Melanie terbakar amarah, tapi yang bisa dia lakukan hanyalah menggertakkan gigi dan memelototi Yara. "Apa maumu? Setelah semua yang terjadi, kamu masih ingin bersama Yudha? Kamu pikir kalian masih bisa kembali?"Yara tiba-tiba tertawa. Dia harus mengakui bahwa Melanie memang cukup tenang sepanjang waktu."Kamu benar. Kami nggak akan bisa kembali lagi dan aku nggak mau kembali lagi." Yara merespons santai. "Bagiku sekarang, Yudha hanyalah mi yang sudah dingin. Aku sudah nggak selera memakannya lagi. Sana, kamu ambil saja kalau memang suka."Mata Melanie membelalak kaget. Dia tidak menyangka Yara akan berkata seperti itu.Apalagi, ekspresi wajah Yara saat ini tidak seperti sedang memancing kemarahannya. Dia terlihat sangat tulus.Yang selama ini dia rebut dan perjuangkan mati-matian, ternyata Yara benar-benar sudah tidak peduli lagi?Melanie sungguh tidak percaya. Terlebih lagi, dia sungguh tidak bisa menerimanya. "Kamu, serius?"Sebelum Yara sempat menjawab, dia bertanya pada dirinya se
Perhitungan Melanie tergambar jelas di wajahnya.Jika yang dia hadapi orang lain, Yara hanya akan bersumpah bahwa dia tidak akan ingkar janji.Akan tetapi, orang itu Melanie, orang yang paling dia benci. Dia tersenyum licik dan berkata, "Kalau begitu, berdoalah dengan tulus agar aku nggak berubah menjadi orang sepertimu.""Kamu!" Melanie sangat marah karena perhitungannya gagal. "Ya sudah, aku menolak.""Nggak apa-apa." Yara tidak khawatir. "Aku akan telepon Yudha sekarang dan membongkar yang sebenarnya."Melanie memelototinya.Yara tiba-tiba tertawa. "Jadi begini rasanya jadi orang jahat. Melanie, apa perlu aku ingatkan? Di sini, aku yang mengancam. Kamu nggak punya pilihan."Melanie sangat ingin memukul orang di depannya.Dia mencoba menenangkan diri sejenak sebelum berkata, "Aku mungkin terima kalau kamu punya syarat lain. Tapi kalau ... kamu ingin kembali bersama Yudha lagi, aku ....""Nggak akan." Yara memotong pembicaraan Melanie dengan nada tegas."Kenapa aku harus percaya kata-
"Rara!" Gio tidak bisa diam. "Kamu sudah kelewatan kali ini."Karena dia tahu betapa bersemangatnya Felix tadi dan betapa terpukulnya dia sekarang."Maaf, maafkan aku." Yara buru-buru meminta maaf. Hanya itu yang bisa dia pikirkan untuk membuat Melanie percaya.Dia benar-benar tidak mempertimbangkan perasaan Felix. "Kak Felix, aku minta maaf," katanya sambil menatap mata Felix dengan hati-hati."Nggak apa-apa." Felix tersenyum hangat pada keduanya. "Walaupun cuma kebahagiaan sesaat, masih lebih baik daripada nggak pernah sama sekali."Gio hanya menggeleng tanpa kata."Kak Felix, maaf." Yara sungguh sangat menyesal."Nggak apa-apa, tenang saja." Felix mengepalkan tangannya dengan tatapan penuh semangat, "Aku akan selalu berusaha membuat kebohongan itu menjadi kenyataan."Yara memandangi lengan Felix yang terluka dan merasa semakin tidak enak.Dia benar-benar tidak pantas menerima Felix. Dia juga tidak pantas menerima kebaikan Felix.Dia saat ini tidak punya perasaan lain terhadap Felix.
"Melanie setuju," kata Yara memulai. "Dalam satu minggu, dia akan mengurus situasinya dan menjemput Amel satu minggu lagi."Meski sudah menduga Melanie setuju, Nando baru bisa lega setelah Yara benar-benar mengatakannya. "Terima kasih.""Kenapa terima kasih?" Yara menatapnya dari samping. "Kamu beneran nggak keberatan menyerahkan Amel?"Nando terdiam dan mengulum senyum getir. "Orang tua yang sayang anak-anaknya akan membuat rencana masa depan yang terbaik untuk mereka. Aku nggak berhak merasa keberatan.""Amel sendiri?" Yara dapat melihat bahwa Amel sangat sayang kepada Nando. "Dia nggak keberatan?""Dia masih kecil, belum mengerti." Nando tertawa kecil. "Sebagai seorang ayah, aku nggak bisa tinggal diam."Keduanya tidak bicara lagi. Yara tahu, meskipun Nando enggan, ini adalah jalan terbaik untuk Amel.Saat berjalan pulang, Nando berulang kali berpesan kepada Yara, "Jangan beri tahu Amel soal ini.""Sampai kapan bisa dirahasiakan?""Selama mungkin." Nando menatapnya memelas. "Kumohon
Di tempat lain, Yudha sedang bekerja lembur di kantor dan Melanie menemaninya dengan perasaan gelisah.Setelah pekerjaan Yudha akhirnya selesai, keduanya pergi makan malam bersama."Yudha." Wajah Melanie tampak seperti mendambakan sesuatu. "Kamu tahu 'kan aku ketemu teman-teman lamaku akhir-akhir ini?""Iya," jawab Yudha acuh tak acuh."Mereka kebanyakan sudah jadi ibu. Anak-anak mereka lucu sekali." Melanie mengatakannya sambil mengamati ekspresi Yudha.Yudha masih tampak tidak peduli. "Kelucuan anak kecil itu cuma sementara. Nggak jarang mereka menangis tanpa henti dan membuat keributan. Belum lagi membuat rencana untuk masa depan mereka. Dari sudut pandang ekonomi, membesarkan anak pada dasarnya adalah bisnis yang merugi."Melanie tidak menyangka Yudha akan berkata seperti itu. Pria ini benar-benar tidak ada keinginan untuk memiliki anak?Dia berpikir sejenak dan berkata lagi, "Tapi, anak adalah pengikat hubungan orang tuanya. Kebanyakan orang tua bangga dengan anak-anak mereka dan
Nando benar-benar seperti tersambar petir. Kata-kata Melanie seperti sebuah pukulan telak baginya.Semua yang dimilikinya di masa lalu, sampai nama Amel, kini menjadi begitu konyol. Bahkan membuatnya tertawa terbahak-bahak."Melanie, Melanie." Dia tertawa sangat keras sampai kesulitan bicara. "Sebegitu irinya kamu dengan Yara?""Tutup mulutmu," kata Melanie, cemberut. "Aku iri dengan Yara? Memangnya siapa dia?"Dia menyilangkan kedua lengannya dengan wajah penuh kesombongan. "Orang tuanya, suaminya, aku rebut semua dari dia. Apa lagi yang pantas aku irikan dari dia?""Benar sekali. Rebut, kata ini sangat tepat." Nando berhenti tertawa dan menatap Melanie dengan penuh simpati. "Karena di dalam hatimu, kamu tahu, semua itu adalah miliknya.""Nando!" Melanie diserang tepat di titik sensitifnya. Amarahnya langsung melonjak. "Menurutmu kamu pintar di sini? Cih, kamu cuma orang bodoh dan pengecut."Dia tertawa mengejek. "Kamu berani menyatakan perasaanmu kepada Yara?""Dulu kamu nggak berani
"Tenanglah, serahkan padaku." Yara menawarkan diri. "Aku akan bertemu dengan Yudha beberapa hari lagi.""Kamu ...." Nando menatap perut Yara. "Kamu hamil ... anak Yudha, 'kan?"Setelah interaksi beberapa hari, Yara sudah menganggap Nando sebagai teman. Dia mengangguk. "Iya, tapi Yudha nggak tahu. Dan aku nggak mau dia tahu.""Kenapa?" Nando merasa tidak paham. "Di dalam perutmu ada pewaris ... keluarga Lastana. Kamu tahu betapa beratnya nama itu? Meskipun aku sudah tinggal di Meria, aku tahu betapa kuatnya keluarga Lastana. Rara, nggak ada alasan kamu menutup-nutupinya dari Yudha.""Kita sudah mau bercerai." Yara tertawa getir. "Kalau dia tahu, mungkin aku ... nggak akan bisa mempertahankan bayiku."Dia menegaskan kembali kepada Nando, "Dia mungkin nggak terlalu suka anak-anak, tapi jangan khawatir. Dia bukan tipe orang yang tega menyiksa mereka."Yara teringat saat pergi ke panti asuhan bersama Yudha. Saat itu, Yudha tidak terlalu membenci anak-anak. Dia mungkin hanya kurang sabar saj
"Oke, oke, aku temani kamu pulang." Yara menepuk punggung Berlina pelan-pelan untuk menenangkannya.Berlina saat ini sama sekali tidak menggambarkan ketegasannya yang biasa. Dia hanya mengangguk linglung."Aku pinjam paspormu dulu, mau aku pesankan tiket pesawat untuk besok. Terus kamu izin dulu ke kantor, minta cuti, oke?" Yara bisa memahami perasaan Berlina saat ini. Ibu mana pun pasti akan ketakutan setengah mati jika ada di posisinya."Oke." Berlina menarik napas dalam-dalam, bangkit berdiri dan mengambil paspornya dari laci untuk diserahkan kepada Yara. "Tapi ... bukannya kamu rencana pulang baru beberapa hari lagi?""Nggak apa-apa." Yara menarik sudut mulutnya. "Beberapa hari lebih cepat juga nggak masalah. Sekalian bisa sempat ketemu teman-teman dulu setelah pulang.""Terima kasih, terima kasih Rara." Mata Berlina memerah menahan haru. Dia tidak menolak bantuan Yara kali ini. Dia memang membutuhkan seseorang untuk menemaninya.Yara memeriksa tiket pesawat dan menghela napas lega