Aurora menatap William dan Maya yang saling berpegangan tangan. Aurora merasa sangat sakit. Bukannya membantunya untuk berjalan, William malah pergi begitu saja.“Aku akan rajin mengantarmu ke kanpus,” sahut William. Dia menghentikan langkahnya dan bergegas menoleh ke arah Aurora.“Kau tidak usah melakukan itu, aku selalu merepotkanmu.”“Aku melakukan ini bukan karena peduli, ayahku yang memerintahkannya,” seru William. Aurora menghela napas panjang. Dia berjalan dengan sangat pelan masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Maya menatapnya dengan sorot mata tidak bersahabat.Margaret yang melihat Aurora hanya bisa merasa iba.“Sayang!” Maya melilitkan tangannya ke leher Wiliam. Mengecup kening lelaki itu lalu memeluknya.“Kamu tidak cinta sama dia kan?”“Hanya peduli saja karena dia melahirkan anak untuk kita?” sahut Maya. William tidak membalas pelukan istrinya. William secepat kilat melepaskan tangan Maya lalu berjalan menuju ruang kerjanya tanpa berkata apapun.William menghela napas panj
“Kau tidak mengejar istrimu?” tanya Tuan Damian. Dia menatap William yang masih duduk tenang di meja makan. Maya bergegas keluar dari dalam kamar dan segera pergi dari rumah. Aurora hanya terdiam sambil menunduk ke bawah.“Biarkan saja, Ayah!” Tuan Damian mengerutkan kening. “Ada apa, William?”“Apa yang terjadi dengan kamu dan Maya? Biasanya, ayah selalu melihat kalian berdua bermesraan?” Tuan Damian menatap William lekat-lekat. Lelaki itu membuang napas kasar ke udara.“Biarkan saja, Ayah!” sahut William lagi. Suaraya semakin tinggi dan membuat Tuan Damian merasakan ada yang aneh.Aurora terus melanjutkan sarapannya sambil sesekali mencuri pandangan ke arah William. Sejak tadi malam saat Aurora mendengarkan suara tangisan, dia merasa ada yang tidak beres. Apa yang ditutupi William? Pikirnya.“Ayah, aku sudah selesai!”Aurora meletakkan garpunya dan tersenyum menatap Tuan Damian. William menatap Aurora, tidak ada senyuman di wajah lelaki itu. William bergegas beranjak dari tempat dud
Aurora Smith, gadis berusia 24 tahun dan berambut panjang itu menatap kosong puing-puing kamarnya yang hancur. Bola matanya membulat sempurna saat melihat beberapa lelaki berjas hitam menjemput di dalam kamar. Perlahan, Aurora bisa melihat ada lima lelaki yang sedang menatapnya. Kelima lelaki itu memakai kacamata hitam. Semua memiliki wajah yang sangat menyeramkan. Bagaikan gigolo yang akan memangsanya.“Nona Aurora?” serunya. Aurora yang duduk sambil memeluk lututnya segera menatap lelaki berjas hitam yang sedang berdiri beberapa sentimeter dari tubuhnya. Kaki Aurora bergetar. Dia sedikit ketakutan namun Aurora berusaha menatap kelima lelaki asing itu.“Tuan kami sudah menikahi anda, anda adalah istrinya sekarang, pernikahan sudah didaftarkan dan tidak ada pilihan lain,” jawabnya. Aurora menghela napas panjang. Seakan ada bongkahan besar yang berada di tengorokannya saat ini. Bagaimana bisa dia sudah menikah dengan lelaki asing yang tidak dikenalnya?“Tuan Robert sudah memerintahkan
Aurora terbangun dan menatap tubuhnya di atas ranjang super king."Apa aku mimpi?"Pertemuanya dengan lelaki berjas hitam itu seperti mimpi buruk yang dengan cepat harus dilupakan."Ah!" desahnya. Aurora mencoba turun dan berjalan menyusuri ruangan kamarnya yang sangat besar. Bahkan kamar itu lebih besar dari rumahnya yang berada di Manchester.“Nona Aurora?” sahut suara itu. Aurora yang sedang asik memandangi lukisan spontan menoleh ke belakang dan menatap Bibi Margaret sedang menyiapkan gaun untuknya.“Tuan William akan datang, saya sudah menyediakan baju untuk hari ini.”Perempuan itu menunjukan gaun kepadanya. Aurora menatap gaun berwarna biru yang diletakkan di samping tempat tidur.“Apakah aku harus menggunakannya?”Bibi Margaret menganggukan kepala. “Tentu saja, Nona!”“Apa ada masalah?”Aurora menghela napas panjang. Pakaian itu terlalu mewah. Aurora tidak suka memakai gaun. “Apakah lelaki itu berumur tua?” tanya Aurora segera sebelum perempuan paruh baya itu pergi meninggal
Bola mata William membulat sempurna saat menatap seorang perempuan muda sedang berdiri ketakutan di depannya. Bekas air mata jelas terlihat di pipi manisnya. Bibir perempuan itu tipis dengan kulit yang putih bersih. Matanya menatap dengan tajam. Perempuan itu terlihat sangat asing.“Kau gadis yang disuruh istriku?”Aurora menggelengkan kepala. “Maksudmu apa? Aku tidak mengerti!”Willliam beranjak dari tempatnya berdiri lalu bergegas berjalan mendekati Aurora yang berdiri di balik pintu. Aurora mencengkram gaunnya. Lelaki itu memiliki wajah tampan namun tatapannya begitu tajam.“Perempuan yang akan melahirkan anak untukku!” tegasnya. Aurora memundurkan tubuhnya saat William berdiri beberapa sentimeter di depannya.Aurora membuang pandangannya. “Aku tidak mau!”“Lalu, buat apa kau di sini jika kau tidak mau?”Aurora mengigit bibir bawahnya karena ketakutan. William kemudian meletakkan tangannya di pipi Aurora. Tubuh perempuan itu seakan menegang. William menyentuh bagian rambut Aurora y
“Kau yakin, tidak akan cemburu jika aku tidur dengannya?” tanya William memastikan. Maya yang sedang memakai piyama pink menatap wajah suaminya itu.“Dia istrimu sekarang, istri sah!” seru Maya memperjelas.“Tapi … aku dan dia …,”“Tidak saling cinta? Kau mau katakan begitu, William?”William menganggukan kepala secepat mungkin. Jelas saja dia tidak ingin melukai perempuan yang dicintainya dengan cara tidur dengan perempuan lain. Ini hal yang konyol sama seperti yang dikatakan perempuan itu.“Aku sudah frustasi saat ayahmu memaksaku untuk program kehamilan. Kau tahu kan kalo aku tidak bisa!” Bola mata Maya perlahan menjadi kabut. Dia menatap manik mata suaminya.“Aku tidak bisa melahirkan bayi, kau harus tahu itu!” sambungnya.“Aku tidak ingin ayahmu selalu bertanya bahkan mengancam akan meredupkan karierku, aku tidak mau!”Maya segera memeluk tubuh William. Dia mengusap pipi William dan mengecup hangat bibir suaminya. “Malam ini, tidurlah dengannya!” bisiknya.“Dia adalah istrimu, ka
William membulatkan matanya saat menatap bercak darah yang berada di atas kasur.“Dia masih perawan?” gumamnya tidak percaya. Edward mengatakan bahwa dia menemui perempuan itu di sebuah rumah kosong dan William yakin jika dia bukan perempuan sepolos anggapannya.Tubuh perempuan itu berbaring lemas di sampingnya. Setelah permainan yang panjang dan penyatuan yang begitu memabukan, William akhirnya berbaring lemas di samping Aurora.Tubuh Aurora tidak memakai benang sedikit pun dan benar-benar membuat William tergoda. William tidak bisa berbohong kalo libidonya naik saat menatap Aurora tanpa sehelai benang.Dia membutuhkan sentuhan istrinya dan Maya selalu menolaknya melakukan hal itu. William benar-benar frustasi jika menahannya.Aurora menangis dan merintih kesakitan. “Apakah kau masih …,” kata-kata William terjeda saat menatap bercak darah di tempat tidur mereka. Suara tangisan Aurora terdengar menyayat di telingannya.“Kau pikir aku perempuan murahan?” sergap Aurora segera. Matanya m
Tuan Damian yang baru saja menyelesaikan perjalanan bisnisnya menyusuri Cina Selatan akhirnya tiba di Las Vegas. Salju yang lebat menyambutnya pagi ini. Edward yang merupakan orang kepercayaan keluarga Keller segera menyambut majikannya itu.Edward sedikit membungkukan badan dan tersenyum saat Tuan Damian sudah turun dari mobil. Tuan Damian tersenyum kecut memandangi Edward.“William di mana? Apakah dia bersama istri mandulnya itu?” gerutu Tuan Damian secara sarkas.“Tuan William dan nona Maya ada di dalam, sedang sarapan dengan nona Aurora,” jelas Edward. Alis Tuan Damian berkerut. Dia membulatkan matanya saat mendengarkan nama Aurora. Selama ini, di dalam keluarga mereka. Orang asing tidak boleh ikut makan bersama. Sebuah peraturan kuno dari keluarga Keller yang kaya raya.Tuan Damian berjalan masuk ke dalam rumah. Edward mengikuti majikannya itu dari belakang. Tuan Damian menatap William dan istrinya sedang duduk di meja makan dan seorang gadis berada di depan mereka.Langkah kaki
“Kau tidak mengejar istrimu?” tanya Tuan Damian. Dia menatap William yang masih duduk tenang di meja makan. Maya bergegas keluar dari dalam kamar dan segera pergi dari rumah. Aurora hanya terdiam sambil menunduk ke bawah.“Biarkan saja, Ayah!” Tuan Damian mengerutkan kening. “Ada apa, William?”“Apa yang terjadi dengan kamu dan Maya? Biasanya, ayah selalu melihat kalian berdua bermesraan?” Tuan Damian menatap William lekat-lekat. Lelaki itu membuang napas kasar ke udara.“Biarkan saja, Ayah!” sahut William lagi. Suaraya semakin tinggi dan membuat Tuan Damian merasakan ada yang aneh.Aurora terus melanjutkan sarapannya sambil sesekali mencuri pandangan ke arah William. Sejak tadi malam saat Aurora mendengarkan suara tangisan, dia merasa ada yang tidak beres. Apa yang ditutupi William? Pikirnya.“Ayah, aku sudah selesai!”Aurora meletakkan garpunya dan tersenyum menatap Tuan Damian. William menatap Aurora, tidak ada senyuman di wajah lelaki itu. William bergegas beranjak dari tempat dud
Aurora menatap William dan Maya yang saling berpegangan tangan. Aurora merasa sangat sakit. Bukannya membantunya untuk berjalan, William malah pergi begitu saja.“Aku akan rajin mengantarmu ke kanpus,” sahut William. Dia menghentikan langkahnya dan bergegas menoleh ke arah Aurora.“Kau tidak usah melakukan itu, aku selalu merepotkanmu.”“Aku melakukan ini bukan karena peduli, ayahku yang memerintahkannya,” seru William. Aurora menghela napas panjang. Dia berjalan dengan sangat pelan masuk ke dalam kamarnya. Sedangkan Maya menatapnya dengan sorot mata tidak bersahabat.Margaret yang melihat Aurora hanya bisa merasa iba.“Sayang!” Maya melilitkan tangannya ke leher Wiliam. Mengecup kening lelaki itu lalu memeluknya.“Kamu tidak cinta sama dia kan?”“Hanya peduli saja karena dia melahirkan anak untuk kita?” sahut Maya. William tidak membalas pelukan istrinya. William secepat kilat melepaskan tangan Maya lalu berjalan menuju ruang kerjanya tanpa berkata apapun.William menghela napas panj
Aurora menatap langit-langit kamarnya. William masih berada di sampingnya dan lelaki itu tetap fokus menatap ponselnya tanpa berbicara.Aurora merasa kata-kata Wiliam terlalu berlebihan. Dada Aurora terasa sakit bahkan air matanya terus mengalir di pipi. William berpura-pura tidak melihatnya.“Aku harus pulang dulu, nanti aku akan kembali ke sini. Tadi, aku sudah bertanya kepada dokter. Katanya, semua baik-baik saja!”Setelah mengatakan hal itu, William bergegas keluar dari dalam ruangan tanpa menatapnya sedikit pun. Aurora bisa mendengarkan suara pintu yang terbuka. Bola mata Aurora terasa memanas. Hatinya tercabik apalagi saat William mengatakan bahwa dirinya pelacur.Setegah itu kah dia mengatakan kepada perempuan yang akan melahirkan penerusnya? Apakah selama ini, William menganggapnya perempuan murahan? Memikirkan semua itu, membuat Aurora lagi-lagi sesak napas.Klek~Pintu terbuka, Aurora bergegas menyeka air matanya. Dia tidak ingin orang melihatnya menangis.“Kau sudah sehat?”
Aurora mencoba membuka matanya. Perutnya terasa sangat sakit. Bola mata Aurora tiba-tiba menangkap sosok Prof. John yang duduk termenung di sampingnya. Tanpa sadar, lelaki itu sedang mengengam tangannya. Secepat kilat Aurora menepis pegangan Prof. John.“Kau sudah sadar?” tanyanya lelaki itu segera. Aurora mencoba duduk namun pingangnya terasa ingin patah.“Apa yang terjadi?” Aurora mencoba melihat sekelilingnya.“Kau pingsan, Antoni mendorongmu masuk ke dalam mobil. Saya sudah memerintahkan beberapa pengawal untuk menahannya sejenak,” jelas prof. John. Dia berjalan mendekati tempat tidur Aurora. Tidak lupa, prof. John mencondongkan wajahnya. Menepis jarak antara dirinya dengan nyonya besar keluar Keller itu. Aurora spontan memundurkan tubuhnya.“Jangan mendekat seperti itu!” gerutunya kesal. Aurora masih berusaha agar dia bisa duduk dan menyenderkan tubuhnya.“Mau saya bantu?”“Tidak usah!” sahut Aurora segera. Prof. John menghela napas panjang. Dia duduk tepat di depan Aurora. Dia
“Kau lihat tatapan prof. John, dia selalu melihatmu, Aurora!”“Aku kasihan saja, mungkin dia benar-benar menyukaimu. Bagaimana kalo kau mendekati prof. John dan menyuruhnya membantumu?” bisik Joanna saat berada di dalam kelas. Perempuan berkuncir kuda itu sesekali menatap ke arah prof. John yang sibuk mengetik di balik keybord laptopnya.Aurora menongakan wajahnya dan menatap prof. John yang sedang memandanginya. “Aku sepertinya salah masuk perangkap, aku ngak suka dia,” ucap Aurora lagi. Joanna menggeleng terheran.“Kurang tampan apa lagi? Dia single dan tidak beristri,” sahutnya.“Menyukai William, keluarga Keller yang terkenal tertutup itu? Aku rasa, prof. John memiliki hati yang lembut!” sambung Joanna. Aurora menghela napas panjangnya. Dia menatap ke depan dan Prof. John masih memandanginya.“Ya, dia sangat tampan.”“Tapi misterius,” sahutnya lirih.“Misterius?” seru Joanna tidak mengerti. Aurora menganggukan kepala.“Dia baru saja menyelesaikan pendidikannya di Inggris lalu sege
“Sekarang jelaskan kepadaku, apa hubunganmu dengan prof. John?”“Sepasang kekasih?” tanyanya. William menatap Aurora dengan sorot mata yang tajam.“Apa urusanmu?”“Aku ingin mencari pamanku dan bisa jadi lelaki itu tahu!” sahut Aurora membela dirinya. Dia memandangi William dengan tatapan tidak suka. William mencondongkan wajahnya dan membuat Aurora spontan memundurkan tubuhnya.Edward segera mengalihkan pandangan saat William semakin dekat ke arah Aurora. Tanpa berpikir panjang, William bergegas mencium bibir ranum itu.“Aku sudah katakan kepadamu, selama kau menjadi istriku. Tidak ada yang bisa bersamamu!” bisiknya. William melepaskan ciumannya dan mengatur posisi duduknya kembali.Aurora merasa tubuhnya sangat aneh. Apalagi saat William menciumanya. Mengapa dia tidak memberontak? Mengapa Aurora diam saja dan membiarkan William melakukan itu? Mengapa harus menikmatinya?Selama di perjalanan, Aurora terdiam membisu. Pikirannya berkecamuk. Sesekali dia menyentuh bibirnya.“Aku sedang
“Jadi, apa yang prof. John ingin katakan?”“Aku tidak punya waktu banyak di sini!” gerutu Aurora sambil memandangi lelaki di depannya.“Jika William tahu, bagaimana?” sambungnya lagi. Prof. John hanya terdiam sambil membuka laptopnya dan menunjukan beberapa gambar kepada Aurora.“Kau harus berusaha untuk tetap tenang saat melihat gambar ini,” ucap prof. John. Aurora mengigit bibir bawahnya ketakutan. Apa yang akan ditunjukan lelaki itu? Pikirnya.“Kau sudah siap?” tanyanya lagi. Aurora mengangguk meskipun dia sepenuhnya tidak yakin. Aurora menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Prof. John bergegas membalikan laptopnya lalu bola mata Aurora terbelalak.“Apa ini?”“Gambar ayahmu,” ucap prof. John. Wajahnya terlihat tenang sedangkan wajah Aurora terlihat pucat pasi.“A-ayahku?”“Mengapa dibungkus seperti itu?” gerutunya tidak mengerti. Prof. John membalikan laptopnya kembali. Dia tidak menunjukan gambar itu lagi kepada Aurora.“Karena kepolisian menemukan hal yang ane
Aurora menunggu prof. John tepat di depan Cafe Lola. Dia sudah menunggu lima belas menit namun batang hidung lelaki tampan itu tidak terlihat.“Uhft!” Aurora menghela napas panjang.“Atau … dia tidak datang? Atau prof. John hanya mempermainanku?” gerutunya kemudian. Aurora terus menatap benda persegi yang melingkar di pergelangan tangannya. Tanda-tanda kedatangan prof. John belum terlihat. Aurora merasa lelaki itu berbohong.Seorang lelaki berjas hitam segera menarik tangannya dan membuat Aurora kaget bukan main. Dia membulatkan mata menatap prof. John yang memandanginya dengan ekspresi dingin. Lelaki itu tanpa malu segera memeluknya dan membuat Aurora memberontak.“Hai, lepaskan aku!”“Prof. John, apa yang kau lakukan!” gerutu Aurora kemudian. Prof. John melepaskan pelukannya dan melihat Aurora yang sedang panik.“Maafkan saya, tadi saya terlambat karena beberapa hal. Saya memelukmu karena kau dalam bahaya,” jelas prof. John. Aurora semakin tidak paham dengan jalan pikiran lelaki itu
“Kau serius mau menginap di rumahku?” tanya Joanna sambil menatap Aurora dengan ekspresi serius. Aurora menganggukan kepala.“Dia tidak akan marah?” tanyanya lagi.“Siapa?”“Suamimu!” jawab Joanna segera.“Tidak, William sedang sibuk mengurus istrinya. Sepertinya mereka sedang marahan. Aku juga tidak terlalu mengerti.”Mereka berdua berjalan menuju parkiran dan menatap Edward yang sudah berjaga di depan sana. Joanna tersenyum saat lelaki itu tersenyum menatapnya. Sumpah, Joanna merasa pengawal keluarga Keller terlalu berlebihan. Dia memiliki ketampanan yang luar biasa. Lebih cocok menjadi seorang model dari pada menjadi pengawal.“Joanna, masuklah!” sahut Aurora segera. Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Edward menatap Aurora.“Nona, apakah kita akan ke rumah yang lain?”“Edward, aku ingin menginap di rumah Joanna sahabatku, kau harus mengantar kami ke sana,” jelas Aurora segera. Di dalam mobil, Joanna hanya terdiam membisu. Entah mengapa pipinya tiba-tiba memanas. Apalagi saat Edwar