Aku mau nonton film Brad Pitt yang terbaru. Nanti jam 7 malam main di Q-Mall. Kamu belikan tiketnya di aplikasi, ya.
Begitulah bunyi pesan WA Theresia untuknya lima belas menit yang lalu. Jonathan segera membalasnya.
Iya, Sayang. Aku belikan sekarang. Nanti sebelum jam 5 sore aku sudah sampai di rumah.
Sempat terpikir dalam benak laki-laki itu untuk menanyakan istrinya mau makan apa. Tapi sesaat kemudian dia mengurungkan niatnya. Daripada nanti makanan yang kubelikan nggak sesuai dengan keinginannya, malah berabe, gumamnya dalam hati. Kalau Theresia sampai mengajak nonton bioskop, berarti suasana hatinya sedang dalam kondisi baik. Aku tidak ingin mengacaukannya.
Kemudian dia segera membeli tiket bioskop di Q-Mall melalui aplikasi ponselnya dan dipilihnya dua buah tempat duduk sesuai favorit Theresia, yaitu yang terletak di barisan paling belakang dan di tengah, tepat pinggir jalan.
Setelah transaksi pembelian tiket online-nya selesai, ditengadahkannya wajahnya kembali dan dilihatnya Karin sedang duduk diam sambil menundukkan wajahnya. Ah, manis sekali mukanya. Tampak begitu lugu dan tak berdosa, ucap Jonathan dalam hati.
“Kalau kamu bekerja di sini, apakah bosmu yang sekarang tidak akan merasa kehilangan?”tanya laki-laki itu melantur.
Karin terkesiap mendengar pertanyaan yang tidak biasa itu. Bahkan sebenarnya sejak tadi dia merasa heran bos tantenya ini seperti bukan sedang mewawancarainya, melainkan mengajaknya mengobrol hal-hal yang ringan.
“Pekerjaan saya di sana tidak terlalu berat, Pak,” sahutnya berusaha menjelaskan. “Beliau pasti dapat segera menemukan pengganti saya. Cuma memang saya harus mengajukan surat pengunduran diri setidaknya satu setengah bulan sebelum keluar. Dengan demikian mereka dapat segera mencari sekretaris baru untuk saya bimbing dalam menggantikan tugas-tugas saya, Pak.”
“Bu Rosa menikah tiga bulan lagi. Kamu resign satu setengah bulan lagi, berarti cuma bisa dibimbing olehnya selama satu setengah bulan saja. Apakah cukup waktunya? Kamu menangani dua perusahaan, lho. Pabrik cat dan developer properti.”
Karin mengangguk dan tersenyum manis. Dengan percaya diri dia berkata, “Saya tipe orang yang suka belajar, Pak. Apalagi kalau yang mengajari adalah Tante Rosa sendiri, akan ada banyak waktu bagi saya untuk menanyakan ini-itu, bahkan di rumah sekalipun. Kami masih tinggal bersama sampai beliau menikah, Pak.”
“Oh, setelah menikah, Bu Rosa akan pindah mengikuti suaminya?”
“Betul. Beliau akan tinggal di rumah suaminya di Surabaya Timur. Sedangkan saya tetap tinggal di rumah Tante di Surabaya Barat.”
“Oh, begitu. Tapi begini, Karin. Bukannya saya menyangsikan kemampuanmu. Tetapi pekerjaan yang ditangani Bu Rosa itu begitu banyak dan kompleks. Saya meragukan hanya dalam waktu satu setengah bulan saja beliau mampu mentransfer semuanya padamu. Bagaimana kalau saya meminta tambahan satu bulan lagi pada beliau untuk membimbingmu? Tentu saja kalian berdua tetap mendapatkan kompensasi yang sesuai.”
Karin mengangguk setuju. “Saya rasa tidak ada masalah, Pak. Perusahaan ini sangat berarti bagi tante saya. Beliau pasti tidak berkeberatan dengan masukan Bapak tadi. Justru karena Tante Rosa sangat mencintai perusahan ini, maka dia tidak rela kalau posisinya digantikan oleh orang asing yang tidak diketahui kredibilitasnya.”
“Jadi kamu merasa dirimu ini kredibel?”
Gadis manis itu tertawa renyah. Jonathan takjub sekali melihatnya. Tawa itu seperti tawa Theresia di masa mereka masih pacaran dulu. Begitu ceria, apa adanya, dan memikat hati. Jonathan! tegur hati nuraninya kembali memperingatinya. Ingat, dia itu Karin. Keponakan sekretarismu. Calon sekretaris barumu satu setengah bulan lagi. Jangan berani macam-macam kalau tidak mau dicekik Theresia atau bahkan Pak Simon, ayah mertuamu sendiri!
“Saya tidak mengatakan demikian, Pak. Biarlah oran g lain yang menilai. Cuma mungkin bagi Tante Rosa lebih baik posisinya digantikan oleh orang yang dikenalnya sehingga beliau masih bisa memantau perkembangan perusahaan yang sangat dicintainya ini.”
Jonathan tertawa geli. Gadis ini pintar juga berbicara. Sepertinya Rosa tidak akan mendapatkan kesulitan yang berarti dalam mentransfer seluruh ilmunya pada keponakannya ini. Yah, aku sudah tak punya alasan lagi untuk menolak gadis ini menjadi sekretarisku, putusnya dalam hati. Kemampuan ada, pengalaman ada, meskipun baru setahun. Penampilan…ehm…not bad-lah, cukup rapi dan menarik, meskipun cenderung sederhana.
“Karin, saranku sebaiknya besok kamu segera mengajukan surat pengunduran diri pada perusahaan tempatmu bekerja saat ini.”
“Jadi saya diterima bekerja di sini, Pak?”
“Definitely.”
“Terima kasih banyak, Pak Jonathan. Tante Rosa pasti senang sekali.”
“Kamu sendiri bagaimana?”
“Saya? Saya tentu saja juga senang, Pak.”
“Cuma begini, Karin. Saya mau membicarakan suatu hal yang sensitif. Harap kamu bersedia memahami….”
Gadis itu mengangguk mengiyakan. Kemudian Jonathan meneruskan ucapannya, “Bu Rosa sudah bekerja dengan baik selama dua puluh tahun lebih di perusahaan ini. Dedikasinya itu tentu saja dihargai dengan sangat sepadan oleh perusahaan. Sedangkan kamu orang baru..., tentu saja tidak bisa kami samakan dengan Bu Rosa yang kualitas dan loyalitasnya sudah terbukti.”
“Saya mengerti, Pak. Tadi kepala HRD sudah menjelaskannya.”
“Syukurlah kalau demikian. Kamu gadis yang cerdas, pasti bisa cepat menyerap semua yang diajarkan Bu Rosa.”
Karin kembali menyunggingkan senyum manisnya yang membuat jantung pria di hadapannya hampir copot. Sudah waktunya aku pulang, putus direktur utama itu dalam hati. Sebelum aku semakin terhanyut dalam khayalanku yang tidak pada tempatnya ini.
“Baiklah Karin, sekian wawancara ini. Semoga kita dapat bekerja sama dengan baik untuk ke depannya,” ujar Jonathan mengakhiri pertemuan itu. Diulurkannya tangannya yang kokoh mengajak gadis di depannya bersalaman.
Karin mengangguk sekilas dan menerima uluran tangan calon bos barunya tersebut. Setelah itu dia membalikkan tubuhnya yang ramping dan berjalan dengan gemulai menuju ke pintu keluar. Jonathan memandangnya dengan terpesona. Bagaimana mungkin seorang gadis yang berpenampilan sederhana dengan make-up yang sangat tipis bisa kelihatan begitu memikat, batinnya bertanya-tanya.
Selama ini dia terbiasa melihat perempuan-perempuan muda dengan make-up tebal dan berpakaian model masa kini yang banyak menonjolkan lekak-lekuk tubuh maupun kulit yang mulus. Istrinya sendiri termasuk salah seorang diantara perempuan-perempuan itu terutama sejak sering bergaul dengan ibu-ibu sosialita kota ini. Jonathan tidak pernah merasa keberatan karena penampilan Theresia selama ini masih dianggapnya dalam batas kewajaran. Istrinya itu masih terlihat muda
dan cantik. Sesekali mengenakan rok mini maupun celana yang agak pendek masih dapat ditoleransinya.
Ah, sudah pukul setengah empat sore, gumamnya dalam hati ketika melihat jam digital di meja kerjanya. Aku harus segera pulang. Tadi aku berjanji pada istriku akan sampai di rumah sebelum jam lima pagi. Terlambat sedikit saja, bisa terjadi gempa bumi nanti!
Dirapikannya meja kerjanya seadanya. Lalu dia beranjak meninggalkan ruangan tersebut sambil menjinjing tas kerjanya.
“Aku pakai baju ini bagus nggak, Mas?”“Bagus. Cantik kok, Sayang.”“Apa nggak kependekkan roknya?”“Nggak, kok. Kaki kamu kelihatan langsing dan putih kok, pakai rok jeans itu.”“Sungguh?”“Sungguh, Sayangku. Buat apa aku bohong?”“Tapi aku kurang pede, Mas. Umurku udah tiga puluh tiga tahun. Udah kalah keren sama cewek-cewek umur dua puluhan yang suka jalan-jalan ke mal pakai rok mini.”&ldqu
Ketika dia mulai tenggelam dalam keasyikannya menikmati popcorn dan cerita film di depannya, tiba-tiba terdengar suara di sebelahnya berkata, “Mas, popcorn-ku udah abis. Tapi aku masih lapar….”“Oh, ya makan popcorn-ku aja. Ini,” sahut laki-laki itu seraya menyodorkan kotak popcorn-nya.“Aku kan tadi udah bilang nggak mau makan popcorn campur asin dan manis. Kamu ini gimana sih, Mas?”“Hush, jangan keras-keras, Yang. Nggak enak sama penonton lainnya. Terus kamu mau makan apa lagi?”“Kentang goreng.”“Ok. Lalu apa
Jonathan menatap istrinya tak percaya. Semakin lama kok dia semakin pintar bersilat lidah! pikirnya heran. Theresia yang ditatap sedemikian rupa menjadi semakin berang.“Apa lihat-lihat?! Kalau mau marah, marah saja. Nggak usah ditahan-tahan.”“Aku nggak mau ribut di pinggir jalan seperti ini.”“Lha, kamu sendiri kok yang berhentikan mobil di sini!”“Terserah kamu-lah, There. Apapun yang kukatakan selalu salah bagimu.”“Karena kamu memang bersalah. Dasar pecundang! Jangan lupa, kamu bisa menjadi seperti sekarang ini karena siapa?!&r
“Huahahaha…!”Bastian tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan cerita Jonathan mengenai insiden kemarin di gedung bioskop yang berlanjut sampai dia dan Theresia pulang ke rumah.“Apanya yang lucu? Kok tertawa sampai heboh begitu?”Bastian masih tertawa-tawa sampai air matanya hampir keluar.“Hahaha…Jonathan, Jonathan. Aku merasa lucu membayangkan kamu bolak-balik naik-turun tangga di bioskop untuk membeli popcorn, kentang, air mineral…. Wah, wah, wah…, Theresia itu layak diberi penghargaan sebagai istri terbawel di muka bumi ini! Hahaha….”&n
“Bukan itu yang kutanyakan tadi, Bro.” “Hah?” “Nah, lihat dirimu. Gagal fokus, kan?” Keringat dingin mengalir dari pelipis Jonathan. Dia tidak tahu harus berkata apa. Bastian merasa semakin geli melihat kecanggungan sikap pria yang duduk di hadapannya itu. “Aku tadi tanya, kamu sendiri mau sama Karin-kah?” “Mana mungkin, Bro. Aku bisa digorok istriku!” “Berarti kalau There nggak masalah, kamu mau, dong?” Jonathan benar-benar mati kutu. Diambilnya sehelai tisu di meja dan dipak
Jonathan lalu menyiapkan piring kosong, sendok, dan garpu untuk istrinya. “Mau kuambilkan nasi atau kamu ambil sendiri, Yang?” tanya laki-laki itu sabar. Yang ditanya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Aku nggak mau makan sendiri,” sahutnya ketus. “Ok. Kusuapin, ya. Sebentar kutiup dulu, masih panas soalnya.” Setelah meniup pelan-pelan nasi campur rawon diatas sendok makan, Jonathan lalu menyuapi istrinya. Tiba-tiba Theresia menyemburkan makanan yang sudah berada di dalam mulutnya itu ke muka suaminya. Jonathan sampai terkejut sekali. “Rawon apa ini?! Asin sekali!” &
Setelah hampir tiga tahun menikah, semakin terbukti kesetiaan Mila terhadap suaminya. Simon sering mengikutsertakannya dalam berbagai hal. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu sangat menghargai pendapat istrinya tersebut. Oleh karena itulah, ketika Theresia tadi meneleponnya sambil menangis terisak-isak, laki-laki tua itu langsung mengajak Mila ikut serta pergi ke rumah putri tercintanya. Sekarang ia dan Jonathan duduk di sofa ruang keluarga untuk membahas persoalan yang terjadi. Dengan tanpa malu-malu akhirnya suami Theresia itu menceritakan segala hal yang terjadi dalam rumah tangganya selama setahun terakhir. Dahi Simon sampai berkerut mendengarkan ceritan menantunya tersebut. Tak disangkanya putri tunggalnya sanggup bertindak sewenang-wenang terhadap suaminya sendiri. Ia menyadari bahwa anaknya itu memang sangat m
Jonathan tercenung mendengar kalimat-kalimat Simon yang menyejukkan hati. Bisakah There mengubah sikap dan perilakunya itu? tanyanya bimbang dalam hati. Hmm…sebenarnya bisa saja kalau dia mau. Dan itu membutuhkan tekad dan upaya yang keras. Barangkali kehadiran Papa sekarang justru bisa memperbaiki segalanya, pikir Jonathan seolah-olah melihat sebuah harapan baru. “Baiklah. Saya akan menuruti Papa kali ini. Terima kasih sebelumnya sudah menawarkan tempat tinggal untuk saya....” Simon tersenyum bijak dan menepuk-nepuk bahu menantunya, “Kau ini sudah kuanggap seperti anak kandungku sendiri, Jon. Masa kau tidak bisa merasakannnya?” Jonathan mengangguk mengiyakan. Ayah mertuanya ini memang selalu bersikap baik dan tak membeda-bedakannya dengan Theresia.  
"Terima kasih, Min," sahut Jonathan sembari menerima uluran tangan sahabatnya. Suasana mulai diliputi keharuan."Kudoakan Valentina segera memperoleh kesembuhan,Bro," kata Bastian sembari menepuk-nepuk bahu kawan baiknya itu. "Jadi kalian sekeluarga bisa cepat kembali ke negeri ini dan kita bersama-sama mengembangkan kantor ini lagi.""Thanks a lot, Bro."Begitulah ketiga orang itu kemudian saling berpelukan. Hati mereka terenyuh sekali. Mina sampai menitikkan air mata. Dia sangat menyayangi Jonathan layaknya saudara sendiri. Kepergiannya kali ini yang entah sampai kapan membuatnya merasa sangat kehilangan.Keesokkan harinya Bastian dan Mina mengadakan acara perpisahan kecil-kecilan di kantor. Mereka memesan sejumlah hidangan prasmanan untuk disantap bersama. Jonathan berpidato singkat di hadapan segenap anak buahnya. Dia mengucapkan terima kasih atas kerja keras mereka
"Aku senang sekali bertemu Karin, Mas. Terima kasih sudah membawanya padaku," ucap Theresia lirih. Seulas senyum bahagia tersungging di bibirnya. Sorot matanya tampak teduh, menenangkan hati Jonathan yang memandanginya."Apa lagi yang kau inginkan, Sayang? Akan berusaha kupenuhi," kata pria itu sepenuh hati. Dirinya benar-benar hendak membahagiakan istrinya ini di sisa-sisa hidupnya.Tangan Theresia menyentuh wajah suaminya. Terasa rambut-rambut kasar di sekeliling mulut laki-laki itu. "Dulu kamu rajin sekali bercukur, Mas. Kenapa sekarang malas?" tanyanya ingin tahu.Jonathan mendesah. Dia memang sudah tak memperhatikan penampilannya lagi semenjak dokter berkata umur istrinya tinggal menunggu waktu. Kesedihan dalam hatinya begitu besar sehingga tak ingin apapun selain menemani Theresia sepanjang waktu. Pekerjaannya pun ditinggalkannya untuk sementara. Untungnya Bastian dan Mina tak keberatan. Mereka memahami sang
"Aku tahu apa saja permintaan Theresia padamu, Karin. Dia ingin kamu menikah denganku sepeninggal dirinya. Lalu kita dan Valentina pergi menyusuri klinik-klinik di Tiongkok sesuai data yang dikumpulkannya. Aku yakin kau takkan sanggup menolaknya. Kondisi istriku yang mengenaskan membuat siapapun yang masih punya hati nurani pasti mengabulkan apapun permintaannya. Aku mengerti jika kamu pun demikian. Tapi jika kau keberatan menjadi istriku, tak usah memaksakan diri. Cukup di depan There saja kau berjanji. Tak perlu kau korbankan masa depanmu demi menikah dengan laki-laki tua seperti diriku." "Cukup!" sela gadis itu seraya menutup mulut Jonathan dengan telapak tangannya. "Aku memang berjanji pada Mbak There. Tapi bukan karena terpaksa. Aku...aku...bersedia melakukannya dengan setulus hati." "Benarkah itu?" tanya laki-laki itu memastikan. Ekspresi wajahnya mulai melembut. Karin mengangguk. "Aku bukan sedang berbahagia
Tiba-tiba terdengar suara pintu kamar dibuka. Karin terperanjat. Di depan pintu muncullah seorang gadis kecil yang... ya, Tuhan. Mirip sekali dengan dirinya semasa kecil! Bedanya anak perempuan itu duduk di atas kursi roda yang didorong ayahnya. Sedangkan si Karin kecil dulu bebas berjalan dan berlarian kemana pun dia suka."Mama, kenapa menangis? Tante ini juga. Apa yang membuat kalian sedih?" tanya anak itu polos. Dia memandang kedua wanita itu bergantian. Tatapan matanya menyiratkan rasa ingin tahu yang besar.Anak ini kritis sekali, puji Karin dalam hati. Dia juga mempunyai empati yang tinggi terhadap orang lain. Dia adalah...anak kandungku!Theresia langsung meminta Jonathan agar menaruh anak mereka di atas ranjang, supaya dekat dengan dirinya dan Karin. Suaminya menyanggupi. Diangkatnya sang putri dari atas kursi roda dan didudukkannya di depan dua wanita tersebut."Valen, kenalkan ini...Mama K
Tak lama kemudian mobilMercedes Benz berwarna hitam itu sampai di depan pintu gerbang berwarna hitam yang berdiri kokoh. Seorang petugas sekuriti mengangguk dan memberi hormat pada Jonathan yang membuka kaca jendela. Tak lama kemudian laki-laki berkumis tebal dan berbadan tegap itu menghubungi seseorang melalui walkie-talkie. Beberapa saat kemudian pintu gerbang terbuka lebar secara otomatis. Mobil Jonathan langsung meluncur masuk ke dalam. Pintu gerbang otomatis menutup kembali. Dada Karin mulai berdebar-debar. Akhirnya aku sampai juga ke rumah ini, batinnya gundah. Untuk bertemu dengan musuh bebuyutanku. Tapi kali ini dia tak bisa bersikap arogan dan sewenang-wenang lagi. Sebaliknya dia justru akan memohon ampun atas dosa-dosanya. Sontak Karin menggigit bibirnya. Tapi...bukankah aku sendiri juga bersalah kepadanya? batinnya pilu. *** "There, lihat siapa yang da
Sang pimpinan yang mengetahui bahwa Karin berasal dari kota buaya menawarinya pertama kali dibandingkan guru-guru lainnya. Gadis itu tak mampu menolak karena merasa sungkan dengan kebaikan dan bimbingan orang itu selama dia bekerja. Akhirnya diterimanya tawaran tersebut dengan berdoa dalam hati semoga dia tidak diusik oleh masa lalunya kembali.Gadis itu berusaha menghibur diri dengan berpikir tak ada salahnya kembali ke kampung halaman. Dia bisa berkumpul kembali dengan Rosa bibinya dan Mina sahabat baiknya. Jonathan dan Theresia selama ini tak pernah terdengar kabarnya. Tak mungkin mereka tiba-tiba datang mengusiknya.Berbulan-bulan dia hidup tenang di kota kelahirannya ini. Kalaupun berjalan-jalan ke mal, tak pernah sekalipun dia kebetulan bertatap muka dengan orang-orang dari masa lalu yang tak ingin ditemuinya kembali. Hidupnya benar-benar tenteram. Pekerjaannya menyenangkan. Sesekali dia berkunjung ke rumah Rosa dan Mina untuk se
Jonathan terperangah. Benar kata Mimin, cetusnya dalam hati. Karin sudah bukan gadis lugu seperti dulu. Penderitaan yang dialaminya bertahun-tahun telah mengasahnya sedemikian rupa sehingga menjadi seorang wanita dewasa yang tegas dan berkarakter kuat.Sorot mata tajam gadis itu membuat hati Jonathan menciut. Dia menghela napas panjang lalu berkata, "Aku minta maaf sudah mengganggumu, Rin. Seandainya bukan karena terpaksa sekali, aku pun takkan datang menemuimu...."Jonathan menelan ludahnya. Dia merasa tak percaya diri berhadapan dengan gadis yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Pria itu menunduk, tak berani menatap wajah Karin.Rupanya gadis itu tersentuh dengan perkataan mantan kekasihnya. Sikapnya mulai melunak. "Duduklah, Mas," katanya datar. "Ceritakan maksud dan tujuanmu datang kemari."Pria tersebut mengangguk. Dia lalu duduk di salah satu bangku. Sementara itu Karin menarik sal
"Sudahlah, Sayang," hibur Jonathan seraya memeluk istrinya yang histeris. "Tenangkanlah dirimu. Apappun yang terjadi kita akan selalu bersama-sama. Hentikan menghujat Tuhan. Kita sekarang belum tahu apa rencanaNya. Tapi aku yakin, segala sesuatu akan indah pada waktuNya.""Kurang apa aku selama ini, Mas? Apa kesalahanku sehingga aku diberi penyakit mematikan seperti ini? Apa dosaku?" isak wanita itu tak henti-hentinya. Tiba-tiba dia terperangah mendengar perkataannya sendiri. Tangannya sampai menutup mulutnya saking terkejutnya. Ya, Tuhan! jeritnya dalam hati. Inikah hukuman atas dosaku pada Karin?Ingatannya melayang pada gadis yang beberapa tahun lalu diancamnya sampai menangis histeris seperti dirinya saat ini. Karin, gadis yang waktu itu tengah mengandung Valentina, buah cintanya bersama Jonathan."Ini karma akibat dosaku pada Karin, Mas," ucapnya lirih. Dia sudah tidak histeris lagi. Tapi air matanya masih mengucur
Dia lalu duduk di samping istrinya. Diraihnya tangan wanita itu. Diciuminya punggung tangannya dengan penuh kasih sayang."Kita pulang ke Indonesia saja, yuk. Menenangkan diri sejenak sembari mencari-cari informasi lagi tentang pengobatan buat Valentina," ajaknya sembari tersenyum lembut pada Theresia."Kamu capek ya, Mas, bolak-balik Surabaya-Singapore terus?" tanya istrinya seraya mengusap pipi Jonathan mesra."Nggak juga. Udah biasa, kok. Cuma aku menguatirkan kesehatanmu, Sayang. Aku mau mengajakmu berlibur mencari udara segar di pegunungan seperti Batu atau Tretes gitu. Setelah refreshing selama beberapa hari, pikiranmu pasti akan lebih rileks. Tubuh juga menjadi lebih segar. Kamu nggak akan terus-terusan pusing seperti ini. Bagaimana?"Sang istri mengangguk pasrah. Dia lalu bergelayut manja pada pundak suaminya. "Kupikir-pikir aku juga kangen sama rumah kita di Surabaya, Ma