Ayu mendadak berhenti dan jantungnya pun mulai berdegup kencang. Ia mulai berpikir dan mengingat-ingat gerakan beladiri khusus wanita jika terjadi sesuatu yang membahayakan di jalan.
“Aduuh aku harus gimana ini,” pikir Ayu.
“Siapa ya yang mayungin aku, orang jahatkah, atau mungkinkah ini ojek payung,” pikir Ayu lagi kemudian melirik ke sekitarnya.
Sekeliling tempatnya berdiri cukup ramai dengan orang berteduh. Kesemuanya tampak sibuk menyelamatkan diri masing-masing, meski beberapa ada yang menengok ke arahnya. Namun kesemuanya tidak ada yang merasa aneh dengan apa yang menimpa dirinya.
“Hmm mungkin juga ini bukan orang jahat, atau mungkin ini Mas Danang yang bermaksud memberiku kejutan,” pikir Ayu.
Dia memang belum menebak siapa yang memayinginya tiba-tiba. Semua karena Ayu tak melihat tangan siapa yang memegang payung karena orang itu berada
Danang mengusap kedua matanya saat melihat bayangan di depan yang tak jauh dari mobilnya terparkir. Seorang laki-laki memayungi perempuan saat hujan gerimis dan menggiringnya ke dalam mobil.Ini bukan hal biasa bagi tiap pasangan, ia sendiri sudah sering melakukannya bersama Ayu kala hujan turun. Namun yang jadi masalah kali ini perempuan di bawah payung itu Ayu, sementara lelaki yang memayunginya bukan dia melainkan pesaingnya.“Bagaimana mungkin?” tanya Danang yang mobilnya masih belum juga bisa maju ke arah Ayu lantaran terhalang kendaraan lain di depannya.Danang mencoba untuk mencondongkan tubuh ke depan, dan ia tidak salah. Itu benar-benar Ayu.“Iya itu Ayu, tidak salah lagi, aku benar-benar mengenalnya dan juga mobil lamborghini yang kemarin nyaris menyerempetku, tidak mungkin aku salah,” pikir Danang penuh kekecewaan.Ia tak ada niatan untuk menyal
Perlakuan manis tak henti diterima Ayu ketika ia tiba di Restoran Jepang Sushi Wow. Dari awal ia sudah membukakan pintu mobil dan mengulurkan tangan untuk membantu Ayu berdiri, sementara tangan yang satu lagi disandarkan pada kap mobil agar Ayu tidak terbentur.“Makasih Mas,” balas Ayu yang telapak tangannya masih dalam genggaman Wira.“Jaketnya nggak dipakai?” tanya Wira kemudian melepaskan genggaman dari tangan Ayu.“Maaf, nggak ada maksud pegang-pegang cuma bantu kamu berdiri aja tadi.“Iya Mas, aku ngerti.”Ayu benar-benar terhipnotis kali ini, perlakuan Wira sungguh-sungguh manis. Ia merasa kalau lelaki yang dijodohkan dengannya sangat menjaga dan menghargai dirinya. Coba jika saat ia bersama Danang, genggaman tangan yang erat tak mungkin untuk dilepaskan.“Aduh … aku kok jadi bandingin Mas Danang sa
Tak pernah disangka Ayu akan bertemu dengan Wira di depan Mall. Awalnya ia mengira kalau saat dirinya kehujanan Danang akan datang dan langsung mengajaknya ke mobil dan menikmati makan malam berdua di Sushi Wow.Menghabiskan malam berdua sambil saling ledek lantaran selera makan yang berbeda. Setelah makan malam Ayu terpaksa diturunkan di jalan tak jauh dari rumahnya dan memanggil ojek online kemudian Danang akan mengikuti dari belakang untuk memastikan ia sampai di rumah dengan selamat.Namun semuanya hanya harapan belaka. Lelaki yang ia harapkan tak kunjung datang. Justru sosok Wiranatalah yang datang memayunginya.Ayu benar-benar tak bisa menyembunyikan keterkejutannya kala itu. Sampai-sampai ia sempat berpikiran buruk terhadap lelaki itu. Menuduhnya hendak berbuat mesum dengan mengajak Ayu ke hotel.Ternyata dia salah sangka. Hotel milik Wira letaknya bersebelahan dengan Mall tempat ia berbelanja
Bu Ratmi hanya tersenyum begitu melihat anak gadisnya masuk ke dalam rumah pasca mengantarkan Wira. Senyum wanita yang melahirkannya itu penuh dengan tanda tanya dan tentunya membuat Ayu merasa risih.“Enten nopo to Bu (Ada apa to Ibu),” cibir Ayu sambil melirik ke arah ibunya yang masih belum juga berhenti tersenyum meledeknya.“Ibu seneng kamu sudah bisa melupakan mantan pacarmu itu dan menerima Wira. Dia itu benar-benar sosok yang sempurna buat kamu.”Ayu mendengkus kesal “Ya ampun Bu itu lagi itu lagi yang dibahas. Apa nggak ada balasan lain sih?”Ayu pun langsung beranjak ke kamar bermaksud menyimpan barang belanjaannya. Namun sang ibu justru mencegahnya dan mengajak bicara.“Yu, sini duduk sebentar Ibu mau bicara!” ajaknya.Dengan malas perempuan berkulit kuning langsat itu pun melangkah menuju te
Beberapa jam sebelumnya ….Kabar yang diterima Wira dari Dinda merupakan suatu keberkahan sendiri untuknya. Lagi-lagi keberuntungan mendatangi dirinya.“Aku memang sudah ditakdirkan beruntung sejak lahir,” gumamnya setelah membaca pesan dari Dinda.Saat itu partner in crime nya mengabarkan kalau Ayu akan berbelanja di Mall yang letaknya bersebelahan dengan hotel milik Wira. Memang hari itu adalah hari pertama bazaar pakaian branded asal Korea.Tentunya akan banyak kaum hawa yang mendatangi acara pameran itu. Mereka semua akan rela berdesakan untuk bisa mendapatkan koleksinya. Bagaimana itu tidak menarik, baju terusan yang biasa dibandrol dengan harga dua jutaan bisa didapat dengan harga empat ratus hingga lima ratus ribu saja. Kaum hawa mana yang tidak keblinger saat melihatnya.Dari Dinda pulalah ia bisa mendapatkan informasi kalau Ayu akan ke sana sendirian d
Ayu langsung merebahkan tubuh di atas ranjangnya yang empuk. Paper bag hasil ia belanja tadi dibiarkan begitu saja di lantai. Kekesalannya benar-benar menumpuk dan tak tertahankan.Semenjak tadi ia tak berhenti untuk mengutuk perbuatan ibunya sendiri. Bagaimana mungkin sang ibu tega untuk membuat keputusan secara sepihak. Tidak menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya atau setidaknya mengajaknya untuk berdiskusi lebih dulu.Sebagai anak ua sama sekali tidak dianggap. Padahal ini semuanya menyangkut masa depannya, tapi entah kenapa Ayu sama sekali tidak dilibatkan.Ayu pun mengambil ponsel yang sejak tadi berada dalam tas nya kemudian mencari satu nomor yang memang selalu menjadi tempatnya berbagi selama ini. Siapa lagi kalau bukan nomor Danang.Saat itu ia mendapati kalau ada beberapa panggilan tak terjawab dari Danang setelah ia mengirimkan pesan pemberitahuan kalau ia akan menunggu di de
Diam-diam Dinda memperhatikan Danang yang tampak tergesa-gesa meninggalkan ruangannya. Lelaki itu tampak membereskan semua berkas-berkas ke dalam tas kerjanya.Ada tanda tanya pada diri Dinda saat melihat lelaki itu. Danang tampak tak bersemangat semenjak tadi. Entah apa yang ada dalam pikiran lelaki itu hingga kinerjanya sama sekali berbeda dari biasanya. Danang seperti kehilangan semangat, mungkinkah lelaki itu sakit?Dinda langsung beranjak menuju ruang kerja Danang. Berpura-pura untuk menunjukkan progres kerjanya.“Selamat sore Pak,” sapanya sambil mengetuk pintu kaca ruangan kerja Danang.Danang mendongak dan tersenyum dengan terpaksa ke arah Dinda yang berdri di sana. Gadis itu tampak berdiri sambil berpose ala supermodel, tangan kanan memegang pintu dan salah satu kakinya maju ke depan. Ditambah lagi pakaiannya semakin lama semakin seksi, balutan busananya ketat dan menonjolkan tia
Seulas senyum tersungging di wajah Dinda kala ia mendengar ucapan Danang barusan. Ia sudah bisa mengambil kesimpulan kalau memang Danang sedang dalam masalah dengan perempuan yang hubungannya tak direstui itu.“Ha ha apa sih menariknya dari perempuan itu, dilihat dari cara keluarganya nolak aja udah kelihatan kalau mereka kampungan, tapi kok bisa-bisanya sih Pak Danang justru tertarik dengan orang seperti itu,” gumam Dinda kemudian bergidik dan meninggalkan ruangan kerja Danang yang sudah kosong itu.Ia pun kembali pada meja kerjanya menyelesaikan pekerjaannya hari ini kemudian lanjut ke klub kebugaran untuk mempertahankan bentuk tubuhnya. Sebenarnya tidak banyak yang harus dikerjakan olehnya kali ini, dan ia yakin bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu yang singkat, paling dalam setengah jam semua bisa selesai.Harusnya memang dia menelepon Wira kali ini, tapi berhubung waktunya tanggung, ia memilih untuk m
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep