Telepon dari Mbak Diah di sela jam kerjanya mampu mengejutkan Danang yang sedang fokus memeriksa pencapaian anak buahnya minggu lalu.“Iya, Mbak ada apa?” tanya Danang sambil tetap fokus dengan pekerjaannya.“Nang, Ayu masih belum ketemu sampai sekarang?” tanya Mbak Diah langsung.Danang yang tadinya fokus dengan pekerjaannya pun terpaksa menghentikan aktivitasnya. Ia benar-benar tak mengira kalau kakak perempuannya akan menanyakan perihal keadaan Ayu padanya.Dia memang menyimpan berita ini rapat-rapat karena tidak ingin keluarganya terutama Ibu tahu berita tentang hal ini. Ia tak mau kalau wanita yang melahirkannya kepikiran dan akhirnya penyakit darah tingginya kambuh lagi.Sekarang kakak perempuannya menelepon untuk menanyakan keberadaan Ayu. Bagaimana mungkin mereka bisa mengetahui berita ini. Apakah mungkin informasi yang disebar di sosial media sudah sampai pada kakak perempuannya?Danang mengerutkan dahinya, ia masih tak percaya akan apa yang didengarnya barusan. Mbak Diah sud
Semalam di kediaman Ayu ….Suasana di ruang tamu tampak kaku, baik itu bu Ratmi, kakaknya, Pak Suryo dan sepasang suami istri yang mengunjungi mereka sore itu. Seharusnya keluarga Ayu senang dan menyambut kehadiran mereka dengan baik, tapi kenyataannya sepasang suami istri itu tak berkenan dengan sambutan yang diberikan oleh Bu Ratmi maupun Budhe Ning.“Ngapunten njih Mbak Ning (Minta maaf ya Mbak Ning), kami ke sini memang tidak untuk berbasa-basi. Kehadiran kami ke sini hanya untuk meminta kepastian dari keluarga ini!” Pak Hendrawan mengawali.Bu Ratmi tampak kikuk, berulang kali ia menyikut kakaknya meminta pendapat apa yang harus dilakukan olehnya kali ini. Sang kakak hanya menepuk paha adiknya seakan memberi jawaban agar mendengarkan tamu mereka lebih dulu.Pasangan Hendrawan dan Lastri adalah tamu penting bagi mereka. Pasangan yang tak lama lagi akan menjadi bagian dari keluarga mereka.“Sampai dimana pencarian Ayu? Berita pertunangan Wira dengan Ayu sudah menyebar pada relasi k
“Tenan iki omahe (Benar ini rumahnya)?” tanya Pak Suryo setelah berhenti di sebuah rumah dengan ukuran pekarangan yang luas.Rumah itu masih terlihat bergaya aksitektur kuno, hanya ada renovasi di beberapa bagian saja. Rumah itu terletak di sebuah perkampungan yang berlokasi tak jauh dari ringroad.“Iya ini rumahnya, Ayu dulu pernah kasih tahu nama kampung dan RT, RW nya, tadi kan udah nanya sama orang katanya rumahnya yang ini,” jawab Bu Ratmi sambil menunjuk ke arah rumah yang ada di sebelahnya.Pak Suryo pun hanya mengangguk dan mematikan mesin mobilnya kemudian mengkomando mantan istri beserta kakaknya untuk turun dan menuju rumah di sampingnya. Sebenarnya malas juga buat Pak Suryo datang ke rumah itu, apalagi saat sang sopir pribadi ijin tidak masuk kerja.Beliau tak yakin kalau putrinya, Ayu ada di rumah keluarga Danang. Namun karena desakan mantan istri dan kakaknya, ia pun mengalah dan segera meluncur ke tempat yang mereka maksud.“Mana Danang! Beraninya dia membawa lari anak
Melihat pemilik rumah yang garang ternganga, Bu Ratmi pun langsung melepaskan kakaknya yang kesakitan. Kesempatan ini tak akan ia sia-siakan begitu saja, ia harus membalas dendam pada perempuan bar-bar yang tidak tahu sopan santun.Namun ia tak akan menggunakan kekerasan fisik. Semuanya percuma, karena secara usia, perempuan di depannya lebih muda dan tentu tenaganya lebih kuat. Kalau bu Ratmi nekad beradu fisik, bisa-bisa dirinyalah yang akan terpental jauh.Ibu dari Ayu ini pun berdiri sambil berkacak pinggang dan memperjelas ucapannya.“Iya benar, Ayu mau dilamar dengan lelaki pilihan kami, bukan pemuda bernama Danang yang selama ini ngapel ke rumah saya. Lelaki pilihan kami ini seorang pengusaha muda dan sukses, dia pasti bisa menjamin kebahagiaan anak saya. Terlebih lagi weton mereka cocok dan sudah pasti mereka akan bahagia selamanya!” seru Bu Ratmi.Mbak Diah yang sempat ternganga pun sudah mampu menguasai diri. Ia pun balas mencibir wanita yang baru melbraknya dengan tak kalah
“Huh belum juga ada panggilan kerja, duit tabungan juga kan lama-lama habis,” keluh Ayu sambil melirik laptopnya.Sudah beberapa kali ia melamar pekerjaan, bukan hanya rumah sakit tapi perusahaan lain yang sekiranya membutuhkan tenaga administrasi, tapi hasilnya masih juga nihil. Sempat ia berpikir kalau keputusannya kali ini salah. Dia tak seharusnya pergi dari rumah dan meninggalkan pekerjaannya yang mapan.Namun jika diingat kembali kehidupan karirnya berbanding terbalik dengan kehidupan pribadinya. Ia tak pernah mendapatkan kenyamanan, dan hubungan dengan orang tua yang tak pernah akur belakangan ini. Apalagi dengan kehadiran budhe Ning yang selalu saja ikut campur urusan keluarganya dan bersikap seolah-olah dia adalah ibu kandung Ayu.Danang sendiri yang selama ini selalu menjadi sandarannya. Lelaki yang dikira akan menjadi tempatnya berlabuh sama sekali tidak bisa memberinya dukungan apa-apa.“Nggak … aku nggak boleh kembali, ini sudah keputusanku. Aku harus maju dan menerima re
Sejak dari tempat parkir Ayu sama sekali tidak bisa tenang. Ia merasa ada yang mengawasi semenjak tadi. Sesekali ia bergidik lantaran tidak nyaman.“Kenapa sih orang-orang pada ngeliatin?” pikirnya.Sebenarnya jika Ayu rajin mengakses sosial media, tentunya ia akan tahu apa penyebab orang-orang memperhatikan dirinya. Dinda dan rekan sekantornya sudah menyebarkan berita hilangnya Ayu di sosial media, tentunya hal ini sudah tersebar kemana-mana. Namun sayangya sejak ia pergi dari rumah, dia sama sekali tidak pernah mengakses sosial media agar tidak dicari. Sepertinya ia benar-benar ingin memutus hubungan dengan keluarga dan orang di dekatnya.“Tenang … aku harus tenang, mungkin ini hanya perasaanku saja,” gumam Ayu pada diri sendiri saat ia merasa orang-orang memperhatikannya.Ayu pun langsung menuju cafe tempat pertemuannya dengan Tika siang ini. Sempat beberapa saat ia melihat ke sekeliling mencari dimana cafe yang dimaksud.Cafe tempat Ayu akan bertemu dengan Tika memang berada di se
Wira tampak tidak nyaman saat ini. Semenjak tadi ponsel di dalam sakunya bergetar terus-menerus. Pemuda ini kemudian melirik ketiga pria di hadapannya dan mengangguk memohon pamit.“Maaf saya permisi angkat telepon dulu,” pamit Wira sopan.Kali ini ia memang ada pertemuan dengan beberapa rekan bisnis, memang tergolong pertemuan tidak resmi, hanya sekedar brainstorming untuk membuka lahan baru.“Iya Bos gampang, pasti sekarang lagi ngurusin calon istri ya?” canda salah satu rekannya.Wira hanya tersenyum kecut. Berita pertunangannya dengan Ayu memang sudah menyebar kemana-mana, termasuk berita hilangnya Ayu.Untung Wira bisa mengelabui dengan mengatakan Ayu meninggalkan rumah karena grogi, dan itu juga seijin Wira. Entah orang-orang itu percaya akan argumennya atau tidak, yang penting pembicaraan itu tak ada lagi setelahnya.“Ada apa lagi kamu nelepon aku? Bikin berisik tahu!” seru Wira yang memang sudah mulai jengah dengan panggilan dari Dinda.Semenjak kejadian sepulang dari club Wir
Minuman yang dipesan oleh Tika pun datang ke meja mereka. Perempuan dengan rambut berwarna itu pun membulatkan matanya ke arah pelayan.“Kenapa lama sekali sih? Pengunjung cafe nggak terlalu banyak juga!” keluhnya dengan pandangan yang tidak menyenangkan.Ayu yang ada di depannya pun menyentuh tangan Tika, meminta agar tidak mempermasalahkan hal ini.“Nggak bisa gitu donk Yu. Nanti dia keenakan, kerjanya gak bakalan bener. Pelayan seperti ini harus ditegur takutnya jadi kebiasaan!” balas Tika.Sebenarnya bukan maksud Tika untuk marah pada pelayanan yang menurutnya lama. Biasanya kalau hal ini terjadi, ia hanya menegur dengan halus karena ada image selebgram yang ia bawa. Namun kali ini ia harus membuat Ayu minum lebih banyak lagi.Tika ingin Ayu merasa mabuk dan membuat Pak Dirga, lelaki hidung belang yang mencari perawan. Inginnya setelah Ayu mabuk, Pak Dirga bisa membawa Ayu ke kamar dan mulai melampiaskan keinginan binatangnya. Sedangkan Tika sendiri bisa mendapatkan uang yang bany
Dengan frustrasi Danang meninggalkan ruang perawatan saat Dinda terlelap sebagai reaksi obat bius yang disuntikkan. Manager marketing itu menyusuri koridor klinik bersalin dengan keresahan yang pekat. Dia sama sekali tak menyangka acara gathering yang diadakan oleh bank tempatnya bekerja menjadi awal masalah.Mendengar ancaman Dinda tadi, dia merasa seolah langit runtuh di atas kepalanya. Entah bagaimana cara mencari bukti-bukti yang dia butuhkan. Untuk saat ini Danang hanya meyakini perasaan dan analisa berpikirnya bahwa dia tak bersalah.Danang hanya ingat merasa ngantuk setelah makan malam bersama Dinda. Bahkan dia tak sanggup untuk menyetir mobil dan membiarkan Dinda mengambil alih kemudi. Setelah itu dia tak ingat apa pun lagi yang diperbuatnya."Aaarrgh ... sial banget siih! Bisa-bisanya perempuan itu mengancam untuk melaporkan ke polisi atas tindakan yang tidak pernah kulakukan! Hiiih!" Danang berteriak dengan rasa sesal dan kesal saat tiba di taman depan klinik sambil bergumam
Danang menghindari Dinda dan menjauh menuju meja makan. Sementara Dinda yang kesal dengan sikap Danang terus mengekori lelaki itu. Dengan kasar Dinda menarik kursi di samping Danang yang duduk dekat meja makan."Mas, ini anakmu. Masa kamu lupa kalau sudah meniduriku malam itu?" Dinda memaksa meraih tangan Danang yang terlipat di atas meja makan.Danang bergeming. Dia diam sambil kembali berusaha mengingat kejadian malam itu. Namun tak satu pun potongan ingatan meniduri Dinda terlintas dalam benaknya. Dengan kesal Danang menggebrak meja makan."Jangn membodohiku, Dind. Malam itu tidak terjadi apa-apa di antara kita!" Danang mengepalkan kedua tangan dengan marah hingga buku jari-jarinya memutih."Lalu bagaiman aku bisa hamil kalau kamu nggak meniduriku, Mas? Ini anakmu! Jangan jadi pengecut kamu!" Amarah Dinda terpancing hingga berteriak memaki DanangDinda sama sekali tak menduga jika ternyata Danang sulit ditekan. Pria yang tampak baik dan santun itu nyatanya keras keapla dan tak mau
Dinda termenung mendengar ucapan Wira. Serasa dihipnotis Dinda bahkan merasa saran Wira adalah sebuah ide yang cemerlang. Lagi pula semua orang sudah tahu foto-foto dirinya bersama Danang yang sengaja ia kirimkan ke grup-grup WA perusahaan."Tapi saat ini kan Danang sedang diskorsing, Mas. Gajinya juga dipotong. Aku nggak mau ya hidup dengan lelaki miskin. Kebutuhanku banyak." Dinda menyampaikan uneg-uneg yang mengganjal di hatinya.Bagaimanapun Dinda tak ingin hidup susah bersama lelaki yang memang disukainya. Ia khawatir selamanya gaji Danang akan dipotong. Sementara jika kehamilannya terus membesar akan butuh biaya yang lebih banyak.Wira tertawa mendengar ucapan Dinda. Perempuan matre seperti Dinda tak pernah ada tempat di hatinya. Apa lagi selama ini Dinda hanya lah sebuah mainan baginya."Nggak selamanya gaji Danang akan dipotong. Kalau pimpinan cabang bank dimana kamu bekerja tahu bahwa lelaki itu bertanggung jawab padamu, bisa jadi malah dia akan naik posisi." Wira mempermain
Dengan wajah penuh rasa sesal Dinda menatap pakaian Agil yang Kotor terkena muntahannya. Ia sendiri merasa jijik dengan cairan kehijauan dan berbau itu. Tak bisa dibayangkannya bagaiman perasaan Agil yang bajunya berlumuran cairan yang keluar dari lambung Dinda."Gil, maaf." Dinda menatap sendu seraya menangkupkan kedua tangan di depan dada. Agil berdecak mendengar permintaan maaf Dinda. "Sudah aku nggak apa-apa. Tinggal ganti baju aja. Kamu sebaiknya mengisi perut yang kosong. Itu makanannya masih bersih. Makan lah, meskipun sedikit." Kembali Agil membuka bungkusan makanan dan mengambil sepotong pizza lalu menyodorkan pada Dinda.Entah kenapa Dinda menutup mulut dan hidungnya. Aroma makanan favoritnya itu berubah layaknya monster yang menakutkan. Ia mendorong tangan Agil dengan sebelah tangan yang tak digunakan untuk menutup mulut. "Jauhkan, Gil. Perutku eneg membaui makanan itu."Pak Bambang yang ada di ruangannya memperhatikan interaksi antara Dinda dan Agil. Dia merasa heran den
Dinda merasa puas akhirnya pimpinan dan para karyawan di tempatnya bekerja mengetahui skandal yang dia ciptakan. Malam itu memang Dinda menjebak Danang. Saat makan malam diam-diam ia menaburkan obat tidur ke dalam makanan Danang. Dengan dibantu oleh Wira, ia membawa Danang ke kamarnya.Dengan bantuan Wira juga maka Dinda memperoleh hasil foto yang luar biasa manipulatif. Foto-foto topless yang seolah dirinya ditiduri Danang berhasil menimbulkan banyak spekulasi pendapat yang rata-rata menguntungkannya. Bahkan Danang sampai menerima sangsi skorsing dan pemotongan gaji dari bank tempat mereka bekerja.Meskipun puas foto-foto itu tersebar, namun Dinda kecewa karena hingga hari ini Danang belum juga dapat diraihnya. Lelaki itu bahkan makin dingin dan cenderung menghindari Dinda. Bagaimana bisa Dinda mengikat hati Danang jika sampai saat ini jarak masih membentang di antara mereka.Waktu terus berlalu sejak Danang diskorsing. Hari ini masuk Minggu kedua Dinda tak melihat kehadiran Danang d
Sesaat setelah masuk ke dalam rumah Ayu, Wira disuguhi teh hangat dan setoples penuh camilan. Budhe Ning juga mempersilakan Wira untuk salat di rumah itu. Namun Wira memilih untuk berangkat ke musala terdekat dan salat magrib di sana.Budhe Ning mencari keberadaan Ayu setelah Wira berangkat ke musala. Sedangkan Ayu memanfaatkan waktu yang ada dengan mandi dan bersiap untuk salat. Di pintu dapur menuju ruang makan, Ayu berpapasan dengan Budhe Ning."Nduk, kamu itu tadi ke mana? Ndak enak loh sama Nak Wira kalau kamu pergi tapi Ndak bilang-bilang dulu sama calon suamimu. Apa lagi Nak Wira tahunya kan hari ini kamu itu cuti." Budhe Ning menghalangi langkah Ayu yang hendak ke kamarnya.Ayu sendiri merasa jengah dengan segala ucapan budhe Ning yang terus saja nyerocos tentang perjodohan antara dirinya dan Wira. Padahal hingga detik ini Ayu masih terus meragukan ketulusan cinta Wira padanya."Ngapunten, Budhe. Saya mau salat dulu. Sebentar lagi waktu magrib habis." Ayu memotong ucapan Budhe
Setelah meninggalkan taman kota, Wira membawa Ayu ke cafe dimana seharusnya Danang mengajak perempuan itu ketemuan sebelumnya. Wira memilih tempat duduk di sudut agar leluasa mengamati lalu lalang orang keluar masuk cafe itu."Jadi ini tempat penuh kenangan antara kamu dan Danang?" Wira menatap Ayu sebelum mengambil buku menu yang ada di meja pelanggan.Ayu berjengit mendengar pertanyaan Wira. Entah dari mana lelaki itu tahu tentang cafe ini yang memang salah satu tempat favorit dan menjadi kenangannya bersama Danang. Ia sering melepas penat selepas kerja di hotel Premier milik lelaki yang saat ini duduk di sisi kanannya. Setiap kali berkunjung ke tempat ini biasanya Ayu janjian dengan Danang. Keduanya menghabiskan waktu dan mengisi kembali energi yang terkuras seharian saat bekerja dengan menikmati kopi panas yang uapnya meruap menenangkan jalinan sinap di kepala mereka. Alunan live music di cafe ini menemani percakapan Ayu dan Danang kala itu."Hai ... halo ...." Wira melambaikan ta
Danang meninggalkan taman kota dengan hati gundah. Ucapan Ayu terngiang di telinganya. Dia kecewa karena Ayu membela Wira. Namun pembelaan Ayu terhadap Wira justru menimbulkan tanda tanya besar di hati Danang.Sambil berpikir Danang megendarai mobil dengan kecepatan sedang. Diiringi lampu jalanan yang mulai benderang dan alunan azan magrib, Danang tiba di rumah yang ditinggalinya bersama sang ibu.Setelah memarkirkan mobil di halaman rumah, Danang berjalan gontai menuju rumah. Saat dia membuka pintu, Bu Asih-ibunya, tampak baru saja selesai berwudhu. Raut wajah teduh Bu Asih basah dengan air yang menetes."Nang, tumben kamu lemes gitu," tegur ibunya.Danang berusaha menyembunyikan keresahannya dari perempuan yang melahirkannya. Dia tak ingin ibunya terseret dalam keresahan yang merajai hati saat ini."Nggak apa-apa, Bu. Cuma cape saja," Danang meraih tangan Bu Asih dan mengecup punggung tangan surganya.Bu Asih membelai kepala sang putra dengan lembut. "Yawis, kamu mandi dulu biar leb
Dalam kekesalannya Danang tatapan Danang beradu dengan pandangan Wira yang sedang tersenyum penuh misteri seolah mengejeknya. Dia pun bangkit dan berjalan menuju tempt duduk Wira yang berseberangan dengan bangku taman yang didudukinya bersama Ayu.Melihat Danang yang berdiri dan berjalan menuju bangku seberang, Ayu merasa heran. Namun keheranannya terjawab saat pandangnnya menemukan sosok Wira yang sedang dihampiri Danang. Dengan penuh tanda tanya Ayu bangkit dan mengekori langkah Danang."Mau apa kau di sini?" Danang berkacak pinggang sambil membentak Wira.Melihat Danang yang berdiri di hadapannya dengan kemarahan yang pekat, Wira hanya mengangkat sudut bibirnya. Dia tersenyum penuh ejekan. "Masalah kalau aku di sini? Setahuku ini tempat umum. Siapa pun boleh ke sini?" Sambil memainkan kunci mobil di tangannya, Wira menjawab pertanyaan Danang.Danang mendengus kesal. "Nggak usah sok-sokan kau. Pasti kau membuntuti Ayu ke sini kan!" Jari telunjuk tangan kanan Danang diacungkan ke dep