"Anak Rara?" Yudha terkekeh. Matanya menatap Felix dengan nada provokatif. "Dia juga anakku. Aku bebas membawanya ke mana saja.""Berengsek!" Felix benar-benar berang. "Anakmu? Yang benar saja. Apa yang sudah kamu lakukan untuk Rara selama ini selain hampir membunuhnya beberapa kali? Siapa kamu, mengaku-ngaku mereka sebagai anakmu? Pernahkah kamu terpikir kalau dia bahkan nggak mau mengakuimu sebagai ayah mereka sama sekali?"Kata-kata itu jelas menyulut sumbu Yudha. Dia menarik tangan Felix dan berkata, "Oh, kamu sudah berhenti pura-pura sekarang? Nggak ngaku-ngaku jadi ayah mereka lagi?"Ekspresi Felix berubah. Bahkan dia pun paham bahwa identitas ayah mereka tidak mungkin bisa disembunyikan lagi setelah mereka lahir.Yudha menuding wajah Felix dan mengumpat, "Kalau bukan karena kamu sejak awal mengaku-ngaku, apa mungkin aku mengabaikan Rara?"Felix tertawa marah. "Begitu? Kamu menceraikan Rara karena aku?""Perceraian ya perceraian, anak ya anak. Itu dua hal yang berbeda." Yudha mer
Yudha berganti pakaian menjadi pakaian steril lengkap dan berdiri di depan inkubator.Bayi di depannya terlihat sangat kecil. Lengan dan kakinya kurus, dan wajahnya berkerut-kerut. Bahkan rupanya belum terlalu jelas.Perawat di sampingnya berbisik, "Bayinya mirip Bapak, dia pasti tampan kalau sudah besar."Yudha, seperti terbangun dari mimpi dan bergumam, "Mirip aku?""Ya, lihat baik-baik. Dahi tinggi, hidung mancung, dan lekukan rahangnya, semuanya persis seperti Bapak." Perawat itu melihat bahwa Yudha tampak senang mendengarkannya, jadi dia bicara lebih banyak lagi.Yudha berpikir keras, tapi masih tidak bisa memastikan bayi itu mirip dengannya atau tidak.Bukannya ada yang mengatakan bahwa anak laki-laki lebih mirip dengan ibunya? Dia tidak ingin bayi ini menjadi versi kecil dirinya.Perawat itu merasa pria di sebelahnya tiba-tiba seperti diselimuti kelabu. Dia tidak tahu dia salah bicara apa. Dia sebenarnya perawat di rumah sakit ibu dan anak, lalu dipekerjakan di sini untuk merawa
Amel di sebelahnya langsung bertanya, "Adik laki-laki, ya?"Yudha menatapnya dan tersenyum, "Iya, adik laki-laki."Amel terlihat senang. "Kalau begitu, aku boleh main sama adik kecil?""Nggak boleh." Yudha langsung menolak."Sejak kamu bilang kemarin kalau Amel mau punya adik, gadis kecil itu girang sekali ingin main dengan adiknya." Melanie tersenyum. "Aku juga ingin ketemu dengannya. Dia 'kan anakmu."Yudha tetap tidak setuju. "Belum bisa. Bayinya lahir prematur dan harus tinggal di inkubator."Dia membujuk Amel dengan sabar, "Nanti kalau adikmu sudah agak besar, baru boleh main sama Amel, oke?""Oke." Amel melahap makan malamnya dengan gembira. "Kalau begitu, aku harus makan lebih banyak lagi, biar cepat besar dan melindungi adik kecilku nanti."Dia kemudian bertanya kepada Yudha, "Kalau adik yang perempuan? Dia nggak ikut kita juga?"Melanie juga menunggu jawaban dari Yudha dengan penuh perhatian."Dia nggak bisa ikut kita untuk saat ini."Melanie menanggapi, "Jadi, karena ini Kak
Kota Selayu, di sebuah vila dengan harga termahal.Yara Lubis berdiri di depan cermin dengan wajah merona merah. Dia bangun pagi-pagi sekali hari ini dan bahkan memakai lipstik untuk pertama kalinya.Memikirkan semua yang terjadi tadi malam bersama suaminya, Yudha Lastana, senyum manis di wajahnya semakin sulit disembunyikan.Setelah setahun menikah, mereka akhirnya menyempurnakan pernikahan mereka.Tampaknya, dia telah berhasil meluluhkan hati suaminya.Yara sangat berbahagia dalam hatinya. Dari dalam lemari, dia mengeluarkan tiga buah gaun dan membandingkannya di depan cermin. Dia ingin Yudha melihatnya dalam penampilan tercantiknya saat terbangun nanti.Gaun pertama berwarna biru langit yang dia beli saat masih sekolah. Mengenakannya membuat dia terlihat seperti bocah.Yang kedua adalah gaun pendek berwarna putih. Gaun ini sudah sangat lama sampai kerahnya sudah menguning.Gaun terakhir adalah gaun hitam dengan kesan lebih formal. Dia membelinya saat lulus kuliah dan bersiap mencari
Yara berjalan menuju pintu depan dengan tidak sabar.Kemarin sore, satu-satunya yang datang berkunjung hanyalah ibunya, Silvia Damara. Pasti dia yang meletakkan air itu di sana.Dia harus pergi ke rumah dan memastikannya.Yara naik taksi dan langsung menuju kediaman keluarga Lubis. Tak disangkanya, dia bertemu Yudha di depan rumah keluarga Lubis.Yudha melihatnya dengan tatapan yang lebih merendahkan.Seorang pelayan melihat mereka berdua dan tersenyum mencari muka. "Pulang bersama-sama? Hubungan Nona dan Tuan Yudha sangat harmonis."Yara menundukkan kepala. Dia tahu betul saat ini Yudha pasti salah paham lagi.Benar saja, ketika Yudha berjalan melewatinya, dia berkata dengan gigi terkatup, "Kamu bilang ingin cerai, tapi masih minta ibumu memanggilku ke sini?""Bukan begitu," timpal Yara dengan suara rendah, tetapi tidak dapat menghindar dari rasa bersalah yang mulai berkembang dalam hatinya.Apa maksud ibunya tiba-tiba memanggil Yudha?Silvia menyaksikan dua orang itu pulang bersama-s
Di dalam mobil, Yudha merasa seluruh darah di tubuhnya membeku.Dia melihat dengan jelas mobilnya menabrak Yara.Kenapa bisa sampai terjadi? Tangannya gemetaran dan gagal membuka pintu mobil sampai beberapa kali hingga akhirnya pintu terbuka.Setelah keluar, dia melihat Yara terbaring di depan mobil.Dia meringkuk memeluk salah satu kakinya. Keningnya berkerut dan matanya menatap penuh ketakutan."Yara, kamu beneran sudah gila, ya?"Yudha menggeram, tidak lagi bisa membendung emosinya."Sebegitu gilanya kamu ingin uang dariku?""Kamu mau minta berapa? Dua ratus miliar? Empat ratus miliar? Dua triliun?""Berapa yang kamu mau? Akan kuberikan."Hingga saat ini, tubuhnya masih gemetaran.Beraninya-beraninya.Sudah cukup sekali saja dia dijebak dengan trik mengancam nyawa seperti ini. Wanita itu pikir dia akan jatuh ke lubang yang sama dua kali?Yudha tidak peduli dia mau hidup atau mati!"Nggak, nggak ...."Yara menggelengkan kepalanya tak berdaya. Dia belum pernah melihat Yudha seperti in
"N-nggak apa-apa kok." Yara merasa hatinya diremas-remas dan cepat-cepat menggelengkan kepala.Benar juga. Melanie pulang, tentu saja dia akan menemui Yudha secepatnya.Atau mungkin Yudha pergi menjemputnya di bandara.Tidak salah, orang yang paling bahagia dengan kepulangannya pasti adalah Yudha.Tidak hanya Yudha, tetapi juga Silvia, keluarga Lastana .... Semua orang menantikan kepulangannya."Syukurlah kalau kamu nggak keberatan." Melanie meraih tangan Yara dengan penuh perhatian.Yara tanpa sadar mengelak, lalu dia mendongak dengan rasa bersalah, tetapi tidak ada sesirat pun ekspresi menyalahkan di wajah Melanie.Dia tersenyum ringan. "Kalau sesuatu terjadi padamu, Yudha dan aku akan merasa sangat bersalah."Yara merasa dadanya sesak, hampir tidak bisa bernapas."Rara, aku tahu nggak seharusnya aku pulang, apalagi mengirim pesan itu ....""Nggak," bantah Yara, tiba-tiba tersulut sesuatu.Mata Melanie mulai berkaca-kaca."Kukira aku nggak akan pernah pulang lagi seumur hidup. Kukira
Yara berjalan ke jendela dan mengangkat panggilan itu."Sudah pulang dari rumah sakit?" tanya pria itu dengan suara dalamnya yang menghanyutkan."Sudah," jawab Yara.Setelah lama tidak mendengar suaranya, Yara tiba-tiba menyadari bahwa dia sangat merindukan Yudha.Keduanya terdiam beberapa saat, lalu berbicara bersamaan, "Perjanjian ....""Kamu duluan," ucap Yara terlebih dahulu."Perjanjian cerainya sudah aku tanda tangani." Suara Yudha mengalun perlahan. "Aku sedang di luar kota beberapa hari ini ....""Oke, beri tahu aku kalau kamu sudah pulang, kita pergi selesaikan prosesnya secepatnya."Panggilan ditutup dari sana.Benar-benar tidak ingin mendengar satu patah kata yang tidak perlu.Yara tersenyum pahit dan meletakkan ponselnya.Siska dapat menebak siapa yang menelepon dan isi panggilannya.Dia tidak tahu harus apa untuk menghibur Yara, jadi dia harus mengganti topik pembicaraan. "Rencanamu apa setelah ini?""Siska," panggil Yara dengan nada tidak enak. "Aku boleh numpang di rumah