Ayu ketar-ketir sendiri pintu kamarnya diketuk oleh Wira. Ia pun membenahi penampilannya yang sedikit kacau.
“Ya, Mas, tunggu sebentar.” Ayu pun memutar kenop pintu dan membukanya. Wajah Wira terpampang jelas.
“Ada apa, Mas?” tanya Ayu.
“Mas mau tanya sesuatu ke kamu, Yu,” jawab Wira.
Jantung Ayu saat itu juga langsung berdebar tak karuan. “Mau tanya apa?”
“Tentang Danang,” ucap Wira menggantung.
Ayu yang mendengar nama laki-laki yang membuat ia sakit hati dari mulut Wira pun penasaran. Kenapa tiba-tiba Wira mau membahas orang masa lalunya?
Mereka pun pergi ke teras belakang. Ayu duduk di kursi seberang Wira. Ia menunggu Wira menyampaikan maksudnya.
&ld
Danang seharian memikirkan nasib ibunya di rumah sakit. Pikiran Danang semakin runyam semenjak Wira mendatangi dirinya. Apalagi dengan mengancam dirinya untuk dilaporkan balik atas pencemaran nama baik. Danang tidak bisa tenang atas ancaman Wira. Dia juga tahu kalau ibunya sudah menderita penyakit jantung semenjak lama. Beban pikiran Danang semakin berat. Mengingat biaya pengobatan ibunya yang membengkak. Wira memang kemarin menawarkan biaya untuk pengobatan ibunya. Namun Danang enggan untuk menerima bantuan dari tunangan mantan pacarnya itu. Mau ditaruh di mana harga diri Danang kalau dibayari oleh tunangan mantan pacarnya? Pikir Danang, namanya akan semakin terinjak. “Apa kugadai rumahku saja?” gumamnya. Danang memang sudahmemiliki rumah sendiri yang niatnya akan ia huni ketika nanti menikah dengan Ayu. Rumah itu memang tidak besar, hanya tipe 36 dengan dua kamar tidur dan kamar mandi. Namun sudah cukup untuk dikatakan tempat tinggal nyaman bagi pasangan muda. Sayangnya i
Gadis cantik yang mengenakan kemeja putih dan celana kantor berwarna hitam sedang menatap diri di pantulan cermin. Rambutnya ia gerai. Wajahnya ia poles dengan make up natural yang memancarkan kecantikan alaminya. “Ayu tenan, Nduk.” (Cantik sekali, Nak) Ibu Ratmi memuji anaknya yang pagi ini tampil lebih fresh dan cantik. Senyum di wajah anaknya begitu lebar. Aura positif mengelilingi anaknya pagi ini. Ayu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. “Ayu sudah rapi ‘kan, Bu?” tanyanya pada sang ibu. “Sudah, anak ibu sudah rapi dan cantik. Wangi juga,” ujar ibunya mengendus aroma parfum Ayu. “Ayu mau melamar di hotel milik Mas Wira, Bu. Doakan agar lancar, ya, Bu.” Ibu Ratmi mengelus puncak kepala anak semata wayangnya. “Doa ibu selalu menyertaimu, asal masih ada di jalan yang benar. Ibu akan selalu mendukung kamu.” Senyum Ayu semakin cerah. Secerah cuaca pagi ini. Ia mencium tangan ibunya. Berpamitan untuk berangkat melamar pekerjaan. Budhe Ning yang dari teras depan
Wira tersenyum mengingat Ayu yang kini sudah bekerja di tempatnya. Ia tidak bisa menutupi kebahagiaannya. Hari-hari ke depan, ia akan sering menemui pujaan hatinya itu. Rasa rindunya tidak lagi menggebu-gebu. Bahkan ia menjadi semangat bekerja karena adanya Ayu. Asik tersenyum sendiri. Ponsel Wira tiba-tiba berbunyi. Nama pengacaranya tertera di layar pipih itu. Jari Wira mengarahkan ke ikon hijau untuk mengangkat teleponnya. “Halo,” sapanya. “Halo, Pak Wira. Ada kabar bagus mengenai kasus Ibu Ratmi dan Ibu Ning,” ujar Pak Suhandi. “Apa Danang sudah menarik tuntutannya?” tebak Wira tepat sasaran. “Betul, Pak. Siang tadi Pak Danang mencabut tuntutannya,” jelas Pak Suhandi. “Baik, Pak, terima kasih.” Wira pun memutuskan panggilannya. Kemudian ia segera bergegas dari tempat duduknya untuk pergi ke suatu tempat. “Saya akan keluar dulu, kalau ada apa-apa tinggal hubungi saya,” ujar Wira pada resepsionisnya. Wira mengeluarkan kunci mobilnya dan pergi menjalankan menjauh da
Kaki jenjang itu berdiri di lorong rumah sakit. Ia mencari-cari keberadaan Wira yang tak terlihat sejak tadi. “Harusnya dia masih ada di sekitar sini.” Perjalanan Danang ke rumah sakit tidak memakan banyak waktu. Saat ia ditelepon oleh pihak rumah sakit, Danang langsung tancap gas. Kemungkinan besar keberadaan Wira belum jauh dari rumah sakit. Danang terus menelusuri rumah sakit. Ia pun memutuskan pergi ke tempat parkir mobil. Mungkin ia akan menemukan Wira di sana. Manik Danang mengabsen seluruh penjuru parkiran. “Itu dia,” ujarnya kala melihat siluet Wira yang hendak memasuki mobil. Danang pun menyerukan nama Wira. Wira yang akan naik ke mobil pun menoleh. Ia menyipitkan matanya. Danang mendatanginya dengan peluh yang mengucur dari dahi. “Ada apa?” tanya Wira yang merasa tidak memiliki urusan apa pun dengan Danang. “Wira, kamu tidak perlu membantuku melunasi biaya pengobatan kesehatan ibu saya. Saya tidak perlu bantuanmu,” ujar Danang pada Wira yang tadi ia kejar.
Danang terus mengajak Wira berdebat di area parkir rumah sakit. Ia mulai terpancing emosi saat Wira memamerkan cincin tunangan dengan Ayu. Tangan Danang meraih kerah kemeja yang dikenakan Wira. Ia mencebik kesal. Iris matanya mengobarkan api kecemburuan. Tangan Danang mengepal. Ia bersiap menonjok pipi Wira. Namun sayang, Wira dengan sigap menghindar. Perkelahian mereka tidak terelakan. Wira yang tidak mau menahan-nahan pun membalas dengan pelukan yang keras. Perut Danang terkena tinju dari kepalan tangan Wira. Ia sampai terbatuk-batuk saking sakitnya. Rasa nyeri itu menghampiri. Namun tidak menyurutkan rasa kesalnya pada Wira. Ia terus membabi buta dengan terus melayangkan pukulan-pukulan. Wira yang tak sempat menghindar karena Danang begitu cepat menendang tulang keringnya pun mengaduh lara. Danang tersenyum miring. Ia masih memegangi perutnya yang terasa sakit. “Sampai kapan pun, saya akan terus mencintai Ayu,” ucap Danang dengan nafas memburu. Pukulan mendarat pada pip
Tubuh Danang babak belur dibuat oleh Wira, ini kesalahannya sendiri yang tidak memperhitungkan lawan. Kini ia masih di rumah sakit. Ia meminta bantuan untuk diobati luka memarnya. Sudut bibir Danang mengeluarkan darah. Pukulan Wira tidak main-main rupanya.“Ah bodoh sekali, menghantam lelaki seperti dia saja aku kalah, bagaimana nanti bisa melindungi Ayu?” gumam Danang saat diobati. Ia kalah segala-galanya oleh lelaki itu. Kalah harta, kalah fisik, dan martabat. Tidak ada yang bisa ia banggakan. Begitu jauh perbandingan dirinya dan Wira. Kalau diibaratkan, mereka bak bumi dan langit. Danang meringis saat sudut bibirnya dibersihkan menggunakan alkohol. Ia sudah sakit hati karena Ayu, kini juga sakit fisik karena Wira. Memang mereka berdua pasangan yang serasi. Mampu membuat ia menderita dan merasa paling tersakiti. Danang begitu egois, hanya melihat sudut pandang dari dirinya. Menganggap semua orang jahat padanya dan tidak ada yang memedulikan perasaan Danang. Walau sakitnya be
[Yu, aku mau bicara empat mata sama kamu. Bisa ‘kan?] Ayu membaca pesan dari Danang. Ia mendiamkannya, bingung hendak menjawab apa. Mengapa tiba-tiba dia ingin menemui dirinya setelah semua masalah menimpa? Kenapa tidak dari kemarin saat ia masih di Semarang?“Huft, kemarin kemana aja saat aku butuh kamu, Mas,” keluh Ayu sambil mendengkus kesal. Hati Ayu menjerit-jerit, ia tidak menolak atau mengiyakan permintaan dari Danang. Ayu pun menonaktifkan data selulernya. Danang sudah tidak penting baginya. Ayu tidak perlu lagi memikirkan perasaan laki-laki itu. Feeling Ayu berkata, jika Danang hanya akan membuat masalah bila Ayu terus menanggapinya. Tok tok tok! Pintu rumah Ayu diketuk. Di ambang pintu terlihat Wira berdiri mengenakan kaos hitam dan celana chino yang berwarna cokelat susu. “Masuk, Le,” ucap Ibu Ratmi mempersilakan Wira untuk masuk ke dalam rumah dan bergabung duduk dengannya dan Ayu. Wira menyalami tangan Ibu Ratmi. Ayu beranjak juga menyalami Wira seperti se
“Mas mau ke mana?” tanya Ayu pada Wira. “Mau pamit pulang, Dek. Kamu selesaikan urusanmu dulu dengan Danang. Mas tidak akan ganggu.” Ayu menahan lengan Wira. “Jangan pulang, Mas. Mas temani Ayu di sini.” Danang yang melihat Ayu memegang lengan Wira pun mendengkus. Ternyata Ayu sudah sedekat itu dengan Wira. Bahkan dalam waktu yang singkat. Wira pun tidak jadi pulang. Ia kembali duduk. Kemudian Danang masuk ke dalam rumah. Ayu tampak ogah-ogahan menerima Danang masuk ke dalam rumahnya. Danang duduk sendiri tanpa disuruh. Saat hendak berbicara pada Ayu, ia meringis kesakitan karena lukanya pada sudut bibir belum kering. Ayu ikut meringis melihat Danang yang wajahnya penuh luka. Ia ingin bertanya mengapa laki-laki itu memiliki banyak luka di wajahnya. Namun Ayu enggan untuk bertanya. Karena bagi Ayu, bertanya sama dengan peduli. Ayu tidak mau peduli dengan laki-laki di hadapannya. “Kamu mau bilang apa? Cepat katakan, soalnya ini udah malam. Aku sudah mengantuk juga,” ujar
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep