Yara merasa seolah kepalanya meledak. Cahaya putih menyilaukan berkelebat di depan matanya. Pandangannya kosong, tidak bisa melihat apa-apa.Setelah beberapa saat, dia menenangkan pikirannya dan bertanya dengan bingung, "Apa maksudnya dibawa pergi?"Dia sendiri tidak menyadari bahwa suaranya sangat kering dan gemetaran."Rara, tenang saja." Siska berusaha menenangkannya. "Yudha adalah ayah anak itu, dia nggak akan menyakitinya sama sekali. Dia mungkin ... cuma ingin melihatnya lebih dekat sebentar, nanti dikembalikan."Yara pun menangkap sebuah informasi kunci. Dia mencengkeram tangan Siska dengan keras. "Sudah berapa hari Yudha membawanya pergi?"Wajah Siska penuh khawatir. Dia menoleh kepada yang lain, benar-benar tidak tahu harus menjawab apa."Nggak, dia nggak boleh membawa pergi anakku. Itu anakku." Hampir seketika, Yara kehilangan akal sehatnya dan bangkit duduk, ingin beranjak dari tempat tidurnya.Siska panik dan cepat-cepat memegangi pundaknya. "Rara, jangan bangun dulu. Tenan
"Bohong." Siska tidak percaya sama sekali. Dia lanjut duduk diam tanpa mengatakan apa-apa.Felix berhasil menelepon Yudha di ujung koridor. Dia awalnya sangat marah sampai tidak tahu harus berkata apa.Yudha menunggu beberapa saat, sampai memastikan apakah teleponnya masih tersambung. Dia berkata dengan tenang, "Masih tentang anak itu? Jangan buang-buang waktu lagi.""Dia sudah bangun." Felix mengucapkan tiga kata."Haha?" Yudha benar-benar belum menutup teleponnya.Felix melanjutkan, "Rara sudah bangun. Dia tahu kamu mengambil bayinya. Dia tadi menangis histeris dan teriak-teriak minta anaknya dikembalikan. Dokter Teresa harus membiusnya biar dia tidur."Yang menjawab hanya keheningan.Felix buru-buru melanjutkan, "Kamu nggak tahu betapa kerasnya dia meronta-ronta. Luka di perutnya terbuka lagi. Kami nggak bisa menahannya sama sekali. Yudha, anak itu terlalu penting baginya."Dia berkata dengan nada hampir memohon, "Yudha, aku belum pernah memohon kepada siapa pun seumur hidupku. Aku
Keesokan harinya, Yara terbangun dan melihat Yudha duduk di samping tempat tidurnya.Untuk sepersekian detik, wajahnya terlihat tidak percaya, seakan masih di dalam mimpi. Dia menatap Yudha dengan perasaan yang bercampur aduk."Yara." Yudha memanggil namanya saat menyadari bahwa Yara tampak aneh.Benar saja, mata Yara segera terfokus dan dia terduduk, berjuang ingin bangkit. "Kamu ...""Jangan bergerak!" Yudha tetap tenang dan menaruh kedua tangannya di pundak Yara.Seperti yang dikatakan tiga orang itu, Yara langsung menggila begitu terbangun. "Jangan bergerak, ayo bicara seperti ini," ucapnya dengan suara tidak menyenangkan.Histeria di mata Yara berangsur-angsur mereda. Tepat sekali, dia memang ini bertemu Yudha dan meminta penjelasan darinya. Karena Yudha sudah di sini sekarang, sudah sepantasnya dia bertanya.Jadi, dia mengangguk pelan, matanya terlihat sedikit menyedihkan.Yudha melepaskannya dan kembali duduk."Yudha, kamu membawa pergi salah satu dari mereka? Kenapa? Apa yang k
Yara menggelengkan kepalanya. Baginya, Yudha sama sekali tidak bisa mencintai, sama sekali tidak tahu bagaimana caranya mencintai.Selain itu, begitu Yudha menyebut nama Amel, Yara langsung teringat sesuatu. "Kamu mau ... membiarkan Melanie membesarkan anakmu nanti?"Yudha berpikir sejenak sebelum menjawab, "Mungkin.""Nggak boleh!" Yara menolak mentah-mentah. Emosinya bergejolak hebat lagi. Melanie terlalu mencurigakan dan bernoda baginya. Dia tidak akan pernah membiarkan anaknya dibesarkan oleh orang seperti itu.Dia ingin bangkit dari tempat tidurnya lagi. "Nggak boleh, Yudha, aku mohon. Tolong kembalikan anakku."Yudha juga bangkit untuk menahannya. "Yara, nggak perlu bicara apa-apa lagi, aku nggak akan mengirim anakku kembali. Menyerahlah. Tapi ..."Yara menatapnya dengan air mata berlinang.Yudha melanjutkan, "Kamu boleh datang bertemu dengannya kapan pun kamu mau. Kamu tetap ibu kandung anak itu.""Nggak, nggak ..." Yara menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras. Dia ingin ana
Selama beberapa hari berikutnya, Yara sangat kooperatif dalam pengobatannya dan luka-lukanya sembuh dengan baik.Hari itu, Teresa datang membawa kabar baik. "Rara, biar kuberi tahu, anakmu sudah lebih baik darimu sekarang.""Eh?" Yara menoleh bingung. Dia baru pernah melihat bayinya dari foto dan video. Dia bahkan belum pernah menggendongnya.Teresa tersenyum. "Si kecil sudah siap keluar dari inkubator hari ini.""Benarkah?" Siska menyambar penuh semangat.Bukan hanya Yara saja. Felix, Siska dan Gio juga sangat senang. Mereka semua ingin bisa menggendong si kecil juga.Teresa mengangguk dan menatap Yara. "Kalau kamu mau, aku bisa menggendongnya ke sini sekarang. Dia sudah boleh tinggal di kamar ini juga sekarang."Dalam sekejap, Yara hampir menangis kegirangan. Dia menyeka air matanya dan cepat-cepat mengangguk."Oke, tunggu sebentar, aku bawa dia ke sini." Teresa berbalik dan menginstruksikan kepada Felix, "Naikkan tempat tidurnya."Felix segera menaikkan tempat tidur Yara. Mereka ber
Setelah mendapat persetujuan, Yara segera mengulurkan jari untuk menyentuh tangan si kecil. Dia tidak menyangka si kecil langsung meraih tangannya dengan senyuman lebar sampai matanya menyipit, seakan sangat bahagia."Dia tersenyum, lihat teman, dia tersenyum." Siska bersorak lagi. Dia tidak bisa mengendalikan emosinya sedikit pun dan bersembunyi di belakang Gio, menangis dengan suara kecil. "Aduh, aku kenapa? Ini saat-saat bahagia, tapi kenapa aku malah ingin menangis? Dasar."Gio tahu bahwa ini terkait dengan kehamilan Siska. Namun, jangankan Siska, dia sendiri juga tidak bisa menahan rasa harunya. Bahkan mata Pak Letkol tangguh di sampingnya sudah berkaca-kaca.Dia berkata dengan serius, "Menangis juga cara untuk mengungkapkan kebahagiaan. Jadi, menangislah kalau kamu mau.""Benarkah?" Mendengar perkataan Gio, Siska seketika hilang kendali. Dia bersandar di lengan Gio dan menangis keras. "Kenapa anak ini menggemaskan sekali? Orang-orang yang paling kucintai di dunia ini bertambah du
Di tempat lain, Yudha juga mendapat telepon bahwa bayinya sudah siap untuk keluar dari inkubator.Dia sangat senang dan segera mengirim pesan kepada ibunya. Dia ingin membawa kembali putranya malam nanti.Agnes sudah menunggu di depan pintu dengan tatapan penuh antisipasi. Ketika melihat Yudha keluar dari mobil, dia bergegas menghampiri."Cucuku, Nenek ingin menggendongmu." Dia mengambil anak itu dari tangan Yudha dengan hati-hati. "Kenapa kurus sekali? Ayahmu nggak memberimu makan?""Lahir prematur dua bulan. Pertumbuhannya agak lambat di awal." Mata Yudha sesekali mengikuti anaknya.Memasuki vila, dia mendapati Melanie, Tanto, dan Liana sudah ada di sana. Felix belum kembali."Selamat, keponakanku hebat!" Tanto menghampiri dan menepuk-nepuknya, lalu menghampiri Agnes untuk melihat bayinya. "Anak ini mendapat semua kelebihan ayah dan ibunya, sangat mirip."Yang dia maksud dengan ibu tentu saja adalah Yara."Sedikit lebih mirip ayahnya." Agnes menambahkan.Melanie akhirnya menimpali, "
Melanie menoleh ke belakang, melihat Tanto yang duduk di sofa tak jauh dari sana. Dia merendahkan suaranya, "Paman nggak mencari masalah denganmu lagi?"Tanto mengetahui bahwa Liana meminta Rita pura-pura. Kabarnya, Tanto menampar Liana untuk pertama kalinya pada hari itu dan menyuruhnya pergi.Melanie sebenarnya agak takut. Dia sebenarnya terkejut Tanto tidak datang padanya.Dia baru tahu kemudian bahwa Tanto dan Yudha memiliki sifat yang sama. Mereka tidak mau repot-repot memarahi orang yang tidak mereka pedulikan."Aku pergi bulan depan." Liana mematikan rokoknya. "Mungkin nggak akan pulang lagi."Melanie agak terkejut. "Menyerah begitu saja? Mengalah? Itu bukan Liana yang aku kenal.""Nggak tertarik." Liana melihat ke luar. "Meskipun vila ini mewah dan punya segalanya, tapi lihatlah ke luar, di luar sana masih lebih menyenangkan."Dia menoleh kepada Melanie dan berkata dengan serius, "Melly, apa menurutmu semua usaha itu sepadan?""Apa?" Melanie pura-pura tidak mengerti.Liana tert
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid