"Yara!" Silvia seperti menggila."Cepat pergi dari sini. Mulai sekarang, aku nggak ada hubungannya denganmu atau keluarga Lubis."Yara berbalik dan berjalan menuju kompleks, pura-pura tidak mendengar Silvia menggila di belakangnya.Silvia marah-marah beberapa saat, lalu masuk ke dalam mobil dan pergi pulang.Dia perjalanan, dia menelepon Melanie untuk memberitahukan hasilnya."Melly, dia anak menjengkelkan, biarkan saja dia."Melanie tiba-tiba berteriak, "Apa kamu nggak dengar apa kata Yudha?"Silvia terlonjak kaget."Dasar sampah, nggak berguna! Jangan telepon aku lagi!" Melanie segera menutup telepon.Silvia tertegun sambil memegangi ponselnya.Melly baru saja memanggilnya ... sampah? Katanya, jangan telepon lagi?Dengan tangan gemetar, dia segera menelepon lagi, tetapi ditolak.Telepon lagi, ditolak lagi.Setelah itu, dia diblokir.Ketika Silvia kembali tersadar, dia mendapati wajahnya dipenuhi air mata."Nggak mungkin, kenapa Melly mengabaikanku? Nggak mungkin, dia cuma marah, ngga
Yara pergi ke rumah sakit keesokan harinya setelah sarapan.Seburuk apa pun Melanie, Zaina tidak pernah jahat padanya."Bibi, bagaimana keadaanmu?"Yara sudah pernah bertanya tentang penyakit Zaina, tetapi Zaina selalu menjawab tidak apa-apa. Padahal dia sudah lama tidak keluar dari rumah sakit."Biasa saja."Zaina menarik senyuman di bibirnya dan menatap pergelangan tangan kanan Yara yang masih terbungkus. Matanya langsung memerah."Sini, Bibi ingin lihat tanganmu."Dia menghela hidungnya dan mencoba mengendalikan emosi."Nggak sakit lagi."Yara duduk dengan patuh dan meletakkan tangan kanannya di tangan Zaina."Jahitannya bisa dilepas beberapa hari lagi."Dia mengatakannya sambil tersenyum. Tatapan prihatin di mata Zaina membuat hatinya terasa berat.Betapa indahnya jika Zaina adalah ibunya ..."Apa kata dokter? Apa ada pengaruhnya saat digunakan untuk aktivitas nantinya?""Nggak kok." Yara menggelengkan kepalanya."Kamu bohong padaku?" Zaina tidak bisa menahan tangisnya. "Kamu nggak
Dia tertawa pelan. "Sebenarnya, aku nggak punya bukti kuat sama sekali. Kalau nggak, aku sudah akan bertindak tanpa kasihan. Ini hanya tebakanku saja."Kesedihan muncul di wajahnya. "Kamu boleh menyalahkanku, kamu boleh memarahiku atau memukulku, tapi aku nggak akan berubah pikiran. Aku sangat yakin Melanie yang melakukan ini. Bahkan ... ibuku cuma melakukan perintahnya.""Bagaimana ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin?"Zaina meletakkan tangan di dadanya, wajahnya semakin pucat."Bibi." Yara merasakan ada yang tidak beres. "Bibi, ada yang terasa nggak enak?""Aku baik-baik saja." Zaina mencoba untuk mengendalikan emosinya sebisa mungkin.Dia menatap Yara lagi. "Rara, terlepas apakah Melly yang melakukan ini atau bukan, Bibi ingin membantumu menyembuhkan tanganmu. Kamu sangat suka menggambar, kamu nggak boleh menyerah begitu saja."Yara tidak menduga Zaina masih peduli tentang tangannya setelah semua yang terjadi.Yara sangat terharu. "Bibi, Rara janji, apa pun yang terjadi, aku nggak a
Yara langsung tersipu dan tergagap, bisa dianggap dia membenarkannya.Bagaimanapun, dia tidak mungkin menyebarkan hal-hal buruk keluarganya sendiri."Kamu dan Bibi Zaina benar-benar berjodoh." Perawat itu melanjutkan.Bibi Zaina?Yara langsung menangkap orang yang Perawat itu katakan adalah Zaina.Yara pun tersenyum. "Kami sekeluarga, dia bibiku.""Aku bukan ngomong tentang itu." Perawat itu melirik Yara. "Sebenarnya, kalian terlihat mirip.""..." Yara tidak tahu merasa bagaimana, tetapi dia tidak menyangkal hal ini.Karena Siska pernah juga mengatakan dia tidak mirip dengan Silvia, tetapi terlihat seperti ibu dan anak dengan Zaina.Sayangnya dalam hidupnya, Yara tidak mungkin memiliki ibu sebaik Zaina."Beberapa hari yang lalu, waktu kamu butuh transfusi darah, dia yang mendonorkannya dan sekarang waktu dia membutuhkannya, kamu kebetulan ada di sini."Darah sudah selesai diambil, perawat itu mengemasi barang-barangnya. "Apa namanya ini kalau bukan jodoh?"Wajah Yara sedikit pucat dan
Yara menunduk dan tidak mengatakan apa-apa.Siska tahu Yara merasa sedih, jadi dia memeluknya. "Tapi, nggak apa-apa, kalau kita nggak bisa memiliki orang tua sebaik itu, kita harus menjadikan diri kita ibu seperti itu di masa depan."Ketika Siska mengatakan ini, wajahnya penuh dengan pengertian, tetapi dia tidak menyadari wajah Yara menjadi lebih muram."Siska, tidurlah lebih awal." Yara tersenyum dan bersiap untuk mandi.Namun, saat dia berdiri, teleponnya berdering, ternyata Yudha yang menelepon."Aneh, apa dia takut aku akan melupakan janji besok?"Yara hanya mengangkat teleponnya."Turunlah, aku ada di bawah." Suara Yudha terdengar sedikit cemas."Ada apa?" Perasaan tidak enak muncul di hati Yara."Pihak rumah tua menelepon, mereka bilang, kakek sakit.""Aku akan segera turun."Yara buru-buru mengganti pakaiannya, memberi tahu Siska dan segera turun ke bawah.Yudha memang sedang menunggu di bawah.Mereka berdua masuk ke dalam mobil dalam diam dan langsung menuju ke arah rumah tua.
"Bu." Tak disangka, Yudha yang berjalan di depan tiba-tiba berbalik dan memotong kata-kata Agnes, "Bagaimana kondisi Kakek?""Dokter ada di atas, mungkin sebentar lagi turun." Agnes menatap Yara dengan dingin. "Jaga dirimu sendiri."Yara tidak memedulikannya, bagaimanapun juga, dia dan Yudha akan segera bercerai, dia tidak perlu menerima penderitaan dari keluarga Lastana.Mereka bertiga menunggu di ruang tamu untuk beberapa saat sebelum mereka melihat seorang pria jangkung masuk.Pria itu mengenakan pakaian kasual berwarna abu-abu dan putih, terlihat bermur awal tiga puluhan. Dia terlihat elegan, sudut mata dan alisnya selalu membawa senyuman.Dia adalah putra Kakek Susilo, paman Yudha, Tanto Lastana."Kak!" Begitu Tanto masuk, dia langsung memberi salam pada Agnes.Agnes hanya tersenyum dan tidak mengatakan apa-apa.Agnes tidak menyukai Tanto dan bahkan bisa dikatakan membencinya.Menurutnya, Tanto adalah seorang pemalas, pemboros yang hanya mengandalkannya dan putranya yang masih kec
"Aku hanya akan melihat dari pintu dan nggak akan bersuara." Yara segera meyakinkan kalau dia benar-benar mau pergi.Agnes masih berusaha menghentikannya, tetapi Yudha berbicara, "Sudahlah, biarkan dia pergi."Dengan begitu, Yara mengikuti Yudha dengan hati-hati menaiki tangga.Begitu mereka berdua pergi, Agnes bergumam dengan curiga, "Benar-benar tak terduga."Dari dulu, di keluarga Lastana, tak peduli bagaimanapun Agnes ingin menghentikan Yara, Yudha tak pernah peduli dan bahkan akan membantu.Namun, hari ini, Yudha jelas agak aneh.Tanto yang duduk di seberang meja, tersenyum dan berbicara, "Kak, mereka tidur bersama setiap hari, tidak aneh kalau ada sedikit perasaan di antara mereka."Agnes memelototinya, dia merasa makin tidak senang.Agnes tidak pernah menyetujui pernikahan ini, tetapi dia masih bisa mentolerir sikap Yudha sebelumnya.Namun, kalau Yudha benar-benar mau menerima Yara sebagai istrinya, Agnes tidak akan setuju.Yara mengikuti Yudha ke kamar Kakek Susilo. Yudha mendo
Yara memandang Yudha untuk meminta bantuan, tetapi dia malah melihat Yudha mengangguk tak berdaya.Yara tidak punya pilihan selain mengulurkan tangannya. "Kakek, benar-benar nggak apa-apa, sebentar lagi juga sembuh."Tangan Kakek Susilo sangat kurus, tulang-tulangnya sampai bisa terlihat. Punggung tangannya tertutup bintik-bintik tanda penuaan, tetapi telapak tangannya sangat hangat.Dia dengan lembut menyentuh jari-jari Yara dan kemudian mengangkat kepalanya dengan sakit hati. "Nak, tanganmu terluka sampai begini, apa kamu masih melukis?"Jantung Yara berdebar, dia berusaha menundukkan matanya dan berbohong sambil tersenyum. "Bisa, beberapa hari lagi juga sudah bisa."Kakek Susilo memandang Yudha, "Katakan.""Kalau nggak dirawat dengan baik, tangan kanannya mungkin nggak bisa menggambar lagi." Yudha dengan tenang menceritakan."Yudha!" Yara dengan marah memelototi dan buru-buru melihat Kakek Susilo. Benar saja, dia melihat Kakek Susilo sedang termenung."Kakek, jangan dengarkan omong
Pada hari yang telah disepakati, Yudha menerima telepon dari Revan di pagi hari."Pak Yudha, saya di Meria sekarang, sedang menunggu penerbangan pulang. Seluruh informasinya sudah hampir lengkap.""Bagus." Yudha agak terkejut. Dia tidak menyangka Revan perlu pergi ke Meria. dia menambahkan, "Hati-hati di perjalanan. Aku tunggu kepulanganmu.""Pak Yudha." Revan menatap dokumen di tangannya. "Saya akan pergi ke rumahmu setelah sampai di sana. Sebelum itu ... siapkan mentalmu.""Oke." Yudha menutup telepon. Dia sebenarnya merasakan sedikit firasat buruk dalam hatinya.Dia menatap kalender dan melihat hari persidangan perceraiannya akan tiba dua hari lagi. Masih ada waktu.Satu hari terasa sangat panjang bagi Yudha. Dia meninggalkan semua pekerjaan dan kembali ke rumah keluarga besar untuk bermain sebentar dengan Agnes dan Yovi, lalu kembali ke vilanya dan menunggu.Agnes bertanya, "Kerjaanmu hari ini sudah selesai 'kan? Kenapa buru-buru pergi? Temani anakmu lebih lama lagi."Sejak ada Yov
Saat masuk ke ruang tamu, Santo jelas merasa agak malu, tapi Felix dan Gio bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan bicara dengannya seperti biasa.Yara membawa album foto yang baru diambilnya dan mereka semua berkumpul untuk melihat."Ayah, lihat, ini foto pernikahanmu. Kalian masih sangat muda waktu itu, sangat tampan dan cantik."Santo tersenyum dan mengulurkan tangan untuk menyentuh Zaina di foto itu."Senyum Ibu sangat cantik di foto ini. Yang ini, Ayah, kamu sangat tampan ...."Sambil berbicara, Yara memperhatikan ekspresi Santo. Di dalamnya banyak foto-foto Melanie. Dia berusaha untuk menyebutnya sesedikit mungkin.Lambat laun, raut wajah Santo menjadi semakin serius.Tiba-tiba, air mata menetes membasahi album foto."Ayah, kamu kenapa?" Yara sedikit panik dan berusaha menyingkirkan album foto itu. "Kita lihat besok lagi saja, nggak apa-apa."Santo menunduk. Tangannya membelai wanita yang ada di foto tersebut dengan penuh kasih sayang. "Kenapa aku nggak pulang lebih cepat
Segera setelah pintu kamar mandi terbuka, bau menyengat menghantam. Ada noda air berwarna kuning di lantai. Tidak perlu ditanya lagi apa itu.Santo membelakangi semua orang, meringkuk di sudut ruangan. Seluruh tubuhnya gemetar."Kalian keluar dulu." Yara merasa dadanya sangat sesak dan meminta semuanya pergi."Rara, nggak apa-apa, biarkan aku membantumu." Siska bergegas berkata."Nggak usah." Yara menggeleng dan menatap mereka dengan memohon, "Keluar dulu, oke? Keluar!""Ayo, kita tunggu di ruang tamu." Gio akhirnya merespons, mengangguk kepada Yara, dan menarik pergi Felix dan Siska.Yara berdiri di ambang pintu, mengendus-endus, dan berseru lirih, "Ayah, mereka sudah pergi. Nggak apa-apa."Santo masih meringkuk di pojokan.Dia adalah kepala keluarga Lubis, yang berwibawa dan terhormat seumur hidup. Tapi sekarang ... pikirannya sudah tidak jernih lagi dan menghadapi hal semacam ini saja tidak bisa."Ayah!" Yara dengan hati-hati melangkah maju dan menarik lembut pakaian Santo. "Ayah, n
Yara juga berdiri dan menatap mata Melanie. "Bahkan meski mereka tahu kebenarannya dan menukar kita kembali, mereka tetap akan sangat mencintaimu dengan kasih sayang yang sama.""Melanie, kamu kehilangan dua orang yang paling menyayangimu. Kamu benar-benar nggak menyesalinya?" Yara sedikit emosional."Nggak!" kata Melanie dengan sangat tegas. "Yara, asal kamu tahu, nggak ada kata "menyesal" dalam kamus hidupku. Ambil barang-barangmu dan cepat pergi. Nggak usah ngoceh nggak jelas di sini."Yara menggelengkan kepalanya, mengambil album foto itu dan mengatakan satu hal lagi, "Jaga dirimu baik-baik."Dia keluar dari vila, mengucapkan selamat tinggal kepada Amel, dan segera pergi.Amel kembali ke vila dan melihat Melanie melamun sambil memandangi foto Zaina. Dia bertanya dengan suara kecil, "Bu, kamu juga kangen ibumu?""Dia bukan ibuku." Melanie mengambil foto itu dari dinding dan melemparkannya ke lantai. "Aku nggak kangen dia. Nggak sedikit pun!"Orang yang paling disayangi Zaina semasa
Setelah kehilangan Santo sekali, Yara dan yang lainnya tidak berani ceroboh lagi, terutama Siska."Rara, aku janji nggak akan membiarkan Paman Santo lepas dari pandanganku."Yara tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Oke, tutup pintunya, dia nggak akan bisa keluar. Aku keluar sebentar."Karena Santo selalu bicara soal menemui Zaina, Yara ingin pergi ke rumah keluarga Lubis untuk mengambil foto-foto Zaina. Dia sudah menelepon Melanie.Sampai di sana, dia melihat Amel sudah menunggunya dari kejauhan."Bibi Rara!" Amel melihat kedatangannya dan langsung berlari menghampiri. "Bibi Rara, kamu di sini."Yara memeluk Amel. "Wah, Amel sudah tambah tinggi dan cantik.""Bibi Rara juga tambah cantik," balas si kecil bermulut manis.Yara membawanya masuk ke dalam vila. Melanie sudah menunggu di ruang tamu."Barangnya di lantai atas, mungkin di kamar mereka." Melanie bangkit dan berjalan ke arah tangga. "Ayo kuantar ke atas.""Terima kasih." Yara meminta Amel bermain sendirian dan mengikuti ke a
Ini pertama kalinya Amel melihat Yudha berbicara sangat serius dengannya. Wajahnya langsung terlihat takut dan dia berbisik, "Amel kasihan sama Ibu.""Ibumu kenapa?" Yudha berjongkok dan sedikit melunakkan nada bicaranya.Amel menggeleng dan mengulangi, "Ibu kasihan sekali."Yudha tidak bertanya lagi dan mengelus kepala si kecil. "Amel, mungkin suasana hati ibumu sedang buruk. Paman akan menghiburnya, tenang saja.""Terima kasih, Paman." Amel menghela napas dan melanjutkan bermain.Yudha duduk di sofa dan menunggu. Pikirannya terus terbayang penampilan Melanie barusan. Gelagatnya seperti orang mabuk, tapi tidak ada bau alkohol sama sekali di dalam kamar. Bau itu ...Yudha belum pernah merasakan bau seperti itu sebelumnya. Menyengat dan sangat tidak enak.Dia menunggu beberapa saat dan kemudian melihat Melanie turun. Melanie sudah berganti pakaian dan menata rambutnya, nyaris seperti orang yang berbeda, membuat Yudha bertanya-tanya apakah yang dilihatnya tadi itu hanya ilusi."Yudha, ke
Selama beberapa hari berikutnya, Yara menghabiskan waktu bersama Yola dan Santo di siang hari. Lalu malamnya mengerjakan desain perhiasan bertemakan "Pulau" itu.Tapi, inspirasinya seakan sedang surut dan ide-ide yang dia pikirkan masih kurang memuaskan.Sidang perceraiannya semakin dekat.Di suatu sore, Yudha menerima telepon dari Amel sebelum pulang dari kantor."Paman sedang sibuk?" ucap gadis kecil itu dengan suara manis. "Amel sudah lama nggak ketemu Paman. Paman sedang sibuk bersama adikku ya?"Yudha terdiam. Beberapa waktu telah berlalu sejak Yovian datang ke rumah. Dia memang sudah lama belum bertemu Amel.Sejenak, dia merasa malu. "Paman minta maaf. Malam ini Paman ke rumahmu, oke?""Sekarang saja. Ayo makan di luar bersama Ibu." Amel tertawa usil. "Tapi jangan bilang Ibu. Beri dia kejutan.""Oke." Yudha menjawab ringan.Dia membereskan pekerjaannya sebentar dan segera pergi ke rumah keluarga Lubis. Tak disangka, Amel sudah menunggu di depan pintu."Amel ...""Ssst!" Amel mene
"Nggak mungkin." Yara berpikir, satu-satunya pria yang dekat dengannya baru-baru ini adalah Felix.Menurutnya, dengan sifat Felix, dia tidak mungkin punya ini seperti ini. Saran dari Gio juga rasanya tidak mungkin sampai ke sini.Dia tidak tahu siapa lagi yang mungkin."Rara, gawat!"Yara tiba-tiba mendengar suara Siska dari belakangnya. Dia buru-buru menutup telepon. "Safira, aku ada urusan mendadak. Sampai di sini dulu ya, terima kasih!""Ada apa?" Dia menatap Siska dengan cemas."Ayahmu ... ayahmu hilang." Siska terengah-engah karena kelelahan. Dia jelas sudah mencari di sekitar untuk mencoba mencarinya sebelum memberi tahu Yara.Suaranya seperti menahan tangisan. "Kami terlalu fokus dengan Yola. Aku nggak tahu sejak kapan ayahmu pergi.""Nggak apa-apa. Tolong jaga Yola dulu, aku akan mencarinya." Yara menenangkan Siska dan segera menelepon polisi.Setelah menelepon polisi, dia menelepon Felix dan Gio."Oke, jangan khawatir, kami akan membantu mencari." Felix menenangkan Yara dan me
Keesokan harinya setelah sarapan, cuaca di luar sangat cerah. Yara ingin mengajak Yola dan Santo berjalan-jalan."Aku ikut juga." Siska melambaikan kedua tangannya. Reaksi kehamilannya sudah jauh membaik akhir-akhir ini. Usia kandungannya sudah lima minggu.Yara meminta pengasuh memakaikan baju kepada Yola sementara dia pergi membantu Santo."Ayah, ganti baju dulu, lalu pergi jalan-jalan, oke?""Jalan-jalan?" Santo berpikir sejenak, "Ketemu Zaina?"Hati Yara terasa pilu. Dia hanya bisa berbohong, "Ya, jalan-jalan, menemui ibuku. Ayo Ayah, aku bantu pakai baju.""Oke, ketemu Zaina, ketemu Zaina ..." Santo terus bergumam dan segera berganti pakaian.Mereka turun ke bawah dan pergi ke lapangan kompleks. Yola di dalam kereta dorong bayi. Mata lebarnya berkedip-kedip, melihat ke mana-mana penuh rasa ingin tahu.Yara awalnya khawatir anaknya terlalu kecil untuk dibawa keluar. Tapi pengasuhnya mengatakan bahwa Yola tumbuh dengan sangat baik. Cuacanya sedang bagus, tidak terlalu dingin dan tid