"Bibi, Amel nggak sakit kok." Si kecil ini terlalu baik.Yara menarik napas dan menahan air matanya. "Amel, apa ... ayahmu yang memukulmu?"Amel ragu-ragu sejenak, lalu mengangguk dan segera menjelaskan, "Ayah kadang kangen Ibu. Kalau sudah minum alkohol, Ayah .... Tapi Amel nggak menyalahkan Ayah."Yara tidak dapat menahan air matanya. Anak kecil di depannya ini terlalu baik dan malang.Namun, dia hanya orang luar. Dia tidak bisa berbuat apa-apa.Sambil membantu Amel mandi, dia bertanya, "Amel, kamu masih ingat ibumu?"Mungkin ibu anak itu tidak punya pilihan dan harus pergi. Mungkin ibunya ini adalah satu-satunya harapan bagi Amel.Amel menggeleng. Ibunya sudah pergi selama yang dia ingat.Yara tidak menyerah. "Ibumu nggak meninggalkan nomor telepon atau kontak apa-apa?"Amel menggeleng lagi.Rasanya aneh sekali. Apakah ibu ini benar-benar menelantarkan Amel dengan begitu kejamnya?Yara bertanya lagi, "Kalau Ayah? Dia pernah bicara tentang Ibu? Seperti apa wajahnya? Atau yang lainnya
Melanie buru-buru menutup telepon.Dia tak menyangka akan bertemu dengan Nando secepat ini setelah kembali ke Meria.Dia mengira ... setelah Silvia meninggal, Yudha tidak akan pernah tahu. Namun, sekarang dia bertemu Nando lagi.Apa yang harus dilakukan?Dia dapat mendengar betapa benci Nando padanya. Dia takut."Melly?" Suara Yudha tersengar dari belakangnya. "Kamu kenapa? Kenapa wajahmu pucat?""Nggak apa-apa, mungkin aku masih jet lag, perlu istirahat lebih lama lagi." Melanie mematikan ponselnya dan menyimpannya."Kamu sebenarnya nggak perlu ikut aku ke kantor. Temui teman-temanmu dulu, istirahat di hotel kalau capek." Yudha juga tidak terlalu ingin berada di dekat Melanie."Aku ingin menemanimu." Melanie memegang lengan Yudha dan berkata manja, "Jangan khawatir, aku pasti istirahat kalau memang capek."Keduanya memasuki kantor bersama-sama. Yudha melakukan pekerjaannya, sementara Melanie membaca majalah di sebelahnya.Selang beberapa saat, seorang sekretaris mengetuk pintu."Ada a
"Nggak, nggak ...." Melanie meronta mati-matian, tapi dia bukan tandingan bagi Nando dan hampir mati kehabisan napas."Melanie, aku selalu pintar selama lebih dari 20 tahun. Bagaimana bisa aku dibodohi oleh perempuan sialan sepertimu?" Nando menghadap Melanie, mereka berdua sangat dekat. "Melanie, kamu lebih keji daripada binatang buas. Kamu ingin aku mati? Bagaimana dengan putrimu?"Matanya diwarnai semburat merah, melotot penuh kebencian, sedikit menakutkan. "Harimau saja nggak akan makan anaknya sendiri. Tapi kamu ingin membunuh putrimu sendiri!"Lalu dia menghempas Melanie ke tanah."Uhuk, uhuk ...." Melanie terbatuk-batuk sambil terengah-engah.Dia tahu bahwa Nando tidak dapat bergerak sedikit pun di sini tanpa dokumen identitas. Apalagi dibebani putrinya, semakin tidak mungkin dia bisa pergi dari sini.Dia mengira mereka sudah lama mati.Putrinya?Itu bukan putrinya, tetapi noda dalam hidupnya. Kesalahan terburuk yang tidak seharusnya dia lakukan.Namun ternyata, Nando tidak berp
"Namanya Amel Gunawan?" Melanie bertanya dengan gembira. "Namanya cantik. Dia pasti akan menjadi anak cantik setelah dewasa."Nando agak tersipu, tapi tidak membenarkan Melanie."Kak Nando, saat aku pergi, aku juga berniat ingin kembali. Tapi siapa sangka begitu aku pulang ..." Melanie mendesah panjang. "Kamu juga tahu kekuatan keluarga Lastana. Sekali masuk, aku nggak bisa keluar sama sekali."Nando menggertakkan giginya. "Lalu kenapa kamu pergi tanpa pamit? Kenapa kamu bahkan mengambil dokumen milikku?""Kak Nando, waktu aku melahirkan Amel, aku sebenarnya sangat takut. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan di masa depan. Aku ingin pulang ke rumah, tapi aku nggak berani mengatakannya padamu." Melanie mulai menangis lagi. "Aku takut kamu bersikeras ingin pulang bersamaku. Kalau kamu pulang dan keluarga Lastana tahu tentang kita, kamu dan Amel nggak mungkin bisa selamat."Wajah Nando berubah dingin. "Keluarga Lastana sialan. Mereka pikir bisa melakukan apa pun hanya karena punya ba
Nando ragu-ragu sejenak, lalu melepaskan tangannya.Melanie pergi membeli topi baseball dan kondom. Dia tidak akan membiarkan kesalahan yang sama terulang lagi.Saat dia masuk kembali ke hotel dan naik ke lantai atas, tepat saat Nando keluar dari kamar mandi.Pria itu jelas telah melalui banyak hal dalam dua tahun terakhir ini. Bahkan setelah mandi, dia benar-benar telah berubah. Benar-benar kehilangan semangat yang dulu. Sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Yudha.Melanie sempat menyesalinya sesaat.Namun, mana mungkin Nando memberinya kesempatan untuk menyesal? Dia segera membuang handuknya dan menerjang maju, melucuti pakaian Melanie tanpa tunggu lama.Mereka berdua berciuman dengan penuh gairah dan menuju tempat tidur. Saat Melanie melepas pakaiannya, dia melihat seprai yang menguning dan spontan merasa mual."Tunggu!" Dia mendorong Nando. "Kenapa ranjang ini kotor sekali?"Nando terengah-engah menggigit leher Melanie. Memanfaatkan celah itu, dia mencibir, "Kenapa? Kamu masih
Di dalam, Yara pergi tidur lebih awal karena ada Amel.Si kecil itu sangat baik. Dia berbaring dengan patuh, bahkan tidak berani bergerak.Yara tersenyum. "Amel biasanya tidur cepat?""Entahlah." Amel berkedip. "Aku akan menunggu sampai ayah pulang, tapi kadang ... aku tertidur sambil menunggu."Dia bertanya pada Yara dengan serius, "Kalau tidur sekarang berarti cepat ya?"Yara membelai kepala si kecil. "Nggak apa-apa. Amel nggak takut kalau malam-malam sendirian nggak ada Ayah?""Sedikit." Suara si kecil terdengar lembut. "Tetangga Sangat baik pada Amel, nggak ada yang jahat, tapi Amel kadang mimpi buruk."Anak yang malang."Kalau begitu, nanti kalau Ayah nggak ada di rumah, Amel tidur di rumah Bibi saja, ya?" Yara menawarkan dengan suara hangat."Nggak apa-apa?" Anak itu jelas senang."Tentu saja, Bibi suka sekali dengan Amel." Yara sangat menyukai si kecil ini dan mencubit hidungnya dengan lembut.Amel tertawa dan menatap perut Yara lagi penuh penasaran, "Bibi, di dalam perut bibi a
"Aku mau bawa dia pulang sekarang." Nando bersikeras.Yara benar-benar kehabisan kata-kata melihat pria ini begitu keras kepala. "Oke, tunggu sebentar, biar kugendong dia ke sini."Dia kembali dengan tenang. Begitu pintu terbuka, dia melihat Amel sudah terduduk.Si kecil menggosok-gosok matanya dengan linglung, berkata dengan suara manisnya, "Ayah, kamu sudah pulang?"Dia pasti lupa sedang tidur di mana. Dapat dibayangkan saat Amel di rumah sendiri, terbangun mendengar suara ayahnya pulang."Ya, ayah sudah pulang." Yara mendekat dan menggendong Amel dengan lembut, berbisik lembut di telinganya, "Bibi antar kamu ke Ayah, ya."Mungkin tubuh Yara terlalu hangat dan nyaman, sehingga si kecil pun segera tertidur kembali.Yara menyerahkan anak itu kepada Nando."Terima kasih." Nando melirik Yara, lalu pergi sambil menggendong Amel. Sesampainya di rumah, dia bergumam dalam hati, "Kenapa aku seperti nggak asing dengan wajahnya?"Sekembalinya ke kamar, Yara juga timbul perasaan curiga.Sebelum
Berlina terlihat sedang banyak pikiran hari ini.Saat pulang kerja di malam hari, Yara akhirnya bertanya, "Uangnya sudah terkumpul semua?""Sudah." Berlina berusaha untuk tersenyum. "Terima kasih atas perhatianmu."Yara menggelengkan kepalanya. "Aku nggak bisa membantu banyak. Ngomong-ngomong, siapa yang sakit? Sakitnya serius?"Mata Berlina langsung memerah."Kak Berlina." Yara mulai panik. "Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita. Aku nggak akan tanya lagi. Tapi kamu kelihatan sangat gelisah seharian ini. Kupikir, mungkin kamu akan merasa lebih baik kalau bisa menceritakannya."Dia menarik sudut mulutnya. "Nggak masalah kalau kamu nggak mau."Sebenarnya, dia menyadari dari beberapa hari ini. Berlina tidak dekat dengan rekan-rekan kerjanya yang lain. Rasanya selalu ada jarak."Yang sakit anakku." Air mata berlinang begitu Berlina membuka mulutnya. "Namanya Naya, dia baru delapan tahun."Dia berhenti sejenak sebelum berkata lagi, "Penyakit jantung bawaan."Yara merasa dadanya sesak s