Setelah Yudha keluar kamar, dia turun menuju dapur.Agnes segera menyadari ada yang tidak beres dengan wajahnya dan memelankan suaranya bertanya, "Ada apa?""Nggak ada apa-apa." Yudha menghindari tatapan tajam Agnes dan bersandar di lemari dengan tangan di dalam saku.Dia sekarang tidak ingin kembali ke kamarnya atau ke ruang tamu, jadi dia harus sembunyi di sini.Agnes mengerutkan kening. "Felix memukulmu?"Di keluarga ini, tidak ada yang berani melawan Yudha kecuali Felix.Yudha terdiam. "Ibu nggak usah khawatir.""Apa yang kamu lakukan?" Agnes semakin merasa aneh. Yudha tidak pernah bersikap seperti ini kepada kakaknya, bersikap seakan sadar diri akan kekalahannya.Yudha mulai tidak sabar. "Bisakah kamu berhenti bertanya?""Apa karena Yara?" tanya Agnes, masih tidak mau melepaskannya.Yudha hanya berbalik dan berjalan keluar.Agnes tahu tebakannya benar. Dia mendesah dan menggelengkan kepala tak berdaya.Felix sudah di ruang tamu. Saat Liana dan yang lainnya sedang mengobrol, dia du
Dia menarik sudut mulutnya. "Kondisi Kakek semakin memburuk. Dia selalu merindukanmu. Kamu datanglah lebih sering kalau sedang senggang.""Bibi tenang saja, aku pasti datang berkunjung." Yara juga mendesah. "Masa lalu sudah berlalu. Aku sudah melupakannya."Agnes bangkit berdiri, tertawa pelan dan pergi."Rara?"Yara menoleh dan melihat bahwa yang memanggilnya adalah Santo.Dia maju beberapa langkah. "Kenapa, Paman?""Temui aku besok." Santo memelankan suaranya dan terlihat waspada.Hati Yara melonjak gembira. Mungkinkah Santo sudah menemukan sesuatu?"Oke." Yara mengangguk setuju.Seolah-olah sedang bertukar informasi, keduanya segera berpisah setelah selesai.Saat Yara pergi, dia melihat Liana di dekat mereka dan yakin bahwa hal ini akan segera sampai ke telinga Melanie.Benar saja, Liana berbalik dan menghampiri Melanie."Ayahmu lucu sekali, kenapa dia ngumpet-ngumpet untuk bicara dengan Yara? Apa mereka menyembunyikan sesuatu?"Melanie mengerutkan kening. "Kamu lihat mereka ngobrol
Di dalam kedai teh, Santo dan Yara memesan sebuah ruang pribadi."Paman, kamu dapat petunjuk?" Tanpa basa-basi, Yara langsung ke intinya.Santo mengerutkan kening. "Yara, apa sebenarnya yang kamu ketahui?"Yara tidak menjawab, hanya menatap Santo, menunggunya menjawab."Aku mungkin akan mengecewakanmu." Santo menarik sudut mulutnya. "Aku nggak menemukan apa-apa."Benar saja.Yara mengatupkan rahangnya. Melanie tidak meninggalkan jejak apa pun. Di saat dia merasa sangat kecewa, Santo tiba-tiba melanjutkan, "Tapi semakin aku menyelidiki, semakin aku merasa ada yang salah."Yara menoleh dengan terkejut."Hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, kita terlalu mengada-ada. Yang kedua ..." Santo berhenti sejenak sebelum berbicara perlahan, "Orang yang melakukan ini ada di sisi kami. Dia bisa melakukannya secara diam-diam, dan dia juga bisa menghancurkan bukti-bukti secara diam-diam."Jantung Yara langsung naik ke tenggorokannya. Dengan gugup dia bertanya, "Kalau begitu, Paman ... sudah mencur
"Tetapi rumah sakit menerima donor darahnya, artinya itu aman. Paling nggak, nyawanya nggak terancam. Mana mungkin rumah sakit berani ambil risiko.""Ayah, kamu harus berhenti." Melanie berdiri dan berencana akan pergi. "Ibu sudah pergi, meninggal, dan nggak akan kembali lagi. Kalau kamu nggak mau melepaskan hal-hal ini, akankah Ibu mendapat ketenangan di sana?"Santo memandang Melanie dengan tidak percaya. Dia berdiri dan menampar wajah Melanie dengan keras."Bisa-bisanya kamu bicara seperti itu?"Sebagai seorang anak perempuan, mengetahui kematian ibunya mungkin menyimpan suatu rahasia. Seharusnya dia merasa wajib membantu? Kenapa malah meminta berhenti menyelidiki?"Apa aku salah?" Melanie menutupi wajahnya dan menatap Santo dengan mata merah. "Ayah, kamu sudah hidup di samping Ibu hampir sepanjang hidupmu. Jadi, sekarang setelah dia meninggal, kamu belum bisa melepaskannya? Kalau kamu benar-benar nggak bisa melepaskannya, kenapa nggak ..."Pergi saja ke bawah tanah dan menemaninya!
"Kak, aku nggak mau ke kamp."Yara berbaring di tempat tidurnya sambil berpikir lama. Dia selalu merasa bahwa mimpi semalam sangat nyata, seakan-akan mimpi itu benar-benar Zaina datang mengingatkannya akan sesuatu.Dia membuat keputusan, "Aku ingin mengaku ke Ayah. Aku ingin bersama dengannya."Dia pernah tidak saling terbuka dengan Zaina karena ketakutannya terhadap Melanie. Namun, pada akhirnya, Zaina tetap pergi.Dia tidak ingin membuat kesalahan seperti itu untuk kedua kalinya.Baik Felix maupun Siska agak terkejut, tetapi di saat yang sama mereka juga merasa bahagia untuk Yara."Rara." Siska memeluk Yara dengan lembut. "Ayo, kami mendukung semua keputusanmu."Felix juga mengangguk. "Benar Rara, sekarang kamu sudah memutuskan, kapan kamu mau menemui dia? Aku yakin dia pasti akan senang setelah mengetahuinya."Soal itu, Yara tak berani berharap berlebihan.Santo dan Zaina telah membesarkan Melanie selama lebih dari 20 tahun, memperlakukan Melanie sebagai permata hati mereka. Jika ti
Memang yang paling dia pedulikan bukanlah Zaina atau Melanie, tetapi keluarga mereka.Mungkin ada hubungannya dengan pengalaman masa kecilnya.Namun, sekarang?Ternyata semua yang dia sayangi adalah kebohongan, dan itu telah membuat orang-orang yang paling dia cintai menderita.Akan tetapi, Zaina tidak mau mengubah semua ini karena dia tahu apa yang dipikirkan Santo. Hatinya serasa tercekat."Ayah, kamu nggak apa-apa?" Yara melihat wajah Santo sangat pucat. "Ayah, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Pada akhirnya, setiap dari kita sama-sama harus disalahkan atas kejadian ini. Aku terlalu pengecut dan terlalu mudah dimanipulasi Melanie."Dia menyeka air matanya. "Aku memimpikan Ibu tadi malam. Dia memintaku untuk melindungimu."Santo menggertakkan giginya. "Beraninya dia melakukan semua ini padaku?""Ayah, percayalah, Melanie bukanlah gadis baik yang ada dalam pikiranmu. Dia lebih gila dari yang bisa kamu bayangkan. Kita nggak boleh membiarkan dia tahu tentang kita untuk saat ini,"
Keduanya seperti tak habis-habisnya berbicara setelah mengetahui hubungan asli satu sama lain, dan mereka belum berpisah hingga malam tiba.Sekembalinya ke rumah, Yara berbagi kegembiraannya dengan Siska dan Felix. "Aku sempat takut Ayah nggak mau menerimaku."Apalagi dia sudah lama tidak akur dengan Santo."Bagaimana mungkin? Aku yakin ini semua sudah diatur oleh Tuhan, Paman Santo dan Bibi Zaina selalu sayang padamu." Siska, sebagai sahabat Yara, telah melihat semuanya.Yara akhirnya bisa bernapas lega. Rasanya memiliki seseorang yang dapat dia jadikan sandaran.Mereka bertiga memutuskan untuk merayakannya dengan membuat makan malam mewah.Namun, saat memotong sayuran, tanpa sengaja tangan Yara teriris dan berdarah deras.Felix dan Siska sangat ketakutan."Oke, oke, tunggu di ruang tamu saja." Siska mendorong wanita itu keluar dari dapur. "Biar aku dan Kak Felix yang masak.""Nggak apa-apa." Yara dengan canggung berkata, "Aku cuma melamun sebentar tadi. Aku janji lebih hati-hati, ngg
Namun, Yara tidak pernah merespons.Ekspresi Felix sangat menakutkan dan seluruh tubuhnya terus gemetaran karena panik. Suaranya terdengar goyah saat dia berbicara."Siapa yang telepon? Apa yang mereka bicarakan?"Ketika Siska menyadari ada yang tidak beres dengan Yara, dia langsung melihat membuka ponselnya. "Yudha, aku nggak tahu apa dia bilang apa."Dia berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosinya, tetapi air matanya tak dapat dibendung. Dia bertanya pada Felix penuh ketakutan, "Apa yang harus aku lakukan? Rara pendarahan hebat, apa yang harus aku lakukan?""Entahlah." Felix membunyikan klaksonnya penuh panik, bahkan sampai membunyikan sirene.Mobil-mobil memberi jalan dan mereka melaju dengan bebas, menuju Rumah Sakit Pusat tanpa halangan apa pun.Pihak rumah sakit sudah diberi tahu dan sudah siap membawa Yara dengan tandu.Yudha sedang berada di lantai dasar pada saat itu dan dia melihat Yara dibawa masuk ke dalam lift dalam keadaan berlumuran darah.Dalam sekejap, sekujur
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid