Suara berisik dari dalam kamar mandi mengusik tidur nyenyak Ellena, dengan pelan ia mencoba membuka matanya. Saat netranya terbuka sempurna, ia sedikit terkejut ketika melihat Erwin yang bertepatan keluar dari kamar mandi.
Erwin tidak kalah kagetnya ketika melihat Ellena sudah sadar, dengan perasaan bahagia, ia langsung bergegas menghampiri Ellena. "Kamu sudah bangun?" tanya Erwin senang.
Ellena terlalu gugup untuk menjawab pertanyaan Erwin, tenggorokannya juga terasa kering, hingga membuatnya tidak nyaman untuk berbicara, hingga akhirnya Ellena memilih mengangguk kecil untuk menanggapi pertanyaan Erwin.
Senyuman Erwin semakin melebar melihat istrinya mau merespon pertanyaannya. "Mau minum?" tawar Erwin yang langsung diangguki oleh Ellena.
Setelah membantu Ellena minum, Erwin segera memencet tombol yang berada di dinding ruang rawat inap untuk memanggil perawat yang berjaga.
Senyuman di bibir Erwin belum juga luntur, Ellena yang tidak biasa melihat
Setelah beberapa hari kemudian, akhirnya Ellena bisa kembali pulang ke rumah. Ellena merasa senang karena akhirnya ia tidak perlu lagi berduaan dengan Erwin di dalam satu ruangan yang sama. Ellena merasa sangat canggung ketika Erwin hanya selalu berada di dekatnya, apalagi Erwin malah melarang orang lain masuk ke dalam ruang rawat inapnya untuk menjenguknya, meskipun orang itu adalah Azkia.Sedangkan Erwin masih tampak keberatan dengan keputusan Ellena yang menginginkan dirawat di rumah saja. Meskipun sang dokter juga sudah memperbolehkan Ellena pulang, tapi Erwin tetap merasa khawatir. Namun, karena Erwin sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk menuruti semua keinginan Ellena, maka dengan berat hati Erwin setuju dengan keputusan Ellena untuk dirawat di rumah.Setelah sampai di rumah, Erwin langsung keluar dari mobil dan menggendong Ellena untuk didudukkan di kursi roda. Erwin sama sekali tidak memperbolehkan Ellena berjalan, bahkan Erwin
Harapan Ellena untuk jauh dari Erwin seperti dulu lagi tidaklah terwujud. Awalnya Ellena mengira jika ia meminta dirawat di rumah, Erwin bisa kembali bekerja di kantor lagi. Namun, nyatanya Erwin tetap memilih bekerja sambil merawat Ellena di rumah, dan akhirnya lagi-lagi mereka menghabiskan waktu hanya berdua saja di dalam kamar. "Kenapa wajahmu cemberut seperti itu?" tanya Erwin yang melihat bibir tipis Ellena sedikit manyun. Ellena yang sedang duduk di atas ranjang, buru-buru ia langsung mengubah ekspresinya, ia langsung menoleh dan sebuah se
Dengan sangat terpaksa akhirnya Erwin melepaskan bibir Ellena. "Sial!" gumamnya. Lalu kemudian dengan malas ia berjalan menuju pintu, dalam hati Erwin tidak bisa berhenti mengumpat, sekaligus bertanya-tanya, untuk apa mereka datang ke sini? Sedangkan Ellena dengan pelan mulai membuka kedua matanya, tangannya yang sudah bebas sontak memegang dadanya, jantungnya berdegup kencang, seiring dengan pipinya yang semakin memerah karena teringat lagi dengan ciuman memabukkan itu. "Ini sungguh memalukan," gumam Ellena, lalu kemudian kepalanya menoleh untuk melihat Erwin yang sedang membukakan pintu. Ketika pintu terbuka, tanpa permisi ketiga orang wanita langsung masuk ke dalam kamar tersebut. Sedangkan Erwin berdecak tidak suka, ia melirik tajam pelayan yang sudah membawa mereka ke sini. Tatapan maut dari Erwin sontak membuat pelayan itu menundukkan kepalanya. "Ellena," sapa ketiga wanita itu ramah.
Ellena tersenyum senang saat angin segar menerpa wajah cantiknya, ia menghirup rakus udara luar rumah yang sudah beberapa hari ini tidak bisa ia nikmati. Matanya yang indah terus berkeliling memandangi taman yang berada di samping rumah Erwin, merekam jelas untuk diabadikan dalam otaknya, seolah-olah ini adalah hari terakhirnya menikmati indahnya taman tersebut.Azkia yang berdiri di samping Ellena, ikut tersenyum melihat kebahagiaan Ellena. Akhirnya Azkia bisa bernapas lega, karena Erwin sudah menyadari perasaannya, buktinya dia memperlakukan Ellena se-posesif ini."Kamu mau ke mana?"
Seminggu telah berlalu, sekarang Ellena benar-benar sudah sembuh. Erwin sudah memperbolehkan Ellena keluar kamar sesukanya, mereka berdua kini sudah menempati kamar yang dulunya milik Erwin. Kamar itu sudah direnovasi semewah mungkin, semua Erwin lakukan semata-mata untuk membuat Ellena senang, meskipun Ellena tidak pernah mengatakan ingin mempunyai kamar semewah ini.Ellena sekarang juga sudah bebas mengobrol dengan para pelayan. Namun, tidak saat Erwin berada di sekitarnya, karena Erwin akan selalu menempel kepadanya. Perlakuan Erwin kepada Ellena memang berbeda dari yang dulu, Erwin yang sekarang telah melarang Ellena melakukan pekerjaan rumah apapun, Ellena diperlakukan layaknya tuan putri dan nyonya rumah yang sebenarnya."Apakah kamu tidak ingin berangkat ke kantor?" tanya Ellena seraya membantu Erwin berpakaian. Sekarang Ellena sudah berani bersikap biasa kepada Erwin, dengan perlahan ia mencoba menghilangkan rasa canggung ketika bersama Erwin. Apalagi ia akan s
Meski saat ini Erwin bukanlah bos mereka. Namun semua orang anggota Black World tampak menundukkan kepalanya hormat saat Erwin melewati mereka. Erwin diantarkan oleh James menuju tempat di mana Nico berada, kali ini Nico tidak lagi ditempatkan di ruang bawah tanah, ia sudah dipindahkan ke ruang eksekusi.Selama menuju ruang eksekusi, Erwin sama sekali tidak melihat Rose. Wanita itu sudah tahu jika hari ini Erwin akan datang ke markas, jadi dia memilih pergi ke suatu tempat untuk bersembunyi dari Erwin, perlahan tapi pasti, Rose mulai belajar melupakan perasaannya, karena ia cukup sadar diri, jika cintanya tidak sebesar perasaan Ellena yang mencintai Erwin dengan begitu tulus.Erwin masuk sendirian ke dalam sebuah ruangan yang memiliki alat penyiksaan lengkap, di sana duduklah seorang laki-laki yang menyembunyikan wajahnya di antara kedua kakinya. Tubuh kurusnya terlihat bergetar, gumaman yang hampir tidak jelas, terus menerus keluar dari mul
Bibir tipis dengan polesan lipstik berwarna nude itu sedari tadi tidak bisa berhenti tersenyum, Ellena sangat senang karena akhirnya ia bisa kembali pulang ke negaranya."Terima kasih atas bantuannya, Bik Ema," ujar Ellena tulus. "Dan juga tolong sampaikan terima kasih saya kepada Nona Azkia." Menggenggam tangan Bik Ema hangat, setelah ini pasti ia akan sangat merindukan wanita paruh baya ini."Baik, Nona," balas Bik Ema seraya tersenyum. Namun, di dalam hati, Bik Ema merasa cemas. Bagaimana caranya ia menghentikan mobil ini? Sedangkan tadi, ia yang menyuruh sang sopir untuk mengikuti kemauan Ellena."Apakah Nona Azkia benar-benar ingin membantu nona Ellena kabur?" batin Bik Ema. Pikirannya sama sekali tidak tenang karena perjalanan menuju bandara terbilang lancar. "Seharusnya sudah ada yang menghalangi kami," lanjut Bik Ema dalam hati.Titik-titik air hujan mulai menetes membasahi kaca mobil, dada Bik Ema terasa sesak melihat alam yang seakan mendukung p
Sesampainya di rumah, Ellena masih memikirkan kejadian tadi. Apakah mungkin Erwin benar-benar serius dengan perintahnya? Atau hanya sekedar menggertaknya saja, agar ia mau ikut pulang. Untuk memastikan jika ucapan Erwin tidak main-main, Ellena harus menanyakannya kepada Azkia."Sayang, kamu harus mandi dulu," ujar Ellena lembut, agar Erwin mau menurutinya. Bahkan Ellena menyebutkan kata 'sayang' semanis mungkin."Tidak! Nanti kamu kabur lagi kalau aku tinggal mandi," sahut Erwin seraya cemberut, ia juga merasa masih belum puas memeluk Ellena."Aku tidak akan pergi ke mana-mana, hanya akan ke dapur untuk membuatkanmu minuman hangat." Mengusap rambut basah Erwin."Biarkan pelayan saja, lebih baik kita mandi bersama. Lihat, bajumu juga basah." Erwin mengedipkan sebelah matanya, ia memang sengaja membuat Ellena ketularan basah.Ellena menggeleng. "Aku akan membuat minuman dulu, nanti aku akan menyusulmu." Mencium pipi Erwin, lalu ia segera pe
Beberapa hari kemudian...Semenjak kejadian itu, Ellena sering merenung sendirian. Namun, jika ada Erwin di rumah, Ellena menjadi sosok yang seperti biasanya. Sebab, Ellena tidak ingin Erwin melihat dirinya yang sebenarnya masih tertekan atas kejadian di hari itu.Sedangkan Erwin sendiri, ia sangat tahu apa yang dirasakan Ellena saat ini, meskipun Ellena selalu berusaha menutupinya.Namun, Erwin juga tidak akan memaksa Ellena agar mau bercerita kepadanya, Erwin mengerti jika Ellena butuh ruang untuk berdamai dengan batinnya sendiri.Ellena yang sedang melamun di balkon kamarnya, ia tersentak saat tiba-tiba Erwin memeluknya dan berbicara padanya."Sayang, maukah kamu menemaniku pergi ke rumah, Tuan Deffin?" tanya Erwin lembut."Sayang, kamu membuatku terkejut. Sejak kapan kamu pulang?""Sudah dari sepuluh menit yang lalu," sahut Erwin seraya mencium pipi Ellena. "Bagaimana dengan pertanyaanku yang tadi? Maukah kamu menemaniku ke rumah Tuan Deffin?"Ellena tersenyum, ia juga langsung men
Meskipun Erwin menyadari apa yang sedang dilakukan Camelia, Erwin tetap mengabaikannya, seolah-olah nyawanya memang tak berharga."Hei, letakkan pistolmu! Ataukah kau ingin mati juga?" teriak Lucas seraya mengacungkan pistol miliknya ke arah Camelia.Camelia tertawa frustasi. "Dia sudah membunuh Kakak ku, apakah kau pikir dia masih pantas untuk hidup?" Julian sebenarnya bukanlah kakak kandung Camelia. Namun, karena Julian pernah menyelamatkan hidupnya, Camelia menganggapnya sebagai kakak, dan karena Camelia telah melihat Erwin membunuh Julian, semua pandangan Camelia terhadap Erwin telah berubah, termasuk perasaannya. Yang ada kini hanyalah dendam yang membara.Mendengar keributan di sekelilingnya, Ellena sontak mendongakkan kepalanya, ia terkejut ketika melihat Camelia mengacungkan pistol ke arah suaminya. Namun, ia lebih terkejut karena Erwin tidak bereaksi sama sekali, justru Erwin masih asyik memeluknya untuk menenangkannya."Apakah kamu juga mencintainya? Kenapa kamu membiarkan
Maju mati, mundur pun mati. Inilah yang harus dilalui Camelia saat ini. Camelia tidak bisa kabur, ataupun bisa bunuh diri dengan mudah. Hari ini ia harus menjalankan semua rencana yang sudah ia dan laki-laki misterius itu susun sebelumnya.Sedangkan di seberang sana, lelaki itu tidak curiga sama sekali, jika rencana mereka dipercepat. Sebab, ia memang pernah mendengar, bahwa Camelia telah jatuh cinta dengan Erwin. Jadi, lelaki itu berpikir bukanlah masalah, karena baginya yang penting adalah ia bisa mendapatkan Ellena, dan akan lebih baik jika Ellena bisa membenci Erwin, karena Erwin telah menyelingkuhinya.Semuanya begitu lancar, seolah pagi ini memang tidak ada kejadian yang aneh. Ellena dan Erwin bisa menikmati sarapan seperti biasanya, setelah tadi Ellena membantu Camelia memandikan Erlena.Jadi, pada waktu sarapan hingga sesudahnya, Ellena sudah tidak mengurus Erlena, sebab Camelia akan mengasuh Erlena hingga Erlena tertidur, baru setelah Erlena nanti bangun, Ellena akan membantu
Camelia baru saja membaringkan Erlena yang tertidur ke dalam boks bayi, lalu kemudian sejenak ia melihat jam yang menggantung di dinding."Lima menit lagi, syukurlah aku masih punya waktu untuk bersiap," ujar Camelia seraya mengambil sisir dan kemudian dengan cepat menyisir rambutnya.Tidak lupa, ia semprotkan parfum dengan wangi yang menggoda, lalu kemudian mengambil lipstiknya yang berwarna merah menyala dan dioleskannya ke bibir tebalnya.Untung saja malam ini Erlena bisa diajak bekerja sama, ia sudah terbangun dan selesai menyusu dengan asi yang sudah diletakkan ke dalam botol, tepat sebelum tengah malam tiba. Padahal biasanya bayi itu terbangun ketika tepat tengah malam. Jadi itu artinya, malam ini Camelia bisa menemani Erwin dengan tenang.Camelia sekali lagi mematut dirinya di depan cermin, memastikan penampilannya sudah sempurna, dengan lingerie berwarna merah yang melekat ditubuhnya, Camelia sangat yakin bahwa malam ini ia bisa memuaskan Erwin di atas ranjang.Namun, Camelia
Ada yang retak, tapi bukan kaca. Kata-kata itu sedang menggambarkan perasaan Ellena pada saat ini. Selebihnya Ellena sudah tidak bisa mendengar lagi apa yang dikatakan oleh Wendy. Dalam benak Ellena, hanya berputar pernyataan, 'Tuan Erwin mengizinkan Camelia masuk ke dalam ruang kerjanya'.Sebenarnya itu hanyalah kalimat biasa, namun itu sudah seperti petir yang menggelegar di telinga Ellena.Padahal semua orang tahu bahwa tidak ada yang boleh masuk ke dalam ruang kerja Erwin, kecuali Erwin dan Lucas, dan juga Ellena tentunya. Namun, Ellena juga tidak bisa bebas keluar masuk. Bahkan Wendy pun juga harus mengantarkan kopi milik Erwin, hanya sampai di depan pintu ruangannya saja. Tapi, kenapa sekarang Erwin memperbolehkan Camelia masuk ke dalam ruang kerjanya Erwin?"Nyonya!" Wendy refleks mendekat ketika melihat Ellena terduduk lemas di atas sofa di dalam kamarnya, seraya memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Melihat Wendy cemas, Ellena memaksakan senyumnya. "Tidak apa-apa, Wendy.
Satu bulan kemudian..."Ellena ...." Ellena menolehkan kepalanya ke kiri, ketika ia mendengar suara Elma memanggilnya, dan benar saja, Elma sedang memanggilnya seraya melambaikan tangannya.Namun, bukan hanya Elma saja yang sedang berdiri di sana, ada Azkia, Jessie, beserta anak-anak mereka dan para pengasuhnya. Dan, tidak lupa juga dengan para pengawal yang selalu setia di belakang mereka, apalagi jika bukan karena perintah dari para suami posesif mereka, yaitu untuk menjaga keluarga tercinta mereka dari mara bahaya, terutama dari para lelaki yang tidak bisa menjaga matanya."Pagi, Nona Azkia, Kak Elma, Kak Jessie. Maaf kami terlambat," ujar Ellena yang tampak tidak enak. Jika saja pagi tadi Erwin tidak mengganggunya, Ellena tidak akan terlambat seperti ini."Tidak apa-apa, Ellena. Kita juga baru saja sampai," sahut Azkia seraya menepuk-nepuk pundak Ellena pelan."Hanya kamu dan Elma saja yang juga baru datang, sedangkan aku sudah tiba sejak lima belas menit yang lalu," sungut Jessi
Keesokan paginya, Erwin sudah berangkat ke kantor sejak satu jam yang lalu. Sedangkan Ellena, ia sedang menidurkan Erlena yang ada di dalam gendongannya."Permisi, Nyonya. Di bawah ada Tuan Lucas yang sedang menunggu Anda," ujar Wendy setengah berbisik. Ia takut jika berbicara lebih keras lagi, ia akan membangunkan Erlena."Iya, aku akan turun, dan kamu tolong jaga Erlena sebentar ya?" pinta Ellena."Baik, Nyonya."Setelah membaringkan Erlena ke dalam boks bayi, Ellena langsung turun ke lantai bawah.Di ruang tamu, tidak hanya Lucas saja yang masih berdiri menunggunya, namun juga ada seorang gadis yang berdiri di sampingnya."Selamat pagi, Nyonya," sapa Lucas, begitu juga dengan gadis yang ada di sampingnya."Pagi, kenapa kalian berdiri? Ayo, cepat duduk," sahut Ellena yang mempersilakan duduk mereka berdua.Lucas dan gadis itu sontak menuruti perintah Ellena. Lalu kemudian Lucas memperkenalkan gadis itu kepada Ellena, namanya Camelia, dia adalah pengasuh yang akan membantu merawat Er
Ellena seketika mematung melihat pemandangan yang ada di hadapannya, meski yang dilihatnya saat ini adalah hukuman yang tergolong ringan, namun melihat banyaknya orang yang dihukum, sama saja baginya. Seharusnya Erwin tidak melakukan hal ini kepada mereka semua.Ellena yang tadinya merasa haus dan berniat mengambil air minum di dapur, tiba-tiba saja rasa haus itu sudah pergi entah ke mana? Lebih tepatnya, Ellena sudah tidak nafsu lagi. Lalu dengan langkah gontai, Ellena kembali menuju kamarnya.Tidak lama setelah Ellena membaringkan tubuhnya di ranjang, terdengar suara pintu kamarnya dibuka. Erwin yang melihat istrinya masih tidur, ia menghembuskan napas lega.Namun, saat Erwin hendak mendudukkan diri di pinggiran ranjang, ia mendengar Ellena mengatakan, "Dari mana?" Tubuh Erwin sontak membeku mendengar Ellena bertanya dengan nada datar yang tak pernah didengarnya, dan juga tidak ada panggilan 'sayang'. Mungkinkah Ellena mengetahui kejadian di halaman belakang? Pikir Erwin panik."D
Sedangkan di kantor Ghrisam Group. Suasana kantor sudah tegang sejak tadi, yaitu sejak dimulainya rapat rutin untuk laporan bulanan. Para peserta rapat di ruangan tersebut dalam keadaan was-was, mereka takut jika hasil laporan bulan ini tidak sesuai dengan harapan sang pemilik perusahaan.Hanya ada satu orang yang duduk dengan cukup tenang di tempatnya, siapa lagi jika bukan Lucas orangnya. Namun, ketenangan itu tidak berjalan dengan lama, sebab ponselnya berdering dan menunjukkan nama seorang kepala pelayan rumah Erwin yang sedang menghubunginya."Wendy?" gumam Lucas pelan dengan dahi yang mengerut, sebab tidak biasanya kepala pelayan wanita itu menghubunginya di jam kerja, meski ada hal yang mendesak sekalipun. Namun, kecuali jika urusannya tentang Nyonya mereka.Merasa ada sinyal bahaya. Lucas segera meminta izin untuk keluar kepada Erwin, untuk mengangkat telepon tersebut. Namun, baru saja ia mengangkat panggilan tersebut, tubuh Lucas langsung menegang tatkala mendengar suara pan