Yudha terdiam beberapa saat, lalu berbicara lagi dengan susah payah, "Kapan itu terjadi?"Bukankah Yara mengatakan bahwa dia sangat mencintainya?Kenapa dia ... berada ke ranjang pria lain bahkan sebelum mereka bercerai?Di sisi lain, dia sendiri sungguh konyol.Meski sudah memutuskan untuk menikah dengan Melanie, dia sama sekali tidak bisa dekat dengan wanita itu.Dia benar-benar seorang badut."Apa itu penting?" Felix bahkan tidak ingin menjawab sama sekali."Sangat penting!" Yudha hampir berteriak. Matanya memerah dan darah di tubuhnya seperti mendidih."Sudah lebih dari dua bulan." Felix memberikan perkiraan waktu.Kepala Yudha mati rasa. Dia seperti kehilangan jiwanya."Yudha?" Terdengar suara Melanie tiba-tiba. Dia melangkah maju dengan mata merah dan sembap. "Kamu sejak kapan sampai di sini? Ayahku di sana!"Yudha mencoba untuk bangun, tetapi tidak bisa."Yudha, kamu kenapa?" Melanie bergegas menolongnya.Yudha tanpa sadar ingin mendorong Melanie, tetapi segera berubah pikiran d
Yara baru terbangun saat hari sudah siang keesokan harinya.Felix dan Siska tetap menjaga di samping tempat tidurnya. Ketika mereka melihatnya bangun, Felix segera pergi mencari Teresa."Rara, bagaimana perasaanmu?" Siska buru-buru menyeka air matanya dan menggenggam tangan Yara dengan lembut.Yara menatap kosong ke langit-langit, seolah belum sepenuhnya sadar."Rara, jangan membuatku takut." Siska tidak bisa menghentikan air matanya lagi. "Lihat aku, aku Siska. Kamu ada yang sakit di suatu tempat?"Yara akhirnya mengerjap dan berjuang untuk bangkit."Rara, kamu nggak boleh gerak. Dokter Teresa bilang kamu nggak boleh bangun dari tempat tidur." Siska panik dan buru-buru menahannya, tetapi tidak berani keras-keras.Yara masih berusaha bangkit. "Aku mau lihat Ayah.""Jangan gerak dulu, dengarkan aku ...." Siska ragu-ragu sebentar. "Paman Santo berhasil diselamatkan.""Benarkah?" Yara menatapnya dengan mata merah dan berkata dengan nada memohon, "Siska, jangan bohong padaku. Jangan bohong
Dia menatap Felix dengan serius, "Kak, kita sudah kenal cukup lama. Aku percaya padamu.""Terima kasih." Felix mengucapkannya dari lubuk hati yang terdalam."Nggak perlu berterima kasih, rawatlah Rara dengan baik, aku akan membantumu, apa pun yang kamu lakukan." Siska mengangguk dengan penuh semangat.Tak lama kemudian, Teresa keluar."Bagaimana?" Keduanya maju bersama dan bertanya cemas.Teresa mendesah dalam-dalam. "Bahayanya nggak terlalu mengancam untuk saat ini. Tapi aku peringatkan kalian, dia benar-benar nggak akan tahan menerima tambahan beban sedikit pun. Jangankan anak-anaknya, dirinya sendiri saja belum tentu selamat. Kalian nanti yang akan menyesalinya."Siska dan Felix menghela napas lega pada saat yang bersamaan, tetapi mereka juga sama-sama menguatkan diri masing-masing.Mereka harus menjaga Yara lebih baik lagi."Ngomong-ngomong, Gio sudah pulang ke kamp?" Teresa tiba-tiba bertanya.Felix mengangguk. "Iya, kenapa?""Aku bukan ahli psikologi, jadi persisnya nggak ngerti,
Sore harinya, Yudha datang.Siska dan Felix memblokir pintu kamar seolah menghadapi musuh yang tangguh, mencegahnya masuk."Kamu mau apa di sini?" Siska ingin mengumpat.Meskipun Yudha menelepon Yara untuk memberi tahu Yara bahwa Santo terluka dan itu bukan masalah, Yudha jelas merupakan alasan terbesar mengapa Yara seperti ini.Yudha mengerutkan keningnya dan menatap langsung ke arah Felix. "Aku perlu bicara dengan Yara.""Dia masih sensitif, perasaannya nggak boleh diganggu." Felix berkata dengan nada dingin, "Pulanglah dulu ...""Biarkan dia masuk." Suara Yara terdengar dari bangsal.Siska dan Felix tidak punya pilihan lain dan membiarkan pria itu masuk.Begitu Yudha masuk, Felix memperingatkannya lagi dengan sangat serius, "Jangan membuatnya terlalu emosional, aku mohon."Yudha menutup pintu kamar.Dia berbalik dan melihat Yara duduk di ranjang rumah sakit dengan wajah pucat, tampak lesu dan tak bernyawa.Dia tanpa sadar mengerutkan kening. "Jangan khawatirkan Paman Santo, aku akan
Siska mendorong Yudha juga, mendorongnya ke arah pintu.Tak lama kemudian, sekelompok dokter bergegas masuk dan ketiganya diusir.Yudha kebingungan sepanjang waktu. Yara yang melakukan kesalahan. Yara yang berbohong. Dirinya hanya bertanya, kenapa Yara sampai pingsan?"Ngapain kamu masih di sini?" Siska terbakar amarah melihatnya. "Pergi!"Yudha berdiri mematung. Yara tadi benar-benar tampak seperti boneka yang rusak. Membuatnya merasakan ketakutan yang tak dapat dijelaskan di dalam hatinya, yang tak dapat dia kendalikan sama sekali."Pergi!" Siska hanya bisa berteriak. "Rara sial seumur hidup karena menyukaimu. Hidupnya nggak akan pernah tenang selama kamu ada di dekatnya.""Dia sudah seperti ini, apa lagi yang kamu inginkan? Kamu ingin melihat dia matai?" Di akhir kalimat itu, dia terisak tak terkendali.Yudha membuka mulutnya, tetapi tidak ada yang keluar."Yudha, pergilah." Felix pun bersuara. "Kamu nggak diterima di sini."Yudha berkata dengan susah payah, "Aku akan pergi kalau di
Silvia mendapat kabar satu jam setelah pelaku tertangkap."Dasar nggak becus! Katanya nggak akan ditangkap?" Wanita itu gemetar ketakutan sampai kesulitan memegang ponselnya."Kami sampai kehilangan satu orang. Sudah untung kami nggak memperpanjang perkara denganmu." Orang di seberang sana jelas juga sangat marah. "Siapa yang kamu provokasi, apa kamu tahu? Polisi yang menyerbu sama sekali bukan polisi biasa."Telapak tangan Silvia berkeringat. Bukan polisi biasa? Si bodoh Yara itu kenal orang seperti itu?Sekarang jelas bukan waktunya untuk memikirkan hal ini.Orang yang di sana berkata lantang, "Dua puluh miliar, langsung tunai. Kalau nggak, saudaraku nggak akan sungkan-sungkan membuka mulut. Tinggal tunggu saatnya kamu mendekam di penjara.""Dua puluh miliar? Kalian sudah gila?" Silvia mengumpat. "Kesepakatan kita 10 miliar. Sepeser pun, aku nggak akan bayar lebih dari itu.""Ya sudah, tinggal tunggu polisi mendatangimu." Orang itu sepertinya ingin menutup telepon.Bagaimana mungkin
Dia berbicara lebih sungguh-sungguh, "Melly, pikirkanlah. Aku ibumu. Akankah Agnes tetap mengizinkanmu menikah dengan Yudha kalau aku masuk penjara?"Melanie tidak berkata apa-apa, itu benar-benar kekhawatiran terbesarnya.Namun, meminta 10 juta pada Yudha .... Alasan apa yang bisa dia buat? Dia sangat kesal, tidak seharusnya dia mempercayai Silvia, si bodoh ini."Melly, cepatlah, mereka akan menelepon lagi nanti." Silvia mendesak dari samping."Berhenti mendesak, menyebalkan." Melanie menggeram. "Bukankah waktu itu aku sudah kirim 10 miliar? Kenapa masih kurang lagi?"Silvia ragu-ragu sebentar. "Uang muka sudah dibayar 4 miliar. Sisa 6 miliar ... aku investasikan di saham.""Apa katamu?" Mata Melanie membelalak. "Silvia, kamu gila? Kamu punya otak buat main saham? Berapa sisanya sekarang? Buang sekarang juga.""Jangan, jangan dijual sekarang. Nanti pasti bisa naik." Silvia jelas merasa bersalah."Berapa banyak yang tersisa?" Melanie sangat marah sampai-sampai suaranya bergetar.Silvia
Siska masih menjaga kamar Yara.Setelah mendengar perkataan Gio di siang hari, mereka bertiga memutuskan untuk bergantian menjaga, tidak pernah meninggalkan Yara sendirian."Siska, pulang saja, aku baik-baik saja." Yara benar-benar tidak enak, tidak ingin menyusahkan siapa pun lagi."Aku tinggal sendirian juga bosan." Siska merapikan tempat tidur sederhana di sebelahnya. "Aku senang bisa bersamamu, jangan usir aku."Yara menggerakkan bibirnya tak berdaya. Dia merasa sejak Gio tiba, mereka bertiga bertingkah aneh, seolah-olah mereka mengawasinya karena takut akan terjadi sesuatu padanya.Karena tidak bisa membujuk, dia hanya bisa menyerah.Saat ini, pintu kamar terbuka dan tanpa diduga itu adalah Melanie.Tangan Yara seketika mengepal. Meski tak punya bukti, dia selalu merasa bahwa yang menimpa Santo ada hubungannya dengan Melanie."Apa yang kamu lakukan di sini?" Melihat Melanie, Siska langsung maju menamparnya. "Kamu nggak diterima di sini."Tamparannya begitu keras hingga Melanie mer
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid