Danang menghentikan mobilnya di sebuah kios minuman dingin. Ia perlu mendinginkan kepalanya saat ini. Sejak meninggalkan rumah tadi, pikirannya terus dipenuhi oleh amarah karena ulah keluarga Ayu.Semenjak melihat keadaan sang Ibu, Danang memang berencana untuk melaporkan keluarga Ayu pada pihak yang berwajib.“Huh enak saja udah buat Ibu pingsan, malah kabur!” runtuknya sambil menikmati segelas es teh.Namun Danang masih bingung dengan langkah apa yang harus ditempuh olehnya sekarang. Dia sama sekali tidak paham soal hukum.Diam-diam Danang memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan olehnya, hingga akhirnya ia ingat akan seseorang.“Oh iya, coba tanya dia saja ya siapa tahu dia ada kenalan pengacara yang bisa bantu,” pikir Danang.Danang yang sedang kalut pun mulai lupa kalau saat ini masih jam kerja, hingga ia nekad untuk menelepon seseorang di sela-sela waktu kerjanya.“Iya halo Pak Danang,” jawab seseorang yang ditelepon olehnya.Ada getaran dalam suara sosok yang ditelepon oleh Dana
Tika melambaikan tangan ke arah pintu masuk cafe. Saat itulah Ayu mengikuti arah tangan Tika melambai.“Itu orangnya Tik?” tanya Ayu yang wajahnya mulai memanas.“Iya itu orangnya,” bisik Tika pada seorang lelaki yang usianya hampir dua kalinya.Lelaki itu tidak bertubuh tinggi dan sedikit tambun, rambutnya lebat dan kumis serta jambangnya seperti baru saja dicukur. Pak Dirga, begitu Tika selalu menyebut namanya di hadapan Ayu.Pria yang disapa Tika itu melempar senyum ke arah mereka berdua. Ayu yang tampak kikuk hanya mengangguk sopan kemudian memalingkan wajah. Ia sudah mulai merasa tubuhnya tidak enak, sepertinya reaksi alkohol sudah mulai muncul pada tubuhnya.“Aduh kok tiba-tiba badan rasanya nggak enak gini ya, agak-agak ngantuk gini. Apa mungkin gara-gara semalam aku begadang nyari-nyari kerja kali ya?” pikir Ayu.Sebenarnya ia ingin izin ke toilet sebentar untuk mencuci muka dan memperbaiki make upnya. Namun sudah terlambat, orang yang akan memberinya pekerjaan telah datang.Y
Ayu kembali mengangguk pada klien Tika yang saat ini tengah memperhatikan data diri Ayu. Memeriksa CV memang bagian dari sandiwara pria hidung belang ini. Yang sebenarnya ia ingin mencuri-curi pandang ke arah Ayu yang sejak tadi menunduk karena malu, atau mungkin mengantuk.“Sebentar lagi kamu pasti akan segera kunikmati. Dengan busana yang masih lengkap seperti ini saja kamu terlihat benar-benar ranum dan menggoda. Apalagi kamu terlihat begitu lugu dan membutuhkan bimbingan saat berada di atas ranjang,” batin Pak Dirga terkekeh.Hening tercipta beberapa saat diantara mereka bertiga. Saat Ayu menegadahkan kepala melirik situasi ia mendapatkan Tika tampak memandang ke arahnya.Sahabatnya itu terlihat menggerakkan bibir dan membentuk kata sabar. Ayu kembali mengangguk. Telunjuk dan ibu jari Tika saling bertautan seakan memberi tanda pada Ayu untuk melakukan tindak lanjut dengan menanyakan pada Pak Dirga.Pelayan pun datang memberikan pesanan minuman untuk mereka bertiga. Lagi-lagi sang
Ayu melirik ke arah sahabatnya beberapa saat setelah minuman itu dihidangkan. Saat itulah Tika enggan menatap Ayu, ia takut kedoknya terbongkar. Menghindari tatapan sudah jadi hal yang spontan terjadi bagi seseorang yang menyembunyikan sesuatu.“Tik … tik,” bisik Ayu memanggil agar tidak terdengar oleh Pak Dirga.Maksud Ayu memanggil Tika adalah untuk meminta sahabatnya itu bicara pada Pak Dirga mengenai nasibnya. Keuangan Ayu sudah mulai menipis dan ia membutuhkan pekerjaan secepatnya.Tika yang mendengar panggilan Ayu pun hanya menutup mulut dengan jari telunjuk dan meminta temannya itu untuk diam sejenak. Namun ternyata Pak Dirga meletakkan lembar curiculum Ayu dan menatap ke arah gadis polos itu.“Hmm jadi kamu serius mau kerja dengan saya?” tanya Pak Dirga pada Ayu yang wajahnya semakin memerah.“Iya Pak, saya ingin bekerja dengan Bapak,” jawabnya.Pak Dirga mengangguk-angguk, “Dari kurikulum kamu sebenarnya tidak ada masalah, memang sih belum ada pekerjaan sebagai sekretaris, ta
Ayu hanya mendongak tidak mengerti saat mendapati pelayan memberikan air putih padanya, apalagi dengan kedipan mata. Ia mengangkat bahu menuntut penjelasan.“Ini air putihnya Mbak,” kata pelayan Lulu mengulangi.Lain halnya dengan Tika yang duduk berseberangan dengannya, ia justru melirik Pak Dirga yang di sebelahnya. Mereka mengkonfirmasi siapa yang sebenarnya memesan botol air mineral itu. Baik Pak Dirga maupun Tika hanya mengangkat bahu, tak satupun dari mereka memesan.“Mbak!” panggil Tika pada pelayan yang telah berlalu. Namun pelayan itu berpura-pura tak mendengar panggilannya.“Mbak … Mbak kita nggak pesan air putih lho!” panggilnya sekali lagi dan pelayan itu mengacuhkannya.“Huh ini cafe jelek banget pelayanannya, udah lambat seenaknya aja kasih minum ke orang. Emang sih air putih harganya gak seberapa, tapi kalau diteruskan nanti bakal jadi kebiasaan kan?” gumam Tika.“Memang bukan kalian yang memesan, tapi aku yang pesan minuman buat dia!”Tiba-tiba sesosok laki-laki bertub
Tika tak merespons apapun dengan pertanyaan Ayu. Memang ia sudah tak bisa menyangkal apa yang dituduhkan oleh Wira. Ingin ia mengatakan kalau Ayu mabuk hingga salah baca tapi malah akan membuka kedoknya sendiri.]“Tik, jawab aku!” pinta Ayu sekali lagi.Tak ada pilihan lain, Tika pun mulai menjawab pertanyaan Ayu. Ia mulai mendongak dan matanya terbelalak garang.“Kamu mau tahu alasannya apa?” balas Tika sinis kemudian ia berdiri berkacak pinggang sambil mengibaskan rambutnya.“Dengar ya Ayu! Kamu orang yang selalu mengaku sahabatku, tapi kamu nggak pernah mengerti kalau sejak dulu aku mengejar Danang. Saat kuliah dulu aku yang mulai mendatangi Danang, sering mengirimi makanan di tempat kosnya, mengikuti kegiatan mahasiswa yang sama dengannya, tapi apa setiap kami ketemu hanya membahas tentangmu. Bahkan saat kalian berdua jadian, kalian dengan entengnya pamer kemesraan di depanku.”“Hanya karena Mas Danang Tik?” tanya Ayu.Tika menggeleng, “Bukan cuma itu, setiap kali ada lomba selal
“Tidak … ini tidak mungkin,” ucap Pak Dirga sambil menggelengkan kepala.Wira hanya tersenyum sinis kemudian menertawakan pria yang tadinya pongah lalu berubah menciut ini. Mungkin seandainya tubuhnya kecil mungil, pasti ia akan bersembunyi di bawah meja atau mungkin pria ini menghayal tubuhnya mungil dan tipis hingga dapat dilipat dan disimpan dalam dompet.Seorang wanita berumur dengan gaun bunga-bunga merah muda yang dikawal oleh dua pria dan satu wanita pun mendekat ke arahnya. Pak Dirga seakan tak berkutik saat didekati mereka, terlebih dua pria yang menyertai bertubuh kekar, sementara yang perempuan pun tak kalah seram, rambutnya pendek, tubuhnya tinggi dan bertato.Tika yang ada di sampingnya pun hanya menarik-narik lengan Pak Dirga.“Oom kenapa sih, emang mereka siapa?” tanyanya manja.Pak Dirga lalu menghempaskan tangan Tika dengan kasar, lalu berbalik dan membentak gadis itu.“Diam kamu, jangan sok akrab dengan saya! Saya ini pria beristri tahu!” bentaknya lalu mendorong Tik
Ayu menoleh dan melihat ke arah sekelilingnya kemudian mengusap matanya kembali. Sepertinya rasa kantuk benar-benar menguasai Ayu kali ini.“Ikut Mas, kemana?” tanyanya.Sikap Wira kali ini mampu membuatnya untuk tidak bersikap jutek dan sebenarnya ia justru merasa tertolong.“Ke apartemen Mas supaya kamu bisa istirahat dengan nyaman. Kamu nggak usah khawatir, apartemen yang Mas sewa kamar tidur dan ruang tamunya terpisah, kamu bisa tidur di tempat tidur dan kunci pintunya dari dalam. Nanti kalau udah gak ngantuk kamu bisa bilang sama Mas mau diantar kemana.”Ayu masih diam, hanya melirik ke arah Wira yang masih duduk di depannya. Ini benar-benar di luar dugaannya, ia sempat was-was kalau Wira pasti akan mengajaknya pulang ke Solo, tapi justru menawarkan mengantar Ayu kemana ia ingin pergi.“Mas serius? Nggak ngantar aku ke Solo?” tanya Ayu yang tampak kikuk.“Kamu mau saya antar ke Solo?” tanya Wira.“Kenapa Mas peduli dengan saya?”Wira menghembuskan napas panjang, “Bukankah saya su
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep