“Pak, awas Pak!” pekik Dinda membuat Danang langsung saja menginjak rem mobilnya.
Hampir saja mobil itu menabrak pengemudi ojol yang ada di depannya. Untung Dinda sadar dan langsung memberinya peringatan hingga kecelakaan itu tak terjadi. Pengemudi ojol yang tadi hampir saja ditabrak oleh Danang pun sudah beranjak jauh dari mobil yang ia kemudikan hingga mereka berdua tak perlu turun untuk meminta maaf.
Danang memijit pelipis, kemudian menghembuskan napas panjang. Sementara Dinda mengambil botol air mineral yang tadi sempat ia beli di kantin kantor lalu menyerahkan pada Danang.
“Minum dulu Pak,” katanya menyodorkan botol air yang baru saja ia buka segelnya.
Danang belum merespons, ia masih terkejut dengan kejadian yang baru saja dialami olehnya.
“Tenang aja ak, saya baru buka segelnya sekarang kok, jadi ini belum saya minum,” Dinda mencoba untu
Dinda tampak menggosok-gosok telapak tangannya saat ia menunggu Wiranata di lobi hotel. Sementara Danang tampak melihat ke sekeliling interior hotel yang bergaya minimalis.Meskipun sudah beberapa kali bertemu dengan Wira, tapi ini baru pertama kalinya ia menginjakkan kaki pada properti pengusaha muda itu. Biasanya Wiranata yang datang ke kantor tempat Danang bekerja.Perasaan kagum tak dapat disembunyikan oleh lelaki ini, meskipun ia tahu kekayaan yang dimiliki oleh Wira juga bukan sepenuhnya berasal dari pemuda itu. Wira memang beruntung lahir dari keluarga kaya, tidak seperti masa kecilnya yang harus rela berbagi satu buah telur untuk dimakan Danang bersama kakak dan adiknya.Keluarga Danang memang bukan tergolong keluarga berada, tapi bukan pula tergolong orang yang kekurangan. Almarhun ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik dan untuk menambah pemasukan, sang Ibu suka menerima pekerjaan borongan yang bisa dibawa ke rum
Wira langsung melihat ke arah Danang yang terbatuk dan meminum welcome drink darinya. Lelaki ini berpura-pura untuk tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tamu yang mengunjunginya.“Pak Danang kenapa? Minumannya nggak enak atau mungkin Bapak tidak mengkonsumsi minuman dingin? Biar saya ganti saja Pak,” tawar Wira mencoba untuk ramah.Namun dalam hati ia tersenyum karena telah berhasil membuat pikiran Danang terdistraksi. Wira tahu pasti kalau Danang merasa tersinidir dengan ucapannya.“Nggak … nggak masalah kok, mungkin saya masuk angin saja,” jawab Danang berbohong.Wira pun segera memerintahkan karyawannya untuk mengganti minuman milik Danang dengan sajian teh jahe hangat yang akan membuat lelaki di hadapannya merasa lebih baik.“Waduh Pak Danang maaf ya saya nggak tahu kalau Bapak lagi kurang sehat,” balas Wira berbasa-basi lagi,
Danang dan Dinda belum juga meninggalkan area parkir hotel setelah pertemuan dengan Wira usai. Lelaki itu masih saja menatap ponsel dalam genggamannya sementara tangannya bersandar pada kemudi.Ponsel yang ada dalam genggamannya pun tidak diapa-apakan kecuali dibaca. Tampaknya ia masih bimbang untuk merepsons apa yang diterima di benda pipih itu.“Ada masalah ya Pak?” tanya Dinda yang duduk di sampingnya.Danang menggeleng cepat kemudian menyunggingkan seutas senyum ke arah Dinda.“Nggak … nggak ada apa-apa kok, cuma urusan pribadi aja,” balasnya kemudian mengantongi ponselnya kembali.Dinda mengangguk dan kembali menatap ke depan. Hatinya menebak jika Pak Danang baru saja mendapatkan rentetan pesan dari perempuan yang dicintainya. Rentetan pesan itu menunjukkan kalau ada pertengkaran diantara mereka berdua dan ini yang memang diharapkan oleh Dinda.
Lagi-lagi Dinda harus melambaikan tangan di depan wajah Danang. Rekan kerja yang posisinya lebih tinggi dibandingkan dirinya ini kembali melamun, entah kemana pikirannya melayang.“Pak, ngelamun terus, ini makanan kasihan kalau dianggurin. Lihat nih gulai kepalanya udah megap-megap tuh di php in sama Bapak!” seru Dinda sambil menunjukkan piring saji gulai kepala ikan yang posisi bibirnya mengarah pada Danang.Lelaki berabut lurus ini hanya tersenyum setelah sempat tersentak oleh teguran Dinda. Segera ia mengambil nasi dan menuangkan kuah gulai serta mengambil kepala ikan yang tadi ditunjukkan oleh Dinda.“Memang ngelamunin apa sih?” tanya Dinda sambil menyendok nasi dengan lauk ayam goreng yang telah disiram kuah.Perempuan di depannya menyendok nasi dengan porsi kecil, mungkin takut kalau lipsticknya luntur. Cara makan yang sebenarnya mirip dengan Ayu. Diam-diam Danang pun me
Dinda masih memperhatikan Danang yang mematung. Bulu matanya yang lentik akibat sentuhan tenaga profesional pun berkedip membuatnya tampak seperti boneka.“Mas Danang,” panggil Dinda yang lagi-lagi mengejutkannya.Danang pun mendengkus kesal, ia masih ragu untuk menceritakan masalah ini pada Dinda. Apa mungkin Dinda bisa dipercaya olehnya.Lelaki berdasi merah ini pun mengetuk-ngetukkan jemari pada meja kemudian mendongak, “Nggak ada apa-apa Din, lupakan saja pertanyaan saya tadi.”Dinda mengerutkan keningnya, berpikir kalau ada yang aneh dengan Danang.“Dinda udah selesai makannya? Kalau udah kita mending balik ke kantor saja, ada hal yang harus saya kerjakan,” ajak Danang menyisakan tanda tanya pada Dinda.Akhirnya Danang memutuskan untuk tidak menceritakan masalahnya lebih dalam pada Dinda. Namun tak dapat dipungkiri kal
Masih ada satu orang nasabah lagi yang harus dibuatkan ilustrasi investasi oleh Dinda. Nasabah yang satu ini termasuk tipikal orang yang detail, ia ingin semuanya jelas dan terperinci. Saking detailnya, Dinda sampai harus mengulang beberapa kali untuk membuat proposal ilustrasi.“Pak Danang sibuk nggak ya?” gumam Dinda sambil mengintip ke arah ruangan atasannya.Lelaki itu tampak duduk sambil memperhatikan layar monitor datar di hadapannya. Sesekali Danang merekatkan kedua tangannya, bersandar dan memutar kursinya, seperti ada yang dipikirkan olehnya.“Nanya gak … nanya gak,” pikir Dinda penuh kebimbangan.Cukup lama gadis itu berpikir sampai akhirnya seorang rekan kerja yang lain mendahuluinya untuk mengetuk pintu ruangan Danang.“Huft!” Dinda mendengkus kecewa kemudian melirik penunjuk waktu pada ponselnya.&
Panggilan telepon itu diakhiri tiba-tiba oleh Wira, tanpa ada salam atau basa-basi terima kasih. Lelaki muda itu sudah mulai menunjukkan kekuasaannya pada Dinda yang baru pertama kali bertemu dengannya.Lekas-lekas Dinda menyimpan ponselnya dalam saku dan beranjak menuju toilet kantornya dan menenangkan diri sejenak di sana. Biasanya Dinda mendapatkan ketenangan saat dirinya memperbaiki riasan dan memandangi bayangan dirinya di cermin.Dinda bisa bergumam sambil bercermin, mengungkapkan semua kekesalan yang ia alami. Ia bisa puas mengomel di sana, kalaupun ada orang lain di sana Dinda bisa mensiasatinya dengan bergumam lirih, dan pegawai lain hanya akan menganggapnya sedang bernyanyi.Pintu dengan logo siluet perempuan itu didorong Dinda perlahan-lahan kemudian ia celingukan memperhatikan apakah ada orang lain di dalam. Kali ini tiga bilik di dalamnya tampak terbuka, sementara di area wastafel yang dilengkapi cermin besa
Ayu berdiri di hadapan cermin dan memperhatikan penampilannya. Dia baru saja memperbaiki riasan wajah dan menyemprotkan parfum pada pakaiannya. Gadis berkulit langsat ini memang sengaja untuk tidak pulang ke rumah dulu dan bertemu dengan Danang yang begitu dicintainya.Meskipun ia merasa tidak nyaman karena tak sempat mandi dan ganti baju setelah penat bekerja seharian menghadapi data-data di Rumah Sakit. Mandi air dingin dan berganti pakaian bersih memang menjadi pilihan yang paling bijaksana untuk bertemu dengan sang pujaan seharusnya. Namun dengan kondisi hubungan Ayu dengan Danang yang tak juga mendapatkan restu, tentunya hal ini akan sulit untuk dilakukan. Jika Ayu pulang ke rumah dulu pasti Ibunya akan memaksa untuk ikut, atau lebih parahnya meminta Wira untuk datang menjemput Ayu.Segera Ayu mengemudikan mobil kecilnya menuju tempat yang sudah disepakati bersama Danang untuk bertemu. Ia sudah tak sabar lagi untuk melihat wajah lelaki
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep