Hawa dingin dan sunyi di kawasan ringroad, jalan raya Solo- Sragen tak dipedulikan oleh Danang. Ia terus saja mengemudikan motornya meskipun hanya mengenakan jaket tipis membungkus tubuhnya. Mungkin rasa panas dalam hatinya telah memberikan kehangatan pada tubuhnya.
“Assalamualaikum,” ucap Danang begitu memasuki sebuah rumah dengan pekarangan yang luas.
Seorang anak kecil bersama perempuan yang usianya sedikit lebih tua dari Danang menyambutnya. Anak kecil itu langsung melompat pada pelukan Danang dan seperti biasa meminta untuk digendong. Sementara perempuan yang lebih tua itu tampak menengok ke belakang mencari-cari seseorang.
Perempuan itu Mbak Diah kakak kandung Danang yang tinggal bersama kedua orang tuanya lantaran sang suaminya ditempatkan di wilayah timur Indonesia. Mendapatkan tugas di berbagai wilayah termasuk di pelosok bukan menjadi hal yang asing bagi seorang abdi negara di bidang pertahanan sepe
Wira melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya kemudian mengangguk pada wanita paruh baya yang ada di hadapannya.“Waduh budhe nggak usah repot-repot, sekarang sudah malam saya pamit saja,” pamit Wira mencoba untuk memberikan kesan baik pada Budhe Ning.“Loh kenapa buru-buru, seperti bersama orang lain saja?” tanya Budhe Ning yang memang sangat mendukung hubungan Ayu bersama Wira.Wira hanya tersenyum mendengarnya kemudian mengangguk dengan sopan.“Maaf Budhe bukannya saya menolak, tapi saya hanya berusaha menjaga hubungan baik keluarga ini dengan para tetangga. Saya hanya menghindar dari tuduhan yang tidak-tidak terhadap keluarga ini karena bertamu malam-malam tanpa ada ikatan apa-apa,” jelas Wira.Tentu saja hal ini semakin membuat Budhe Ning memberikan nilai sempurna untuk calon suami Ayu yang dipilihnya.
Wira memaju mobil mewahnya menuju club di pinggir kota Surakarta. Tengah malam waktu yang tepat untuknya bersenang-senang bersama kawan-kawannya. Para pebisnis muda yang menyukai kehidupan metropolitan.“Halo Bos Wira, gank nya udah nungguin tuh!” sapa seorang resepsionis perempuan yang berpakaian rapi.Meskipun ini club malam, tetapi semua pekerjanya berpakaian rapi seperti pekerja kantoran. Bedanya mereka memakai rok yang terbilang mini, mempertontonkan setengah dari bagian paha yang tertutup stocking hitam. Untuk atasannya mereka mengenakan kemeja pas badan dengan dua kancing atas terbuka, sedangkan untuk yang laki-laki kemeja lengan pendek dengan celana panjang.“Ok, makasi ya Git,” sapa Wira pada resepsionis perempuan yang bernama Gita.Dia bersama kawan-kawannya memang seringkali datang ke club Ellite ini. Mereka bisa bertemu dengan wanita-wanita cantik yang mendambakan
Bruk!Sedan mewah kepunyaan Wira menabrak pot koleksi milik Ibu Lastri.“Huft untung aja nggak sampai masuk ke dalam rumah ni mobil!” ucap Wira lega kemudian menutup pintu mobilnya dengan kasar dan membiarkan tanah dalam pot itu berserakan. Pikirnya ada asisten rumah tangga yang besok akan membereskan semua.Entah berapa banyak minuman beralkohol yang dikonsumsinya saat di club bersama teman-temannya. Yang jelas saat tiba di rumah kepalanya mulai terasa berat dan tubuhnya serasa lebih ringan. Untung saja efeknya baru terasa ketika tiba di rumah, jika tidak ia pasti tak akan selamat sampai di rumah.Baru saja Wira melangkah melewati ruang tengah hendak ke lantai dua menuju kamar tidurnya, ia dikejutkan oleh deheman yang sangat familiar di telinga.“Hmm Bapak, Ibu ternyata belum tidur juga,” sapanya sambil terkekeh.“Sampai kapan k
“Hmm kayaknya apa yang aku lakukan kali ini sangat tepat,” batin Dinda saat melihat Danang yang terlihat kelelahan dari kejauhan.Kali ini Dinda memang sengaja membawa kotak makan berukuran besar yang berisi aneka jajan pasar dan roti untuk dinikmati bersama rekan satu divisi. Ia memang sengaja melakukan ini untuk menarik simpati rekan kerja terutama Danang.“Pak Danang kenapa ya? Kok keliatannya lagi suntuk banget. Apa ada masalah ya? Atau mungkin sama pacarnya lagi yang keluarganya kampungan itu?” pikir Dinda kemudian melangkah mendekati Danang.“Pak … Pak Danang tunggu!” serunya.Dinda melangkahkan kaki dengan lebar, setengah berlari. Ia tak peduli akan rasa nyeri pada tepi jari kakinya lantaran sepatu tumit tinggi yang ia kenakan, ditambah lagi kantong plastik berisi aneka jajanan membuatnya kewalahan.Danang yang mendengar teriakan
“Pak, awas Pak!” pekik Dinda membuat Danang langsung saja menginjak rem mobilnya.Hampir saja mobil itu menabrak pengemudi ojol yang ada di depannya. Untung Dinda sadar dan langsung memberinya peringatan hingga kecelakaan itu tak terjadi. Pengemudi ojol yang tadi hampir saja ditabrak oleh Danang pun sudah beranjak jauh dari mobil yang ia kemudikan hingga mereka berdua tak perlu turun untuk meminta maaf.Danang memijit pelipis, kemudian menghembuskan napas panjang. Sementara Dinda mengambil botol air mineral yang tadi sempat ia beli di kantin kantor lalu menyerahkan pada Danang.“Minum dulu Pak,” katanya menyodorkan botol air yang baru saja ia buka segelnya.Danang belum merespons, ia masih terkejut dengan kejadian yang baru saja dialami olehnya.“Tenang aja ak, saya baru buka segelnya sekarang kok, jadi ini belum saya minum,” Dinda mencoba untu
Dinda tampak menggosok-gosok telapak tangannya saat ia menunggu Wiranata di lobi hotel. Sementara Danang tampak melihat ke sekeliling interior hotel yang bergaya minimalis.Meskipun sudah beberapa kali bertemu dengan Wira, tapi ini baru pertama kalinya ia menginjakkan kaki pada properti pengusaha muda itu. Biasanya Wiranata yang datang ke kantor tempat Danang bekerja.Perasaan kagum tak dapat disembunyikan oleh lelaki ini, meskipun ia tahu kekayaan yang dimiliki oleh Wira juga bukan sepenuhnya berasal dari pemuda itu. Wira memang beruntung lahir dari keluarga kaya, tidak seperti masa kecilnya yang harus rela berbagi satu buah telur untuk dimakan Danang bersama kakak dan adiknya.Keluarga Danang memang bukan tergolong keluarga berada, tapi bukan pula tergolong orang yang kekurangan. Almarhun ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik dan untuk menambah pemasukan, sang Ibu suka menerima pekerjaan borongan yang bisa dibawa ke rum
Wira langsung melihat ke arah Danang yang terbatuk dan meminum welcome drink darinya. Lelaki ini berpura-pura untuk tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tamu yang mengunjunginya.“Pak Danang kenapa? Minumannya nggak enak atau mungkin Bapak tidak mengkonsumsi minuman dingin? Biar saya ganti saja Pak,” tawar Wira mencoba untuk ramah.Namun dalam hati ia tersenyum karena telah berhasil membuat pikiran Danang terdistraksi. Wira tahu pasti kalau Danang merasa tersinidir dengan ucapannya.“Nggak … nggak masalah kok, mungkin saya masuk angin saja,” jawab Danang berbohong.Wira pun segera memerintahkan karyawannya untuk mengganti minuman milik Danang dengan sajian teh jahe hangat yang akan membuat lelaki di hadapannya merasa lebih baik.“Waduh Pak Danang maaf ya saya nggak tahu kalau Bapak lagi kurang sehat,” balas Wira berbasa-basi lagi,
Danang dan Dinda belum juga meninggalkan area parkir hotel setelah pertemuan dengan Wira usai. Lelaki itu masih saja menatap ponsel dalam genggamannya sementara tangannya bersandar pada kemudi.Ponsel yang ada dalam genggamannya pun tidak diapa-apakan kecuali dibaca. Tampaknya ia masih bimbang untuk merepsons apa yang diterima di benda pipih itu.“Ada masalah ya Pak?” tanya Dinda yang duduk di sampingnya.Danang menggeleng cepat kemudian menyunggingkan seutas senyum ke arah Dinda.“Nggak … nggak ada apa-apa kok, cuma urusan pribadi aja,” balasnya kemudian mengantongi ponselnya kembali.Dinda mengangguk dan kembali menatap ke depan. Hatinya menebak jika Pak Danang baru saja mendapatkan rentetan pesan dari perempuan yang dicintainya. Rentetan pesan itu menunjukkan kalau ada pertengkaran diantara mereka berdua dan ini yang memang diharapkan oleh Dinda.
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep