Panggilan telepon itu diakhiri tiba-tiba oleh Wira, tanpa ada salam atau basa-basi terima kasih. Lelaki muda itu sudah mulai menunjukkan kekuasaannya pada Dinda yang baru pertama kali bertemu dengannya.
Lekas-lekas Dinda menyimpan ponselnya dalam saku dan beranjak menuju toilet kantornya dan menenangkan diri sejenak di sana. Biasanya Dinda mendapatkan ketenangan saat dirinya memperbaiki riasan dan memandangi bayangan dirinya di cermin.
Dinda bisa bergumam sambil bercermin, mengungkapkan semua kekesalan yang ia alami. Ia bisa puas mengomel di sana, kalaupun ada orang lain di sana Dinda bisa mensiasatinya dengan bergumam lirih, dan pegawai lain hanya akan menganggapnya sedang bernyanyi.
Pintu dengan logo siluet perempuan itu didorong Dinda perlahan-lahan kemudian ia celingukan memperhatikan apakah ada orang lain di dalam. Kali ini tiga bilik di dalamnya tampak terbuka, sementara di area wastafel yang dilengkapi cermin besa
Ayu berdiri di hadapan cermin dan memperhatikan penampilannya. Dia baru saja memperbaiki riasan wajah dan menyemprotkan parfum pada pakaiannya. Gadis berkulit langsat ini memang sengaja untuk tidak pulang ke rumah dulu dan bertemu dengan Danang yang begitu dicintainya.Meskipun ia merasa tidak nyaman karena tak sempat mandi dan ganti baju setelah penat bekerja seharian menghadapi data-data di Rumah Sakit. Mandi air dingin dan berganti pakaian bersih memang menjadi pilihan yang paling bijaksana untuk bertemu dengan sang pujaan seharusnya. Namun dengan kondisi hubungan Ayu dengan Danang yang tak juga mendapatkan restu, tentunya hal ini akan sulit untuk dilakukan. Jika Ayu pulang ke rumah dulu pasti Ibunya akan memaksa untuk ikut, atau lebih parahnya meminta Wira untuk datang menjemput Ayu.Segera Ayu mengemudikan mobil kecilnya menuju tempat yang sudah disepakati bersama Danang untuk bertemu. Ia sudah tak sabar lagi untuk melihat wajah lelaki
Genggaman tangan Danang tak juga dilepaskan dari Ayu. Semakin lama genggaman itu semakin erat seakan enggan dilepaskan dari Ayu. Tatapan yang diberikan Danang bukanlah tatapan yang teduh dan menenangkan seperti biasanya, justru ada ketakutan di sana.Ayu sendiri masih bertanya-tanya kenapa kekasihnya bisa ketakutan seperti itu. Sejak awal ia mengenal Danang, ia sama sekali tidak pernah mempermasalahkan keadaan ekonomi lelaki yang bersamanya itu.“Mas, jane eneng ngopo to Mas (Mas, sebenarnya ada apa Mas)?” tanya Ayu yang masih menatap lelaki itu penuh keheranan.Alisnya masih menyatu dan pikirannya mencoba untuk menerka-nerka ada apa dengan Danang sebenarnya. Pelan-pelan ia melepaskan tangan dari kekasihnya, mengambil tissue dan mengusap lembut wajah lelaki yang bersamanya.Peluh mulai muncul di dahi Danang, dan mata kekasihnya itu tampak memerah.“Mas
Adinda Karista Wijaya, nama itu yang ada di dalam pikiran Wira sekarang. Lelaki itu duduk sambil terkekeh lantaran baru saja mendapatkan kabar baik dari Dinda yang tadi mendatanginya untuk menawarkan program investasi terbaru.Sudah cukup banyak informasi yang ia kantongi mengenai perempuan itu. Termasuk latar belakang Dinda yang berasal dari keluarga berada.Wira pun dapat menangkap adanya ketakutan dari Dinda saat perempuan itu menerima panggilan darinya. Bisa ditebak kalau Dinda sebenarnya berpikiran yang bukan-bukan akan dirinya.“Ha ha kamu sudah salah paham padaku Adinda, kamu pasti mikir kalau aku mau berbuat mesum sama kamu. Ha ha kamu salah besar, Nduk, tapi nggak masalah biarkan aku bermain-main sejenak,” gumam Wira sambil memutar kursi kerjanya 360 derajat.Dering telepon membuyarkan lamunan Wira. Tanpa melirik, ia pun langsung mengambil gagang telepon dan menjawabnya.&
Dinda langsung mengambil gelas mocktail yang ada di hadapannya. Ia mulai meneguk minuman manis itu untuk menetralisir keadaan.“Sialan, Bisa-bisanya Pak Wira tahu tentang perasaanku dengan Mas Danang, apa jangan-jangan Pak Wira ini dukun ya?” tanya Dinda dalam hati.Lagi-lagi Wira memperhatikan Dinda yang terlihat gugup. Ia benar-benar menikmati pemandangan ini, walaupun perempuan di depannya ini bukanlah seseorang yang diinginkan.“Ibu mau tahu saya kok bisa menebak perasaan Ibu? Atau mungkin Ibu berpikir saya seperti dukun,” canda Wira yang tak dianggap bercanda oleh Dinda.Perempuan ini pun meletakkan gelas mocktailnya dengan sedikit kasar.“Ini kelewatan!” batinnya.Tanpa basa-basi Dinda pun menyimpan berkas-berkas yang tadi berada di atas meja dan menyimpannya ke dalam tas.“Cukup Pak Wira!&r
Wira mengangguk saat Dinda mengulangi pernyataannya. Lelaki berkulit putih ini mulai bersikap formal terhadap perempuan yang mengunjunginya.“Bagaimana jika Anda duduk dulu bu Dinda, kita bicara dengan baik-baik,” tawar Wira sambil mengarahkan tangan ke arah kursi yang tadi diduduki oleh Dinda.Lambat laun sikap Wira ini pun membuat Dinda luluh. Perempuan yang tadi sempat terbakar emosi oleh sikapnya pun menurut, kembali duduk ke tempatnya semula.“Bu Dinda, saya setuju untuk melakukan investasi di tempat Ibu, bagaimana jika saya mencoba dengan lima miliar. Program yang Ibu tawarkan tadi memang cukup baik,” ucap Wira mengawali.Ada kecurigaan yang muncul pada Dinda saat Wira menyebutkan nilai yang fantastis itu. Akal sehatnya berpikir kalau ada sesuatu di balik ucapan lelaki itu. Apalagi, tadi Wira melarangnya untuk memberitahu Danang jika dirinya menelepon.
Wajah Ayu yang tadinya berseri mendadak muram begitu melihat mobil mewah yang terparkir manis di depan pagarnya. Ia hanya mendengkus kesal saat melihat mobil mewah yang dikenalnya itu.“Ameh ngopo sih mrene (Mau apa datang kemari),” runtuk Ayu kemudian membuka pintu pagar.Gadis manis itu mendongak dan memberi kode pada mobil yang tak jauh dari sana untuk melanjutkan perjalanan. Tak sempat bagi Ayu untuk melambaikan tangan apalagi membiarkan sang pengemudi mampir ke rumahnya dan berpamitan pada orang tua Ayu.Ayu mendengar jelas tawa tiga orang di dalam ruang tamunya, salah satu dari mereka adalah seorang laki-laki. Canda tawa itu pun terhenti ketika Ayu mulai memindahkan mobilnya pada carport.“Lha kae bocahe teko (Lha itu anaknya datang),” tutur Ibu begitu mendengar bunyi pintu mobil yang ditutup oleh Ayu.Seperti biasanya, setiap kali
Ini adalah hari yang benar-benar buruk bagi Danang. Ia yang bermaksud melakukan tugasnya sebagai seorang supervisor harus menelan pil pahit lantaran nasabah yang dibidik oleh rekan kerjanya Dinda adalah pesaingnya sendiri.Secara kasat mata ia memang kalah jika dibandingkan dengan Wira. Dari segi ekonomi, penampilan ia hanya mendapatkan nilai delapan atau rata-ra, sementara Wiranata bisa mendapatkan nilai sepuluh. Satu hal yang membuat Wira semakin sempurna adalah lelaki itu sudah mengantongi restu dari keluarga Ayu.Siang tadi Danang tampak berusaha keras untuk tidak emosi saat bertemu dengan Wiranata. Pengusaha muda itu dengan percaya diri mengatakan ia akan menikah dengan calon istrinya, dan mengungkapkan mimpi untuk berumah tangga dengan Ayu. Mimpi yang seharusnya hanya untuknya.“Ya Tuhan kenapa begitu berat halangan untukku menjalin hubungan dengan perempuan yang kucintai,” gumam Danang sambil menatap l
Kata-kata yag terucap dari mulut terasa begitu mengganggu di telinga Ayu. Ia memang pernah menginginkan untuk segera dilamar, apalagi usianya sudah tak muda lagi. Menurut tradisi seorang perempuan 27 tahun dan belum menikah bisa dikategorikan sebagai perawan tua, yang tentunya akan menjadi bahan pembicaraan orang. Orang-orang sekitar akan merendahkan Ayu dan menganggapnya tidak laku.Namun jika lamaran itu berasal dari Wira, tentunya Ayu tidak menginginkannya. Ia hanya ingin menjalin hubungan dengan Danang semata. Lelaki yang selalu menjadi idamannya.“Apa nggak kecepetan Bu?” tanya Ayu sambil berharap keinginan Wira akan berubah.“Iya Yu, aku dan keluarga sepakat untuk segera melamarmu,” Wira mengulangi.Ayu langsung berdiri dan menolak keras permintaan Wira. Untung saja saat itu Budhe Ning sudah berada di kamar tamu dan beristirahat, entah apa yang akan dilakukannya kalau be
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep