ucap Alfonso, sambil tersenyum menenangkan. Siena heran apakah Alfonso mungkin bisa membaca pikirannya, karena pria itu sepertinya selalu tahu semuanya. Tapi dia memang butuh senyum itu, sentuhan tangan itu. Dan di atas segalanya, dia butuh Alfonso menemaninya. "Setahuku Siena adalah kota yang sangat indah. Penuh dengan karya seni," Siena berusaha menghilangkan kegugupan dengan bicara yang lain. "Kalau begitu, kamu pasti suka. Kamu dan Kakek sama-sama suka seni." "B
Karena sudah sore, Alfonso dan Siena memutuskan untuk berangkat ke Panti Asuhan Safe Haven esok harinya. Sebagai gantinya, mereka berdua berjalan-jalan ke tengah kota. Mereka sengaja berjalan kaki supaya bisa menikmati keindahan arsitektur bangunan-bangunan abad pertengahan yang memukau. Menjelang petang, Alfonso mengajak Siena ke sebuah restoran yang menyajikan makanan khas Italia."Aku mau makan selain pasta dan pizza," kata Alfonso, waktu mereka duduk di bagian beranda luar restoran.Cuaca di Kota Siena saat ini mulai dingin, agak mendung. Sayang sekali kalau malam ini harus hujan. Rasanya belum puas mereka berkeliling kota."Bagaimana kalau coba ini, panzanella? Kelihatannya enak," Siena menyarankan sambil menunjuk gambar di buku menu.Mata Alfonso melebar. "Mmm, boleh…. Kelihatannya memang menggoda."Setelah memesan makanan, mereka memperhatikan orang-or
Brian memandang wanita berambut pirang yang duduk di hadapannya sekarang. Dua hari yang lalu, waktu mereka bertemu di depan apartemen Alfonso, Gloria terlihat merana seperti orang sakit. Namun saat ini, kondisinya terlihat lebih baik. Matanya tidak bengkak lagi. Dia juga sudah memakai make-up untuk menutupi wajahnya yang pucat, sehingga tampak lebih segar."Apa… kamu sudah merasa lebih baik?" Brian memecah keheningan.Dari tadi, sudah lebih dari lima menit, mereka cuma duduk diam. Brian sebenarnya juga tak tahu persis maksud kedatangan Gloria ke apartemennya pagi ini. Sejak mereka bertemu, mereka memang saling bertukar nomor ponsel. Lalu Gloria tiba-tiba menelepon pagi ini, meminta alamatnya, dan muncul di depan pintu apartemennya.Sambil menarik napas panjang, Gloria menggeleng. "Aku tak mungkin merasa lebih baik, sebelum aku bisa ketemu Alfonso lagi.""Nomornya juga tak bisa di
Siena memicingkan matanya, mengejap-ngejap karena merasa silau setelah selubung kain hitam di kepalanya dibuka. Hal pertama yang dilihatnya adalah dua orang pria bertubuh tinggi besar dan berkacamata hitam yang berdiri di depannya. Yang satu berkumis tebal, sedangkan yang satunya lagi berkepala plontos. Mereka pasti yang menculiknya tadi. "Siapa kalian?!" Jantungnya sudah berdetak begitu kencang, tapi Siena masih berusaha supaya suaranya terdengar tegas. Pria yang berkepala plontos mengangkat jari telunjuknya ke bibir. "Tenang, Nona…. Tak perlu takut." Mereka baru saja menculiknya, dan minta dia supaya tak perlu takut? Yang benar saja! Namun satu hal yang membuatnya lega, mereka tak menodongnya dengan pistol lagi, dan kedua tangannya dari tadi juga dalam posisi bebas, tak diikat. Siena mencermati kedua pria itu. Mereka memakai mantel hitam panjang, berkulit cokelat, dan wajah k