Terima kasih sudah membaca sejauh ini. Jangan lupa kasih ulasan dan gem ya, biar novel Velove mendapatkan rekomendasi dan bisa dikenal pembaca yang lain. Makasih.
Kehidupanku yang biasa dan nggak banyak warna, dalam sekejap jadi luar biasa semenjak tinggal di rusun ini. Luar biasa dalam arti positif dan negatif. Positif karena aku bisa menemukan tempat berlindung untukku dan anakku, dan orang-orang yang sayang padaku seperti keluarga Ibu Berta, juga Mbak Ugi yang masih sesekali menyempatkan diri menengok Ricky. Ditambah tetangga sebelah tentunya, walaupun untuk sementara ini aku menetapkan jarak yang aman. Negatif karena tidak semua orang suka kepadaku. Yah, apa yang bisa mereka harapkan dari seorang wanita pelarian sepertiku? Aku tak memiliki apapun untuk dibanggakan.Awalnya sih mereka beriba hati padaku. "Aduh, kasihan sekali! Masih muda sudah diceraikan suaminya." Seseorang menyatakan keibaannya setelah mengetahui nasibku."Pasti berat ya mencari nafkah sendiri, dan membesarkan anak," begitu yang lain menunjukkan keprihatinan."Anaknya cacat pula. Bagaimana itu nanti kalau besar anaknya tidak bisa mendengar? Repot minta ampun!" Bukan hany
Dear Pembaca, Semoga Anda (saya sebut Kakak saja ya) dalam keadaaan sehat dan berbahagia. Terima kasih untuk Kakak yang sudah membaca dan terus mengikuti kelanjutan novel "Cinta dengan Restu" (CDR) ini. Bagi yang sekadar menengok pun tetap saya hargai. Saya ingin sedikit bercerita tentang awal saya menulis di GN. Saya orang yang suka membaca, dan suka bercerita/ngobrol dengan teman atau sahabat, namun tidak pernah terlintas dalam benak saya untuk menjadi seorang penulis novel. Di GN lah debut saya sebagai penulis. Kala itu sekitar bulan April 2021, seorang sahabat yang menjadi Editor Akuisisi (EA) di GN bercerita tentang menulis di GN, mencari penulis, juga lomba menulis novel di GN. Dari situ saya berpikir untuk mencoba menulis juga. Setelah mencari ide cerita, saya mulai menulis sekitar akhir Mei 2021. Setelah mendapat banyak bimbingan dari EA,
"Erick ...," pekikku tertahan. Aku tak kuasa menahan rasa haru yang meluap-luap di hati. Perasaan rindu yang sekian tahun aku pendam, akhirnya terbayarkan hari ini. "Semoga mulai hari ini, dari tempat ini, kamu lebih bisa menjalani hidupmu tanpa beban, Love," ucap pria itu dengan senyuman dan sorot mata lembut. Sejak pertemuan terakhir kami, Erick memilih berdiam diri selama beberapa hari, ia tidak datang ke rusun atau menghubungiku sama sekali. Sepertinya ia berupaya merenungkan apa yang mungkin salah dalam upayanya mendapatkan hatiku kembali sehingga yang terjadi bukannya kami berbaikan, tapi malah jadi ribut. 'Love, aku banyak berpikir tiga hari ini. Aku sadar sekarang, aku egois. Harusnya aku lebih ngertiin perasaan kamu. Demi anak kita dan demi cinta yang pernah kita bangun, aku akan mencoba memperbaiki diri. Aku akan menjadi papa yang baik untuk Ricky, dan pria yang baik untukmu. Tolong jangan cabut kesempatan yang sudah kamu janjikan ya, aku akan melakukan yang terbaik,' tul
"Waktu itu Erick datang ke panti dengan wajah kusut, dan bertanya tentang keberadaanmu. Ibu sudah curiga ada yang tidak beres. Saat Ibu tanya ia malah menangis," cakap Bu Wiwin memulai ceritanya. Raut wajahnya menyiratkan keseriusan. Memang wajar sih kalau panti menjadi tempat pertama yang Erick datangi untuk mencariku. Sayangnya waktu itu justru aku malah ingin menghindari orang-orang yang aku kenal. Gila memang diriku kala itu! "Setelah ia bisa mengendalikan diri, Erick langsung mengakui dosanya karena telah bermesraan dengan mantan pacarnya di rumah kalian. Ibu sangat marah, teganya ia melakukan itu padamu. Erick memohon-mohon sambil memegang kaki Ibu. Ibu mengusirnya dan melarangnya datang ke sini lagi sebelum berhasil membawa kamu pulang," tutur Bu Wiwin berapi-api. "Dan kenyataannya Erick tidak bisa membawa saya pulang," tambahku. Aku tersenyum kecut. Bu Wiwin menatapku tajam. "Ke mana saja kamu waktu itu, Velove? Bikin geger orang sepanti saja," hardiknya cukup keras. Aku me
Siapa bilang jadi playboy atau playgirl itu menyenangkan? Mungkin bagi orang yang suka dikerumuni lawan jenis yang tergila-gila pada mereka, itu menjadi satu kebanggaan tersendiri. Tapi jauh di dalam hati, aku yakin mereka pasti pusing juga. Aku bukan playgirl, bahkan sama sekali tidak ingin menghadapi pria-pria yang suka menggodaku. Aku justru lebih suka kalau mereka bersikap biasa saja, atau seolah tidak mengenalku, buatku itu lebih baik. Menghadapi Erick dan Mas Vincent saja aku sudah pusing, apalagi ditambah pria lain. Mau bagaimana lagi, tanpa dapat kucegah ada yang menaruh hati padaku, walaupun aku tidak pernah memberi harapan. Kembalinya Erick dalam kehidupanku tidak hanya bikin heboh para penggosip di rusun. Orang yang tinggal jauh dari rusun pun tiba-tiba jadi terusik. "Mak, Bang Rio bilang mau pulang hari Minggu nanti, ambil cuti katanya jadi bisa di sini lama," ujar Selvi kepada Bu Berta pada suatu sore. Kebetulan aku dan Ricky juga tengah berada di rumah mereka."Ya sud
"Kak Velo, stop, jangan masuk sini! Gantian di depan dong," sergah Selvi saat aku hendak duduk di kursi belakang mobil Mas Vincent. Gadis itu bahkan menggunakan kedua tangannya untuk menghalangiku. Meskipun ia tak mungkin memukul atau menyakitiku, sorot matanya terlihat garang. Gadis itu serius melarangku duduk bersamanya di tengah."Eh, aku kan mesti nemenin Ricky, Vi. Ricky itu kan anakku, sudah seharusnya aku menjaganya, kenapa kamu larang?" keluhku memprotes sikapnya. Kok jadi aneh sih anak ini? Kan sudah biasa kalau kami bepergian naik mobil, aku selalu di belakang bersama Bu Berta dan Ricky. Siang ini keluarga besar 201-203 pergi bersama main ke mall, Mas Vincent mau traktir kami makan karena dia baru dapat bonus. Keluarga besar sih, tapi isinya cuma lima orang. "Heleh, berdalih saja Kakak ini. Ricky anak baik pasti maulah aku temani sama Mamak, biasa pula kami main bareng. Sekali-kali lah Kakak nemenin pak sopir. Hihi." Selvi mengerling manja, menggodaku.Walah! Jadi ini maks
Bekerja sebagai penyanyi di kafe ini cukup menyenangkan. Gajinya memang tidak besar, tapi lumayan sebagai uang tambahan. Belum lagi kalau ada pengunjung yang memberi tips atau hadiah. Jadwal kerjanya juga tidak terlalu mengikat. Kami bisa minta libur saat sakit atau ada keperluan. "Pokoknya kita masing-masing bebas atur jadwal sebagai satu tim, saling pengertian, saling terbuka, dan yang penting panggung tetap jalan, ya," kata Mas Randy yang jadi penanggung jawab pertunjukan.Kami berkomitmen agar jangan sampai semua penyanyi libur di hari yang sama, jadi tetap ada yang menyanyi setiap malamnya. Saling pengertian dan koordinasi sajalah. Selain itu bos dan teman-teman yang bekerja di kafe ini sangat bersahabat. Walaupun aku seorang janda muda beranak satu, mereka tetap merespek dan tidak merendahkan aku. Mungkin karena bos kami, Pak Benny, menanamkan sikap itu dalam dirinya, juga anak buahnya. "Semangat, Velove! Kamu pasti bisa membesarkan Ricky dengan baik." Demikian bosku sering m
"Hai, Love!" Erick menyapaku dengan senyuman terbaiknya. Penampilannya pun tak kalah ciamik.Hari ini nampaknya aku harus menyiapkan diri untuk terpesona pada Erick. Si Jarjit ekstra charming. Kenapa tiba-tiba aku menyebutnya sebagai Jarjit lagi? Karena pria ini mendadak mengingatkanku akan masa saat kami masih berpacaran di bangku SMA. Untuk kali kedua Erick mengajak aku dan Ricky pergi. Katanya sih mau ke taman rekreasi terbesar di Jakarta itu, yang ada badutnya itu, bukan yang ada badaknya ya. Eh?Papa si Ricky bertekad untuk menyenangkan anak lelakinya tersayang."Sudah siap?" tanyanya sewaktu tiba di depan pintu rusun kami. "Siap! Tinggal berangkat saja," jawabku riang."Ricky, ikut Papa." Erick mengulurkan tangan agar anakku ikut dengannya. Mereka berdua turun duluan, sedangkan aku mengunci pintu. "Jadi pergi, Ve?" Tetangga sebelahku tiba-tiba nongol. "Jadi, Mas. Mau ikut?" kekehku tak serius.Pria itu tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Kalian saja ya, aku jaga rumah. I
Dear Pembaca, Terima kasih banyak Kakak sudah membaca buku ini sampai selesai. Atau kalaupun Kakak sekadar pingin tahu, apa yang ditulis author di akhir novel, boleh lah, saya tidak akan spoiler isi atau ending cerita Velove di sini. Hehe. Awalnya saya tidak berniat untuk menulis catatan ini, tapi sepertinya perlu juga ya, mengingat novel ini adalah novel galau judul. Haha. Akhirnya judul yang saya gunakan untuk novel ini adalah "Cintaku Terhalang Status". Bahkan covernya saya ganti. Huhu Sedikit sedih, karena saya sebenarnya sangat menyukai gambar wanita berbaju merah yang pertama saya gunakan untuk sampul novel ini. Tapi setelah saya pertimbangkan lagi, melihat background gambar yang cukup gelap, saya berpikir untuk menggantinya dengan gambar yang lebih terang, maka terpilihlah gambar wanita berbaju biru yang saat ini saya gunakan di sampul novel ini. Untung masih cantik ya. Kalau saya pakai foto saya sendiri sebagai sampul, pasti nggak jadi cantik, karena saya kan manis, seper
"Ini serius, Dok?" Aku terpana menyaksikan hasil USG kehamilanku. Rasanya sulit berkata-kata. "Benar, Bu. Selamat ya, bayinya kembar." Dokter Rini, dokter kandungan yang menangani kehamilanku, menyelamati kami. "Pi ..." Aku melirik suamiku yang tersenyum lebar. "Bagus dong, minta satu malah dikasih dua," candanya dengan cengiran lebar. Aku yakin ia memahami perasaanku, makanya ia mencoba menetralkannya dengan gurauan.Ada sedikit keraguan di dalam benakku, karena aku harus membawa dua nyawa lain bersamaku. Apakah aku sanggup melakukannya?Dan demi meyakinkanku bahwa semua bisa berjalan lancar, kami berkonsultasi lebih lanjut dengan Dokter Rini. Ia memastikan bahwa kondisiku dan janinku sehat. "Apakah saya bisa melahirkan secara normal, Dok?" tanyaku, berharap kelahiran anak kembar masih membawa kemungkinan persalinan normal. Bila mungkin, aku tak ingin perutku dibelah."Tentu saja bisa. Yang penting kondisi ibu sehat, bayi sehat, tidak mustahil untuk melahirkan normal. Tapi kalaup
Kami masih tinggal di rumah Papi selama dua minggu, serta bolak balik ke rusun. "Sudah, kalian tinggal di sini saja, biar Mami ada teman," desak Mami suatu kali. Duh, gimana ini? Nggak enak mau nolak, tapi nggak mungkin juga dituruti. Sebaik apapun mertuaku, aku dan mas Vincent pingin tinggal di rumah kami sendiri."Nggak bisa dong, Mi, rumah kami 'kan sudah susah-susah dibangun, masa nggak ditempati?" protes Mas Vincent kepada ibunya. Mami cemberut. "Kami akan sering ke mari kok, Mi, tenang saja ya. Kami nggak akan lupa sama Mami dan Papi," ujarku, barulah Mami tenang.Rumah baru kami dalam proses mendapatkan sentuhan akhir, dan kami mulai mengisinya dengan perabotan. Setelah sebulan semuanya beres, kami pindah dan mulai tinggal di sana. "Kamu suka nggak sama hasil akhirnya, Sayang?" tanya suamiku saat kami bertiga, bersama Ricky tentunya, bercengkrama di halaman belakang. "Suka banget, Mas," jawabku riang, "Ricky juga." Hasil akhirnya rumah kami memang mirip dengan rumah Papi
Ingatanku melayang ke hari sebelumnya. Aku dan Mas Vincent mengucapkan janji suci, bertukar cincin, serta acara resepsi bersama keluarga besar kami yang begitu menghangatkan hati. Aku juga mengingat tentang suamiku yang ternyata tak pandai bernyanyi, foto-foto bersama, hingga aku mengenakan gaun pengantin bak princess pilihan suamiku, dan berdansa bersamanya.Tak lupa pula aku sempat berdansa dengan Papi, dan menemukan bahwa sebenarnya ia adalah bapak mertua yang sangat baik. Lalu .... "Astaga!" pekikku bagai tersambar petir.Secara mendadak aku bangun dan terduduk di ranjang. "Semalam kan ... aaaiiiihh ...." keluhku penuh penyesalan.Semalam aku sudah terlalu lelah untuk berpikir bahwa itu adalah malam pengantin kami. Aku malah tertidur sebelum suamiku sempat bergabung di ranjang, bahkan aku tidur terlalu nyenyak sampai pagi, ah, bukan, sampai siang begini. Saat kulirik jam di dinding sudah sekitar jam delapan pagi. Kesal pada diriku sendiri, aku menghempaskan kembali punggungk
"Kamu lihat di sana ... si tengah ...," ucap suamiku, menarik perhatianku untuk sejenak mengalihkan pandangan dari wajah tampannya. Mas Vincent sedikit menolehkan kepalanya ke kanan. Aku melihat adik iparku, Vina, sedang berdansa bersama suaminya. Kami berdua pun saat ini ada di tengah ruangan, saling memeluk dan menggenggam tangan, berdansa meski gerakan kami tidak jelas, hanya berputar-putar dari tadi. Kami saling memandang sambil cengengesan.Si Papi yang punya ide agar kami mengadakan pesta dansa juga di malam resepsi. Duh, bapak-bapak satu ini ... sudah tidak tahu lagi aku mesti ngomong apa. "Vina?" tanyaku pada Mas Vincent. Ia mengangguk."Mereka sangat serasi bukan?" tanyanya meminta pendapatku."Iya, Mas. Cocok banget, cantik dan ganteng," timpalku menyetujui.Ketiga anak Papi dan Mami berpostur tinggi. Vania, aku sudah tahu sebelumnya. Kalau Vina, baru hari ini kami bertemu. Postur mereka mirip, wajahnya tentu berbeda, dan pembawaan mereka berbeda. Vania bisa tampil tomboy
"Velove, sudah siap?" Satu suara bernada ramah menanyaiku.Ibu mertuaku tampak tersenyum menatapku, sembari menyandarkan sisi tubuhnya ke ambang pintu. Aku tersenyum melihatnya dari pantulan cermin."Kurang sedikit, Tante Mona, sabar ya," sahut Mbak Niken, MuA yang mendandaniku hari ini. "Ciamik benar makeup-nya, Ken, kamu memang juru rias profesional, sudah cucok lah untuk dandanin artis," komentar Mami memuji kerabatnya itu."Menantu Tante yang dasarnya cantik, makeup dikit saja langsung cetar membahana badai halilintar gemuruh ombak di lautan," sahut Mbak Niken sok dramatis. "Hahaha." Kedua wanita itu tertawa kompak. Aku setengah mati menahan diri agar tidak terbahak karena khawatir makeup-ku akan luntur jika terlalu banyak berkeringat. Mbak Niken adalah sepupu Mas Vincent, anak dari kakak tertua Mami. Ia sengaja diminta untuk makeup-in kami. Kata Mami makeup-nya bagus, dan karena masih keluarga sendiri kami bisa dapat diskon.Dasarnya sudah perias profesional sih, mukaku sukses
Meskipun ini bukan kali pertama aku menikah, apa yang aku alami sekarang sangat berbeda dengan apa yang aku lalui sewaktu bersama Erick. Situasi kami saat itu memang hanya memungkin untuk mengadakan acara pernikahan sederhana, yang penting resmi. Maklum lah, kami 'kan kawin lari. Benar-benar nekat! Kadang masih sulit percaya, aku yang polos bisa melakukan hal segila itu. Sedangkan dengan Mas Vincent kali ini, meskipun katanya sederhana dan hanya akan mengundang keluarga, persiapan untuk calon pengantin sama ribetnya dengan mereka yang mengundang banyak orang di hajatan mereka. "Senin, kita fitting baju, Ve." Demikian kata Mas Vincent satu hari sebelumnya. Aku menatapnya keheranan. "Loh kok? Harus fitting baju juga, Mas?" tanyaku sedikit memprotes. "Memangnya kamu mau nikah pakai baju apa? Daster?" tanyanya balik, sedikit meledek. Hmm, iya juga sih. Setidaknya kami harus pakai baju khusus, bukan sekadar kebaya sederhana seperti yang kukenakan di hari pernikahanku dengan Erick dulu
"Pokoknya kita buat acara besar-besaran, lebih besar daripada saat Kangmas batal menikah dulu, dan laksanakan secepatnya saja." Papi mengeluarkan ultimatumnya setelah kami semua berkumpul untuk membicarakan pernikahanku dan Mas Vincent. Bu Berta, serta beberapa orang kepercayaan Papi dan Mas Vincent juga hadir. Awalnya kami berpikir untuk mengajak ibu panti untuk hadir juga, namun Bu Wiwin menolak. "Sudah, kalian saja yang rencanakan. Ibu pokoknya ikut meramaikan dan membantu mengerjakan apapun jika dibutuhkan nanti," kata Bu Wiwin. Kalau dipikir-pikir hal ini bijaksana juga, kasihan Bu Wiwin juga ibu panti yang lain kalau harus terlalu repot dengan urusan kami. Apalagi panti berada di tempat yang cukup jauh dari sini. "Baiklah, yang penting Ibu datang untuk memberikan restu pada kami berdua, ya," pinta Mas Vincent yang datang bersamaku. "Pasti, Mas, jangan khawatir," cakap Bu Wiwin sembari tersenyum ramah. Ia berjanji akan datang bersama ibu panti yang lain, juga beberapa anak.
Dukungan yang kami dapatkan bukan hanya dari Vania. Si anak tengah di keluarga ini, Vina, juga menyatakan siap membantu kami untuk meyakinkan sang ayah. Walau tak bisa datang langsung ke mari, ia menyempatkan diri untuk menelepon dan berbicara dengan ayahnya. "Sorry, ya, Kangmas, Papi masih sulit diyakinkan. Sampaikan ke Mbak Velove, aku akan mencoba bicara dengan Papi lagi nanti," ucap Vina di seberang sambungan telepon, melaporkan hasil pembicaraannya dengan bapaknya. Berbeda dengan Vania yang memanggilku hanya dengan nama, Vina menambahkan embel-embel 'Mbak' di depan namaku. Sebenarnya aku merasa sedikit canggung, karena meskipun aku menjalin hubungan dengan kakak mereka, dan kemungkinan besar akan menjadi kakak ipar mereka juga, mereka sebenarnya lebih tua dariku. Si bungsu saja hanya terpaut tujuh tahun usianya dari Mas Vincent. Sedangkan aku sebelas tahun lebih muda dari calon suamiku. "Mungkin kamu belum terbiasa saja, Ve. Belajarlah menerima kenyataan bahwa kamu akan meni