"Yang tenang dulu." Yara membantu Siska duduk di sofa. "Bagaimana perasaanmu sekarang?"Siska menggeleng. "Entahlah, rasanya pikiranku terbang ke mana-mana ...."Dia meraih tangan Yara. "Aku harus apa? Kalau aku beneran hamil ... Rara, aku takut.""Jangan takut. Tenangkan pikiranmu." Yara paham perasaan Siska.Siska sudah bertekad untuk mengakhiri hubungannya dengan Tanto. Jika Siska kemudian benar-benar hamil, pasti akan sangat sulit untuk berpegang dengan keputusan ini.Dia mengeluarkan telepon genggamnya. "Aku belikan test pack dulu. Kita lihat nanti.""Oke." Siska menghela napas panjang dan duduk diam dengan pikiran linglung.Yara selesai memesan dan bertanya lagi, "Kamu mau makan sesuatu? Kamu belum makan sejak pagi, 'kan?""Nggak mau!" Mendengar kata makan, Siska langsung merasa mual dan segera bangkit berlari ke kamar mandi.Dia mengunci pintu dan muntah lagi. Seluruh tubuhnya lunglai."Siska?" panggil Yara yang cemas di luar. "Kamu nggak apa-apa?""Nggak apa-apa. Rara, kamu mak
Namun, dia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu Siska.Dia berdiri tanpa suara di depan pintu, menyeka air matanya yang mengalir deras, takut Siska tiba-tiba membuka pintu dan melihatnya menangis.Setelah sekitar 15 menit, Siska akhirnya membuka pintu kamar mandi."Siska?" Yara menatapnya dengan penuh perhatian. "Kamu nggak apa-apa?"Siska menggeleng. "Nggak apa-apa. Masalah kecil. Kalaupun aku hamil, aku bisa aborsi.""Siska!"Menggugurkan anak dari pria yang sangat dicintai! Mana mungkin sekecil dan sesederhana yang dikatakan Siska?Kalau sampai terjadi, tubuh dan pikirannya akan mengalami kerusakan permanen."Beneran, aku nggak apa-apa." Siska kembali tampil tegar.Yara mengerti bahwa mencoba menghibur tidak akan ada gunanya. "Aku temani kamu ke rumah sakit besok siang, oke?"Dia harus pergi ke persidangan perceraiannya di pagi hari."Oke." Siska tahu tentang sidang besok. Dia mencoba tersenyum berkata, "Aku ikut ke sidang besok.""Ya." Dalam keadaan seperti ini, Ya
Yara tidak tahu kapan dia tertidur. Saat dia terbangun keesokan harinya, Siska sudah bangun.Dia terhuyung-huyung pergi ke ruang tamu dan mendengar Siska memanggilnya untuk sarapan."Aku beli susu kedelai, donat dan roti. Sana cuci muka dulu.""Oke." Yara tidak bicara banyak. Meski Siska tidak terlihat berbeda dari biasanya, kantung hitam di bawah matanya menggantung jelas. Pasti semalam tidak tidur nyenyak.Yara menduga kalau Siska bahkan tidak tidur semalaman.Mereka berdua sarapan bersama dan tiba di pengadilan tepat waktu. Masih ada waktu setengah jam lagi sebelum sidang dimulai."Aku kirim pesan ke Yudha biar dia nggak lupa." Yara masih sedikit khawatir. Jika Yudha main menghilang lagi, dia akan benar-benar marah besar.Pesannya kepada Yudha: "Aku sudah di pengadilan. Masih ada setengah jam lagi, jangan ingkar janji!"Yara tidak kaget ketika tidak mendapat respons apa-apa. Yudha memang selalu seperti ini.Namun, seiring berjalannya waktu, tinggal lima menit sebelum sidang dimulai.
Dokter spesialis itu menatap Yudha dengan tatapan meminta maaf. "Pak Yudha, saya nggak bisa berbuat apa-apa."Melanie terisak dan segera menangis di bahu Yudha. "Maafkan aku Yudha, aku sudah tahu akan seperti ini. Maaf sudah mengecewakanmu."Yudha mematung. Seolah harapan yang baru saja muncul di hatinya hancur begitu saja seperti gelembung sabun.Dia bahkan lupa menghibur Melanie."Nona Lubis, jangan sedih." Dokter itu berinisiatif untuk menghibur. "Kalau memang ingin anak, kalian bisa adopsi. Sebenarnya nggak ada bedanya."Melanie mengangkat kepalanya dan menatap wajah Yudha dengan seksama.Yudha membantunya berdiri dan mengucapkan terima kasih. "Anda ingin tinggal lebih lama lagi di Selayu? Atau langsung pulang malam nanti?""Langsung pulang malam nanti." Dokter itu jelas tidak ingin berlama-lama."Oke, saya sudah mengatur penerbangan khusus. Tunggu saja, nanti ada yang akan menjemput." Yudha pergi bersama Melanie."Yudha, tunggu aku." Melanie berlari mengejar Yudha yang berjalan ce
Yudha sangat marah. Dadanya naik turun hebat. Dia merasa dirinya sangat bodoh dan semua yang dia lakukan sangat konyol.Menatap punggung Yara dari kejauhan, dia berkata dengan kasar, "Dalam khayalannya saja."Kemudian, dia berbalik dan berjalan pergi.Melanie buru-buru mengikuti. Dia cukup bijaksana dan tidak mengatakan apa-apa lagi.Dia tahu Yudha jatuh cinta pada Yara. Namun, karena terlalu mementingkan harga diri, atau memang karena tidak terlalu cinta, Yudha tidak akan mengakuinya dalam waktu dekat.Ini bisa jadi kesempatan terakhirnya.Yara menemani Siska masuk ke ruang pemeriksaan kandungan dan langsung menemui Dokter Teresa."Ayo masuk. Aku tunggu di luar." Yara menjabat tangan Siska dengan kuat. "Jangan gugup."Siska mengangguk dan segera masuk.Teresa tersenyum melihat wajah Yara yang terlihat sehat. "Perjuangan sekali. Dua bulan lagi melahirkan, kamu sudah berhasil melewatinya."Sebagai dokter yang menangani Yara dan kedua janin itu, dia mengerti betapa sulitnya perjalanan Ya
"Katanya, Nona Lubis sudah melahirkan satu anak dan nggak kuat menahan rasa sakit saat melahirkan, jadi dia nggak berencana punya anak lagi. Tapi ..." Raut muka dokter itu berubah serius selama beberapa saat. "Keluarga calon suaminya pasti akan memaksa dia punya anak lagi. Jadi saya perlu berbohong."Dokter itu tampak sangat ekspresif. "Sebagai ahli kandungan dan kesuburan, saya sangat menghormati keinginan wanita dalam hal ini. Saya juga tahu, mengandung dan melahirkan adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Jadi, saya selalu berusaha sebaik mungkin untuk membantu. Jangan khawatir, saya nggak akan membocorkan apa-apa ke Pak Yudha."Dia tersenyum lagi di akhir. "Walaupun dia sendiri yang memanggil saya ke sini."Jadi begitu.Saat ini, Yara benar-benar merasa sedikit bersimpati kepada Yudha.Dia bertanya lagi kepada dokter di depannya, "Yang bilang itu Melanie sendiri?""Bukan. Perempuan lain. Sepupu Nona Lubis yang menemui saya tadi malam." Dokter itu merendahkan suaranya. "Dia juga meng
Yara tersenyum hambar dan menanyakan beberapa hal lagi sebelum mengucapkan selamat tinggal pada Teresa."Terima kasih Dok, kami pergi dulu." Yara membantu Siska berdiri dengan hati-hati."Aku baik-baik saja." Siska berdiri dan mengikuti Yara keluar dari kantor Teresa dengan ekspresi linglung seakan jiwanya tersesat. Dia bersandar di dinding dan tidak bergerak."Siska?" panggil Yara dengan cemas. "Ayo kita pulang dulu. Kita bicarakan lagi di rumah, oke?"Wajah Siska sangat pucat. Dia takut gadis ini akan melakukan sesuatu yang impulsif.Benar saja, Siska tiba-tiba menatap Yara dan berkata, "Rara, aku ingin aborsi.""Siska, jangan gegabah." Yara meraih tangan Siska. "Aborsi itu nggak baik buat tubuhmu. Janinnya masih kecil, jadi kamu masih punya waktu untuk memikirkannya."Seluruh tubuh Siska gemetar. "Rara, aku nggak mau memikirkannya. Aku nggak mau terjerat dengan Tanto seumur hidupku karena anak ini. Apa yang akan terjadi kalau dia tahu aku hamil? Apa yang akan dia lakukan padaku? Aku
Yara tertegun dan hendak mengatakan sesuatu, tetapi dia mendengar Rita memanggil Tanto."Tanto, cepat ke sini. Aku nggak enak badan, ayo temani aku masuk ke dalam." Suara wanita itu terdengar sangat manja dan mendayu-dayu. Masih sama menyebalkannya seperti saat pertama kali mereka bertemu."Tolong bantu aku jaga Siska," ucap Tanto sebelum berlari pergi.Yara merasa jengkel sampai hatinya seperti diremas-remas. Dia sangat tidak mengerti mengapa Tanto bersikap seperti ini. Hanya karena Rita hamil?Sangat sulit dipercaya. Sama sekali bukan seperti Tanto yang dia kenal.Saat itu, Siska sudah masuk ke dalam taksi. Melalui jendela, dia melihat Tanto yang dengan gugup berlari kembali untuk menggandeng Rita.Siska menundukkan kepala dan rasa perih di dadanya menyebar ke seluruh tubuh.Yara segera masuk ke dalam taksi tak lama kemudian. "Orang itu, mungkin ... otaknya terjepit pintu."Jarang sekali Yara mengumpat seperti ini. Siska merasa geli."Aku serius," kata Yara dengan nada tidak bercanda