"Katanya, Nona Lubis sudah melahirkan satu anak dan nggak kuat menahan rasa sakit saat melahirkan, jadi dia nggak berencana punya anak lagi. Tapi ..." Raut muka dokter itu berubah serius selama beberapa saat. "Keluarga calon suaminya pasti akan memaksa dia punya anak lagi. Jadi saya perlu berbohong."Dokter itu tampak sangat ekspresif. "Sebagai ahli kandungan dan kesuburan, saya sangat menghormati keinginan wanita dalam hal ini. Saya juga tahu, mengandung dan melahirkan adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Jadi, saya selalu berusaha sebaik mungkin untuk membantu. Jangan khawatir, saya nggak akan membocorkan apa-apa ke Pak Yudha."Dia tersenyum lagi di akhir. "Walaupun dia sendiri yang memanggil saya ke sini."Jadi begitu.Saat ini, Yara benar-benar merasa sedikit bersimpati kepada Yudha.Dia bertanya lagi kepada dokter di depannya, "Yang bilang itu Melanie sendiri?""Bukan. Perempuan lain. Sepupu Nona Lubis yang menemui saya tadi malam." Dokter itu merendahkan suaranya. "Dia juga meng
Yara tersenyum hambar dan menanyakan beberapa hal lagi sebelum mengucapkan selamat tinggal pada Teresa."Terima kasih Dok, kami pergi dulu." Yara membantu Siska berdiri dengan hati-hati."Aku baik-baik saja." Siska berdiri dan mengikuti Yara keluar dari kantor Teresa dengan ekspresi linglung seakan jiwanya tersesat. Dia bersandar di dinding dan tidak bergerak."Siska?" panggil Yara dengan cemas. "Ayo kita pulang dulu. Kita bicarakan lagi di rumah, oke?"Wajah Siska sangat pucat. Dia takut gadis ini akan melakukan sesuatu yang impulsif.Benar saja, Siska tiba-tiba menatap Yara dan berkata, "Rara, aku ingin aborsi.""Siska, jangan gegabah." Yara meraih tangan Siska. "Aborsi itu nggak baik buat tubuhmu. Janinnya masih kecil, jadi kamu masih punya waktu untuk memikirkannya."Seluruh tubuh Siska gemetar. "Rara, aku nggak mau memikirkannya. Aku nggak mau terjerat dengan Tanto seumur hidupku karena anak ini. Apa yang akan terjadi kalau dia tahu aku hamil? Apa yang akan dia lakukan padaku? Aku
Yara tertegun dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi dia mendengar Rita memanggil Tanto."Tanto, cepat ke sini. Aku nggak enak badan, ayo temani aku masuk ke dalam." Suara wanita itu terdengar sangat manja dan mendayu-dayu. Masih sama menyebalkannya seperti saat pertama kali mereka bertemu."Tolong bantu aku jaga Siska," ucap Tanto sebelum berlari pergi.Yara merasa jengkel sampai hatinya seperti diremas-remas. Dia sangat tidak mengerti mengapa Tanto bersikap seperti ini. Hanya karena Rita hamil?Sangat sulit dipercaya. Sama sekali bukan seperti Tanto yang dia kenal.Saat itu, Siska sudah masuk ke dalam taksi. Melalui jendela, dia melihat Tanto yang dengan gugup berlari kembali untuk menggandeng Rita.Siska menundukkan kepala dan rasa perih di dadanya menyebar ke seluruh tubuh.Yara segera masuk ke dalam taksi tak lama kemudian. "Orang itu, mungkin ... otaknya terjepit pintu."Jarang sekali Yara mengumpat seperti ini. Siska merasa geli."Aku serius," kata Yara dengan nada tidak bercanda
Setelah menyadari maksud Siska, wajah Felix seketika tersipu malu. Dia pun berlari ke dapur membawa barang-barangnya."Aku siapkan makan malam untuk kalian dulu. Kebanyakan sudah setengah jadi, nggak akan lama."Yara menyentil pinggang Siska dan mendesah. "Jangan bicara macam-macam. Kamu duduk sama Dokter Gio sebentar, aku mau bantu masak.""Aku bicara macam-macam ya?" Siska bertanya pada Gio sambil tersenyum.Gio merentangkan tangannya. "Entahlah, kita lihat saja nanti.""Ayolah." Siska memukul bahu Gio. "Apa masih perlu diragukan lagi kalau Kak Felix kangen Rara?""Yang aku maksud itu kamu." Gio menatap Siska dari atas ke bawah."Kenapa aku?" Siska memasang senyum lebar. "Aku nggak sedang mabuk cinta."Gio tampak berpikir keras. "Nggak usah pura-pura bahagia. Orang yang bisa kamu bohongi sudah pergi ke dapur."Siska memutar matanya dan menjatuhkan diri ke sofa. "Gila."Gio duduk di sampingnya dan menepuk pundaknya. "Ayo cerita, ada apa?""Ada apa?" Siska terlihat gusar. "Jangan curig
Felix mengangkat sendoknya untuk memukul samping kepala Gio. Gio bahkan tidak bisa menghindar sama sekali.Dokter itu sampai menangis karena kesakitan. Sambil mengusap kepalanya, dia berkata, "Aku bermaksud baik. Begini caramu berterima kasih?"Di ruang tamu, Yara perlahan duduk di samping Siska. "Sudah, nanti kamu sumpek. Mereka sudah di ruang makan."Siska memperlihatkan dua mata lebar yang tampak memelas. "Mereka pasti sudah sadar."Yara tidak menjawab. Dengan penampilan Siska tadi, siapa yang tidak bisa melihat?"Nggak apa-apa. Mereka pasti bisa jaga rahasia." Dia menepuk-nepuk punggung Siska dengan lembut. "Masih mual? Nggak bisa makan sama sekali?"Siska menggeleng. "Meskipun harus mati kelaparan, aku nggak mau makan."Dia lalu mendorong Yara. "Jangan khawatir. Cepat makan sana, jangan biarkan anak-anakmu kelaparan.""Oke, aku makan sekarang." Yara berdiri dan menatap Siska sejenak. "Tapi kamu nggak boleh begini terus. Kak Felix beli banyak buah, aku ambilkan ya? Pilih yang kamu
"Rara ..." Felix akhirnya mengumpulkan keberanian untuk membuka mulutnya. "Aku ...""Kak Felix!" Yara menyela hampir tanpa sadar. Dia tidak berani menatap. Kepalanya tetap tertunduk. "Siska benar. Sekarang sudah larut. Kalian pulang dulu saja, istirahat yang cukup."Untuk sesaat, Felix tampak tercengang. Keberanian yang baru saja berhasil dia kumpulkan tiba-tiba terjebak di tengah jalan.Gio pun berusaha membantu perjuangan Felix. "Rara, sebenarnya Felix punya ingin bicara sesuatu denganmu.""Aku tahu." Yara masih menundukkan kepala. Suaranya sedikit tercekat dan dia mengulangi, "Aku tahu. Tapi aku sudah ngantuk, aku ingin istirahat dulu."Dia tidak berani menatap mereka, terutama Felix. Dia takut melihat kekecewaan di kedua mata itu.Dia berbalik hendak pergi.Gio mencoba menghentikannya, tetapi Siska menangkapnya.Siska menggeleng. Urusan seperti ini tidak bisa dipaksakan. Dilihat dari reaksi Yara sekarang, memaksakannya tidak akan berbuah baik."Rara!" Tanpa diduga, Felix bicara lag
Siska menahan diri sekuat mungkin, tetapi akhirnya tetap tidak bisa menahan rasa nyeri di hidungnya saat melihat Felix saat ini.Saat melihat pria itu berbalik pergi, dia berseru, "Hei, ini nggak dibawa?"Dia melemparkan kotak beludru merah itu. "Penerimanya nggak mau."Felix menangkapnya dan tersenyum senormal mungkin. "Terima kasih."Siska mengantar mereka berdua keluar. Saat berada di depan pintu, dia pun menyemangati Felix lagi. "Kak Felix, jangan patah semangat. Suatu saat nanti, kamu bisa memberikan hadiah ini.""Sana temani Rara." Felix menyimpan kotak itu dengan hati-hati dan pergi bersama Gio.Saat memasuki lift, kepalanya langsung tertunduk. Dia terlihat seperti anjing yang ditinggalkan pemiliknya."Kamu kenapa?" Gio menendang sepatunya. "Siska juga tadi bilang, suatu hari nanti kamu pasti berhasil. Aku percaya itu."Felix menghela napas dan bertanya pada Gio dengan serius, "Menurutmu, apa aku dan Yudha sangat berbeda?""Tentu saja." Gio menegaskan, "Dia tipikal CEO yang suka
Setelah Felix dan Gio pergi, Siska pergi mengetuk pintu kamar Yara. Hari belum terlalu malam, jadi Yara belum pergi tidur."Rara, mau keluar dan ngobrol sebentar?" Siska bertanya di dekat pintu. "Mereka sudah pulang."Terdengar suara berderak di pintu dan beberapa saat kemudian, pintu terbuka. Yara berdiri di ambang pintu dengan ekspresi meminta maaf.Siska tertawa melihat penampilannya dan mendekat ke depan untuk memeluknya. "Kenapa? Kamu hampir menerima hadiah yang luar biasa tadi, kamu seharusnya bahagia!"Yara menunduk, tidak mengatakan apa-apa.Siska menariknya menuju ruang tamu. "Kak Felix sangat peduli padamu. Sebelum pergi tadi, dia berkali-kali khawatir kamu terlalu menyalahkan diri sendiri."Hati Yara terasa semakin berat mendengar hal ini, dan matanya langsung memerah."Jangan menangis, jangan menangis!" Tangan Siska cepat-cepat menyeka air matanya. "Aduh, aku pasti dihajar Kak Felix kalau dia tahu aku membuatmu menangis."Yara mendengus dan berusaha keras untuk mengendalika