Di dalam kamar, Ayu duduk di sudut kasur dengan kedua tangan yang melingkar pada kakinya yang ditekuk. Ia tidak ada kegiatan pada hari itu juga, tetapi ia masih harus mengurus data-data keluar-masuk keuangan di Hotel Premier.
“Kerja nggak enak, kalau pengangguran juga nggak enak soalnya nggak ada duit,” gumamnya yang memanyunkan bibirnya.
“Ayu, kamu sudah makan?” teriak Bu Ratmi dari luar kamar Ayu. Saat kedatangan Diah tadi, kebetulan Bu Ratmi sedang berada di luar. Seketika Ayu bangkit dari duduknya untuk menemui sang ibu.
“Sudah, Bu. Ibu dari mana saja?” tanya Ayu setelah membukakan pintu kamar.
“Habis ketemu dengan Wira, kamu harus jaga kesehatan, ya, Nak. Jangan sampai sakit karena pernikahan kalian akan segera terlaksana,” ucap Bu Ratmi.
Sungguh ini topik yang sangat Ayu benci. Untung saja yang di hadapannya adalah ibunya, kal
Pak Suryo telah bersiap untuk pulang dari pekerjaannya yang padat. Ia berpamitan dengan karyawannya saat berpapasan lalu berjalan menuju basement, tempat parkiran mobil. “Kerja sama dengan hotel kali ini cukup lancar, untung saja saya mampu melihat keuntungan di depan mata,” gumamnya dibarengi dengan membuka pintu mobil.Dinyalakannya mesin mobil lalu diinjakkan pedal gasnya. Mobil mewah itu melaju membelah jalanan malam yang kian menyepi. Pemandangan malam dengan ditemani lampu-lampu perkotaan dan kerlap-kerlip kendaraan lain itu sungguh menakjubkan. “Semesta sedang berpihak padaku.” Pak Suryo tersenyum sumringah menikmati keberhasilan yang baru saja ia raih.Di tengah perjalanan, tiba-tiba ada kendaraan bermotor yang tidak sengaja terserempet oleh mobil milik Pak Suryo. Karena Pak Suryo masih memiliki hati yang sedikit baik, ia turun untuk memastikannya. Terlihat dua orang yang sudah tergeletak di aspal jalan, mereka berdua mengenakan hoodie hitam sambil merintih kesakitan.“Pak, A
Hari esoknya, Ayu tidak bekerja di Hotel Premier karena merasa tidak enak badan. Ia meminta izin untuk istirahat satu hari dan langsung disetujui oleh atasannya. Awalnya Ayu dipaksa tetap bekerja oleh Bu Ratmi, tetapi setelah Bu Ratmi mengecek suhu badan Ayu malah disuruh untuk istirahat saja.“Apa Wira tahu kalau kamu sakit?” tanya Bu Ratmi yang membawakan bubur ayam untuknya.Ayu menatap kosong ke depan seperti tidak mendengarkan perkataan Bu Ratmi. Tangannya menggenggam erat selimut yang berada di sampingnya tanpa ia pakai untuk menutupi tubuhnya.“Apa yang kamu pikirkan, Nak?” Bu Ratmi tampak khawatir dengan keadaan Ayu terlebih sedari tadi Ayu hanya terdiam.“Ayu?” panggil Bu Ratmi dengan suara yang lebih keras.“Iya, Bu?” Ayu baru meresponsnya.“Kamu kenapa?” tanya ulang Bu Ratmi dengan wajah memelas. Ia meletakkan semangkuk bubur itu di nakas terlebih dahulu.Ayu menggelengkan kepalanya pelan, tidak ada kata yang terucap karena baginya akan percuma saja. Ayu melirik ke arah bub
Di sepanjang perjalanan, Wira terus bercerita hingga Ayu merasa bosan. Wira dengan sengaja berbelok ke kanan–berlawanan dengan arah ke Hotel Premier. Saat Ayu menyadari jalannya, ia langsung melebarkan matanya. “Mas Wira? Mau ke mana?” tanya Ayu yang melihat ke arah Wira.Wira menoleh ke kiri beberapa detik, lalu kembali ke depan sambil berkata, “Sebenarnya aku tidak boleh membicarakan keadaan Pak Suryo padamu, tetapi aku rasa kamu perlu mengetahuinya. Aku tidak sedang membohongi atau mempermainkanmu dengan melibatkan ayahmu, aku berkata jujur dan aku ingin kamu melihat keadaannya secara langsung,” urai Wira dengan wajah memelas.Ayu terdiam dengan perasaan sakit, dadanya sesak mendengarkan pernyataan Wira barusan. Ayu kira Wira hanya beralasan saja, dan tidak percaya kalau ayahnya benar-benar di rampok. Oleh karena itu, Ayu merespons seolah tidak peduli dengan pernyataan awal mengenai ayahnya.Perlahan air mata keluar dari ekor matanya. Wira paham akan perasaan Ayu saat itu juga, ia
Setelah selesai rapat, Ayu meminta izin pada Wira ke toilet. Tubuhnya lemas dengan pikiran yang ambruladul.Ia menatap penuh dirinya ke cermin. Matanya tak bisa berbohong, saat ia mengingat ayahnya di situlah air mata Ayu keluar dengan sendirinya. Ayu tidak langsung mengusap air mata itu di pipinya, Ayu membiarkan air matanya keluar.“Aku sudah jarang sekali bertemu ayah,” gumamnya dengan tangisan sesegukan.“Tapi kenapa Wira? Kenapa Wira yang menolongnya?” Hatinya sesak. Ia memegang dadanya sendiri untuk merasakan detakannya.Dua puluh menit telah Ayu habiskan di toilet. Wira mulai menghubungi Ayu dengan meneleponnya, tetapi karena handphone Ayu diheningkan jadi Ayu tidak mengetahuinya.“Ke mana kamu, Ayu?” Wira mendengkus kesal, takut Ayu pergi tanpa sepengetahuannya.“Wira tidak bisa diandalkan, aku harus segera menemui ayah.” Ayu bersiap-siap segera meninggalkan hotel itu.Ayu berjalan mengendap-endap memastikan tidak melihat Wira.“Ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas resepsi
Wira mengantarkan Ayu ke kamar tamu dengan syarat Ayu tidak boleh menangis, dengan itu pun Ayu menyetujuinya.Diketuklah pintu itu dengan pelan, tetapi Ayu tidak mengeluarkan suara.“Assalamualaikum,” salam Wira setelah mengetuk pintu sekali.“Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh, sebentar Wira.” Pak Suryo hafal dengan suaranya.Knop pintu dipegang lalu ditarik oleh Pak Suryo. Beliau langsung melihat Ayu di hadapannya dan terkejut akan itu. “Ayu?” kaget Pak Suryo. Arah matanya beralih pada Wira seolah meminta penjelasan mengenai kedatangan Ayu.“Ayah!” panggil Ayu sekaligus memeluk ayahnya. Ayu melihat dengan jelas keadaan sang ayah yang saat ini sudah membaik seperti yang dikatakan Wira.“Kenapa kamu ke sini?” tanya Pak Suryo yang masih kaget.“Ayah kenapa bisa sampai begini?” Ayu memegang kedua tangan sang ayah. Ayu pun menuntun Pak Suryo untuk duduk di sofa yang tersedia di sana.Wira yang semula berdiri melihat mereka berdua berkata, “Aku pergi dulu, supaya kalian lebih nyaman
Saat baru saja melewati pintu rumah dengan diantarkan oleh Wira. Ayu menghentikan langkahnya, ia memikirkan sesuatu yang perlu diberitahukan kepada Wira agar tidak ada rasa yang mengganjal dalam hatinya.“Kenapa berhenti? Apa yang terjadi padamu?” tanya Wira yang berada di belakang Ayu. Berhubung tidak mendapat responsnya, Wira memegang kedua bahu Ayu dari belakang.“Apa kamu pusing?” tanyanya sambil melayangkan tangan kanan ke dahi Ayu.Ayu menggelengkan kepalanya, ia menoleh pada Wira lalu menatap matanya lekat.“Aku ingin berbicara padamu.”“Kamu membuatku khawatir. Ya, sudah ... ayo kita duduk di sana.” Wira mengarahkan tangannya ke arah sofa ruang tamu, sedangkan Ayu menganggukkan kepalanya tanda setuju.Mereka duduk berdampingan. Wira yang mencintai Ayu pun merangkul untuk memberikan rasa nyaman padanya, tetapi Ayu tepiskan karena risih. Hal itu membuat Wira mengalah dan mengerti.“Bicaralah!” titah Wira yang menunggu Ayu.“Apa kemarin kamu menelfonku karena mengabari kalau ayah
Wira sudah berada di bar, ia duduk sendiri dengan bersandar di sofa paling pojok ruangan. Ia menunggu kedatangan Dinda untuk melampiaskan keluh kesahnya.“Di mana wanita itu!” dengkus Wira yang telah lama menunggunya. Sekitar tiga puluh menitan ia duduk di sana sambil melihat wanita-wanita seksi yang berlalu-lalang di hadapannya.Setiap ada wanita yang hendak menemani Wira, Wira selalu mengusirnya dengan kata-kata kasar dan menyakitkan hingga membuat wanita tersebut pergi.“Hai,” sapa Dinda yang baru datang. Ia menyalami Wira dan menciumi kedua pipinya.“Seperti batu aku di sini, kenapa kamu begitu lama?” omel Wira, tetapi tidak semarah sebelum bertemu karena penampilan Dinda malam ini yang begitu seksi.“Maaf, ada kendala dengan mobilku.” Dinda beralasan.“Duduklah!” titah Wira, ia menepuk-nepuk pahanya tanda menyuruh Dinda duduk di atasnya.Dengan riang hati Dinda langsung menjatuhkan tubuhnya di sana. Dinda memposisikan duduknya dengan benar dan nyaman, tetapi Wira merasakan hal la
Wira menginginkan lebih, tidak ingin dipijat lagi pada bagian rudalnya.“Sayang, masukin!” titah Wira sembari mengeluarkan lidahnya.Dinda menurut saja, ia masukkan adik kecil Wira ke mulutnya. Sesekali menggigit ujungnya sampai Wira menggelinjang kesakitan disertai kenikmatan.Wira yang sudah bergairah sedari tadi pun semakin nafsu. Ia membopong lalu menindihnya.“Siap?” Wira memberikan aba-aba sebelum memasukkan benda panjang ke liang kewanitaan Dinda.“Hmm,” desah Dinda.Wira menjilati paha mulusnya sampai tiba di tempat tujuan. Ia gelitiki untuk meningkatkan gairah Dinda lantas Dinda menggelinjang hebat olehnya. Kedua kaki Dinda dibuka lebar-lebar agar Wira lebih leluasa melakukannya. Detupan jantung terpompa sangat cepat sesuai irama yang diberikan Wira.Tanpa berlama-lama lagi, Wira memegang benda panjangnya lalu memasukkan ke lembah basah milik Dinda.“Akhh!” Dinda merintih kesakitan. “Pe-lan, pe-lan,” ucapnya yang terbata-bata.“Punyamu sungguh sempit sekali sayang, tapi jujur
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep