"Tinggal bersama?" Yara bertanya-tanya dalam hati. Jika itu benar, lalu cinta Melanie pada Yudha ... tulus atau pura-pura?Berlina mengangguk lagi. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dikatakannya lagi, tapi dia agak ragu.Yara tidak dapat menahan rasa penasarannya. "Ada lagi?""Aku dengar." Berlina menekankan lagi. "Aku dengar ya, Melanie juga punya anak dari pacarnya ini.""Serius?" Rahang Yara hampir menganga mendengarnya.Dia ingat betul bahwa Yudha pernah mengatakan bahwa Melanie tidak bisa hamil. Dan justru karena itulah Yudha semakin yakin bahwa Melanie adalah gadis kecil yang menyelamatkannya.Namun, setelah dipikir-pikir, Melanie yang tiba-tiba ingin pergi ke luar negeri saat itu juga sangat aneh. Mungkinkah dia memang punya pria lain? Atau bahkan sedang hamil anak pria lain?Yara tidak berani memikirkannya lebih lanjut. Dia menatap mobil di depannya. Entah kenapa, dia merasa bahwa Yudha benar-benar ... pantas mendapatkannya kalau memang dia ditipu!Dia tidak kasihan sedikit pun
Yudha memejamkan matanya kesal.Di telepon barusan, dia tahu persis mengapa dia menerima undangan makan malam ini. Dia tahu Melanie akan sedih jika dia tahu. Namun, dia tetap menyembunyikannya dari Melanie.Dan itu semua dia lakukan tanpa berpikir panjang. Seperti sebuah refleks.Dia benar-benar gila. Padahal wanita itu yang mengandung anak-anak orang lain.Dia tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya.Saat Yudha kembali ke ruang pribadi, makanan sudah hampir tersaji semuanya.Candy mempersilakan semua orang untuk mulai makan. "Mari makan, terutama Rara yang sedang berbadan dua, kalian berdua pasti kelaparan.""Bukan berbadan dua, tiga malah." Berlina mengingatkan sambil tersenyum."Benarkah? Kembar?" Candy sangat terkejut. "Kebahagiaannya berlipat ganda."Karena penasaran, dia bertanya pada Yara, "Tapi, ayah mereka nggak keberatan kamu datang ke sini sendirian? Hamil kembar 'kan nggak gampang."Genggaman Yara semakin erat pada sendoknya. Dia berusaha keras untuk tetap tersenyum. "Dia
Felix tidak berkata apa-apa dan memandang lebih lama sebelum akhirnya mematikan rokoknya dan kembali ke mobil."Ayo pergi."Gio yang seorang psikiater saja tidak mengerti dengan jalan pikiran seperti ini.Dia menyalakan mobil sambil berkata samar, "Kamu ini benar-benar pengagum tanpa nama. Biar kuberi tahu, kamu nggak akan mendapatkan manfaat apa-apa dari perilaku seperti ini."Felix melihat ke luar jendela mobil. "Aku cuma ingin memastikan dia baik-baik saja.""Cih!" Gio tidak mau repot-repot menghiraukannya.Mereka melewati sebuah limusin. Felix merasa limusin itu agak familier, tapi tidak terlalu memikirkannya.Di dalam limusin, Yudha menyilangkan kaki dan memberi perintah, "Jalan."Dia tadi mengikuti Yara, dan dia juga melihat Felix. Jadi Yara berbohong tadi. Ayah dari anak-anaknya juga ikut ke sini.Dia tersenyum pahit. Mereka berdua benar-benar tak terpisahkan.Namun, kurang dari sepuluh menit setelah Yudha pergi, sebuah taksi lain berhenti di bawah gedung apartemen. Tak lama kem
Nando menuntun Amel ke bawah.Ketika sudah sampai di ambang pintu, Amel tiba-tiba berhenti. Dia menatap Nando dengan gugup, "Ayah, Amel sudah cantik? Ibu pasti suka Amel 'kan?"Nando tersenyum pahit dan menggendong Amel. "Amel sangat cantik, Ibu pasti suka Amel."Ketika putrinya lahir, bagaimana mungkin dia tidak berpikir untuk menjadi ayah yang baik?Seandainya Melanie tidak pergi, keluarga mereka pasti sudah sangat bahagia sekarang. Dan dia tidak akan memarahi atau memukul Amel.Memikirkan hal ini, dia merasa sedikit sesuatu menyangkut dalam hatinya. Dia mencium pipi Amel. "Amel tenang saja. Ibu akan tinggal bersama kita di masa depan. Ayah akan menyayangi Amel dengan baik."Amel sangat senang mendengarnya. Dia memeluk dan mengusap-usap leher Nando.Saat Ayah dan anak itu memasuki pintu, Amel langsung melihat wanita yang berdiri di ruang tamu.Wanita itu berambut panjang bergelombang. Riasannya sangat cantik, dan pakaiannya terlihat mahal. Sangat tidak cocok berada di dalam rumah ini
Dia tidak tahan tinggal di tempat kumuh ini lebih lama lagi. Dia pun berbalik dan cepat-cepat keluar dari pintu."Bu, jangan pergi, jangan pergi." Amel tahu ibunya tidak suka padanya. Padahal dia baru bertemu ibunya setelah sekian lama. Dia tidak ingin ibunya pergi."Jangan ikuti aku. Berhenti menangis." Melanie menggertakkan gigi. "Dan jangan panggil aku Ibu. Aku nggak mungkin melahirkan makhluk jelek sepertimu."Kebencian yang sangat besar berkobar di matanya. "Kamu dan ayahmu itu sama-sama pantas mati."Amel sangat ketakutan dan berdiri di sana, menggigil, berusaha sekuat tenaga untuk menahan air matanya.Melanie berbalik dan bersiap untuk membuka pintu dan pergi. Namun, baru saja memegang gagang pintu, ada ketukan dari luar.Berlina, sambil membawa sepiring makanan, mengedipkan mata ke arah Yara di tangga dan terus mengetuk pintu. "Halo, aku tetangga lantai atas, ingin mengantarkan makanan untuk kalian bertiga."Yara tersenyum dan menggeleng tak berdaya. Berlina ini rasa penasarann
"Dunia memang tak selebar daun kelor," cibir Melanie. "Dia nggak sadar kamu siapa, 'kan?"Nando mengangguk. "Rasanya nggak."Dia duduk di samping Melanie, "Kamu, Yudha, dan Yara. Ada apa dengan kalian bertiga?""Memangnya bisa terjadi apa?" Melanie menjawab singkat, "Dia perempuan nggak tahu malu, suami sepupu sendiri direbut. Perempuan jalang sialan!"Nando menggelengkan kepalanya. "Melanie, simpan saja kebohonganmu untuk orang lain.""Apa maksudmu?" Melanie memiliki firasat buruk. Mungkinkah Nando mengetahui sesuatu?Nando menyilangkan kakinya dengan tatapan bangga. "Kenapa kamu mendekatiku waktu itu? Bukankah karena kamu kalah, nggak bisa mendapatkan Yudha?"Pria itu mendecakkan lidah. "Kalau nggak salah ingat, orang yang dicintai Yudha pada awalnya adalah Yara."Melanie menggertakkan gigi dan tidak berkata apa-apa."Jadi, sejak awal, perempuan jalang sialan yang merebut suami orang ..." Nando membelai rambut Melanie. "Itu kamu.""Aku nggak mengerti apa yang kamu bicarakan." Melanie
Sekilas raut jijik muncul di wajah Melanie dan dia akhirnya pergi tanpa mengatakan apa-apa.Saat memasuki mobilnya, dia segera menelepon seseorang dan berkata, "Jangan sentuh mereka berdua untuk saat ini. Tunggu kabar dariku lagi."Sambil menutup telepon, dia melihat ke arah lantai empat, mengatupkan bibirnya dengan manis, lalu pergi.Yara dan Berlina sudah membicarakannya bahkan sebelum sampai di dalam rumah."Ibunya Amel agak tertutup. Dia nggak mau dilihat.""Ya." Yara juga bisa melihatnya. "Ya sudahlah, siapa pun dia, itu bukan urusan kita.""Benar." Meski Berlina penasaran, dia tidak terlalu terobsesi. Setelah berpikir sebentar, dia menambahkan, "Tapi jelas sekali dia nggak mau orang lain tahu tentang hubungannya dengan Amel. Aku yakin dia nggak akan tinggal bersama mereka.""Ya Tuhan, Amel ini kasihan sekali." Yara mengangguk setuju.Keesokan harinya adalah akhir pekan. Yara dan Berlina sama-sama libur.Berlina tidak berhenti memeriksa ponselnya sejak pagi, seperti menunggu-nungg
"Berlina, apa maksudmu?" Pria itu benar-benar marah. "Kamu merasa hebat bisa menghasilkan uang? Kenapa kamu nggak pulang saja, urus anakmu sementara aku keluar cari uang? Aku juga bisa menghasilkan lebih banyak darimu."Berlina menjawab dengan susah payah, "Bukan begitu maksudku. Aku benar-benar nggak mampu kalau harus 20 juta per hari. Orang tuamu sudah di sana, minta tolong mereka mengurus Naya. Biar kamu bisa keluar cari kerja juga.""Nggak tahu diri." Pria itu mengumpat lagi. "Menurutmu, orang tuaku itu pengasuh gratismu? Asal kamu tahu, mereka datang ke kota ini untuk menikmati hidup, bukan untuk menjadi pelayan kalian berdua."Telepon itu ditutup begitu saja.Berlina meletakkan ponselnya, tidak bisa menahannya lagi dan menangis.Dia sudah berusaha tetap tegar sangat lama. Namun, saat ini dia tumbang.Berlina sedang berada di dapur, sementara Yara dan Amel sedang berada di ruang tamu. Mereka berdua juga mendengar pembicaraan Berlina di telepon dan tahu bahwa dia sedang menangis.A